Aditia Purnomo

Hampir semua penelitian soal rokok menyebutkan hal-hal yang negatif. Mulai dari rokok itu mematikan hingga mengandung darah babi. Dari sekian banyak penelitian itu, ada yang kemudian terbantah dengan sendirinya melalui penelitian lain yang berhasil membuktikan jika hal-hal negatif itu palsu. Misal, tentu saja, hasil penelitian MUI dan BPOM RI yang menyebut jika darah babi tidak terkandung di filter rokok.
Kampanye negatif dan hoax soal rokok ini biasanya dikutip dengan sumber penelitian dari luar negeri. Entah Kanada atau negara lain. Jarang sekali ada penelitian terkait yang dilakukan di Indonesia. Sekalinya ada, ya penelitian yang membantah asumsi soal rokok selama ini dari MUI dan BPOM RI tadi.
Selain kampanye negatif yang sudah dijelaskan tadi, ada juga satu riset yang tidak masuk akal dan direproduksi sebagai bahan untuk membuat masyarakat membenci rokok. riset tersebut menyebut kalau rokok bisa membuat seseorang menjadi bodoh. Lebih tepatnya membuat laki-laki menjadi bodoh. Benarkah begitu?
Entah apa saja yang dijadikan indikator dalam penelitian itu hingga menyebut rokok dapat membuat orang menjadi bodoh. Tapi satu hal pasti, hampir semua penelitian tentang rokok dibuat dengan target untuk mendiskreditkan rokok. Sudah begitu saja.
Misalkan kampanye soal rokok menyebabkan penyakit jantung atau kanker. Padahal ya tidak semua penyakit jantung atau kanker. Namun dalam riset yang dilakukan, orang-orang yang sakit tersebut cukup ditanyai dua hal, apakah Anda merokok atau apakah Anda tinggal di lingkungan perokok. Jika salah satu jawabannya adalah iya, maka (dalam riset) rokok dipastikan menjadi penyebab penyakit Anda.
Pun dengan urusan rokok membuat orang menjadi bodoh. Walaupun ada riset yang menyebut demikian, tapi dapatkah hal itu kita percayai?
Jika memang betul rokok membuat orang menjadi bodoh, tidak mungkin kita menyebut Albert Einstein sebagai seorang jenius karena Ia adalah seorang perokok. Ia menemukan beberapa teori seperti teori relativitas juga persamaan massa dan energi. Karena keberadaannya, dunia sekarang mengenal teori yang akrab dengan simbol E = mc2. Mana mungkin Einstein bisa jadi jenius jika Ia adalah perokok?
Begitulah kiranya cara terbaik kita membaca suatu riset terkait rokok. Perlu banyak dikritisi. Seperti tadi saya katakan, tak mungkin Einstein disebut jenius mengingat dirinya adalah seorang perokok. Itu pun jika kita benar-benar mau mempercayai hasil riset tadi ya.
Tidak semua riset itu bisa kita percaya. Apalagi secara empirik kita tahu, kalau rokok justru dijadikan sebagian orang sebagai katalisator untuk mendapatkan inspirasi. Setidaknya, rokok dijadikan alat yang dapat memperbaiki mood mereka untuk berkarya.
Jika dirasa EInstein itu adalah sosok yang terlalu jauh dengan kita, maka marilah kita sebutkan banyak perokok pilih tanding yang ada di Indonesia. Proklamator sekaligus bapak bangsa kita, Soekarno, adalah seorang perokok. Ada juga diplomat ulung yang fasih beragam bahasa, Haji Agus Salim, yang merupakan kretekus sejati. Atau ada seorang penulis hebat yang karyanya diakui dunia, dan seseorang yang masih meminta Djarum Super tatkala sakit di akhir usianya, Pramoedya Ananta Toer.
Apabila benar rokok menyebabkan orang menjadi bodoh, bisa jadi Indonesia ini belum merdeka. Tak mungkin Agus Salim bisa menjalankan diplomasi karena Ia adalah orang yang bodoh. Atau tak mungkin Pram menjadi penulis sehat karena kebiasaan merokoknya. Tapi ya kita tahu kalau Soekarno, Agus Salim, dan Pram adalah orang-orang hebat yang memiliki kecerdasan tanpa perlu dibantah.
Jadi, benarkah rokok membuat orang menjadi bodoh?
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Saat kecil dulu, agaknya saya bukanlah anak yang kerap dibacakan dongeng oleh orang tua. Sejauh saya mengingat, ibu dan bapak sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi dan pulang jelang magrib. Ketika tidak ada mereka di rumah, saya hanya ditemani seorang pembantu rumah tangga yang siap sedia mengurus rumah.
Karenanya, teori teman terhadap saya jelas-jelas keliru. Seorang kawan pernah mengatakan kalau seseorang yang gemar membaca itu hampir pasti kerap didongengi orangtuanya saat kecil. Dan Ia menuduh saya begitu, katanya sih saya maniak buku. Padahal ya, sejauh ingatan yang terekam berhasil saya gali, saya lebih banyak mengingat saat-saat dimarahi kedua orang tua.
Kalaupun dianggap sebagai orang yang gemar membaca, ya tidak juga berarti saya pasti didongengi orang tua. Meski ya kedua orang tua saya rasanya tetap menjadi faktor penting kenapa saya gemar membaca sejak kecil. Meskipun tidak dilakukan secara langsung.
Ketika masuk sekolah dasar dan mulai bisa banyak membaca kata, orang tua saya membelikan saya bacaan agar saya tidak terlalu sering keluar rumah. Alhasil, ketika strategi ini sukses, saya mulai dilanggankan majalah Bobo oleh ibu saya. Dan sejauh ingatan saya, inilah hal pertama yang membuat saya menjadi dekat kepada buku.
Membaca majalah Bobo adalah sebuah upaya untuk mendapatkan lanjutan kisah dari Bona dan Rongrong. Selain itu, saya juga menggemari cerita dari Nirmala dan Oki serta beragam cerpen yang disajikan majalah itu. Apalagi ketika majalah ini punya kisah bersambung dari Deni si Manusia Ikan, bahkan ketika orang tua saya tidak lagi membelikan Bobo, saya justru bersemangat menyisihkan uang untuk membelinya sendiri.
Setidaknya, rasa penasaran dari kelanjutan kisah mereka telah membawa saya pada satu fase penting untuk menggemari kegiatan ini. Inilah hal pertama yang membuat saya gemar membaca.
Hal kedua yang turut berjasa tentu saja kebiasaan menonton kartun di Indosiar dan kemauan bapak untuk membelikan komik Dragon Ball. Pada saat generasi saya kecil dulu, hari minggu adalah surga. Ia adalah pengecualian dari segala kesenangan kami. Jika di hari biasa kami harus digeprak agar bangun pagi, maka pada hari minggu kami dengan senantiasa bangun sejak subuh untuk bersidekap di depan televisi. Tentu saja, untuk menyaksikan kartun dan tontonan anak kecil lainnya.
Karena kegemaran menonton kartun inilah, saya kemudian meminta bapak untuk membeli komik-komik seperti Dragon Ball atau Yu Gi Oh yang jadi favorit generasi kami saat itu. Dengan kehadiran komik-komik tersebut, gairah membaca saya menjadi semakin tinggi dan yang terpenting, saya menemukan kesenangan dari aktivitas ini.
Dan hal yang terakhir, kali ini saya harus berterimakasih pada sekolah dasar saya, buku-buku cerita nusantara yang ada di perpustakaan sekolah saat saya masih SD. Dulu ada satu materi tambahan, yakni komputer, yang harus saya ambil di luar jam sekolah. Dan jadwal materi tambahan itu jaraknya tidak berdekatan dengan waktu sekolah. Alhasil, saya harus menunggu sekira 1 jam untuk menyelesaikan urusan tersebut.
