Aditia Purnomo



Untuk pertama kalinya dalam hidup, akhirnya saya dan Fahri Salam Hamzah punya pemikiran yang sama. Sungguh, ide yang dilontarkan Fahri soal pembubaran DPR adalah ide paling brilian yang pernah saya dengar dari semua anggota dewan yang pernah ada. Bahkan melebihi teori “apapun kesalahannya, pasti PKI penyebabnya” milik Deding Ishak.

Sedari dulu saya selalu berpikir kalau keberadaan DPR itu tidak penting. Pada masa Orde Baru, DPR hanya jadi kepanjangtanganan pemerintah. Boro-boro bisa melaksanakan hak interpelasi, wong undang-undang yang dibikin aja titipan pemerintah. Pas reformasi, kerjaan DPR ya kalau bukan jalan-jalan ke luar negeri, ya cuma buat jadi bahan tertawaan masyarakat.

Dulu sih pernah, Presiden Soekarno membubarkan parlemen karena kerjanya DPR cuma ribut antara satu fraksi dengan yang lain. Waktu itu parlemen yang diminta untuk menentukan dasar negara, gagal menyelesaikan tugasnya karena terlalu sibuk memperjuangkan kepentingan golongan sampai akhirnya dibubarkan.

Terus, pernah juga Presiden Abdurrahman Wahid mencoba untuk membubarkan parleman, karena ya parlemen kerjanya cuma ribut satu sama lain. Sampai-sampai Gus Dur bilang kalau anggota parlemen itu kayak anak TK. Meski akhirnya ya Gus Dur diturunkan juga ama parlemen karena itu. Ya pokoknya cuma orang keren yang berani bubarkan DPR.

Lah, siapa yang mau bilang Bung Karno dan Gus Dur itu bukan orang keren. Yang satu bapak bangsa, pernah jadi ancaman besar bagi kaum imprealis, dan banyak wanita yang suka. Terus yang satunya seorang pejuang demokrasi, berani minta maaf sama korban peristiwa 1965, Kiai pula. Kurang keren apa mereka?

Dan kini, ketika ada orang yang mau membubarkan parlemen, dengan segala alasannya yang luar biasa keren itu, sudah sepantasnya kita sebagai masyarakat yang progresif, militan, dan kesepian ini mendukungnya. Tapi jangan cuma dukung lewat petisi Change.org, nanti kita dikira Jonru yang cuma bisa update status doang tapi nggak ikut aksi.

Wong hari ini kelakuan anggota dewan sudah sampai pada titik yang sangat memalukan lagi memuakkan. Lah coba bayangkan, jadi anggota dewan tapi kalian nggak tahu apa hak dan kewajiban DPR, ngapain jadi anggota dewan? Tapi ya wajar sih, toh ketuanya cuma bisa mangguk-mangguk doang pas ditanya ama bule kaya.

Oke-oke, anggota dewan itu adalah orang sibuk. Banyak pekerjaan. Dan hobi jalan-jalan. Jadi wajar kalau mereka nggak perlu mengetahui hal-hal sepele macam gitu, itu mah urusan stah ahli aja. Urusan anggota dewan itu ya minta kenaikan tunjangan, jalan-jalan sama keluarga dibiayai negara, dan tentunya minta gedung baru biar nyaman kalau datang ke kantor.

Saya yakin, niat mulia anggota dewan untuk meminta gedung baru ini didasari oleh faktor banyaknya anggota yang tidak hadir saat sidang parlemen. Jadi, biar nggak ada lagi anggota yang bolos kerja, mending gedungnya dibuat nyaman, biar mereka asik kalau main CoC atau fesbukan di kantor. Kan kalau para anggota hadir, DPR bakal lebih produktif membuat undang-undang. Nggak kaya sekarang, belum ada satupun undang-undang yang disahkan parlemen. 

Jadi kalau pemerintah masih nggak setuju dengan pembangunan gedung baru, alangkah baiknya usulan Fahri Hamzah untuk membubarkan DPR kita dukung sepenuh hati. Tentu dengan menimbang semua alasan yang ada, sudah sepantasnya kalau DPR dibubarkan karena mereka nggak bakal produktif kalau kerja di gedung yang lama. Lagipula, ini adalah salah satu jalan, sebuah langkah besar, agar sistem Khilafah bisa kita tegakkan. Allahuakbar.


Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak masa orde baru selalu berorientasi pada pembangunan fisik kota untuk menopang kehidupan ekonomi. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan bebas hambatan dan jalan layang-melayang dilakukan untuk mendorong masuknya modal dan berputarnya roda ekonomi. Hal ini, tentunya, memberikan dampak sendiri bagi pola pikir masyarakat untuk mencari pekerjaan.
Pembangunan pesat yang dilakukan oleh kota itu membuat masyarakat silau dengan kemewahannya. Hadirnya pabrik dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan “buruh” seakan memanggil mereka, para pemuda desa, untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari kerja di kota. Hasilnya, desa ditinggalkan dan kota menjadi sumber peradaban.
Tapi kemudian, desa mulai dilirik kembali. Bukan oleh pemuda yang berkeinginan untuk menjadi petani, atau melanjutkan pekerjaan mulia orang tuanya sebagai tani, namun dilirik oleh para pengusaha yang mencari tanah murah untuk melanjutkan pembangunan. Desa dibangun, sawah dan ladang dibinasakan. Petani beralih profesi menjadi buruh.
Pada generasi saya dan yang hidup di perkotaan, menjadi petani tentu bukanlah sebuah cita-cita yang biasa didambakan. Jangankan berkeinginan menjadi petani, melihat sawah dan ladang pun sebatas diperkenalkan oleh buku sekolah dan tempelan gambar di dinding sekolah. Melihatnya secara langsung, agaknya jarang terjadi.
Tak hanya anak kota, anak desa pun mengalami nasib yang hampir serupa. Meskipun hidup dan dihidupi oleh sawah, orang tua mereka berharap anak-anak bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dengan bersekolah, dan mendapatkan kerja di kota. Ya, kalaupun masih ada yang berharap anaknya meneruskan profesinya sebagai petani, anaknya belum tentu mau dan jumlahnya semakin sedikit.
Coba tengok anak-anak desa yang dikuliahkan bapaknya ke kota. Demi sang anak, mereka rela menjual sawah dan ladang, menjual penghidupannya agar sang anak bisa mendapatkan hidup yang lebih layak. Kalaupun masih punya tanah untuk digarap, sang anak bakal lebih memilih kerja sebagai buruh perusahaan dengan gaji yang pasti setiap bulannya.
Atau contoh yang paling nyata bisa kita lihat pada Institut Pertanian Bogor. Pernah diberitakan, bahwa banyak lulusan kampus pertanian itu yang memilih menjadi pegawai bank setelah menamatkan pendidikan di kampus pertanian. Jumlah lulusan yang berkarir di bidang pertanian pun hanya sekitar 35%, sedangkan yang lainnya memilih untuk memunggungi sawah.
Inilah hasil dari pembangunan yang dicanangkan sejak masa orba. bukan hanya berbanding lurus dengan perusakan lingkungan, tapi juga merusak pola pikir penghidupan dan kebudayaan masyarakat. Dampaknya, hampir tiap tahun negara ini bermasalah dengan ketersediaan pangan hingga harus melakukan impor-impor pada komoditas penting yang sebenarnya mematikan petani.
Ketimbang memberikan solusi nyata bagi permasalahan petani dan gagal panen yang mengintainya, pemerintah lebih sering mengambil kebijakan melarikan diri dari persoalan dengan membuka keran impor. Itu belum ditambah bagaimana konflik tanah merajalela, bagaimana lahan dan ladang dicaplok untuk pembangunan. Benar apa kata Widji Thukul, pemerintah lebih suka membangun rumah, merampas tanah.
Sungguh, di negeri tempat padi terhampar dan subur ini, jutaan rakyatnya terusir dari tanah dan kampung halamannya. Ribuan anak muda menghampar mimpi di balik tembok perusahaan, memungguni sawah yang dinanti investor baru. Selamat hari tani, selamat membunuh tani.
Setelah membaca tulisan Bung Zeth Warouw, saya menyepakati bahwa menyepakati bahwa memberi harapan palsu adalah sebuah kejahatan, sekalipun itu tak dilakukan secara sadar. Memberikan harapan palsu menjadi kejahatan karena, keseriusan orang yang diberikan bakal hancur begitu saja karena ketidakseriusan si pemberi harapan.  Jelas menghancurkan harapan orang adalah kejahatan.

Jika memberi harapan palsu kepada para jomblo sedunia saja menjadi sebuah kejahatan, bagaimana dengan memberi harapan kepada keluarga korban pembunuhan, teman-temannya, dan ratusan bahkan ribuan orang? Coba tanyakan hal ini kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, mantan kekasih presiden kita tercinta.

Jika berbicara soal tembakau, kebanyakan kita akan teringat dengan Temanggung, Jember, dan beberapa tempat di jawa Tengah dan Timur. Memang sejak dulu pertanian tembakau dari daerah ini sudah sangat dikenal. Apalagi tembakau Srinthil yang berkualitas rasa sangat bagus asal Temanggung itu.

Tapi beberapa tahun terakhir, ada satu daerah yang muncul sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbesar. Bahkan, daerah ini menyalip posisi Jawa Tengah di urutan kedua daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Nama daerah itu adalah Nusa Tenggara Barat.


