Aditia Purnomo

Saya datang ke Bali Utara berbekal kabar tidak baik bagi petani cengkeh. Tahun ini cengkeh tidak panen akibat curah hujan yang tinggi tahun 2016 yang lalu. Dengan asumsi serta pertanyaan yang didapat dari diskusi dan berburu informasi, waktu dua minggu di Bali Utara harus saya maksimalkan untuk menggali nilai penting cengkeh bagi petani di sana.
Perjumpaan pertama saya dengan stakeholder cengkeh di Bali Utara menghasilkan satu pemahaman. Mereka tidak pernah kehilangan keyakinan pada komoditas ini. Gagal panen tidak membuat mereka berpaling. Petani tetap setia merawat kebunnya, penggarap pun begitu. Pemetik dan pekerja kebun mencari cara bertahan hidup sembari menunggu datangnya panen raya.
Selama berada di Bali Utara, saya menemui orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap cengkeh bahwa tahun depan akan panen besar. Entah petani, pemajeg (pengijon), pemetik, atau pekerja kebun. Semua memiliki keyakinan dan harapan yang sama.
Sebagai masyarakat yang hidupnya lekat dengan adat dan agama, mereka punya keyakinan kalau saat ini pohon cengkeh tengah “bermeditasi”. Tidak keluarnya bunga cengkeh tahun ini dianggap sebagai upaya tanaman untuk menyerap lebih banyak agar bisa memberikan hasil melimpah tahun depan. Petani dan stakeholder diajak untuk belajar bersabar oleh alam.
Sembari tetap memegang keyakinan, mereka mencari cara untuk mempertahankan hidup. Mereka mengandalkan komoditas lain yang ada di kebunnya. Mulai dari kopi, kelapa, dan pisang menjadi harapan hidup mereka. Ada pula yang berharap pada ternaknya, sembari mencari pekerjaan serabutan untuk mengebulkan dapur di rumah.
Cengkeh, bagi mereka, adalah pemeran utama dalam sebuah drama. Ketika pemeran utama tidak hadir, mereka masih memiliki pemeran figuran untuk mempertahankan cerita. Tapi figuran hadir bukan untuk menggantikan pemeran utama. Ia adalah pendamping yang mendorong pemeran utama agar cerita tetap berjalan.
Meski komoditas lain hadir untuk membantu petani bertahan hidup, tetapi posisi cengkeh tidak tergantikan. Selain telah menjadi urat dalam hidup mereka, budi daya dan tata niaga cengkeh pun lebih menggiurkan. Bukan hanya bagi para petani, tapi juga mereka yang terlibat dalam tata niaganya.
Modal budi daya cengkeh tidak seberapa besar. Perawatannya tidak banyak makan waktu dan tenaga. Apalagi nilai ekonomi komoditasnya belum bisa dikalahkan komoditas lain. Semua hal itu yang membuat posisi cengkeh tidak tergantikan.
Selama pemeran utama tidak mati, ia tidak bisa diganti. Begitu juga cengkeh yang tidak akan terganti posisinya selama masih bisa memberikan manfaat buat mereka. Keyakinan inilah yang membuat mereka bertahan bersama cengkeh.
Kini tinggal mereka menunggu kedatangan musim panen tahun depan. Sembari mencari cara untuk mempertahankan hidup, mereka memegang teguh keyakinan akan kejayaan. Tahun depan cengkeh panen besar, keuntungan berlimpah bakal mereka dapatkan.
Pertama terbit di Komunitas Kretek
Komoditas cengkeh di Bali berkembang pesat karena nilai ekonominya yang tinggi. Pada masa awal ditanam, harga jual komoditas ini mengalahkan nilai ekonomi kopi yang sebelumnya menjadi andalan. Setelahnya, penanaman cengeh secara besar-besaran dilakukan dan kini Bali menjadi salah satu provinsi penghasil cengkeh terbaik di Indonesia.
Jika mau dikalkulasi, keuntungan petani cengkeh atas satu hektar lahan bisa mencapai Rp300 juta. Angka tersebut adalah keuntungan bersih para petani karena jumlahnya telah dipotong oleh biaya perawatan dan pengerjaan pascapanen. Hitungan ini didasarkan pada kerja-kerja yang dilakukan oleh petani cengkeh di Bali.
Satu hektar kebun cengkeh biasanya ditanami sekitar 100 pohon bahkan lebih. Tergantung seberapa besar jarak tanaman yang diinginkan petani. Dalam kasus ini, diambil angka rata-rata 100 pohon untuk mempermudah kalkulasinya.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan petani setiap tahunnya berkisar pada urusan perawatan dan pascapanen. Pada masa perawatan, ada dua pengeluaran yang harus dilakukan petani. Pertama, merabas (membersihkan) kebun dan pemupukan. Kedua aktivitas ini dilakukan dengan menyewa tenaga pekerja kebun untuk membantu petani.
Untuk membersihkan kebun dengan luasan satu hektar, petani membutuhkan antara 5 hingga 10 pekerja kebun dengan estimasi waktu dua hari kerja. Dengan biaya upah pekerja kebun sebesar Rp100.000 sehari, maka dibutuhkan biaya sebesar dua juta rupiah untuk sekali membersihkan. Dalam satu tahun, ada dua sampai tiga kali agenda membersihkan kebun.
Sementara untuk pemberian pupuk, setiap satu pohon membutuhkan pupuk kimia dengan merek seperti Ponska sebanyak lima kilogram. Berarti, satu hektar kebun membutuhkan 500 kilogram pupuk ponska. Pupuk ponska dibanderol Rp400.000 per kuintal.
Artinya, untuk kebutuhan pupuk satu hektar, petani mengeluarkan biaya dua juta rupiah. Pemupukan dilakukan oleh lima orang pekerja kebun dengan estimasi waktu satu hari. Maka, biaya tambahan yang harus dikeluarkan sebesar Rp500.000. Setiap tahun, pemupukan dilakukan satu hingga dua kali.
Saat panen, petani harus mengeluarkan biaya membeli tangga sebanyak lima buah per hektar dengan harga Rp300.000 per buah. Jadi, petani mengeluarkan uang sebesar Rp1.500.000. Untuk pemetik, dalam sistem borongan, mereka akan dibayar Rp5.000.
Jika satu pohon cengkeh menghasilkan 120 kilogram cengkeh basah, maka petani harus membayar upah sebesar Rp600.000 untuk satu pohon. Maka, satu hektar dibutuhkan dana sebesar 60 juta rupih untuk pemetikan.
Setelah pemetikan, cengkeh basah kemudian harus dipisahkan antara bunga dan tangkainya (kepik). Proses pengepikan memakan biaya sebesar Rp1.000 per kilogram. Maka, biaya yang dikeluarkan untuk proses pengepikan sebesar Rp120.000 per pohon dan 12 juta rupiah per hektar.
Proses pengeringan cengkeh dalam skala besar biasanya dilakukan di Seririt. Biaya yang dikeluarkan adalah untuk sewa lahan sebesar Rp1.500.000 juta per tahun dan ongkos pengeringan sebesar Rp100.000 per kuintal. Artinya, dengan tingkat penyusutan 1:3 dari berat basah, cengkeh kering yang dihasilkan sebanyak 40 kilogram per pohon atau empat ton per hektar. Ongkos pengeringannya sebesar empat juta rupiah.
