Aditia Purnomo

Refleksi 39 Tahun Peristiwa Malari
Malapetaka Lima Belas Januari atau yang dikenal dengan peristiwa Malari merupakan sebuh manifesto perlawanan rakyat terhadap kepentingan asing yang terjadi pada tahun 1974.

Peristiwa yang menampar muka presiden karena dilakukan dihadapan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kakuei Tanaka yang dianggap sebagai simbol kepentingan asing.
Peristiwa yang memakan 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan (diantaranya Hariman Siregar, Syahrir), 807 mobil dan 187 motor dibakar ini tentu memberikan pelajaran pada kita bahwa segala bentuk keberpihakan pemerintah kepada kepentingan asing harus dilawan.

Namun, hampir 40 tahun setelah peristiwa malari, bukannya mendorong perekonomian kerakyatan pemerintah justru lebih memilih mendukung modal asing untuk berkembang. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan harapan aktivis angkatan ’74 yang menjadi korban dari peristiwa malaria.

Keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan asing dapat kita lihat dalam berbagai kebijakan seperti merampok Indonesia, lewat Newmont, Freeport, Chevron, Exon, dll. Sedangkan masalah para petani yang seringkali gagal panen akibat kebanjiran tak pernah diselesaikan.

Belakangan ini, pemerintah sekali lagi mengeluarkan kebijakan uang mendukung kepentingan asing di Indonesia. Hal itu tercermin dengan dikeluarkannyan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Tembakau yang sebelumnya ditentang oleh para petani tembakau.

Dengan dalih kesehatan, pemeritah melalui PP ini melakukan pembatasan dan pengurangan penanaman tembakau yang tentu merugikan petani tembakau dan pemilik perusahan rokok kecil. Selain itu pemerintah juga mempermudah impor tembakau yang membuat harga tembakau lokal jatuh dipasaran.

Lewat kebijakan tersebut, kita dapat melihat pemerintah yang lebih mendukung kepentingan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia ketimbang mendorong pelaku industri lokal untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, pemerintah juga akan mematikan industri lokal dengan membuka pintu yang sebesar-besarnya bagi perdagangan bebas.

Hal ini tentu saja membahagiakan kapitalis asing. Karena kebutuhan yang mereka butuhkan dengan mudah disediakan oleh pemerintah. Kebutuhan akan keamanan, buruh murah, pasar yang luas dan pelemahan kekuatan lokal telah terjamin dengan peraturan yang berlaku.

Namun bagaimana dengan rakyat? Coba kita tengok saudara kita di Papua sana. Mereka memiliki tanah yang kaya, gunung emas berlimph dan segala keperluan untuk sejahtera. Tapi dengan bodohnya pemerintah memberikan gudang emas mereka untuk asing dengan iming-iming murah dan rendah. Akibatnya, rakyat Papua menelan ludah darah menyaksikan penjarahan besar-besaran emas Papua oleh kapitalis asing.

Tidak hanya itu, para petani, buruh, dan nelayan di seluruh Indonesia pun masih dicampakkan pemerintah. Kenaikan upah minimum provinsi hingga saat ini belum terealisasi. Petani masih menanggung rugi akibat harga gabah yang jatuh akibat impor dan gagal panen yang tak dilirik pemerintah. Nelayan pun masih sulit melaut karena biaya bensin yang mahal.

Saat ini, rakyat selalu digoyang dengan isu kenaikan bahan bakar, tarif listrik, harga pangan, penggusuran dan berbagai tindakan yang berpriketidakmanusiaan oleh pemerintah. Sedangkan kapitalis asing begitu dimanja layaknya istri muda para penguasa.


Apakah perlu terjadi malapetaka baru lagi seperti peristiwa malari untuk menyadarkan penguasa jika rakyat perlu kebijakan yang waras untuk mereka hidup? Apakah rakyat mesti turun lagi ke jalan untuk menampar muka presiden agar tak lgi memberi kasih berlebih pada kapitalis asing? Jika tidak, sampai kapan rakyat harus menunggu para penguasa sadar? Sepertinya kita harus belajar sabar menunggu keajaiban datang.