Sembari menunggu itulah saya kerap datang ke perpustakaan sekolah yang kecil dan berada di pojokan itu. Walau kecil dan sepi, tapi saya menyenangi hadir di tempat tersebut. Setidaknya saya tahu cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis itu dari perpustakaan ini. Karena kebutuhan menunggu dan ketersediaan buku cerita yang banyak, akhirnya saya menjadi orang yang semakin senang dengan aktivitas ini.
Jadi, jika ada orang yang bertanya kenapa sih saya bisa jadi orang yang gemar membaca, setidaknya ketiga hal tadi adalah faktor-faktor penting yang membuat buku menjadi barang penting buat saya. Dan harus saya akui kalau jargon pentingnya membaca sejak kecil itu adalah yang yang benar. Karena memang, semua hal yang memuat saya gemar membaca terjadi ketika saya masih berada di bangku sekolah dasar.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Ibarat Tinder, Go-Food adalah layanan yang tepat bagi para pencari kuliner nikmat seperti saya. Menemukan makanan enak di Jakarta sebenarnya tidak sulit. Namun dasar pemalas, bukannya keluar untuk mencari, saya lebih senang menggunakan layanan ini untuk bertaruh jika tempat makanan yang saya pesan punya citarasa yang baik.
Seperti itulah kiranya nasib mempertemukan saya dengan Ayam Bakar Dalang. Iseng-iseng cari makanan enak, lihat promo gratis ongkir, dan bonusnya: pesanan saya ternyata makanan enak. Sepotong paha ayam bakar, lengkap dengan nasi, sambal dan lalapan. Sebuah paket hemat yang menyenangkan untuk makan siang.
Tapi cuma itu yang yang membuat saya tertarik dengan warung ini. Di nota dari mamang gojek, terdapat satu slogan yang agak nyeleneh. Jika tempat makan lain kerap mengklaim masakannya adalah yang terenak, warung ini justru memilih untuk menjadi yang terenak kedua. “Ayam bakar paling enak nomor dua,” begitu tulisnya.
Sebuah anomali, memang. Hal ini membuat saya ingin berkunjung ke warung itu. Ya kalau sudah ketemu makanan yang enak, pergi agak jauh pun tak apa. Apalagi lokasi warung ini tidak begitu jauh dari kantor saya, terbesit lah rencana untuk menyambanginya.
Mencari tempat makan enak di daerah Limo, Depok memang susah-susah gampang. Setidaknya, hanya ada tiga tempat makan enak yang saya jumpai di sana: satu Soto Ceker, satu Sego Sambal, dan terakhir ya Ayam Bakar Dalang ini. Selebihnya, tidak banyak yang menarik hati.
Satu kelebihan ayam bakar ini adalah bumbunya yang khas. Ya, khas. Manis dan gurihnya berbeda. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging. Dan yang terpenting, walau dibakar agak gosong, rasa dari bumbunya menutup kegosongan itu sendiri. Benar-benar bumbu yang pas buat orang yang suka rasa manis.
Dua porsi ayam bakar dalang
Dua porsi ayam bakar dalang | © Aditia Purnomo
Ayam Bakar Dalang Berada di Jalan Meruyung, Depok
Ayam Bakar Dalang Berada di Jalan Meruyung, Depok. | © Aditia Purnomo
Warung ayam bakar ini berada di Jalan Raya Meruyung, tepatnya sebelum belokan Kantor Urusan Agama Limo. Tempatnya tidak besar, malah sederhana. Cuma memiliki empat meja yang khas seperti warung pinggiran jalan. Tapi jangan salah, dalam sehari warung ini bisa menghabiskan 80 ekor ayam dan 50 ekor bebek. Selain menjadi salah satu favorit para pengguna jasa Go-Food.
Sebagai pelengkap menu ayam bakarnya, warung ini membuat satu paket hemat yang diisi nasi, ayam bakar, ditambah satu tahu/tempe yang boleh digoreng atau dibakar. Kalau saya sih lebih senang dengan tahu bakarnya, karena memang bumbu bakar di sana membuatnya menjadi lebih enak. Dengan paket seharga 18 ribu, Anda sudah bisa menikmati satu porsi ayam bakar enak yang dilengkapi dengan sambal dalang.
Satu hal lain yang membuat warung Ayam Bakar Dalang layak dijadikan favorit adalah sambalnya. Yap, sambal dalang andalan warung ini memiliki rasa pedas yang pas dan gurih. Menurut pengakuan penjualnya, sambal yang mereka buat selalu segar karena hanya digunakan dalam jangka waktu satu hari. Jadi sambalnya tidak disimpan-simpan apalagi diberikan pengawet.
Jikalau pengunjung berharap satu menu yang bisa membuat mereka kepedesan, warung Ayam Bakar Dalang punya satu andalan lain yakni Bebek Penyet Dalang. Dua keunggulan utama dari bebek dalang adalah, bebek goreng empuk dan gurih dipenyet dengan sambal cabai yang pedas tapi nikmat. Paduan maut yang bikin perut mulas dan puas. Tapi tenang saja, kalau memang pengunjung tidak tahan pedas, Anda bisa memesan bebek goreng dengan sambal dalang.
Meski memiliki menu-menu andalan yang menggugah selera, warung ini tak mau jumawa terhadap para pelanggannya. Mereka tak mau mengaku diri sebagai warung makan terenak atau semacamnya. “Karena yang mengklaim diri nomor satu sudah banyak, cukuplah kita menjadi nomor dua saja,” ujar pengelola warung ini.
Pertama terbit di situs Minum Kopi
Saya adalah orang yang amat membenci pembangunan kereta bandara Soekarno Hatta. Jika kita hanya menilai secara normatif, memang kehadiran kereta bandara ini membuat akses menuju Soetta menjadi lebih mudah. Terbukanya akses bakal membuat orang-orang yang menggunakan bandara ini menjadi lebih senang atas pelayanan pengelolanya.
Tapi tunggu dulu, kemudahan tadi jelas bukan buat warga Kota Tangerang. Rumah tempat saya tinggal hanya berjarak 11km dari bandara. Dengan jarak sedekat itu, tentu perjalanan ke bandara harusnya lebih mudah. Namun pembangunan kereta bandara itu telah merenggut segala kemudahan akses untuk datang ke Soetta bagi saya, warga Kota Tangerang yang harusnya menikmati kemudahan karena tinggal tak jauh dari bandara.
Memang sebagai dampak pembangunan tadi, warga Tangerang yang mau ke Soetta harus repot-repot dulu berkeliling bandara. Sebelum ada pembangunan, saya cuma perlu waktu 20 menit untuk sampai ke bandara. Namun kini, saya harus menikmati perjalanan setidaknya 1 jam karena pintu M 1 bandara yang jadi akses termudah untuk kami telah ditutup karena pembangunan.
Kini kami perlu melewati dua jalur yang memutari bandara. Jika pintu M 1, maka kita harus memutari bandara lewat jalan parimeter yang kerap memakan korban. Di jalan ini memang sering terjadi kecelakaan. Jalannya sempit, kendaraan melaju kencang, dan penerangan di jalan ini minim. Terakhir, seorang kawan saya harus kehilangan satu jari kakinya setelah mengalami kecelakaan di jalur maut ini.