Dengan asumsi harga cengkeh rata-rata Rp100.000 per kilogram, maka nilai penjualan cengkeh petani dalam satu hektar sebesar 400 juta rupiah. Apabila dipotong dengan ongkos produksi, maka keuntungan petani dalam satu hektar cengkeh sebesar:
Dengan nilai ekonomi sebesar itu, tidak heran jika banyak petani memilih cengkeh sebagai komoditas andalan. Apalagi, cengkeh kering memiliki keunggulan dapat disimpan cukup lama. Keuntungan ini membuat petani memiliki tabungan dalam bentuk hasil panen yang bisa dijual ketika membutuhkan uang.
Naskah ini adalah bagian dari laporan hasil Ekspedisi Cengkeh 2
Budi daya cengkeh di Bali dimulai setelah Gunung Agung di Karangasem meletus pada tahun 1963. Penduduk Karangasem, sebagai daerah yang paling terdampak, dipindahkan ke Desa Asahduren (Jembrana) oleh pemerintah. Bersama itu pula, masyarakat diberi bibit cengkeh untuk dibudidayakan. Dan, Desa Asahduren kemudian dikenal sebagai tempat pertama pembudidayaan cengkeh di Bali.
Komoditas ini kemudian dibudidayakan di daerah lain seperti Buleleng dan Tabanan. Di desa Munduk yang ada di Buleleng, awal penanaman cengkeh dilakukan pada tahun 1964. Saat panen pertama di tahun 1968, cengkeh dihargai Rp11.000 per kilogram, lebih tinggi dari kopi yang dihargai Rp8.000 per kilo.
Melihat cengkeh tumbuh subur dan memiliki harga bagus, banyak petani kemudian berganti komoditas, dari kopi menjadi cengkeh. Selain itu, daun cengkeh juga bisa dibuat menjadi minyak untuk menghangatkan badan. Mengingat iklim di Munduk dingin, semakin banyak warga yang menanam cengkeh karena kemampuannya itu.
Selain itu, komoditas kopi pada medio tersebut mengalami masalah. Tanaman mengalami serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan pertumbuhan tidak bagus dan banyak pohon yang mati. Akhirnya, pergeseran komoditas secara massal mulai dilakukan pada pertengahan 1970.
Sayangnya, masa jaya petani cengkeh di Bali kemudian dihancurkan oleh keberadaan Badan Penyelenggara dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada awal 1990. Awalnya ,keberadaan lembaga buatan pemerintah pusat ini hanya memotong jalur penjualan cengkeh ke Induk Koperasi Unit Desa. Tapi kemudian, negara juga menetapkan harga cengkeh yang besarannya jatuh ke angka Rp2.000 per kilogram.
Mendapati keadaan seperti ini, sebagian petani kemudian memilih menebang pohonnya sebagai bentuk kekecewaan. Sebagian lain memilih untuk tidak merawat dan membiarkannya begitu saja di kebun. Sembari berharap nantinya harga cengkeh kembali ke keadaan semula.
Di Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, hampir seluruh pohon cengkeh ditebang oleh petani. Para petani yang menebang pohonnya kemudian kembali menanami lahannya dengan kopi. Ada pula sebagian lainnya yang mengalami kerugian sehingga menjual lahannya. Ketika Orde Baru runtuh, para petani melampiaskan kekesalannya pada BPPC dengan membakar kantor Koperasi Unit Desa seperti yang terjadi di desa Munduk.
Walau BPPC telah dibubarkan, hal tersebut tidak lantas membuat harga cengkeh kembali naik. Barulah pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, harga cengkeh kembali tinggi bersamaan dengan kebijakannya menutup keran impor cengkeh. Setelah harga cengkeh kembali tinggi, para petani kembali berbondong-bondong menanam cengkeh hingga saat ini.
Permasalahan pada tanaman cengkeh kemudian beralih dari urusan kebijakan pada urusan budi daya. Setelah tanaman cengkeh banyak ditanam kembali, ada pohon-pohon yang terserang jamur akar putih yang mematikan. Hal ini kemudian diketahui terjadi akibat dampak pengambilan dan pemungutan daun cengkeh untuk disuling menjadi minyak.
Melihat persoalan ini, pada tahun 2012 Bupati Buleleng kemudian mengeluarkan dua kebijakan sekaligus. Melalui SE Bupati No. 4306 tahun 2012 tentang pelarangan tindak mengambil atau memungut daun cengkeh dan Peraturan Bupati No. 61 tahun 2012 tentang Penutupan Investasi dibidang Usaha Industri Penyulingan Daun Cengkeh, persebaran jamur akar putih dapat diminimalisir.
Ketika kebijakan itu dikeluarkan, banyak perusahaan penyulingan yang protes. Mereka membawa sebagian petani untuk melakukan demonstrasi menuntut kebijakan itu dicabut. Walau diprotes, Bupati Buleleng memilih bergeming. Peraturan tetap berjalan dan penyulingan cengkeh di Buleleng perlahan waktu menghilang.
Meski telah memiliki kebijakan seperti itu, namun perhatian pemerintah secara langsung belum dirasakan oleh petani. Minimnya penyuluhan terkait budi daya cengkeh hampir tidak dirasakan oleh mereka. Kalau pun ada, penyuluhan untuk budi daya cengkeh, biasanya hal ini dilakukan oleh perusahaan yang membeli cengkeh.
Beberapa petani yang menjalin kemitraan dengan perusahaan pembelian biasanya mendapatkan penyuluhan dan pendampingan yang turun langsung ke lapangan selama masa perawatan. Mereka pun diajarkan langsung pemberian pupuk kimia yang berimbang agar tidak merusak pohon cengkeh.
Aturan yang mengharuskan bantuan bibit dan bantuan lainnya untuk petani diberikan kepada organisasi tani yang formal juga mengubah keberadaan Subak, organisasi tani yang berada di bawah naungan desa adat sekadar ada untuk menerima bantuan saja. Peran-peran utama subak yang mewadahi kolektif petani mulai tidak dirasakan mereka.
Karenanya, untuk memaksimalkan potensi dari perkebunan cengkeh pada tahun 2018, Dinas Perkebunan Kabupaten Buleleng mengalokasikan anggaran sebesar 600 hingga 700 juta rupiah untuk pengembangan pendampingan perkebunan cengkeh. Anggaran ini nantinya akan diambil dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Bea Pajak Nomor Kendaraan Bermotor.
Sebuah langkah yang perlu diapresiasi apabila hal tersebut benar-benar berjalan. Mengingat pada tahun ini, komoditas cengkeh mengalami gagal panen, segala daya dan upaya untuk membantu para petani agar bisa bertahan adalah hal yang perlu didukung. Apalagi para petani cengkeh tetap memiliki keyakinan bertahan pada komoditas yang memberikan banyak hasil kepada mereka ini.
Naskah ini adalah bagian dari laporan hasil Ekspedisi Cengkeh 2

Abon Sudang Spesial Don Biyu
Abon Sudang Spesial Don Biyu | © Aditia Purnomo
 
Selama dua minggu berada di Munduk, makanan yang asup adalah ikan. Berbagai jenis ikan. Kebanyakan ikan dimasak pepes atau goreng. Akan tetapi, favorit saya tentu saja ikan asin goreng yang dimasak Bli Ono, juru masak di tempat kami menginap. Memang bukan ikan saja, karena daging ayam dan babi yang dimasaknya tetap saja enak.