Selasa lalu (5/3), Wakil Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan di televisi nasional bahwa Presiden Hugo Chavez Frias meninggal pada pukul 16.25 dalam usia 58 tahun. Presiden yang telah memimpin Venezuela selama 14 tahun ini meninggal akibat kanker yang telah didrutanya selama dua tahun terakhir. Sontak hal ini membuat rakyat Venezuela berduka.

Rasa duka mendalam yang dialami rakyat Venezuela menjadi sebuah kepantasan mengingat Hugo Chavez adalah pemimpin yang begitu dicintai rakyat Venezuela. Selama masa kepemimpinannya, Chavez berhasil mengentaskan 75% angka kemiskinan  dan buta huruf masyarakat. Selain itu rakyat juga dimanjakan dengan hasil minyak yang berlimpah untuk sektor sandang, papan, dan pangan mereka.

Pada pemilu lalu, Chavez berhasil menyingkirkan pesaingnya Henrique Capriles dengan program perumahan rakyat yang terkenal dengan Gran Vivienda. Begitu pula dengan berbagai kebijakan lain yang memihak pada rakyat. Venezuela sendiri dikenal sebagai Negara yang menggratiskan biaya pendidikan hingga perguruan tinggi.

Kebijakan luar negeri Venezuela sendiri membuat Presiden Hugo Chavez juga menarik perhatian dunia. Ketika Negara-negara islam memilih diam melihat perjuangan Palestina untuk merdeka, Chavez malah secara terang-terangan mendukung perjuangan rakyat Palestina dan mengakuio kedaulatan Negara tersebut. Bahkan Chavez berani mengusir Duta Besar Israel dari Venezuela karena Israel melanggar Resolusi PBB mengenai Palestina.

Bagi Negara-negara berkembang, Hugo Chavez memiliki jasa tersendiri. Selama memimpin Venezuela, Chavez punya program Petro Caribe yang menyediakan bantuan minyak dan produk minyak bumi bagi negara-negara kecil di Karibia rata-rata 200.000 barrel per hari dengan syarat pembayaran yang ringan.

Petro Caribe mendapat subsidi tahunan 1,7 miliar dollar AS dan menempatkan peringkat bantuan Venezuela di atas bantuan dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Australia, Belgia, Denmark, Norwegia, Portugal, Spanyol, dan Swiss di kawasan itu. Jumlah itu melebihi bantuan Marshall Plan setelah Perang Dunia II.

Belum lagi peran Chavez dalam membangun aliansi dengan negara-negara sepaham seperti China, Belarusia, Kuba, dan Iran untuk menolak tunduk pada Amerika Serikat. Kekayaan Venezuela akan minyak menjadi senjata utama kebijakan luar negeri dan soft power efektif untuk mendapatkan sekutu sekaligus menyeimbangkan kekuatan yang mengerem nafsu Amerika untuk menguasai dunia.

Kematian Chavez sendiri membuat sekutu sekaligus sahabatnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berduka. Ahmadinejad bahkan menetapkan satu hari berkabung nasional untuk mengenang Hugo Chavez. "Venezuela kehilangan pahlawannya, putra terbaiknya, sementara dunia kehilangan seorang pemimpin bijaksana dan revolusioner," ujar Ahmadinejad.

Melihat jasa dan perjuangan Chavez, janganlah heran jika jutaan Warga Venezuela dan dunia begitu berduka. Wafatnya Chavez sendiri merupakan tantangan bagi pembangunan manusia, keadilan sosial, penghormatan terhadap HAM, dan kebebasan individu di Amerika Latin. Bagi Gerakan Nonblok, wafatnya Chavez akan mengurangi suara vokal untuk mendukung Palestina. Begitu juga bagi Amerika Serikat dan sekutu, kematiannya akan jadi momentum untuk menguatkan hegemoni mereka.


Namun, apapun yang akan terjadi, Hugo Chavez telah menjadi sosok yang begitu dicintai dunia. Ia pun telah memberi kontribusi nyata dalam peta politik dan demokrasi dunia. Selamat jalan Chavez, dunia akan terus mengenangmu.