Jika kita mau menghindari jalur maut tersebut, saya harus memutar lebih jauh lagi ke Kebon Besar sebelum akhirnya masuk melalui jalan dari arah Tol bandara. Persoalan melalui jalur ini, ya kita cuma harus jauh-jauh ke Kebon Besar dulu sebelum bisa memasuki area bandara.
Mungkin pembangunan kereta bandara ini bakal berdampak positif bagi perekonomian. Ya setidaknya perekonomian para pebisnis dan daerah itu sendiri. Tapi bagi saya, warga Tangerang, pembangunan ini justru amat merugikan. Karena saya harus buang waktu lebih banyak untuk tiba di bandara yang, harusnya kepleset saja sampai.
Memang warga Tangerang bisa memanfaatkan kehadiran kereta bandara ini untuk menuju bandara. Betul sekali. Tapi perlu Anda tahu kalau tiket perjalanan kereta bandara sebesar Rp 100 ribu. Angka yang tidak kecil buat sebagian besar orang karena harga tersebut setidaknya senilai 1/5 harga tiket pesawat menuju Jogja.
Sialnya lagi, kehadiran kereta bandara ini kabarnya bakal mengurangi jumlah perjalanan KRL yang melintasi jalur Tangerang-Duri. Bajingan betul. Sudah kalau mau ke Soetta harus memutar jauh, lah ini kita mau beraktivitas sehari-hari saja harus terhambat karena keberadaan kereta bandara. Apalagi saya juga pengguna aktif KRL yang hampir setiap hari memakai jasa transportasi ini. Jika kemudian perjalanan KRL menuju Duri harus berkurang, bagaimana nasib kami para warga Tangerang?
Kalau sudah begini, pembangunan kereta bandara benar-benar hanya merugikan saya dan sebagian warga Kota Tangerang saja. Jika memang pembangunan itu diniatkan untuk menyejahterakan dan memudahkan kehidupan warga, kenapa pembangunan ini justru membuat kami merugi dan terganggu? Atau memang, semua pembangunan yang dimaksudkan pemerintah itu hanya merugikan kehidupan rakyatnya saja?
Terbit pertama kali untuk Baca Tangerang
Setiap orang pasti pernah membuat puisi. Entah itu puisi tentang cinta atau yang lain. Entah dibuat ketika galau patah hati atau hal yang lain. Karena itulah, puisi menjadi hal yang amat dekat dengan masyarakat.
Sayangnya, kebanyakan masyarakat menjadi takut akan puisi. Bukan karena orang yang membuat puisi bakal dihilangkan seperti Wiji Thukul tentu saja. Tapi hal itu muncul ketika orang-orang yang melihat kita berpuisi memberikan ‘penghakiman’ yang membuat kita takut untuk kembali membacakan puisi.
“Saat kita di sekolah dulu, ketika kita diminta guru untuk maju membacakan puisi, dan teman-teman memberikan sorakan ‘ciye’ pada kita hingga kita malu dan takut untuk kembali bersentuhan dengan puisi,” tutur Bentara Bumi, salah satu penggagas kelompok bernama Malam Puisi.
Untuk menciptakan panggung yang bebas penghakiman, kira-kira seperti itulah harapan saat Bumi dan rekannya Putu Aditya tatkala membentuk Malam Puisi. Selama ini, panggung untuk puisi memiliki banyak ‘regulasi’ yang merepotkan. Karena itulah Malam Puisi diupayakan untuk menjadi satu ruang yang bebas aturan dan yang terpenting, bebas ‘ciye’. “Lu mau baca puisi cinta atau apa ya terserah aja,” ujarnya tatkala ditemui di Festival Media Tangsel awal November lalu.
Berawal dari sebuah keinginan untuk membuat panggung yang menyediakan ruang bagi pencinta puisi, Malam Puisi telah berkembang hingga titik yang tak pernah mereka kira. Tatkala menginisiasi panggung pertama, mereka mengajak teman-teman juga orang lain untuk hadir dan ikut berpuisi di sana. Tak disangka, atensi publik melebihi ekspektasi mereka dan membuat Malam Puisi berkembang menjadi satu agenda yang cukup besar di Indonesia.
Kini, kurang lebih telah hadir acara dengan tagar Malam Puisi di puluhan kota seperti Surabaya, Depok, Jakarta, juga Batam. Hadirnya Malam Puisi di berbagai daerah tidak pernah rencanakan atau inisiasi, namun memang ada orang-orang di banyak kota yang meminta izin agar acara serupa digelar di tempat mereka. Ini menjadi satu hal yang betul-betul tak pernah mereka kira.
Awalnya, hanya ada dua penggagas yang aktif mengurus Malam Puisi. Namun karena Malam Puisi telah hadir di banyak kota, mereka kemudian membentuk sebuah badan bernama penyelia. Tugas utama penyelia adalah melakukan supervisi kepada Malam Puisi di berbagai kota meski akhirnya penyelia tidak terlalu aktif karena masing-masing orangnya punya kesibukan sendiri.
Meski para penggagasnya mulai tidak banyak aktif, tapi kelompok ini tetap berjalan dengan pesat. Setiap daerah telah memiliki agenda dan programnya masing-masing. Seperti di Depok yang menerbitkan Antologi, atau Jakarta tengah merencanakan Malam Puisi Istana sembari menunggu konfirmasi Presiden.
Walau telah berkembang dengan pesat, Malam Puisi menurut Bumi tetaplah satu kelompok kecil yang tak pernah diniatkan untuk menjadi besar. Karena memang hal-hal yang ingin dihadirkan oleh kelompok ini bukanlah kebesaran atau menjadi terkenal. Sesuai dengan tujuan awalnya, Malam Puisi hanya berharap bisa tetap membawa kebahagiaan dan kepuasan setelah mereka berpuisi di panggung tanpa penghakiman tersebut.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Rokok adalah salah satu hal yang paling berbahaya bagi masyarakat. Mengandung ribuan zat kimia berbahaya dan mengundang adiksi yang tinggi membuatnya menjadi salah satu pembunuh massal paling ditakuti dunia. Dan tentu saja, kandungan nikotin yang ada pada tembakau adalah satu yang paling berbahaya dari barang ini. Setidaknya, begitulah kata orang antirokok.
Ya, nikotin adalah hal yang tidak terpisah dari tembakau. Zat ini terkandung dalam daun tembakau yang membuat tanaman ini menjadi berbahaya buat masyarakat. Karena itu tembakau, apalagi jika sudah berbentuk rokok, harus dikendalikan. Nikotin dalam tembakau harus dapat dikendalikan.
Hal-hal macam inilah yang menjadi dalih utama mengapa rokok begitu dibenci dan dijauhkan dari masyarakat. Agar kesehatan masyarakat terlindungi, katanya. Maka dari itu rokok, tembakau, juga nikotin adalah berbahaya dan perlu diperangi.
Kampanye-kampanye negatif terhadap rokok dan tembakau dilancarkan. Orang-orang disuruh berhenti merokok karena dianggap berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Tapi karena ‘adiksi’ yang ditimbulkan, tidak semua orang bisa berhenti merokok. Untuk menyelesaikan persoalan inilah, para perokok harus diterapi. Harus mendapat alternatif konsumsi selain rokok.
Karena itulah kemudian diciptakan produk-produk alternatif atas kebutuhan nikotin masyarakat. Koyok nikotin, permen karet nikotin, rokok elektrik, juga produk terapi nikotin lainnya disediakan agar orang-orang beralih dari rokok. “Karena rokok berbahaya, maka konsumsilah produk nikotin ini,” begitu ujar orang-orang antirokok.
