Aditia Purnomo


Ketika masih aktif di kampus, saya kerap terlibat dalam perdebatan mengenai kerja organisasi. Dari rapat ke rapat, dari agenda ke agenda, perdebatan hampir pasti terjadi. Yang satu mau agenda berjalan sebagaimana inginnya, sementara yang lain ingin sebagaimana mau mereka. Masing-masing punya pendapat, dan itulah yang membuat organisasi sehat.

Yang jadi persoalan adalah, ketika perdebatan hanya berkisar pada hal-hal yang tidak substantif. Tidak penting. Kadang, dalam perencanaan sebuah agenda ada saja teman-teman yang ingin kegiatan berjalan ala kadarnya. Semampunya saja. Tidak perlu ribet. Tidak perlu ambil resiko.

Ketika seseorang menyampaikan gagasan serta konsep yang menurutnya ideal untuk sebuah agenda, ada saja yang membantah konsep tersebut dengan alasan ribet dan sebagainya. Bukannya membantah konsep dengan konsep, yang ada cuma perdebatan mengenai penolakan konsep yang dianggap ribet oleh sebagian orang.

Masalah bertambah karena yang menolak gagasan itu adalah kebanyakan anggota. Dan bertambah pelik karena yang kebanyakan itu tidak setuju dengan konsep yang memberatkan. Sudah dibuat mudah saja. Realistis saja. Tidak perlu repot.

Kalau sudah begini, biasanya rapat pengambilan keputusan berujung buntu. Deadlock. Alhasil keputusan bakal diambil dengan voting, tanpa mengusahakan mufakat dari semua anggota. Tentunya yang bakal menang adalah kelompok mayoritas yang tidak mau repot itu. Sementara yang susah payah membuat konsep sebaik mungkin malah tersisihkan.

Hal-hal macam begini terjadi karena ketidaksiapan banyak orang yang berorganisasi untuk bekerja sepenuh hati. Kebanyakan mereka tujuannya saat ikut organisasi adalah cari teman dan cari ilmu. Tapi ketika dihadapkan pada kondisi organisasi yang tidak sesuai dengan bayangan mereka, kebanyakan mereka merasa terbebani dan membuat organisasi jadi tidak berkembang.

Padahal ya buat apa, aktif di organisasi untuk belajar hal yang itu-itu saja. Bagaimana nantinya hidup kita ketika sedari awal kita melulu kompromis terhadap keadaan. Realistis lah.

Jadi begini, kalau masih ada orang yang merasa terbebani karena aktif di organisasi ya sebaiknya keluar saja. Karena organisasi bukan sekadar tempat bermain apalagi tempat mencari pacar. Organisasi adalah tempat belajar dan berkreasi dengan segala waktu yang masih disediakan oleh muda.

Belajarlah memikirkan kondisi yang ideal bagi organisasi. Mumpung masih belajar, masih boleh salah ketika mengambil langkah. Tapi ya kalau sudah tidak mencoba hal-hal yang menurutmu ideal sejak dini, mati saja kalian ke laut.

Kalau masih merasa kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi terlalu membenani apalagi mengganggu hidup ya untuk apa masih bertahan di organisasi. Toh organisasi nggak pernah memaksakan keberadaan anda di dalamnya.


Jika nggak mau pusing dan kerja keras di organisasi ya keluar. Kalau cuma jadikan organisasi tempat nongkrong dan meluangkan kekosongan jadwal ya jangan masuk organisasi. Organisasi nggak sebercanda itu.

⁠⁠⁠Ini malam yang agak sentimentil. Entah kenapa, malam ini perasaan saya begitu tercampur aduk. Menjadi melankoli. Entah kenapa. Bisa jadi karena saya baru baca lanjutan komik Fairy Tail tentang pengorbanan Juvia pada Gray. Bisa jadi. Tapi yang pasti saya jadi teringat ibu. Entah perasaan kangen atau apa, tapi setiap waktu berjalan perasaan ini semakin bertambah kacau.

Saat ini saya berada di jogja. Berjarak sekitar 550 km dari rumah. Berjarak cukup jauh dari ibu. Tapi bukan itu alasannya, bukan itu perkaranya. Saya baru seminggu tidak bertemu ibu. Belum terlalu lama, bahkan bisa dihitung baru saja. Saya pernah tiga bulan tidak bertemu ibu. Pernah sekian lama tidak pulang, meski rumah berjarak tidak seberapa jauh dari tempat saya berada.