Desa ini memang surganya pencinta kuliner. Dari kacang-kacangan, sayur-mayur, ayam, babi, ikan, semua memberikan pengalaman pada lidah untuk menikmati cita rasa yang sama sekali baru. Bubur yang isinya cuma sayuran dan kacang bernama tepeng ataupun bonggol pisang yang dimasak bersama kelapa dan potongan daging bernama tum bungkil, semua menggugah selera dan nafsu makan.
Saya menu sajian iga babinya, ada satu makanan yang amat membekas pada imajinasi saya soal cita rasa. Makanan khas Buleleng, yang tidak pernah saya bayangkan ada di dunia ini. Sebuah abon yang dibuat dari daging ikan asin bernama: “abon sudang”.
Makanan ini biasanya mudah ditemukan jika Anda datang ke Seririt. Ya wajar saja, Seririt adalah daerah yang berbatasan langsung dengan laut. Pasar Ikan mudah ditemukan. Jadi tidak sedikit toko-toko yang menjual abon sudang kemasan, tentu dengan rasa yang jauh berbeda dengan buatan juru masak Don Biyu.
Untuk membuat abon sudang spesial ala Don Biyu, juru masak kami memang harus membeli ikan tuna yang telah diasinkan dari Seririt. Tapi, cuma itu saja yang dibeli jauh dari Munduk, sisanya telah siap diracik oleh juru masak kami.
Mengolah Abon Sudang
Mengolah Abon Sudang | © Aditia Purnomo
Proses memasaknya ternyata tidak rumit-rumit amat. Pertama-tama ikan tuna yang telah diasinkan direbus sekitar 10 menit dalam air belum mendidih agar rasa asin berkurang dan daging menjadi lembek. Setelah selesai direbus, ikan digeprek dan diulek agar daging muda dipisahkan dari tulang dan sisiknya.
Setelah terpisah dari tulangnya, daging ikan yang teksturnya sudah agak lembek itu siap digoreng bersama bawang putih agar tidak terlalu gosong. Dimasak pun dengan api yang kecil agar matang merata. Tunggu hingga berwarna kecokelatan dan tiriskan. Abon sudang, telah siap anda santap.
Walau tampaknya mudah, sepertinya ada bumbu-bumbu tertentu yang diberikan tapi luput saya perhatikan. Tapi, ya tak apa, toh saya melihat proses memasaknya hanya untuk jadi bahan tulisan ini. Agenda utamanya ya tetap, menyantap abon sudang kelas bangsawan ini.
Kebanyakan abon sudang dibuat dengan daging ikan tenggiri atau ikan lain yang harganya tak semahal tuna. Karenanya jika Anda mau membeli satu pack abon sudang di Seririt, dengan uang sekira Rp10 ribu sampai Rp15 ribu. Jika ingin yang toplesan, paling seharga Rp35 ribu.
Berbekal daging ikan tuna yang harganya lumayan itulah kami menyebut sudang buatan Don Biyu adalah abon kelas bangsawan. Perbedaan kelas sosial (makanan) tentu saja mempengaruhi kualitas rasa yang bakal kita dapatkan.
Walau telah berbentuk abon, tapi tekstur daging tuna yang kenyal dan lembut tetap terasa di mulut. Rasa asin ikannya pun telah berkurang karena proses merebus daging tuna pada awal pengolahan. Tentu saja cita rasa yang kami nikmati diimbangi dengan standar gizi yang baik karena dibuat dari daging ikan.
Makan malam dengan menu nasi putih, sambal, serta abon sudang yang sebenarnya sederhana itu amatlah menggugah selera kami. Setiap anggota tim ekspedisi tidak ada yang tak menambah porsi makan malam itu. Bahkan Pak Roem yang sebelumnya tidak banyak makan nasi pun ikut menambah porsi makan karena berhadapan dengan abon sudang ini.
Pertama terbit di situs Minum Kopi

Nafas saya hampir habis ketika kami baru tiba di tempat peristirahatan. Kepala saya sakit, semua darah sepertinya sedang menyerbu ke otak. Beruntung waktu istirahat kami disuguhi kelapa muda serta nasi ayam campur, kalau tidak bisa jadi saya bakal pingsan sebelum keluar dari kebun.
Kala itu, saya beserta tim ekspedisi Munduk tengah diajak mengelilingi perkebunan cengkeh. Saya pun tahu kalau jalur yang kami tempuh terjal, panjang dan menanjak. Yang saya tidak tahu, ternyata latihan saya naik turun jalanan desa Munduk selama seminggu belum ada apa-apanya ketimbang jalur yang kami tempuh.
Ya, hari itu kami tengah mengelilingi kebun cengkeh seluas 2,5 hektar milik Komang Armada, seorang petani cengkeh di desa ini. Sebagai bagian dari proses pemahaman kami terhadap cengkeh, kami diharuskan ikut beliau ke kebun sembari mempelajari seluk-beluk budidaya dan permasalahan pada komoditas ini. Beruntung, kami menemukan orang yang tepat untuk ditanyai.
Sepanjang perjalanan keliling kebun, Bli Komang terus berbicara soal keadaan pohon cengkehnya. Sejak awal masuk ke kebun, kami diberitahu bagaimana caranya menanam kembali pohon cengkeh dengan cara menyulam. Itu loh, menanam bibit cengkeh baru di samping pohon yang mulai tidak produktif.
Kebanyakan pohon yang ada di lahannya telah ditanam sejak tahun 1970-an, karenanya sudah ada yang tidak produktif karena sebab-sebab tertentu. Misal terkena penyakit jamur akar atau hama ulat pengerek batang. Selain itu tidak produktifnya pohon juga bisa terjadi karena jarak tanam yang terlalu mepet hingga percabangannya tidak tumbuh baik.
Kalau sudah begitu, Ia menyiapkan bibit cengkeh yang ditanam bersamaan dengan satu tanaman lain, agar nantinya ada dua akar tanaman yang bisa mencari makanan untuk kesuburan cengkeh. “Kalau sudah mulai tumbuh, batang tanaman yang satunya kita potong terus hingga akan dimatikan jika pohon cengkehnya sudah berusia satu tahun,” jelasnya sembari menunjukkan bibit yang belum lama ditanam.
Pengetahuannya soal cengkeh ditempa oleh kecintaannya pada komoditas ini sejak masih kecil. Ia mengaku kerap diajak bapaknya ke kebun sedari kecil. Dan dari sanalah kecintaannya pada cengkeh mulai tumbuh.
Sebelum benar-benar menggeluti dunia cengkeh, Bli Komang sempat melanjutkan sekolah ke Yogyakarta sebelum akhirnya pulang ke Munduk pada tahun 1994. Setelah pulang, Ia pun tak langsung bergelut dengan cengkeh. Maklum, waktu itu komoditas ini tengah hancur citranya karena keberadaan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh bentukan orba. Barulah ketika BPPC bubar dan harga cengkeh naik, Ia kembali ke dunia yang dicintainya ini.