Entah apa yang ada di kepala orang-orang ini. Apakah dengan mengonsumsi produk yang bukan rokok, maka nikotin tidak lagi berbahaya? Nikotin yang katanya racun buat tubuh dan menyebabkan adiksi juga berbagai macam penyakit mematikan itu. Nikotin yang menjadi mesin pembunuh massal itu tidak lagi dianggap berbahaya karena tidak diproduksi dalam bentuk rokok. Sungguh hebat sekali pendapat ini.
Ada yang bilang, jika nikotin tidak dikonsumsi dengan proses pembakaran seperti rokok, maka dia tidaklah berbahaya. Jika dikonsumsi dalam bentuk produk olahan lain, selain rokok tentu saja, risiko kesehatan nikotin bakal berkurang hingga 90%. Karenanya, lebih baik mengonsumsi produk olahan lain itu ketimbang mengisap rokok.
Lebih lanjut lagi, orang-orang ini menyebut kalau tar yang merupakan senyawa hasil pembakaran adalah hal yang membuat rokok jadi berbahaya. Membuat nikotin ikut jadi berbahaya. Seandainya rokok tidak dikonsumsi dengan cara dibakar, bisa jadi rokok bukanlah hal yang berbahaya. Dan tentu saja, nikotin tidak lagi dianggap menjadi zat yang berbahaya.
Karena tidak berbahaya, maka tidak lagi perlu ada kampanye negatif terhadap nikotin. Asalkan, tentu saja ada syaratnya, barang yang dikonsumsi adalah produk olahan lain dan bukan rokok. Kalau rokok, semua jadi berbahaya. Kalau cuma koyok atau permen karet nikotin, yang tidak berbahaya. Karenanya idak perlu ada kampanye berbahaya untuk produk olahan ini.
Kalau sudah begini, saya malah jadi ingin bertanya, benarkah nikotin itu berbahaya bagi kesehatan?
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Semua ini terjadi karena ulah si tua bangka Major. Jika saja Ia tak pernah bermimpi tentang sirnanya manusia dari muka bumi, dan tak pernah Ia berujar soal binatang yang menjalankan roda dunia, semua binatang tidak bakal mengalami hidup sulit di bawah penindasan para babi.
Seandainya tak pernah si tua bangka Major itu menceritakan mimpi dan harapannya agar para binatang bisa memiliki hak yang sama dengan manusia, bisa jadi babi kader muda teladan Snowball dan Napoleon tak bakal memimpin revolusi dadakan para binatang. Bila semua ini tidak terjadi, mungkin para binatang tidak bakal hidup tertindas di bawah kekuasaan binatang yang lain, dalam hal ini para babi.
Begitulah kiranya jika revolusi dipimpin para babi. Setelah perjuangan dimenangkan, kekuasaan didapatkan, tinggal mencari cara agar bisa mengeruk keuntungan dan mempertahankan kekuasaan. Kalau ada teman babi yang melawan, ya singkirkan. Caranya, mudah. Bangun saja pemerintahan yang militeristik. Tak suka, bunuh. Tak senang, bantai. Selesai.
Kebebasan yang diraih para binatang dari keberhasilan revolusi hanya sesaat saja mereka rasakan. Impian agar hidup bahagia tanpa kerja yang dipaksa pun sirna karena kerasnya tangan besi babi Napoleon. Semua harus kerja-kerja-kerja, menjalankan roda produksi agar peternakan yang berhasil direbut para binatang dari tangan manusia ini mendapatkan untung buat kesenangan para babi.
Kisah para binatang dalam Novel monumental George Orwell ini mengingatkan saya pada matakuliah pengantar ilmu politik saat masih kuliah dulu. Dengan pendekatan yang otoriter, rezim yang berkuasa dapat mempertahankan stabilitas pemerintahan serta membuat kekuasaannya langgeng. Alamak, jadi ingat zaman orde baru dulu.
Boleh dibilang Binatangisme ini adalah karangan terbaik dari Orwell. Meski namanya melambung melalui 1984, tetap saja tak ada kisah satir sebaik ini dari semua buku yang pernah saya baca. Lagipula, novel tak tebal ini berhasil memukau saya sedari awal hingga akhir tanpa bosan sedikit acan.
Banyak orang bersepakat kalau Orwell tengah menceritakan kisah yang terjadi di Soviet. Setelah sukses melakoni Revolusi Oktober, Soviet tak pernah benar-benar menjadi negara yang menjunjung kebebasan rakyatnya. Apalagi rezim komunis Stalin dianggap tidak mengenal yang namanya kemanusiaan. Satu hal penting yang perlu dimiliki penguasa bila ingin menyejahterakan rakyatnya.
Di Indonesia, Binatangisme telah diterbitkan dalam beberapa edisi. Yang saya ingat, ada dua judul yang dipakai untuk karya terjemahannya. Pertama Animal Farm terjemahan Bakdi Soemanto yang diterbitkan Bentang. Kedua, dan yang saya miliki, tentu saja terjemahan dari si jenaka Mahbub Junaidi yang kebetulan diterbitkan ulang oleh Gading.
Hal paling mendasar yang membedakan kedua terjemahan ini adalah keberanian Mahbub untuk menerjemahkan karya Orwell ini dengan ‘tidak taat’. Mahbub, dengan berani menambahkan beberapa kata yang tidak hadir di buku dalam Bahasa Inggris. Contoh yang paling mudah, tentu saja penambahan kalimat “Bibirnya mencong, setitik ingus melekat di lubang hidungnya” pada paragraf pembuka buku ini.
Hal semacam ini memang menimbulkan perdebatan oleh beberapa pihak. Meski ya menurut saya, itu tidak penting-penting amat mengingat Mahbub tetap berhasil menyampaikan isi Binatangisme-nya Orwell dalam bahasa yang memukau. Saking memukaunya, saya hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk menyelesaikan buku ini dalam satu kali baca. Habis dalam sekali lahap.
Ketika membaca buku ini, saya melakukan dua hal di hampir seluruh aktivitas membaca. Yang pertama, tentu saja tertawa. Kejenakaan tampak nyata dalam buku ini. Kedua, tentu saja, memaki. Entah mengucap babi atau anjing, seperti dua pelakon utama sistem otoritarian Peternakan Binatang. Semua maki itu terucap karena memang ini adalah sebuah buku bajingan yang memukau.
Dan yang paling penting, buku ini mengingatkan kita akan bahaya pendekatan kekuasaan otoriter dengan cara yang paling jenaka. Penggunaan kekuatan militer untuk membungkam upaya perlawanan, kebohongan yang melulu ditampilkan hingga rakyat bingung mana yang nyata mana yang palsu, dan betapa serakahnya rezim yang berkuasa dengan model seperti ini. Dan memang hal macam itulah yang bakal kita dapatkan jika kita membiarkan para babi yang memimpin revolusi.
Judul                           : Animal Farm
Penulis                        : George Orwell
Penerjemah               : Mahbub Junaidi
Jumlah halaman      : ix + 153 hlm
Penerbit                     : Gading
Cetakan                      : II, Mei 2017
ISBN                           : 978-602-0809-31-1

Terbit pertama di Baca Tangerang
Sebagai mahluk sosial, manusia tak pernah bisa lepas dari lingkungannya. Hampir dalam seluruh aspek hidup, seseorang tidak bisa lepas dari keberadaan orang lainnya. Begitu pun dengan para perokok yang tidak bisa menafikan keadaan lingkungan dan keberadaan orang lain.