Kepala saya kembali berpikir. Bukan jarak perkaranya, bukan waktu perkaranya. Saya sudah mengalami yang lebuh dari ini, dan tidak biasanya saya kepikiran ibu.

Dua kali saya menelpon ibu, tapi tidak diangkat. Saya tidak cemas, tidak khawatir. Mungkin ibu sudah tidur, palingan ya begitu. Toh kalau ada sesuatu adik atau siapapun pasti akan mengabari. Pun saya tetap tenang, tapi tetap kepikiran ibu.

Saya jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu, ketika ibu marah-marah pada adik karena pulang larut. Waktu itu adik tidak bisa dihubungi, dan ibu terlihat begitu panik dan cemas.  Adik dimarahi ketika pulang. Dan jelas ibu marah besar. Yang saya ingat, ibu menitikkan air mata. Tapi saya ya tetap biasa saja. Dasar anak lelaki jahanam.

Bagi saya saat itu, pulang jam 10 atau jam 11 malam bukan hal yang berlebihan. Toh ketika sekolah saya pernah mengalami yang jauh lebih daripada itu. Pulang hingga dini hari atau malah tidak pulang sama sekali. Malah pernah saya tidak pulang lebih seminggu. Jadi saya anggap hal ini biasa saja.

Baru malam ini saya sadar, bagaimana perasaan ibu ketika itu. Rasa cemas terhadap seseorang yang disayang, dan ketakutan apabila Ia mengalami sesuatu yang tidak baik. Saya paham malam ini. Sangat jelas rasa cemas, ya meski tidak terlalu berlebih, ketika seseorang sama sekali tidak bisa dihubungi. Ketika rasa cemas tidak kunjung berbuah kepastian, maka rasa cemas akan semakin besar dan menggerogoti pikiran.


Ya, malam ini saya paham. Bagaimana rasa sayang ibu kepada kami. Bagaimana rasa sayang membuat kita mudah cemas dan khawatir. Dan bagaimana rasa sayang ini sesungguhnya. Terima kasih, ibu.

Awal Agustus lalu, di beranda fesbuk saya bertebaran tautan-tautan nggak jelas soal kenaikan harga rokok. Tidak tanggung-tanggung, rokok naik jadi Rp 50 ribu mulai hari ini saudara-saudara. Lima puluh ribu rupiah. Dengan judul bombastis “Kebijakan Pemerintah!! Mulai Hari ini Harga Rokok Naik Menjadi Rp.50.000/Bungkus” tautan itu dibagikan oleh banyak teman fesbuk saya yang tidak merokok.

Persoalannya, begitu saya buka tautan tersebut, tidak dijelaskan data atau fakta yang menunjukkan keputusan pemerintah soal kebijakan menaikkan harga rokok ini. Semua yang tertulis di tautan itu cuma opini tanpa disertai pernyataan dari pemerintah.

Artikel dalam tautan itu hanya berisi laporan seorang peneliti dari Universitas Indonesia terkait akan turunnya jumlah perokok jika harga rokok dinaikkan hingga angka 50 ribu rupiah. Hal ini, menurutnya, disetujui oleh 80% respondennya. Tidak hanya itu, artikel itu menyebutkan pemerintah akan mendapat tambahan dana Rp 70 triliun jika menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu.

Namun, jika anda membuka tautan tersebut, tidak ada sama sekali pernyataan pemerintah terkait kenaikan harga rokok. Jangankan menaikkan sekadar tanggapan saja tidak ada. Inilah kemudian yang membingungkan, tidak ada korelasi antara judul dan isi berita. Padahal, jika mau mengikuti kaidah jurnalistik yang benar, judul sebuah artikel setidaknya harus memuat penjelasan dari judul itu sendiri.

Hal ini nantinya akan membuktikan kualitas sebuah media. Jika cuma membuat judul bombastis tanpa bisa mempertanggungjawabkan isi artikelnya sih kelasnya media abal-abal. Media nggak juntrung yang bisanya hanya membohongi publik untuk mendapatkan klik yang banyak. Apalagi jika tidak memeiliki keredaksian yang jelas. Makin jelaslah betapa abal-abalnya media-media macam ini.