Melalui perkenalan dengan dunia internet, ia berselancar mencari ilmu baru yang bisa diterapkannya di kebun. Dan berbekal pemahaman yang Ia miliki, eksperimen demi eksperimen dilakukannya untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Menurut cerita orang-orang, cengkeh adalah tanaman yang tidak perlu banyak dirawat. Setidaknya, cengkeh hanya perlu diurus dua kali setahun dengan cara membersihkan kebun dan memberikan pupuk pada pohon yang ada. Tidak perlu sering-sering ke kebun, apalagi sampai tiap hari berangkat.
Mungkin, kalau ada orang yang hampir setiap hari ke kebun dan gemar sekali mengurus tanamannya ya cuma Bli Komang lah orangnya. Selama di Munduk, saya bertemu beberapa orang yang biasa terlibat di dunia cengkeh. Dan dari beberapa orang tadi, nama Komang kerap disebut sebagai petani yang kelewat rajin merawat cengkehnya.
Dalam kesaksian seorang pemetik cengkeh bernama Putu Ranggi, Bli Komang dinilai serius merawat kebunnya. Jika petani lain melakukan pemupukan dan pembersihan kebun dua kali setahun, Komang bisa melakukannya tiga kali atau malah lebih. “Kalau Pak Komang mah rajin,” terangnya.
Mungkin karena intensitasnya yang tinggi untuk pergi ke kebun, serta eksperimen yang kerap dilakukan, Bli Komang secara tidak sadar telah menjadi orang yang ahli dalam urusan budidaya cengkeh. Ketika masih banyak petani di desa Munduk yang mengikuti arahan penyuluh pertanian lapangan, Komang lebih memilih caranya sendiri untuk merawat kebun yang Ia miliki.
Ketika masih banyak petani menggunakan pupuk kimia (yang katanya dijual PPL tadi), Komang telah menggunakan pupuk alami hasil eksperimennya untuk menyuburkan pohon cengkehnya. Ketika orang-orang masih menekankan pertumbuhan tanaman pada pupuk, Komang telah berupaya memperbaiki tanamannya dari penyakit dan hama. Hasilnya, panen di kebun miliknya terbilang melimpah.
Sebagai perbandingan, ketika banyak sekali petani gagal panen karena pohon cengkehnya tak berbunga, Komang masih bisa meraup panen meski jumlahnya hanya 10% produktivitas tahun lalu. Dengan lahan seluas 7 hektar, Komang mengaku pernah mendapatkan panen sebanyak 13 ton. Itulah jumlah panen terbesar yang pernah Ia rasakan hingga sekarang.
Mungkin jika semua petani serajin dan seberani Bli Komang, produktivitas cengkeh yang ditanam petani Indonesia bisa meningkat pesat. Tak lagi persoalan kekurangan stok cengkeh terjadi di negara kampung halaman komoditas ini. Dan kualitas tanaman dapat terjaga agar para petani tak lagi dirugikan harga rendah karena kualitas yang dianggap kurang baik.
Balik lagi ke kebun, kembali ke hadapan makanan yang sudah tandas, saya baru tersadar kalau perjalanan yang kami tempuh barulah setengah jalan. Kami masih harus menapaki jalan menanjak untuk kembali ke penginapan tempat kami bermukim. Mental yang baru sedikit pulih harus kembali dibenturkan pada kenyataan, urusan tanjak menanjak belum selesai dan nggak bakal ada yang gendong saya kalau pingsan. Karenanya saya harus kuat.
Dalam perjalanan kembali ke penginapan inilah Bli Komang menunjukkan beberapa pohonnya yang terkena penyakit dan hama. Untuk menangani hama ulat, Bli Komang biasanya memantek bambu yang telah diolesi detergen cair ke batang yang terkena hama. Syarat utama dari cara ini alah jangan sampai ada celah udara yang masuk, jadi saat memantek harus dipastikan bambu tertancap dengan mantap dan rapat.
Sementara untuk jamur akar, penanganan yang dilakukan adalah membersihkan akar pohon yang tampak di permukaan tanah dengan kuas sembari dikucuri air bersih dicampur dengan kapur dolomit. Jika mendesak, penyiraman fungisida baru dilakukan.
Setelah perjalanan ini rasa-rasanya saya perlu memusnahkan keinginan jadi petani dari kepala saya. Bayangan asik ketika mau makan tinggal ambil di kebun, lelah sehabis bekerja duduk-duduk manis sambil ngopi ngerokok menghadap hamparan tanaman, dan yang terpenting kerja bebas merdeka tidak diatur oleh tuan hancur sudah oleh perjalanan ini. Ternyata jadi petani itu tidak pernah mudah. Apalagi kalau jadi petani yang kayak Bli Komang.
Harus sering-sering ke kebun buat memantau pertumbuhan tanaman. Waspada terhadap penyakit dan hama. Perlu segera menangani pohon yang kena penyakit dan hama dan jaga-jaga jangan sampai menular dan mewabah ke semua pohon. Menyiapkan bahan untuk membuat pupuk alami serta menghabiskan waktu untuk perawatan semua pohon di tanah seluas 7 hektar. Tentu saya nggak bakal sanggup mengikuti jalan petaninya Bli Komang.
Tulisan ini pertama terbit di Munduk.co
Pada kunjungan pertama ke Jombang kemarin, untuk pertama kalinya juga saya membuktikan kebenaran cerita soal Gus Dur. Dari omongan beberapa teman, saya diberitahu kalau makam Gus Dur tak pernah sepi. Selalu ada orang datang untuk mendoakannya.
Memang, pada kunjungan saya ke “dekat” makamnya, saya lihat ada satu rombongan bus kecil datang ke sana. Berdoa, dari kejauhan. Saat itu malam telah menunjuk angka 3. Dini hari telah lewat, dan orang-orang itu (juga saya) masih datang ke makam Gus Dur untuk mendoakannya dari balik tembok dan pagar yang telah terkunci.
Saya tahu bahwa Gus Dur adalah orang besar yang dicintai banyak orang. Ajarannya tentang kemanusiaan dan pluralisme membawanya pada titik yang berbeda dengan kita manusia jelata. Dengan kekuasaannya saat menjadi presiden dulu dimanfaatkan dengan baik, walau dalam jangka waktu yang tidak lama.
Orang-orang Tionghoa kembali bisa merayakan adatnya. Mereka yang beragama Kong Hu Chu dapat mengamalkan keyakinannya. Dan salah satu yang membuat Gus Dur dianggap sebagai pahlawan, tentu saja, keputusannya untuk menutup keran impor pasca bubarnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang meluluhlantahkan hajat hidup petani cengkeh berhasil menaikkan harga komoditas ini.
BPPC, sebagai lembaga, mungkin telah jatuh seiring tumbangnya kekuasaan orde baru. Tapi bagi hampir seluruh petani cengkeh, kekuasaan Gus Dur lah yang mengembalikan harga cengkeh ke posisinya semula. Tepat di posisi yang menyejahterakan mereka.