Dengan memutuskan untuk merokok, seseorang harus sadar akan tanggung jawab yang besar karena memilih jalan ini. Para perokok harus sadar bahwa mereka bakal berada dalam tekanan yang tinggi, karena stigma negatif yang dilekatkan masyarakat pada rokok suka tak suka bakal merepotkan mereka. Belum lagi segala bentuk diskriminasi yang bakal dialami. Untuk itulah, semua orang yang merokok harus sadar akan risiko dari hal tersebut.
Walau memiliki risiko tidak mengenakkan seperti tadi, tapi ya para perokok tetap istiqomah pada jalannya. Tetap teguh menjalani lakon sebagai perokok. Tak peduli sumpah serapah yang dilontarkan padanya, perokok tetap saja menikmati jalan hidup yang dipilihnya ini.
Mungkin tidak semua orang sadar kalau para perokok ini sedang menjalani laku untuk membaktikan diri pada kepentingan orang lain. Menjalani hidup untuk berbagi pada orang lain. Satu hal yang agaknya, sulit dipahami jika tidak menjalaninya secara langsung.
Menjadi perokok itu artinya kita harus bersedia menyumbangkan sebagian (besar) uang kita kepada negara. Melalui Cukai, PPN, PDRD, sekitar 70% uang yang kita keluarkan untuk membeli sebungkus rokok masuk ke kas pemerintah. Dari cukai saja, uang kita yang masuk ke kas negara sudah mencapai Rp 130 triliun. Lebih dari 5% dana APBN.
Uang tersebut memang tidak langsung kita berikan untuk kepentingan masyarakat. Masih harus masuk APBN dan menunggu dialokasikan untuk apa saja. Tapi ya nantinya, uang kita para perokok tetap bakal dinikmati oleh masyarakat, tentu saja termasuk yang tidak merokok.
Sebagai contoh, baru-baru ini pemerintah menyuntikkan dana Rp 5 triliun kepada BPJS agar tetap bisa beroperasi. Dan dana tersebut didapatkan dari cukai rokok yang jelas saja bersumber dari kita para perokok. Sebuah kebanggaan, tentu saja. Mengingat kita yang selalu dianggap menjadi penjahat ini ternyata mampu berbuat sebaik ini pada bangsa dan negara.
Itu baru Rp 5 triliun yang dialokasikan. Kalau mengacu sama pendapatan cukai tahun lalu, masih ada sekitar Rp 131,5 triliun lagi yang bisa digunakan negara untuk membantu kehidupan rakyatnya. Dengan uang segitu, coba bayangkan berapa banyak sekolah, rumah sakit, atau jalanan yang bisa dibangun pemerintah.
Ya mungkin apa yang kami berikan pada negara ini tidak seberapa. Tapi percayalah, semua ini kami lakukan tentu dengan niat yang tulus. Tak pernah kami muluk-muluk menuntut pada negara, kecuali dalam urusan ruang merokok yang layak juga tidak lagi didiskriminasi oleh pemerintah. Setidaknya dengan begini, kami mampu mengamalkan laku kesalehan untuk kehidupan sosial.
Meski kami perokok sama-sama tahu kalau cukai melulu naik dan semakin hari semakin tinggi, kami tetap saja membeli rokok dengan cukai. Walau kami melulu didiskriminasi dan mendapat stigma negatif, kami tak gentar untuk menyumbangkan uang kami melalui cukai. Karena memang dengan merokok, kami dapat membantu bangsa dan negara yang tercinta.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Paruh pertama film Wage berlangsung terlalu cepat. Fase demi fase masa muda komponis lagu kebangsaan ini hanya menampilkan cuplikan-cuplikan yang amat tidak bisa dinikmati. Apalagi jika orang yang menonton film ini adalah awam yang tak kenal bagaimana Wage tumbuh sebagai pejuang.
Adegan demi adegan tersaji hanya sekelebat saja. Wage kecil yang ditinggal mati ibunya, kemudian tinggal bersama van Eldik yang tak dijelaskan kalau dirinya adalah kakak ipar Wage. Hingga kemudian Wage dicemooh teman-teman sekolahnya yang bukan pribumi berubah dewasa dan menjadi anggota grup musik Black & White yang terkenal di Makasar sana.
Semua berlangsung dengan kilat. Tak ada adegan yang menceritakan kenapa Wage jadi andal bermain biola. Tak ada juga adegan yang menggambarkan alasan kenapa Wage mau ikut berjuang bersama orang-orang pergerakan kemerdekaan. Di film ini, hanya tersaji kalau Wage tiba-tiba hadir di sebuah pertemuan dengan pidato berapi-api, tanpa ada gambaran yang membuat Wage mantap berjuang untuk para pribumi.
Satu-satunya hal menarik di paruh pertama ini, adalah bagaimana sang tokoh mengenalkan diri pada khalayak. Meski lebih dikenal dengan nama Rudolf, tokoh kita lebih senang dipanggil dengan nama Wage. “Panggil saja saya Wage,” ujarnya dalam sebuah adegan tatkala Ia minta bosnya yang Belanda untuk memanggilnya dengan nama tersebut.
Saya secara pribadi sudah khatam membaca kisah Wage. Dari sebuah komik terbitan Elex Media, saya mendapati kisah Wage yang cukup jelas dan dapat menggambarkan masa-masa yang membentuk Wage sehingga mau berjuang untuk kemerdekaan. Hal ini, sayangnya, tidak bisa saya dapatkan dari fim tersebut.
Di Komik, diceritakan dengan cukup detail bagaimana kakaknya yang Belanda itu menambahkan Rudolf pada nama Wage agar dirinya bisa masuk sekolah Belanda. Selain itu, dikisahkan juga bagaimana van Eldik mengajarkan Wage bermain musik untuk menghilangkan kesal karena diejek temannya di sekolah. Beberapa hal yang kurang dijelaskan dalam film garapan John de Rantau ini.
Yang menurut saya agak parah adalah, ketika film ini gagal memasukkan kisah ditolaknya Wage oleh seorang noni Belanda karena statusnya yang seorang pribumi. Padahal, saya rasa hal ini adalah salah satu hal yang menambah keyakinan Wage untuk ikut berjuang bersama pribumi yang lain. Ya meski alasan utamanya adalah kegundahan Wage melihat hidupnya yang sejahtera sementara pribumi lain malah menderita.
Meski begitu, setelah masuk paruh kedua film, cerita jadi berjalan menyenangkan dan lebih mudah dicerna oleh orang yang awam sekalipun. Jika paruh pertama film mengisahkan masa muda Wage hingga datang ke Batavia dan terlibat dalam kongres pemuda, maka paruh kedua menceritakan perjalanan Wage sebagai seorang buronan setelah menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kongres Pemuda kedua.
Pada fase peralihan ini, film menjadi menyenangkan karena saya dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza dengan lantang di dalam bioskop. Maklum, ketika nonton film ini semalam, hanya ada 5 orang yang rela mengeluarkan uang untuk menyaksikan Wage. Jadi ya ruang bioskop serasa milik pribadi sahaja. Nyanyi sampai teriak kencang pun, tak ada orang yang terganggu.
Setelah lagu kebangsaan berkumandang, mulailah fase berbeda dalam hidup Wage. Meski sadar akan risiko perjuangannya, tapi tetap saja Wage harus bersembunyi agar selamat dari kejaran dinas intelijen politik pemerintah Hindia Belanda. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya Wage ditangkap dan dipenjara di Surabaya.
Film ini sebenarnya cukup berhasil memberikan gambaran detail dalam hidup Wage, hanya saja di awal film adegannya terlalu cepat dan sulit dipahami. Terlihat jelas ada banyak adegan yang dipotong demi memenuhi durasi yang tersedia. Tapi ya film ini tetap perlu diapresiasi mengingat tidak banyak orang tahu bagaimana kisah dan perjuangan Wage demi kemerdekaan Indonesia.