Parahnya, tautan jenis inilah yang paling sering disebarkan para pengguna fesbuk. Tanpa mau buang waktu untuk sekadar membuka dan membaca isi tautan tersebut, mereka dengan mudahnya terkecoh judul bombastis hanya karena kebencian terhadap sesuatu. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi pada persoalan rokok, tapi juga banyak perkara lain yang mencerminkan ketidaksukaan terhadap sesuatu.

Hal ini, boleh dibilang menjadi pertanda bahwa kelompok anti tembakau ternyata tidak ada beda dengan kelompok-kelompok penyebar kebencian lainnya di dunia maya. Bermodalkan domain dan template web sederhana, serta sedikit kemampuan mengobarkan kebencian tentunya, kelompok-kelompok semacam ini dengan mudahnya menyerang pihak yang tidak sejalan dengan mereka.

Yang ideal memang ketika menyebarkan sebuah tautan kita baiknya membaca isi tautan itu secara tuntas. Agar nantinya tautan yang disebar tidak menimbulkan kegaduhan belaka. Sebagai netizen yang cerdas tentu kita harus waspada terhadap sebuah tautan, jangan sampai mudah tertipu hanya karena judul yang bombastis. Dan yang terpenting, jangan menjadi orang yang sekadar membagikan sebuah tautan hingga menjadi viral tanpa tahu isi tautan tersebut.

Sialnya, karena menjadi viral, berita palsu semacam ini kemudian menjadi perbincangan dan dijadikan rujukan berita untuk media arus utama lainnya. Mereka menanyakan pandangan dalam berita palsu tadi kepada para tokoh dan menjadikannya berita. Kadang, si tokoh yang diwawancara tidak paham atau malah tidak ada sangkut pautnya dengan isu terkait. Dan lebih sialnya lagi, si tokoh menjawab pertanyaan wartawan dengan serius dan jadilah sebuah berita di media arus utama.

Pada kasus ini, ‘hoax’  kemudian ditanya ke sejumlah tokoh seperti Wakil Gubernur Jakarta yang dengan santainya menyatakan setuju dengan isi tautan itu tanpa paham konsekuensinya. Tanpa memahami konsekuensi kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu sebungkus. Hanya bisa iya iya sepakat yang penting muncul di berita.

Belum lagi persoalan survei yang disampaikan tautan itu. Dari mana si peneliti UI itu bisa mendapatkan angka Rp 70 triliun jika cukai naik? Dan terkait mereka yang setuju harga rokok dinaikkan, siapa saja yang disurvei? Apa cuma ditanyakan pada mereka yang tidak merokok? Itu sih sama saja menanyakan kinerja pemerintah pada masyarakat yang tidak suka Jokowi.

Cobalah sesekali terjun ke lapangan. Tanyakan pada para petani tembakau, buruh di pabrik rokok, dan perokok apakah mereka sepakat dengan apa yang anda survei. Jangan cuma ditanya sama yang benci rokok. Itu sih bukan penelitian namanya.

Padahal, kenaikan rokok menjadi Rp 50 ribu hanya bisa terjadi jika cukai dinaikkan sekian kali lipat dan beban produksi bertambah tinggi. Itu pun jika negara ini siap dengan konsekuensi yang tidak main-main

Dengan mewacanakan hoax itu menjadi kebijakan, negara ini saya pastikan akan kehilangan salah satu sumber pemasukan terbesarnya. Ketika cukai dinaikkan begitu tinggi, tentu saja industri tidak bakal sanggup menyediakan dana talangan untuk membelinya. Dinaikkan 15% pada tahun ini saja sudah membuat industri lesu, pendapatan cukai semester pertama tidak mencapai target. Bagaimana jika dinaikkan sekian kali lipat hingga harga rokok perbungkus menjadi Rp 50 ribu. Jangankan dapat tambahan dana Rp 70 triliun, bisa sama dengan pendapatan tahun lalu saja tidak.

Selain itu, industri rokok dipastikan akan lesu dan membuat pemutusan hubungan kerja masal di sektor industri ini tidak terelakkan. Jutaan orang akan jadi pengangguran, mati pencahariannya. Belum lagi nasib petani tembakau yang tembakaunya tidak laku. Siapa yang mau menangung nasib mereka?