Keberadaan BPPC sendiri adalah momok bagi komoditas cengkeh yang kala itu tengah mengalami masa jaya kala berkembangnya industri kretek. Penanaman secara besar-besaran dilakukan di banyak daerah. Harga cengkeh mencapai kisaaran angka Rp 50 ribu. Komoditas ini telah bangkit kembali setelah sempat terpuruk karena ditemukannya lemari es yang menafikan peran mereka sebagai pengawet makanan. Fungsi utama cengkeh bagi orang eropa.
Sayangnya masa jaya itu dihancurkan oleh sebuah lembaga bentukan rezim yang memonopoli penjualan cengkeh. Harga cengkeh jatuh ke angka Rp 2 ribu. Hidup petani suram, pohon-pohon cengkeh pun banyak yang ditinggalkan.
Mimpi buruk bagi petani cengkeh ini didalangi oleh duo Nurdin Halid dan Utomo Mandala Putra. Waktu itu Nurdin menjadi ketua Induk Koperasi Unit Desa sebagai pembeli pertama komoditas dari petani, sementara sang putra mahkota rezim menjadi penyalur ke industri melalui perusahaannya PT Kembang Cengkeh Nasional.
Setelah rezim jatuh, memang para petani mulai berani melampiaskan amarah mereka dengan membakar koperasi unit desa yang ada di tempat mereka. Cerita ini saya dengar dari beberapa petani cengkeh yang saya jumpai. Tapi kemudian, harga cengkeh kembali naik dan dampak BPPC benar-benar musnah terjadi ketika Abdurrahman Wahid berkuasa.
Kini harga cengkeh berkisar Rp 80 ribu hingga Rp 150 ribu. Tahun ini malah ada kemungkinan harga menjadi lebih tinggi karena cengkeh gagal panen. Tapi ya semurah-murahnya harga cengkeh, besarannya masih ada di angka Rp 70 ribu. Dan semua itu bisa terwujud karena bubarnya BPPC dan ditutupnya impor cengkeh oleh Gus Dur.
Pantaslah, dari sekian banyak petani cengkeh yang saya temui, hampir semua mereka menyebut nama Gus Dur sebagai salah satu penyebab kembali berjayanya cengkeh di Indonesia. Walau negara belum pernah menganugerahkan gelar pahlawan padanya, tapi bagi banyak petani cengkeh sosok Abdurrahman Wahid adalah pahlawan. Setidaknya setiap berbincang soal namanya, rasa terima kasih dan doa selalu keluar dari mulut para petani. Semoga Tuhan menerimamu dengan bahagia di sisi-Nya.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Munduk adalah surga bagi pecinta kopi. Setidaknya seperti itulah perkataan kepala suku ketika kami datang ke Munduk. Desa yang diberkahi karena berada di ketinggian antara 650-1300 mdpl, kawasan yang cocok untuk ditanami kopi baik arabika maupun robusta.
Sebelum kami datang ke Munduk, kepala suku telah terlebih dulu datang ke tempat ini dan menyaksikan sendiri betapa kopi-kopi yang ditanam di sini memiliki kualitas yang baik. Baik itu jenis robusta maupun arabika. Setidaknya itu cerita kepala suku yang belum bisa saya buktikan. Lah, yang sudah keliling desa dan cari kopi pan beliau bukan saya. Karenanya butuh pembuktian lanjut nan saksama untuk klaimnya atas kopi Munduk.
Guna memastikan, kepala suku telah memanen sendiri kopi arabika di kawasan Tamblingan dan mengawasi proses pascapanennya. Oh, iya, kopi Arabika Blue Tamblingan ini kami proses dengan memilih metode natural process. Setelah melalui metode natural proses untuk mendapatkan biji beras (green bean) tiba giliran kami melakukan sortasi untuk mendapatkan biji terbaik. Proses sortasi disupervisi langsung oleh kepala suku.
Memilah biji-biji kopi untuk mendapatkan yang terbaik ternyata susah-susah mudah. Kadang Anda bakal menemukan biji-biji yang meragukan kualitasnya. Apalagi biji yang kami sortir didapat dari hasil natural proses yang masih lumayan banyak meninggalkan kulit ari kopi. Untungnya, kebanyakan biji yang kami pilah sudah berada dalam kualitas baik hingga tak memakan waktu lama untuk mendapatkan 1 kg green bean siap sangrai.
Sayang, biji tak bisa langsung kami sangrai karena kesibukan tim melakukan kerja lapangan. Maklum, kami datang tidak cuma untuk mempelajari komoditas kopi, tapi juga cengkeh yang tengah mengalami musim sulit tahun ini. Kebanyakan petani cengkeh yang kami temui mengalami gagal panen. Rerata, jumlahnya berada di bawah 10% produktivitas pohon.
Untuk mendalami persoalan cengkeh itulah kami harus menunda waktu untuk menyangrai kopi. Apalagi kebanyakan warga desa adalah petani cengkeh, dan mereka mengandalkan penghidupannya dari komoditas itu.
Barulah ketika waktu kami agak senggang, dan Bli Komang Armada selaku pemilik mesin sangrai juga lowong, kami berangkat untuk menyangrai sekitar 3 kg biji kopi yang telah kami sortasi.
Mesin sangrai milik Bli Komang
Mesin sangrai milik Bli Komang | © Aditia Purnomo
Bli Komang Armada adalah salah satu petani Munduk yang mulai serius menggarap pascapanen komoditasnya. Jika dulu, Ia cuma menjual biji beras ke pengepul, kini Ia mulai mendalami bisnis biji sangrai dan bubuk untuk langsung dijual ke pasar. Dan kami mau menumpang untuk menyangrai kopi di ladang dekat penginapan yang Ia miliki.
Taman Puri, penginapan miliknya, memiliki konsep menjadikan ladang sebagai salah satu lanskap wisata yang ditawarkan pada siapa saja yang berkunjung ke sini. Di sekitar ladang, Anda bisa mendapati spot terbaik untuk melihat matahari terbenam menyinari laut Bali Utara. Sungguh tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama, ehem, kekasih (itu pun kalau punya). Dan sore itu, jelang matahari terbenam, kami mendatangi semacam kedai tempat mesin sangrai berada yang kebetulan ada di sekitar ladang tersebut. Jadi sembari menikmati senja yang indah, kami juga bisa menuntaskan agenda kami yang tertunda cukup lama; membuktikan klaim kepala suku soal kopi Munduk.
Kepala suku begitu semangat dalam agenda menyangrai kali ini. Ia sudah lama menantikan saat untuk membuktikan kualitas kopi pilihannya. Dengan segera Ia membagi green beanyang kami bawa dalam tiga plastik ukuran satu kilogramnya. Kami akan menyangrai kopi ini dalam tiga sesi dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda.
Pada sesi pertama, kami mencoba menyangrai biji kopi dalam waktu 12 menit 30 detik dan resting 30 detik. Resting, yang saya maksud di sini adalah waktu untuk mengistirahatkan biji di mesin sangrai dalam kondisi api yang telah dimatikan. Jadi setelah dimasak, biji kopi ditiriskan terlebih dahulu. Sayang, sesi pertama berjalan terlalu kelamaan hingga keinginan awal menyangrai medium malah mendapat hasil medium to dark.
Oh iya, dalam proses sangrai ada beberapa metode yang terbagi sesuai dengan tingkat kematangan. Seperti ketika memanggang steak, Anda bisa memilih tingkat kematangannya. Begitu pun dengan kopi. Semakin rendah tingkat kematangannya, semakin tinggi sensasi asam dari kopi yang keluar. Tentu saja jika Anda menyangrai kopi jenis arabika.