Setiap tahunnya, dari sekian banyak agenda Badan Eksekutif Mahasiswa (kini lebih dikenal dengan Dema), ospek adalah salah satu yang paling dinanti. Agak berbeda dengan acara lainnya, dalam ospek ini, banyak hal yang diperebutkan. Calon kader, popularitas, dan anggaran. Ya, anggaran.

Perkara ospek memang tidak pernah sederhana. Kebanyakan orang lebih sibuk membincangkan ospek sebagai ajang perploncoan, namun perkara yang lebih mendalam dari ospek sendiri tidak banyak yang membahas. Sebagai sebuah agenda rutin yang menunjuang akademik, ospek jarang dilihat sebagai sebuah ajang politik oleh orang banyak.

Dalam hal ini, ospek adalah ladang yang subur untuk mendulang suara. Sekalipun (biasanya) pemilihan raya (pemira) ketua BEM dilakukan pada akhir tahun atau awal tahun, yang artinya masih cukup lama, tapi pada ajang inilah orang-orang yang menjadi kandidat berupaya mendapat simpati dari maba. Bukan cuma soal mendulang suara untuk pemira, tapi juga untuk mendapatkan kader baru nan segar untuk mengikuti organisasi para senior yang terlibat di ospek.

Selain itu, satu hal yang juga diperebutkan pada ospek adalah anggaran. Tentunya anggaran dalam jumlah besar yang disediakan untuk menjalankan ospek. Seandainya saja, ada 5 ribu mahasiswa baru yang diwajibkan membayar biaya ospek sebesar 100 ribu, anggaran yang akan didapatkan untuk keseluruhan agenda ospek bisa mencapai Rp 500.000.000.

Dan dengan anggaran yang besar ini, hampir setiap tahunnya persoalan transparansi anggaran tidak pernah berjalan dengan benar.  Laporan pertanggungjawaban yang terlalu lambat dikerjakan, anggaran-anggaran yang tidak dapat dibuktikan, dan yang paling jelas adalah tidak adanya keterbukaan dalam penggunaan anggaran tersebut.

Ingat, menurut bang Napi kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Dari ketidakjelasan anggaran, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mark up anggaran misalnya. Siapa tahu. Pun dengan anggaran sebesar itu, wajar saja jika muncul kecurigaan-kecurigaan yang berdasar pada ketidakterbukaan penggunaan anggaran.

Seandainya ada sisa anggaran, lantas akan dikemanakan anggaran tersebut? Apakah angka Rp. 45.000 untuk harga kaos seragam peserta sesuai dengan harga pasar? Apakah tidak terjadi mark up?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika ada keterbukaan anggaran dari pihak panitia. Tapi sekali lagi, apakah hal ini terjadi? Tidak. Jangankan untuk terbuka soal anggaran, soal tema dan teknis acara saja panitia tidak terbuka pada lembaga intra kampus seperti Unit Kegiatan Mahasiswa.

Ospek tahun ini memang cukup bermasalah. Mulai dari keributan soal statuta dan peraturan soal teknis acara yang ditolak oleh pihak kampus (padahal statuta ini sudah disepakati oleh sidang senat mahasiswa) hingga teman-teman UKM yang memilih mundur dan tidak terlibat sama sekalo dalam ospek tahun ini.

Ya, secara sederhana saya sangat memahami kenapa UKM memilih mundur, dan saya mendukung penuh hal ini. Karena, perkara mundurnya UKM dari ospek bukan hanya soal tidak dilibatkan sejak awal, hanya dijadikan pelengkap dalam ospek, dan tidak banyak memiliki suara dalam ospek. Tapi juga karena tidak terlihatnya kekuatan Eksekutif Mahasiswa untuk mempertahankan statuta yang harusnya dijalankan, dan lebih memilih apa mau rektorat. Jelas lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.


Harusnya, sebagai pihak yang memiliki banyak kepentingan pada ospek, Eksekutif Mahasiswa harus berani bertarung dengan rektorat untuk memperjuangkan statuta yang dibuat mahasiswa, untuk kedaulatan Eksekutif Mahasiswa. Jangan sampai, nantinya eksekutif mahasiswa lebih memilih diam dan “asal bapak senang” karena (proyek) ospek sudah didapatkan. Jangan sampai.

Periode 1980-an, lombok tengah adalah kawasan tertinggal yang tidak memiliki apa-apa. Petaninya miskin, tidak terjamah pembangunannya orde baru, tingkat kriminalitas yang tinggi, bahkan ada desa yang dinamai “desa tertinggal”. Pokoknya, lombok pada masa itu mencerminkan kehidupan yang cukup saja belum.

Padahal kini, lombok tengah justru menggeser lombok utara sebagai kawasan dengan pembangunan yang lebih maju. Padahal dulu, lombok utara adalah kawasan yang lebih maju karena pertanian yang lebih subur. Namun, keadaan di lombok tengah menjadi berbeda setelah potensi pertanian tembakau dimaksimalkan.