Inilah kemudian, yang menjadi dampak jika wacana dari hoax ini dibuat jadi kebijakan. Bukannya membuat negara ini untung malah menambah banyak masalah. Sialnya, orang yang membuat hoax ini tetap santai-santai saja jika negara berantakan. Dan lebih sialnya, orang yang menjadikan hoax ini sebagai wacana tidak pernah mau berpikir secara adil karena hanya mementingkan tampil di media.

⁠⁠⁠Sejak motor saya bermasalah tiga pekan lalu, perkara mobilitas saya yang agak tinggi saya serahkan sepenuhnya pada angkutan umum. Kalau ke jakarta ya naik kereta, kalau nggak terlalu jauh ya naik ojek onlen. Nah, berhubung cukup sering naik gojek, grabbike, dan uber motor saya jadi agak sedikit paham persoalan-persoalan yang dihadapi para pengemudi ojek onlen ini.

Gojek misalnya, beberapa waktu belakangan para pengemudinya mulai mengeluhkan orderan yang tidak seramai dulu. Jika dulu-dulu mengejar target bonus seratus ribu sehari masih bisa dijangkau, belakangan semakin sulit malah seperti tidak terjangkau. Ya jangankan ngejar bonus, sehari bisa dapat 10 pantat saja sudah patut disyukuri.

Menurut para pengemudinya, persaingan ojek onlen semakin ketat. Selain karena semakin banyaknya pengemudi, baik di gojek ataupun yang lain, mereka diharuskan bersaing dengan tarif tetangga yang lebih murah.

Misalkan, tarif dari kosan saya ke RS Siloam Karawaci adalah 16 ribu rupiah dengan hitungan 5 km. Jika saya menggunakan grabbike hanya 10 ribu rupiah. Tentu selisih harga semakin bertambah seiring bertambahnya jarak.

Uber motor malah lebih gila lagi. Mereka memberi tarif seribu rupiah perkilometer ditambah waktu tempuh perjalanan. Ongkos yang harus saya bayar hanya 9 ribu rupiah. Inilah yang membuat persaingan lebih ketat (juga pendapatan yang lebih sedikit).

Kebetulan teman kos saya adalah pengemudi gojek. Dia baru tiga minggu bergabung di sana. Kira-kira setelah dia jadi pengemudi gojek, kemudian motor saya jadi rusak. Kenapa bisa begitu? Saya juga nggak tahu.

Balik lagi ke persoalan gojek. Dalam sehari rekor pantat (isitilah pengemudi untuk menyebut penumpang) terbanyak yang Ia bawa adalah 8. Kebanyakan hanya dapat lima, pernah cuma dapat dua. Pemasukan yang didapat paling banyak ya 120 ribu, paling sedikit ya 20 ribu. Itu dalam kondisi sebelum aplikasi gojekdriver diperbarui oleh perusahaan.

Dan jumat malam, teman saya ini mendapat pemberitahuan soal aplikasi versi terbaru dan tarif penumpang terbaru. Saya sebenarnya mencuri dengar obrolan antara teman saya itu dan pengemudi lainnya, tapi karena nggak terlalu memperhatikan jadi akan saya jelaskan dengan asumsi dan kira-kira yang seperti ini.

Tarif yang dikenakan gojek untuk penumpangnya menjadi 2 ribu rupiah perkilometer. Artinya, ongkos perjalanan ke RS yang tadinya 16 ribu menjadi cuma 8 ribu. Itu di jam santai. Kalau di jam sibuk tarifnya 3500 rupiah perkilometer.

Hal ini, buat para pengemudi gojek jelas merugikan mereka. Dengan tarif begini perjalanan dari kosan ke sitanala yang biasanya dibayar dengan besaran 20 ribu kini hanya dibayar dengan angka 9 ribu rupiah. Angka ini jelas tidak masuk akal (menurut saya) jika kita melihat beban bensin, pulsa, dan tenaga yang harus dikeluarkan pengemudi. Itu pun belum ditambah biaya retribusi buat perusahaan yang sebesar 20% itu. Jadi, berapa pendapatan bersih pengemudi dari uang 2 ribu ripiah perkilometer itu jika sudah dipotong ini itu?