Dari pengalaman sesi pertama, kepala suku memutuskan sesi kedua sangrai hanya di kisaran waktu 9 menit resting 30 detik. Keputusan yang menghasilkan biji sangrai dengan tipe medium. Saya kemudian diminta kepala suku untuk mengunyah biji tersebut, mencoba merasakan hasil sangrai yang ini. Rasanya, nanti saja saya ceritakannya. Saya mau menyelesaikan cerita sangrainya dulu.
Kepala suku menimbang biji kopi yang akan disangrai
Kepala suku menimbang biji kopi yang akan disangrai | © Aditia Purnomo
Bli Komang menanti proses sangrai selesai
Bli Komang menanti proses sangrai selesai | © Aditia Purnomo
Selama proses sangrai, aroma kopi menyembul keluar dari saluran pembuangan asap. Menghirup aroma kopi yang tengah disangrai adalah hal yang menenangkan. Beberapa bule yang hendak menyaksikan matahari terbenam datang menghampiri kami. Sembari bertanya satu dua hal, mereka ikut menikmati aroma kopi yang tengah kami sangrai.
Hari semakin sore, matahari mulai terbenam. Kami perlu segera menyelesaikan agenda menyangrai kami.
Pada sesi terakhir, kami mencoba mendapatkan biji sangrai dengan tipe light dan menentukan waktu sangrai cuma 8 menit 30 detik dan resting 30 detik. Setelah dikeluarkan dari mesin sangrai, terlihat biji kopi berwarna agak terang dan tak terlihat seperti biji sangrai yang biasa saya lihat. Tapi itulah kopi sangrai tipe light, tidak terlalu matang dan masih menyimpan cita rasa yang khas dari kopinya.
Kepala suku kemudian menjelaskan, biasanya kedai-kedai kopi jarang menggunakan biji sangrai tipe light karena cita rasanya yang tidak biasa di lidah masyarakat Indonesia. Jika dulu Anda pernah mendengar slogan: kopiku kental kretekku mantap, cita rasa ringan yang akan keluar dari biji tipe ini.
Pada setiap tipe sangrai yang kami peroleh, kami mencoba merasakan cita rasa dengan memakan biji kopinya. Dari setiap tipe yang kami cicip, cita rasa berbeda tentu saja melanda mulut kami. Dari tipe sangrai light yang masih terasa keasamannya hingga medium to dark yang pekat khas lidah orang Indonesia.
Sebenarnya proses sangrai sudah bisa diselesaikan ketika bunyi first crack terdengar. First crack sendiri adalah kondisi saat biji kopi yang disangrai mengalami pecah karena tekanan pembakaran terhadap uap air yang ada di biji kopi. Kalau dianalogikan secara sederhana, seperti ketika kita mendengar bunyi letupan saat memasak popcorn.
Setelah proses sangrai selesai, matahari menampakkan kecantikannya di ufuk barat sana. Saya menyaksikan banyak bule yang duduk bersama keluarga (atau pasangannya) menikmati momen terbenamnya matahari dari ladang tempat kami berada. Kayaknya asyik deh kalau punya pacar terus dibawa kemari. Romantis gimana gitu. Uh.
Pemandangan ladang dari tempat kami menyangrai
Pemandangan ladang dari tempat kami menyangrai | © Aditia Purnomo
Namun dalam keadaan yang menggebu, kepala suku langsung mengajak kami kembali ke penginapan untuk menikmati hasil sangraian kami. Untuk membuktikan klaimnya kalau Arabika Blue Tamblingan adalah kopi dengan kualitas yang amat bagus. Bergegaslah kami pergi tanpa banyak menikmati keindahan tempat ini.
Sesampainya di Don Biyu, kami meminjam mesin penggiling kopi milik Bli Putu Ardana. Kebetulan salah satu kawan membawa alat seduh kopi dalam ekspedisi ini. Jadilah agenda mencicip kopi ini semacam kelas cupping paling dasar untuk pemula.
Setiap jenis sangraian kami seduh manual dengan dua metode: tubruk dan V60. Hasil sangrai medium to dark terasa pekat di lidah, rasa asam yang tidak banyak keluar. Lalu, hasil sangrai medium, rasa asam yang khas muncul. Muncul rasa fruity yang lebih segar, hadir menemani rasa asam membuatnya menjadi aduhai di lidah saya.
Dan yang terakhir, tentu saja tipe sangrai light yang telah saya nanti, hehe. Berdasar penjelasan kepala suku terkait cita rasa yang dipengaruhi tingkat kematangan, saya amat menantikan jenis sangrai ini. Maklum, jarang-jarang bisa mencicip kopi enak yang keaslian rasanya tidak hilang dibawa kematangan.
Begitu satu sendok saya sesap, bajingan. Rasa asam dan fruitynya jauh lebih terasa ketimbang medium. Segar sekali, tidak ada rasa pekat alias pahit yang tertinggal di aftertastenya. Sweetnessnya pas dan aciditynya, nendang! Sangat cocok untuk penikmat arabika seperti saya.
Akhirnya kepala suku berhasil membuktikan kepada kami kesaktian rasa dari arabika Tamblingan pilihannya. Kini, buah kopi yang Ia petik, Ia kawal pascapanennya, Ia sortasi dan sangrai sendiri telah memberikan kepuasan kepada kami yang masih belajar tentang nilai dari salah satu komoditas yang menghidupi para petani Munduk.
Pertama terbit di situs Minum Kopi
Cerita tentang cengkeh adalah cerita soal kejayaan dan derita. Menjadi salah satu rempah yang amat dibutuhkan dunia, cengkeh mengundang pelaut Eropa untuk datang dan menguasai Nusantara. Kemampuannya untuk mengawetkan makanan saat itu membawa masa jaya juga derita cengkeh dan nusantara.
Pada masa itu, masyarakat Ternate mengobarkan perang karena sikap dan keinginan para pedagang Eropa. Jika sebelumnya transaksi dan jual beli cengkeh terbuka untuk semua pedagang, bangsa Eropa menginginkan semua komoditas itu dijualbelikan melalui mereka. sistem monopoli yang bertahan sedari kekuasaan Portugis hingga pemerintah kolonial Belanda.
Setelah dunia modern menemukan lemari es, peran cengkeh untuk mengawetkan makanan mulai tergantikan. Komoditas yang sebelumnya menjadi primadona ini mulai terpinggirkan dan kehilangan pelanggannya. Hingga kemudian jelang abad 20 berakhir, ditemukannya kretek kembali mengangkat marwah cengkeh dalam sektor perdagangan.
Kala itu seorang anak bangsa bernama Haji Djamhari mencari satu obat alternatif untuk meredakan sesak nafas yang dideritanya. Hingga akhirnya, Ia menemukan formula untuk meredakan sakitnya dengan mencampurkan tembakau dan cengkeh yang dilinting daun jagung kemudian dibakar serta dihisap. Dari penemuan inilah kemudian kretek ditemukan dan disenangi masyarakat.