Saya jadi teringat, betapa stresnya Wage tatkala dikejar deadline untuk membuat satu lagu kebangsaan yang mampu menyatukan seluruh komponen bangsa di Hindia Belanda. Betapa Wage yang cuma bisa dekat dengan seorang gadis tanpa mampu meminangnya karena nasib hidupnya sebagai pelarian. Dan bagaimana seorang pencipta lagu kebangsaan harus meloak barang-barang di rumahnya guna mempertahankan hidup dan mencetak bukunya sendiri. Begitulah kiranya memang nasib senorang yang memilih garis perjuangan.
Sebuah ironi, agaknya. Di saat orang-orang mengucap selamat hari pahlawan, film Wage di bioskop justru tak ramai dikunjungi. Ketika orang-orang melulu menampilkan wajah Soekarno atau Bung Tomo di spanduk-spanduk yang tersebar di jalanan, tapi lupa kalau ada orang yang berhasil mempersatukan komponen bangsa melalui lagu ciptaannya. Sebuah lagu kebangsaan, yang tak pernah betul-betul bisa Ia nyanyikan di kala Indonesia merdeka.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Selama ini masyarakat kita kerap mengenal nama Gatot Subroto atau TB Simatupang sekadar sebagai nama jalan. Kalau Soedirman, memang sebagian kita masih mengingatnya sebagai seorang jendral besar yang jadi pimpinan pertama angkatan bersenjata kita. Tapi kalau yang lain, agaknya tidak banyak yang tahu.
Hal serupa juga menimpa nasib Daan Mogot. Nama tersebut memang menjadi jalan yang terbentang sepanjang Tangerang-Jakarta. Menjadi jalan besar yang menghubungkan kota ini dengan ibukota. Menjadi jalan tempat orang mengais rezeki setiap harinya. Sebatas itu saja pengetahuan umum soal Daan Mogot yang kepahlawanannya cukup melegenda di Tangerang.
Jarang agaknya yang tahu kalau pemuda asal Minahasa ini adalah pejuang yang gugur di Tangerang kala mempertahankan kemerdekaan Republik dari para penjajah. Upaya pendirian akademi militer darurat yang dinamai Militaire Academie Tangerang tak lepas dari keberadaannya.
Lahir dengan nama lengkap Elias Daan Mogot pada 28 Desember 1928 di Manado, Ia hidup dalam lingkungan keluarga polisi dan tentara. Ayahnya, Nicolaas Mogot adalah pejabat pemerintahan di Hindia Belanda. Ia pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat pada masa penjajahan), dan membawa serta keluarganya kala untuk pindah ke Batavia.
Karir militer Daan bermula kala Ia berusia 14 tahun. Saat itu, Belanda baru saja menyerah pada Jepang dan tentara Nippon mengambil alih kekuasaan politik di Hindia. Ia menjadi salah satu anak muda yang terpilih untuk mengikuti latihan Seinen Dojo (Pelatihan Pemuda) di Tangerang. Setelah lulus dari pelatihan ini kemudian Daan bergabung dengan barisan Pemuda Tanah Air yang merupakan kelompok tentara sukarela buatan Jepang.
Saat bergabung dengan PETA, Daan diberi pangkat sebagai Shodanco atau Letnan dalam strata perpangkatan hari ini. Ia menjadi salah satu anggota termuda karena waktu itu baru berusia 15 tahun. Meski berusia muda, dalam pengakuan beberapa orang Daan dikenal sebagai sosok cerdas. Karena itu Ia pernah ditunjuk menjadi asisten instruktur pelatihan militer anggota PETA di Bali.
Pada masa cemerlang karirnya di militer, pemerintahan Jepang justru menyerah pada sekutu. Saat itu, Ia beserta rekan-rekannya di PETA harus memilih berada di sisi mana: sekutu atau Republik Indonesia yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya. Dan Ia memilih berada di pihak republik dengan bergabung bersama Barisan Keamanan Rakyat dengan pangkat Mayor.
Untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman sekutu, Daan Mogot kemudian mendirikan akademi militer Tangerang untuk mendidik perwira guna perjuangan revolusi kemerdekaan. Di usianya yang masih terbilang remaja, 17 tahun, Ia telah menjadi pimpinan dari sebuah akademi militer untuk orang sebayanya. Semua itu terjadi pada bulan November 1945.
Baru dua bulan akademi berjalan, Daan Mogot harus gugur setelah pecah pertempuran senjata antara pasukannya dengan pasukan Jepang yang menolak menyerahkan senjata pada Republik. Pada awal masa kemerdekaan, para tentara Jepang yang telah kalah memang dipaksa untuk menyerahkan senjatanya pada pasukan republik. Sayang, tak semua tentara Jepang mau menyerahkan senjatanya, seperti yang terjadi di Lengkong ini.
Semua bermula dari upaya perundingan agar tentara Jepang menyerahkan senjatanya secara sukarela. Namun kala perundingan antara Daan Mogot dan pimpinan tentara Jepang berlangsung, di luar justru pecah pertempuran antara pasukannya dengan tentara Jepang. Berada di markas musuh dengan persenjataan yang terbatas menjadi alasan kekalahan mereka. Daan Mogot tewas, beserta rekan dan anak-didiknya.
Beberapa hari kemudian mereka yang tewas dimakamkan di dekat penjara anak Tangerang yang kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna. Dalam pemakaman itu hadir petinggi militer Tangerang juga tokoh seperti Sutan Sjahrir.
Puluhan tahun berlalu, Daan Mogot pun diangkat menjadi Pahlawan Nasional Nasional karena jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di Lengkong, tepat di lokasi pertempuran tersebut terjadi juga didirikan sebuah monumen yang dinamakan Monumen Lengkong. Tanggal 25 Januari yang menjadi hari saat pertempuran itu terjadi juga diperingati sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer.
Dan tak ketinggalan, tentu saja, nama Daan Mogot turut diabadikan sebagai nama jalan yang membentang sepanjang Kota Tangerang dan Jakarta Barat. Sebuah jalan penting yang tak pernah sepi walau macet dan banjir menghadang. Tidak pernah sepi walau tak ada yang tahu siapa pejuang tampan asal Minahasa yang menjadi nama jalan tersebut.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Saya kok percaya dengan semakin banyak ruang publik seperti taman yang berdiri, bakal semakin terbuka juga ruang gerak untuk teman-teman komunitas yang berjuang untuk hidup.
Kala berkunjung ke Kediri, saya ngobrol-ngobrol bareng teman-teman komunitas baca di taman. Anak-anak muda dari beberapa kampus yang ada di sana. Kami ngobrol di taman Sekartaji, satu taman dekat sungai Brantas yang belum lama berdiri. Paling lima bulan.
Sebelum taman Sekartaji ada, teman-teman muda ini lebih banyak aktif di kampus. Dengan segala keterbatasan yang ada di kampus, mereka membangun kelompoknya dari nol. Kini dengan hadirnya ruang terbuka publik yang asik, aktivitas mereka mulai membesar.
Ada dua bangunan semi terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai lapak acara di taman ini. Kalau mau diskusi di siang hari, keadaan hujan, atau ketika ingin suasana yang lebih intim, keberadaan ruang beratap seperti ini amat membantu aktivitas komunitas yang ada.
Perkara memanfaatkan ruang publik ini juga dilakukan oleh teman-teman komunitas Pustaka Pinggiran dari Ponorogo. Mereka menjadikan ajang hari bebas kendaraan di kotanya untuk menggelar lapak perpustakaan di pinggir jalan. Memaksimalkan keadaan untuk membuat komunitasnya berkembang.