Kemudian, kebijakan ini diperparah dengan kondisi bonus yang dipersulit. Jika sebelumnya harus dapat poin hingga 14 untuk mendapat 100 ribu, kini persyaratan dapat bonus jadi berubah. Untuk dapat bonus, pengemudi harus mendapatkan poin sekian (entah berapa saya lupa) ditambah persentase performa pengemudi yabg mencapai 70%. Persentase performa ini dipengaruhi aktifitas mengambil order oleh pengemudi. Itu pun ditambah kebijakan suspend bagi pengemudi yang melakukan cancel.

Kebijakan-kebijakan baru tadi membuat para pengemudi gojek gerah. Ada wacana mogok narik dan demonstrasi di kalangan mereka. Ada juga yang sudah melakukan aksi bakar jaket gojek. Hal ini saya tahu dari grup watsap pengemudi gojek yang diperlihatkan temannya teman saya.

Mungkin karena melihat gelagat tidak baik dari pengemudinya, perusahaan akhirnya mengubah kebijakan bonus terutama terkait persentase performa. Jika sebelumnya pengemudi yg perfornanya tidak mencapai 70% mustahil dapat bonus, kini angkanya dikurangi jadi 30%.

Selain itu, besaran bonus pun dinaikkan perusahaan. Jika sebelumnya bonus yg didapat berjumlah 100 ribu kini bertambah jadi 140 ribu. Ya (mungkin) perusahaan takut bakal ada demo besar-besaran jika hal ini nggak dilakukan. Tapi ya meski perkara bonus ini sudah diperlunak tetap saja perkara pendapatan berkurang menjadi persoalan.

Memang demo besar-besaran yang diisukan tidak terjadi. Atau setidaknya, kalaupun ada protes tidak sampai besar-besaran. Atau ya, minimal belum terorganisir dengan baik. Tapi ya tetap, gejolak dan keresahan masih ada dan bisa saja berlipat ganda. Saya sih nggak tahu, apa ada serikat yang membawahi para pengemudi dari perusahaan ojek onlen ini.

Seandainya ada, tentu saja menarik melihat transportasi alternatif yang mulai dicintai masyarakat ini mengadakan protes besar-besaran. Mogok narik nasional, misalnya. Membuat masyarakat juga melihat kondisi transportasi umum kesukaannya juga membuat perusahaan menyerap aspirasi mereka.

Tapi ya, kalau buat saya, tetap saja lebih irit kalau pakai kendaraan sendiri. Sekalipun harus macet dan lelah, tapi ongkos yang dikeluarkan nggak seberapa besar. Apalagi kalau jarak yang ditempuh nggak terlalu jauh. Pengalaman tiga minggu lebih tanpa motor, harus bolak-balik rumah sakit dan ke beberapa tempat lainnya membuat saya sadar. Bulan ini saya harus berhemat. Sayang, motor saya belum beres juga.



Kemarin malam ibu marah-marah lagi. Entah sudah keberapa kalinya hari itu, semua emosi diluapkan dengan adegan marah. Maklum sebenarnya, semua sedang repot. Tapi ya malas juga kalau kena harus getah laku orang lain.

Kali itu alasannya cuma satu, adik paling kecil belum pulang hingga larut. Oke, baru jam 10 malam sih. Tapi dalam pandangan ibu jam segitu sudah terhitung larut untuk ukuran anak sma kelas 1 pulang dari sekolah. Dan seperti balon yang terkena paku, meledaklah amarah ibu.

Bagi saya, jam 10 ya masih jam 10. Malam terhitung larut jika waktu sudah menunjuk pukul 12 malam atau lebih. Kalau sudah jam segitu ada baiknya tidak usah pulang sekalian, repot mesti membangunkan orang rumah. Lagipula saat sma saya sering tidak pulang dan biasa pulang jam 10. Berangkat pagi jam 6 pulang malam jam 10. Itu hal biasa menurut saya.

Persoalannya, adik saya tidak mengabari ibu kalau pulang telat. Tidak juga ada pesan apa-apa sebelum berangkat. Maka paniklah ibu, ya panik disertai emosi yang meluap. Akibatnya semua kena getah laku adik. Bapak diocehi, saya disuruh mencari ke tempat temannya.