Kembalinya kejayaan cengkeh dalam dunia dagang (salah satunya) ditandai dengan ditanamnya komoditas ini di banyak daerah. Dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, hampir semua menanam cengkeh.
Keadaan ini juga didorong oleh berkembangnya industri kretek nasional yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku. Meningkatnya jumlah produksi kretek tentu meningkatkan juga produksi cengkeh yang dibutuhkan industri ini.
Seiring meningkatnya permintaan, harga cengkeh pun ikut terkerek naik. Tingginya harga cengkeh kala itu turut membuat banyak petani memilih untuk menanam komoditas ini sebagai andalan bagi mereka. Hal ini terjadi pada periode 1970-an.
Semakin banyaknya produksi cengkeh, tingginya harga, serta besarnya kebutuhan, kemudian dimanfaatkan oleh rezim orde baru. Dengan dalih menjaga stabilitas harga, rezim kemudian membuat sebuah lembaga bernama Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin langsung oleh putra mahkota rezim; Utomo Mandala Putra.
Keberadaan lembaga ini kemudian menjadi momok yang tak kalah menakutkan dari penjajah Eropa bagi para petani. Mirip dengan apa yang dilakukan penjajah, BPPC juga melakukan upaya pengendalian perdagangan dengan cara monopoli. Semua cengkeh dari petani harus dijual ke Koperasi Unit Desa sebelum nantinya diborong oleh BPPC.
Monopoli dalam urusan BPPC kemudian bukan cuma menguasai pasokan cengkeh nasional. Harga cengkeh yang sebelumnya tinggi turut dicampuri oleh lembaga ini hingga anjlok dan seakan tak bernilai. Jika sebelumnya cengkeh ada di kisaran harga (paling murah) Rp 20 ribu, maka BPPC menetapkan harga cengkeh hanya di angka Rp 2 ribu.
Jatuhnya harga cengkeh ini kemudian membuat banyak petani memilih untuk menebangi tanamannya diganti dengan tanaman lain. Kalau pun ada yang tidak ditebang, tapi kebanyakan petani memilih untuk tidak mengurus kebunnya. Toh diurus pun tidak ada artinya, harga cengkeh terlalu rendah untuk bisa menghidupi mereka.
Apa yang dilakukan oleh BPPC ini memang amat mirip dengan apa yang dilakukan oleh penjajah Eropa pada masa lalu. Penguasaan perdagangan dan penentuan harga yang rendah dilakukan agar keuntungan yang mereka dapatkan naik berkali-lipat. Sementara nasib masyarakat yang menanam cengkeh, kalau tidak mau menuruti keinginan mereka pilihannya cuma dibunuh atau dibuang.
Dan keberadaan BPPC pada rezim orde baru pun dimaksudkan untuk mengeruk keuntungan yang besar melalui penguasaan pasar dan penentuan harga yang minim. Bedanya, keuntungan yang diraup BPPC ini tentu saja dinikmati oleh segelintir pihak. Kalau tanya namanya, siapa lagi kalau bukan sang putra mahkota rezim tersebut.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Sejarah Indonesia adalah sejarah rempah. Tanpa adanya cengkeh dan pala dari kepulauan Maluku sana, niscaya tak bakal ada pemerintah kolonial dan pedagang-pedagang yang membangun cerita soal nusantara. Kisah yang bukan saja penuh darah, tapi juga penuh kejayaan.
Menyaksikan film Banda: The Dark Forgotten Trail, saya disajikan gambaran-gambaran kejayaan yang tersisa di kepulauan penghasil pala tersebut. Cengkeh dari Ternate dan pala dari Banda adalah dua komoditas paling jaya yang membuat ketamakan bangsa Eropa ingin menguasai Nusantara. Membuat dunia melewati fase ekspedisi paling besar dalam sejarah umat manusia.
Pada masa itu, keberadaan pala dan cengkeh menjadi penting mengingat kemampuannya untuk mengawetkan makanan. Apalagi para tentara yang berangkat perang di dunia yang penuh kekacauan saat itu, mengawetkan makanan boleh jadi salah satu cara untuk memenangkan perang.  Tanpa ransum yang cukup, tak mungkin prajurit bisa bertempur dan memenangkan perang.
Karena itulah bangsa Eropa, terutama Spanyol dan Portugis memulai ekspedisi besar-besaran mencari dunia khayal penghasil rempah yang berada di Nusantara. Kegunaannya yang dibutuhkan umat manusia, selain karena harganya yang amat mahal, membuat mereka berlomba-lomba untuk mencari dan menguasai komoditas ini. Hingga akhirnya sampailah mereka ke Banda.
Kepulauan ini adalah salah satu daerah penghasil rempah yang terlebih dulu direbut bangsa asing. Melalui kemenangan tersebut, satu persatu daerah ikut dikuasai oleh mereka. Dengan perang dan pembantaian, tentu saja. Hingga akhirnya Belanda ikut dalam pertarungan merebut tanah jajahan dan memenangkan Nusantara sebagai piala penghasil uang bagi mereka.
Kelanjutan cerita tadi mungkin sudah Anda ketahui dari pelajaran sejarah yang pernah diberikan di sekolah. Ya kalau kalian tidak suka memperhatikan pelajaran ini, bolehlah sisihkan waktu untuk menyaksikan film dokumenter ini. Jarang-jarang loh ada dokumenter sebagus ini ditayangkan di bioskop. Biasanya mah cuma dari festival ke festival.
Poin utama dari film ini sih cuma penegasan kalau peradaban dunia boleh jadi nggak akan berkembang kalau rempah tidak diperebutkan. Lah Crishtopher Colombus penemu benua Amerika itu sebenarnya nyasar aja kesana. Tujuan aslinya mah mau nyari rempah ke Nusantara.
Agak sulit memang membayangkan dunia tanpa keberadaan rempah dari Indonesia. Bisa jadi nggak akan terjadi revolusi industri yang turut mengubah cara pandang dunia dan mengakhiri kejayaan rempah nusantara.
Berkat ditemukannya listrik serta kulkas, masyarakat Eropa tak lagi butuh-butuh amat sama pala dan cengkeh. Toh fungsi mengawetkan makanan telah diambil alih oleh lemari pendingin itu. Akhirnya ya harga dan pasar rempah jadi merosot tajam.
Di film ini sih nggak banyak dibahas perkara cengkeh. Karena Banda memang kepulauan yang jadi moyangnya pohon pala. Dan pala serta cerita kejam dibalik penguasaan Banda lah yang mendapat porsi paling banyak. Tapi kisah miris anjloknya kebutuhan dunia terhadap pala tentu saja juga mempengaruhi cengkeh yang ikut hancur kejayaannya.
Tapi cengkeh di Indonesia masih lebih beruntung dari pala. Setidaknya komoditas ini masih banyak diserap untuk kebutuhan industri kretek nasional. Coba aja kalau kretek nggak ditemukan, boleh jadi cengkeh harganya nggak bakal semahal sekarang. Di luar masa BPPC, harga cengkeh itu paling rendah 80 ribu perkilogram.