Organisasi mereka memulai lapak pustakanya dengan 50-an buku koleksi pribadi anggotanya. Kini mereka telah memiliki sekitar 500 koleksi yang siap dibaca dan dipinjamkan ketika gelaran di ajang hari bebas kendaraan tersebut.
Di kota tempat saya tinggal, Tangerang, pembangunan taman juga sedang gencar-gencarnya dilakukan. Seiring bertambahnya jumlah ruang publik, semakin sering juga acara-acara terhelat di Tangerang. Sayangnya, kebanyakan taman tidak memiliki peneduh yang baik untuk para pengunjungnya. Di taman Cikokol, misalnya, sama sekali tidak ada tempat berteduh jika cuaca sedang terik atau malah hujan deras.
Pembangunan taman di Tangerang memang memiliki tema dan potensi wisata yang menarik. Ada taman potret yang memiliki beberapa objek foto untuk para instaholic. Atau ada taman skate tempat teman-teman skater bermain di sore hari. Namun dari sekian banyak taman yang ada saya belum menemukan adanya taman yang menunjang aktivitas diskusi atau membaca bagi beragam komunitas literasi di Tangerang.
Walau begitu, keberadaan ruang publik yang ada memang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena masalah yang kerap menjangkiti komunitas bukanlah ketidaktersediaan ruang untuk dimanfaatkan, tapi lebih disebabkan kurangnya daya juang yang dimiliki komunitas terkait. Dan dari perjalanan bertemu banyak komunitas beberapa waktu ini lah saya belajar soal daya juang itu.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Pengalaman selama dua pekan di Bali Utara, melakukan penelitian tentang cengkeh membawa saya pada sebuah kebiasaan; mengenali pohon cengkeh walau dari jauh. Di sana, saya terbiasa melihat hamparan besar kebun cengkeh yang berkilauan merah Karena itu, saat pertama kali melihat Gunung Sumbing dari belakang rumah tempat kami bermukim di Temanggung saya langsung sadar, ada pohon cengkeh di ladang tetangga.
Di Munduk, melihat hamparan luas pohon cengkeh adalah hal biasa. Namun tidak bagi Temanggung. Di sini tembakau lah yang menjadi hidup masyarakat. Melihat hamparan ladang tembakau lah yang menjadi pemandangan biasa di sini. Karenanya, saat melihat cengkeh, saya mencoba mencari informasi terkait komoditas yang sama-sama menjadi bahan baku kretek ini.
Di Desa Tlilir, keberadaan kebun cengkeh pernah menjadi hal biasa. Setidaknya semua itu terjadi berpuluh tahun lalu, sebelum terdengar orang-orang menyebut nama Tommy. Tentu saja yang dimaksud adalah putra mahkota Orde Baru, Tommy Soeharto.
Dulu, sebelum nama itu terdengar di desa Tlilir, ada beberapa petani yang ikut menanam cengkeh di kebunnya. Tidak terlalu banyak memang hamparannya. Karena di sini masyarakat lebih biasa menanam tembakau sebagai komoditas utama mereka. Apalagi musim cengkeh dan tembakau tiba hampir bersamaan. Agak sulit mengurus dua komoditas ini secara bersamaan.
Tapi mereka pernah mengalami masa menyenangkan bersama cengkeh. Sebelum masa suram BPPC hadir, harga cengkeh terbilang tinggi. Setidaknya, dalam perbandingan mereka, panen cengkeh dalam luas kebun yang tidak seberapa cukup untuk membeli sepeda motor.
Sayangnya, cengkeh memang tidak pernah berjaya di Temanggung. Belum berapa lama cengkeh dibudidaya di sana, nama Tommy mulai didengar warga.
Pada masa itu pemerintah mendirikan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh yang mengelola semua tataniaga cengkeh di Indonesia. BPPC sebagai badan yang didirikan negara bekerja sama dengan perusahaan swasta milik Tommy dan Koperasi Unit Desa untuk membeli cengkeh. Hanya kepada mereka cengkeh boleh dijual, tidak pada yang lain.
Persoalan utama bagi petani cengkeh bukanlah kepada siapa mereka menjual, tapi lebih pada berapa harga jualnya. Kala itu cengkeh memang dihargai murah, hanya Rp2 ribu per kilogram. Perbandingan saat itu, hasil seluruh penjualan cengkeh tidak cukup menutupi biaya petik yang melibatkan pekerja. Itu baru biaya petik, belum pupuk dan lain-lainnya.
Karenanya para pemilik kebun cengkeh memilih untuk menebang pohonnya untuk diganti komoditas lain. Ditanami kembali dengan tanaman semusim bernama tembakau. Buat apa mereka menanam komoditas yang tidak bisa menghasilkan, padahal mereka tertarik menanam karena tahu harga cengkeh (awalnya) tinggi.
Di beberapa ladang, saya masih melihat beberapa pohon cengkeh berdiri. Di setiap ladang jumlahnya beragam. Ada yang 2, 4, bahkan 8 tegakan. Sayang, kebanyakan pohon yang berdiri kurang terawat, tidak produktif, dan terlihat terkena jamur akar putih. Kini, pohon-pohon yang tegak berdiri pun telah berusia lebih dari 30 tahun. Sesuai dengan acuan kalau rata-rata penanaman cengkeh di Temanggung terjadi pada periode 1980an.
Tanpa pernah merasakan jaya, komoditas ini habis karena kebijakan negara yang tidak berpihak pada petani. Hanya bisa menjadi cerita bagi warga. Hal serupa bisa saja menimpa tembakau yang menjadi andalan warga Temanggung. Hancur lebur karena regulasi yang melulu menekan tembakau, hingga akhirnya petani kehilangan pengharapan hidup dari tanaman ini.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
Sepanjang musim tembakau tahun ini, ada gairah yang tahun lalu sempat hilang dari kehidupan warga Temanggung. Sepanjang jalan menuju Gunung Sumbing dan Sindoro, terlihat para-para berisi tembakau rajangan yang tengah dijemur. Para petani dan pekerja ladang pulang-pergi ke kebun, memetik dan membawa pulang daun tembakau yang telah dipanen. Sementara di siang hingga sore hari ibu-ibu terlihat sibuk menata daun tembakau untuk diperam dan pada pagi hari mereka sibuk menganjang tembakau yang telah dirajang.
Semua aktivitas ini dilakukan setiap hari, terus-menerus sepanjang hari selama musim tembakau masih berlangsung. Tahun lalu, aktivitas semacam ini kurang banyak terjadi karena hujan yang terus-menerus turun di sepanjang tahun. Kemarau basah membuat pertumbuhan tembakau kurang baik. Untuk proses pascapanennya, pengeringan tembakau menjadi lebih lama dan tidak maksimal.
Pada awal musim tanam tembakau kali ini, hujan juga sempat mengguyur tanpa henti. Para petani harus beberapa kali mengganti bibit tembakau yang rusak karena diguyur hujan terus menerus. Walau akhirnya, matahari yang menjadi faktor penentu kualitas tembakau muncul dan menyinari harapan para petani.
Meski memang pertumbuhan tembakau tahun ini masih belum begitu baik, tapi panen yang telah dijalani sejak Agustus kemarin telah mendatangkan hasil. Para pekerja ladang, yang menggantungkan hidup dari musim tembakau kembali mendapatkan pekerjaannya. Para pemetik juga kembali mendapat pekerjaan. Penjual dan pengrajin keranjang pun turut senang karena panen bisa berjalan.