Padahal waktu itu kami baru selesai berbenah. Pengajian 7 hari nenek meninggal baru usai. Ya lelah sih, tapi ibu juga pasti lelah. Dan kondisi ini diperburuk kelakuan adik yang tidak mengabari. Duar, marah ibu meletus lagi.

Adik saya ternyata ada di rumah. Dia di sana bersama 3 temannya, satu lelaki dan dua perempuan. Katanya sih habis kerja kelompok, entah kerja apa yang dilakukan kelompok mereka. Yang pasti ibu tambah marah karena tahu adik saya masih bersama teman perempuannya hingga larut.

Ya, bapaknya ibu saya (sebut saja kakek) memang keras. Menurut ibu sembari ngomeli adik saya, kalau kakek tahu anak perempuannya belum pulang hingga jam 9 sudah pasti dipukuli. Disambit, entah diapain lagi. Padahal ya dulu pas sma saya pernah bawa lari anak perempuan orang hingga dua hari, eh.

Zaman memang sudah berubah, tapi ibu masih memegang teguh norma yang ditanamkan kakek. Tidak salah sih, cuma ya gitu. Adik saya kena marah, saya kena getahnya. Sudah disuruh nyari kemana-mana, masih bawa-bawa perkara kapan lulus lagi. Duh, repot jadinya.

Tapi akhirnya saya maklum. Ibu masih berduka, juga lelah menyiapkan pengajian setiap malam hingga 7 hari nenek meninggal. Belum lagi lebih dua minggu ibu menemani nenek di rumah sakit. Duka karena ditinggal orang tuanya, dan perih melihat ibunya menderita di rumah sakit.


Memang, rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Ada saja derita yang dibawanya.
Batu pertama fondasi investasi asing dan kapitalisme di Indonesia diletakkan oleh rezim soeharto setelah merebut kekuasaan dari Bung Karno. Konsep berdikari dalam asas trisakti yang diproklamirkan Bung Karno begitu saja dihapuskan dari sistem perekonomian nasional. Harapan melihat bangsa yang mandiri seakan sirna dengan masuknya arus besar investasi asing yang membuat Indonesia menghamba di bawah bendera kapitalisme.

Modal asing masuk mengaliri sektor-sektor industri yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Chevron, Exxon Mobil, Newmont, dan yang paling menghisap, Freeport. Kekayaan alam berupa emas, minyak bumi, batu bara, dan mineral-mineral lainnya dihisap perusahaan multinasional tersebut untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tak hanya sumber daya tambang, bumi, air, dan udara yang katanya harus dikuasai negara untuk dimanfaatkan bagi kehidupan rakyat juga dilacurkan para pemimpin orba. Masuknya Aqua, perusahaan air minum yang belakangan banyak berkampanye tentang manfaat kehadiran mereka di Indonesia, membuat masyarakat di kaki-kaki gunung yang dieksploitasi mata airnya harus membayar mahal hanya untuk membeli air. Padahal, di lingkungan mereka tinggal begitu banyak mata air yang harusnya bisa dimanfaatkan mereka.

Indonesia tanah surga, katanya, tapi masyarakat tidak dapat menikmati kekayaan alam surga nusantara karena kekayaan itu dilacurkan pemimpin negara untuk mendapatkan harta dan tahta. Coba tengok, gelar ”Sir” dari ratu inggris untuk SBY menjadi alat tukar hak pengelolaan kilang minyak di Teluk Bintuni Papua kepada british petroleum. Pelacuran-pelacuran ini tak hanya ada pada sektor kekayaan alam, tapi juga sumber daya manusia.

Bagi para kapitalis global, Indonesia dikenal sebagai surganya buruh dengan upah murah. Begitu banyaknya perusahaan asing seperti nike, dan adidas yang melakukan produksi barang-barang mereka untuk kemudian memenuhi kebutuhan pasar dunia dengan alasan ini. Bayangkan, gaji buruh di Indonesia hanya dihargai 1% dari harga jual barang yang mereka buat.

Kegilaan di sektor ini bukan hanya pada urusan upah murah. Pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, diberlakukan sebuah sistem yang amat menguntungkan para kapitalis asing yakni sistem kerja kontrak. Perusahaan diberikan hak untuk mempekerjakan orang dengan jangka waktu yang mereka butuhkan. Jadi, selama kebutuhan ekspor menigkgat, perusahaan akan menyerap banyak tenaga kerja yang nantinya akan dibuang setelah kebutuhan itu terpenuhi. Inilah musuh utama kaum buruh Indonesia hari ini.