Walau kejayaan rempah di dunia hanya tinggal sejarah, tapi sejarah itulah yang perlu kita pelajari bahwa negara ini lahir (salah satunya) karena keberadaan cengkeh dan pala. Karena dengan menafikan masa lalu, sama saja kita menolak masa depan. Dan tanpa adanya rempah, boleh jadi kalian nggak bakal menikmati internet yang kalian gunakan untuk baca tulisan ini.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Kami datang ketika pabrik hampir selesai beroperasi. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 14.45, Waktu Indonesia Tengah, tentu saja. Jam kerja di pabrik akan selesai 15 menit lagi. Tapi setelah berdiskusi dengan kru pabrik, saya dan teman-teman diberi izin untuk berkeliling pabrik Kopi Banyuatis.
Merek kopi ini cukup banyak ditemukan di gerai-gerai buah tangan bagi para pelancong. Saya pertama kali menemukan merek ini ketika mampir ke pusat oleh-oleh di dekat Bandara I Gusti Ngurah Rai tahun lalu. Dari pertemuan ini kemudian saya dapat kesempatan untuk melihat bagaimana pabrik kopi ini bekerja.
Kopi Banyuatis adalah merek endemik yang dibangun oleh seorang pengusaha asal Desa Banyuatis, Buleleng, Bali Utara. Bermula dari upaya melebarkan bisnis kopi ayahnya dari sekadar kedai di desanya, Ketut Englan kemudian membangun merek kopi Banyuatis dengan mendirikan pabrik di Singaraja. Bisnis kopi bubuk yang dirintisnya kemudian berkembang dan membuat Ketut Englan menjadi salah satu sosok yang dihormati nan terkenal dalam perdagangan kopi di Bali.
Sebelum masuk ke pabriknya, kami diminta untuk mengenakan masker terlebih dahulu agar tetap steril dan tidak mabuk karena aroma kopi. Wah mabuk kopi, jadi ingat kebiasaan aktivis zaman dulu yang kalau ngopi dicampur arak atau miras lainnya. Saya mulai kepikiran soal sensasi mabuk gegara mencium aroma kopi. Makin tak sabar masuk ke pabriknya.
Dengan bayangan bakal mabuk kopi, harapan itu tampaknya bakal gugur ketika saya masuk ke wilayah produksi pabrik kopi ini. Ternyata ruang pabrik tak seberapa besar. Maklum, sebagai orang yang tumbuh di kota industri, bayangan soal pabrik tentu selalu merujuk pada gedung-gedung besar yang dimiliki pabrik di Tangerang.
Ekspektasi saya yang besar ini terdorong dari nama besar merek dan jangkauan pasar mereka. Masa, iya, mereka bisa menyuplai kopi untuk seluruh Bali dan pasar dalam jaringan hanya dengan luas pabrik yang luasnya paling cuma dua kali ukuran Rumah Makan Sederhana di Jalan Kaliurang di Jogjakarta.
Tapi inilah kehebatan bisnis yang dimiliki Kopi Banyuatis. Efektivitas. Kebutuhan ruang tidak menjadi hal besar apabila kerja-kerja yang dilakukan di pabrik ini efektif. Dan dalam kunjungan ini saya bisa menyaksikan betapa sederhananya pabrik kopi ini bekerja.
Mesin Sangrai
Mesin Sangrai | © Aditia Purnomo
Ruang di Mesin Sangrai
Ruang di Mesin Sangrai | © Aditia Purnomo
Biji kopi yang diproduksi pabrik diambil dari lahan-lahan di sekitaran Buleleng. Kemudian, green beans lebih dulu disimpan dalam gudang yang sanggup memuat hingga 30 ton biji kopi. Setelahnya, dari gudang biji kopi kemudian diarahkan ke mesinpengayak agar lebih bersih sebelum disangrai. Tentu pengayakan juga berguna untuk menyortir ukuran biji kopi.
Biji-biji kemudian dimasukan ke dua mesin sangrai berkapasitas 200kg. Menghirup aroma kopi yang dimasak dengan api yang dihasilkan dari kayu bakar dan dalam kapasitas besar sungguh sebuah pengalaman yang baru bagi saya. Saya sering mencium aroma kopi yang tengah disangrai, tapi dalam kapasitas kecil. Dan merasakan aroma 400kg kopi yang disangrai menimbulkan sensasi yang berbeda.
Setiap harinya, pabrik ini mengolah sekitar 3,2 ton biji kopi. Dengan dua mesin sangrai berkapasitas 200kg, satu mesin mengolah sekira 1,6 ton dalam delapan kali sesi sangrai. Bisa anda bayangkan bagaimana kuatnya aroma yang dihasilkan pabrik ini.
Lagi-lagi saya beruntung, mesin sangrai masih bekerja ketika kami datang. Saat itu sesi sangrai terakhir bakal segera berakhir. Tidak lama memang, tapi lumayan lah bisa melihat mesin sangrai raksasa beroperasi. Setelah proses sangrai selesai, biji kopi kemudian didinginkan sebelum dipindah ke ruang sebelah untuk digiling.
Mesin Penggiling Kopi
Mesin Penggiling Kopi | © Aditia Purnomo
Sayangnya, ruang untuk penggilingan biji kopi menjadi bubuk ini tidak bisa kami masuki. Hanya untuk petugas, jelas mbak-mbak petugas pabrik yang menemani kami berkeliling. Tapi beruntung mbak-mbaknya mau mengambilkan beberapa gambar mesin penggiling kopi untuk kami. Tentu saja mesin yang ukurannya jauh lebih besar dari yang pernah kalian lihat selama ini.
Melanjutkan perjalanan, tibalah kami di tahap akhir produksi kopi di sini. Yap, setelah disangrai dan digiling, tentu sebelum dipasarkan produk harus dikemas terlebih dahulu.
Untuk pengemasan kopi, setidaknya ada delapan orang yang bekerja di bagian ini. Setiap orangnya memegang merek Banyuatis dengan jenis tertentu. Yang paling banyak diproduksi di sini adalah jenis kopi Robusta. Setiap jenis kopi dengan kemasan berbeda dan harga yang berbeda pula.
Sejak awal masuk ke wilayah produksi, saya menghitung setidaknya pabrik ini mempekerjakan 30 orang. Empat orang saya temukan di gudang, empat di ruang mesin pengayak, lima orang di ruang sangrai, tiga orang di ruang penggilingan, dan sisanya orang di bagian pengemasan. Oh iya, ada juga tiga orang yang ada di bagian sortasi untuk biji kopi arabika. Di pabrik ini, hanya jenis kopi arabika premium yang mendapat sortasi dua kali setelah didatangkan dari petani.
Selesai dikemas, kopi Banyuatis siap didistribusikan ke pasar. Mulai dari kopi robusta seberat 40 gram seharga Rp 3 ribu hingga kopi luwak arabika 150 gram seharga Rp 180 ribu siap menemui para pecinta dan penikmat kopi di Indonesia. Setidaknya, ada 24 jenis kopi yang dijual oleh pabrik Kopi Banyuatis.
Begitu selesai sesi berkeliling pabrik, rasanya tak elok jika kami tidak pulang dengan membawa buah tangan. Lagi pula kami hendak membandingkan kualitas kopi Banyuatis dengan kopi-kopi yang kami panen di Tamblingan Munduk. Lantas saja kami memborong cukup banyak produk Banyuatis untuk dicicip teman-teman yang menunggu di Jogja dan Tangerang.
Pertama terbit di situs Minum Kopi