Aditia Purnomo

"Mahasiswa selalu menjunjung semangat berjuang yang tak pernah luntur"
Berjuang demi kemapanan. Mungkin kalimat itulah yang cocok untuk menggambarkan konteks mahasiswa kekinian. Kalimat yang begitu kontradiktif bila disandingkan pada konteks kemahasiswaan. Apa mungkin karena zaman semakin modern dan iptek berkembang pesat maka mahasiswa harus pula berkembang mengikuti zaman? Mungkin ya, mungkin juga tidak.

Bila kita mengingat perjuangan mahasiswa saat menjatuhkan rezim otoritarian di Indonesia, mungkin kita akan mengingat betapa heroiknya aksi para aktivis yang dengan berani menghadapi moncong senapan yang diarahkan kepadanya. Kita juga akan mengingat semangat perjuangan untuk membebaskan negeri ini dari penindasan dan kesewenang-wenangan pihak pemerintah. Mungkin yang akan paling diingat ialah euforia, suka cita, dan harapan pada era baru yang juga diharapkan akan jauh lebih baik.


Namun harapan tinggal harapan. Euforia yang begitu dahsyatnya melanda kini sirna ditelan waktu. Semangat yang begitu menggebu demi perubahan menjadi alasan bagi orang berpolitik. Namun sekali lagi politik tetaplah politik. Politik tetap menjadi alat untuk berkuasa dan yang berkuasa kembali lagi melupakan perubahan karena kemapanan.

Kini, kemapanan mampu menjadi sebuah senjata untuk melawan idealisme. Kemapanan mampu menjadikan suara nyaring para aktivis begitu pelan terdengar. Kemapanan mampu menumpulkan otak kritis yang biasa tajam mengkritik pemerintah. Kemapanan menjadi momok menakutkan bagi perjuangan yang digalang guna merubah keadaan Negara ini.
Kenyamanan yang ditimbulkan oleh kemapanan membuat mahasiswa lemah. Ketika perut mereka terisi penuh, kantuk menjamah dirinya, membuatnya terlelap menghiraukan keadaan sekitar. Ketika infotaintment menjadi top rating bersama sinetron perusak moral, mahasiswa menjadi penonton setianya. Ketika ribuan mal menjamah negeri ini, mahasiswa berbondong menjadi pengunjung tetapnya.

Kini mahasiswa bukan lagi menjadi penggerak. Mereka hanya menjadi pionir bagi birokrat dan kapitalis yang akhirnya menggunakan mereka sebagai buruh penghasil uang. Kini mahasiswa berjuang demi mendapat jatah di Senayan, atau paling tidak jadi birokrat Negara. Mereka menggunakan status sarjana ataupun doktor mereka untuk memikat khalayak banyak. Menggunakan nama intelektualitas untuk mendapatkan jabatan dan mencemarkan nama intelektualitas.

Mahasiswa bukanlah penjilat. Mahasiswa mencatatkan nama mereka dalam sejarah sebagai pejuang perubahan. Mahasiswa selalu menjunjung semangat berjuang yang tak pernah luntur. Bila ada yang mencemarkan harkat mahasiswa, mereka bukanlah mahasiswa. Mahasiswa adalah pejuang yang berani berbicara lantang kepada kesewenang-wenangan. Mahasiswa adalah pejuang yang berani berkata tidak pada ketidakadilan.

Mahasiswa adalah intelektual yang berani berjuang di garda terdepan untuk perubahan. Intelektual bekerja demi masyarakat bukan demi uang. Kaum intelek yang membuang harkat dan martabatnya demi mengejar jabatan bukanlah lagi kaum intelek, mereka telah menjadi priyayi yang mengejar kemapanan untuk hidupnya.