Apalagi paradigma pembangunan yang dijalankan rezim saat ini berorientasi pada utang luar negeri. Rencana bangun ini bangun itu tidak akan berjalan tanpa modal yang katanya sudah kita miliki. Padahal ya utang dulu baru ada modal, utang dulu baru kerja-kerja-kerja.

Kekuasaan perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga perekonomian internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO atas kegiatan ekonomi negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia begitu kuat. Pengaruh ketergantungan atas utang dan modal dari mereka membuat negara-negara seperti Indonesia harus menghamba di hadapan mereka utuk mendapatkan penghidupan.

Permasalahan utang-utang yang dikembangbiakkan oleh lembaga-lembaga tadi, membuat menumpuknya utang negara yang pada akhirnya harus ditanggung oleh ratusan juta rakyat Indonesia. Padahal, tidak semua utang tersebut dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia karena praktek korup pejabat negara, khususnya pada rezim orde baru.

Menurut data IMF, sekitar 20-30% utang Indonesia dibawah kepemimpinan diktator militer bernama Soeharto raib tanpa jejak. Dari data yang ditampilkan John Pilger pada laporan berbentuk film dokumenter berjudul The New Ruler of The World, uang yang raib itu mengalir kepada lingkaran kekuasaan, khusunya lingkaran keluarga cendana. Sebuah hal gila yang membuat hak masyarakat dirampas para elit.

Penjajahan kapitalisme atas negara dunia ketiga memang bukan lagi penjajahan secara langsung seperti yang dilakukan belanda ratusan tahun lalu kepada Indonesia. Namun, penjajahan kapitalisme  menggunakan kekuatan modal sebagai alat penindas rakyat dengan dikte-dikte mereka kepada pemimpin negara. Dikte yang menghasilkan kepemimpinan yang tidak berdaulat, sebuah kebalikan dari makna negara merdeka.

Akibatnya, kesenjangan sosial meningkat luar biasa. Dengan kebijakan-kebijakan pro-kapitalisme, rakyat dipaksa bekerja dan menghasilkan keuntungan yang begitu besar kepada perusahaan. Upah murah, jam kerja berlebih, dan jaminan kesehatan menjadi ganjaran kepada buruh terhadap keuntungan perusahaan.

Tidak hanya itu, perusahaan juga menghisap keuntungan yang besar dari upaya-upaya mengecilkan jumlah pajak yang harus mereka bayar. Sudah dapat keuntungan besar, pajak pun dipangkas, sungguh kontribusi yang gila buat negara. Sistem yang membuat orang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin luar biasa kaya.

Karena itu, sistem yang tidak sesuai dengan amanat dan cita-cita konstitusi harus dilenyapkan dari bumi nusantara. Kedigdayaan negara imprealis kapitalis hanya disebabkan negara dunia ketiga tidak berani melawan. Padahal, jika keberanian untuk bergerak dan melawan, seperti yang digarap Bung Karno bersama negara-negara asia afrika, niscaya kehendak mulia dalam dunia akan terwujud.

Bangkitnya kaum buruh belakangan menjadi sebuah angin segar di tengah hiruk pikuk drama politik yang tak kunjung selesai. Gerakan masif yang dilakukan untuk kembali membuat pemerintah mengalihkan perhatian demi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kesadaran politik buruh kembali bangkit untuk melawan penindasan kaum pemilik modal asing.

Meski begitu, gerakan yang dilakukan ini bukan tanpa cela. Pasalnya, tindakan represif “anjing penjaga” kaum kapitalis selalu menghantui gerakan buruh. Belum lagi ancaman pemecatan bahkan hingga pembunuhah, seperti yang dialami Marsinah 20 tahun silam.


Karena itu, demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, para kapitalis asing harus diganyang. Sebab, keadaan Indonesia di bawah bendera kapitalisme hanya membuat rakyat menderita. Lalu, mari sekali lagi, kita bawa kembali Indonesia untuk kembali berada di bawah bendera revolusi untuk mewujudkan kemerdekaan 100%.