Setelah panen bisa berjalan, petani kemudian harus menjual tembakaunya ke gudang yang ada di Temanggung. Di kota, ada beberapa gudang pabrikan yang tersedia. Mulai dari Nojorono, Bentoel, Gudang Garam, juga Djarum. Selain gudang-gudang pabrikan, ada juga gudang milik gaok (saudagar) yang biasanya tersedia lebih dekat dengan desa-desa penghasil tembakau.
Pekerja gudang mengangkut keranjang tembakau⁠⁠
Tahun ini pembelian dari pihak gudang kembali bergairah. Setidaknya, panen tahun ini masih jauh lebih baik dari tahun lalu. Tahun lalu, banyak gudang memutuskan untuk tidak membeli tembakau. Nojorono tidak membuka pembelian di gudangnya. Gudang Garam, tidak lama membuka gudang. Mungkin hanya Djarum yang membuka gudangnya dalam waktu yang cukup lama.
Untuk menjual tembakau, petani bisa memilih untuk menjual langsung ke gudang atau melalui gaok. Penjualan ke gudang pabrikan bisa dilakukan petani secara langsung. Hanya saja memang tidak semua pabrikan membuka gudangnya untuk petani.
Gudang Garam, misalnya. Pembelian di gudang mereka hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki KTA. Biasanya, KTA ini dimiliki oleh para gaok. Kalaupun ada petani yang juga memilikinya, kemungkinan besar petani itu juga berprofesi sebagai gaok yang membeli tembakau dari petani lainnya.
Jika mau menjual tembakau ke Gudang Garam, mau tidak mau petani yang tidak memiliki KTA harus menggunakan jasa para gaok. Mereka menjual tembakau ke gaok dengan rentang harga tertentu, dan beberapa hari setelah tembakau diserahkan ke gudang mereka baru mendapatkan uang hasil penjualan.
Sementara untuk gudang Nojorono dan Djarum, para petani bisa menjualnya langsung tanpa harus memiliki KTA terlebih dulu. Memang di gudang milik Djarum, ada petani-petani yang ikut sistem kemitraan pabrik mereka yang lebih diutamakan. Hanya saja, para petani lain yang tidak ikut kemitraan pun bisa menjualnya. Walau tentu saja, petani harus mengikuti standar mutu yang dimiliki gudang.
Para petani yang mengikuti sistem kemitraan biasanya mendapat pengawasan soal standar mutu sejak proses penanaman. Urusan ini biasanya dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan dari Djarum yang datang langsung ke ladang untuk melihat kualitas tanaman para petani kemitraan.
Dalam sebuah kunjungan ke gudang Djarum yang dikomandoi grader bernama Koh Yopi, saya melihat transaksi beratus-ratus keranjang tembakau dalam satu hari. Menurut Koh Yopi, dalam satu tahun gudangnya sanggup menampung hingga 26 ribu keranjang tembakau. Dengan modal pembelian yang mencapai Rp 90 Miliar, gudangnya akan terus membeli tembakau dari para petani, setidaknya hingga petani kemitraan tidak ada lagi yang menjual panennya.
Untuk nilai tembakau, biasanya setiap gudang memiliki harga masing-masing berdasar kualitas tembakau. Dengan jenjang antara grade A hingga G, harga yang diberikan pun berbeda-beda.
Keranjang-keranjang tembakau mengantre masuk gudang
Misal, untuk tahun ini bukaan harga tembakau grade A dari Djarum bernilai Rp 25 ribu per kilogram. Angka ini akan terus bertambah seiring musim panen berjalan dan berdasar grade yang semakin tinggi. Ah iya, ukuran grade tembakau dimulai dari A yang paling rendah hingga ke yang paling tinggi H. Tapi grade H sendiri agak jarang ditemukan.
Saat saya datang di gudang Koh Yopi, harga untuk grade C sudah mencapai angka Rp 70 ribu per kilogram. Sementara grade E yang paling tinggi saat itu masih berkisar di angka Rp 125 ribu. Angka ini akan terus meningkat seiring panen tembakau dengan kualitas tinggi telah dilakukan. Prediksi petani kemitraan bernama Sugito, Grade F sepertinya bakal dihargai di angka Rp 250 ribu.
Tapi itu hanya harga yang saya dapat dari Gudang Djarum di Temanggung. Hingga saat ini, Nojorono belum membuka gudangnya. Sementara Gudang Garam tak bisa saya masuki karena saya sendiri tidak memiliki KTA. Untuk Bentoel, biasanya mereka membeli dari gudang-gudang kecil milik para gaok. Hanya gudang Djarum yang agaknya terbuka untuk orang asing semacam saya.
Sebelum terjun ke gudang dan melihat sendiri tataniaga pertembakauan di Temanggung, saya kerap menemukan berita tentang petani yang kapok ditipu saat menjual tembakaunya. Ada berita yang bilang mereka ditipu bobot keranjangnya. Ada juga yang katanya ditipu soal harga.
Sebenarnya, setiap gudang punya aturan main soal bobot tembakau dalam keranjang. Di gudang Djarum, setiap keranjang dipotong hingga 20% mengingat bobot wadahnya dan kebutuhan untuk percontohan pada pabrikan. Tapi maksimal, gudang memotong bobot hingga 7kg. Begitu aturannya.
Ketika petani datang ke gudang, tembakau siap jual terlebih dulu ditimbang sembari menunggu antrean. Nantinya setelah mendapat giliran, tembakau akan dinilai kualitasnya oleh grader ditemani petani pemilik keranjang. Koh Yopi biasanya akan mengambil sampel dari bagian tengah keranjang untuk menghindari kecurangan dari petani.
Setelah memastikan grade tembakau, petani akan diberitahukan hasilnya. Setelah itu, petani tinggal mendatangi kantor keuangan gudang untuk menerima pembayaran dari tembakau yang Ia jual. Poin ini yang dianggap menguntungkan petani jika menjual tembakau ke gudang. Karena mereka bakal mendapat bayaran langsung tanpa harus menunggu dengan risiko tertipu.
Skema macam ini saya rasa perlu dijadikan patokan bagaimana tataniaga tembakau berjalan. Memang, dengan sistem lama yang mengandalkan gaok ada risiko bagi petani dalam tataniaga. Namun dengan sistem yang lebih terbuka seperti di atas, risiko itu setidaknya bisa diminimalisir.
Pertama terbit di situs Komunitas Kretek
iPhone itu hape mahal dan ribet, masa ada hape ngga punya tombol back. Setidaknya
kalimat macam inilah yang biasanya keluar dari para pengguna Android yang anti terhadap
ponsel premium satu ini. Kenapa aing bilang anti, jelas karena ketidakpahaman mereka
terhadap kualitas iPhone tapi semena-mena mengomentari ponsel ini. Semacam netizen
yang sukanya like share amin tanpa buka link.

Sebelum aing melanjutkan tulisan ini, ada baiknya aing menegaskan dua hal. Pertama aing
tidak anti terhadap Android, toh aing masih punya Samsung J7 Prime. Kedua, aing pemakai
ponsel pintar kelas menengah dan premium. Alasannya tentu saja, karena hape mahal
kualitasnya lebih bagus. Ponsel yang kalau kita eksploitasi secara berlebih, tidak bakal hank
atau lack. Setidaknya itu yang aing rasakan dari iPhone 7 Plus seharga motor yang aing
punya.

Orang-orang yang tidak pernah pakai ponsel premium seperti iPhone tentu tidak bakal
paham kemampuan multitasking yang melancarkan segala aktivitas. Dari ambil gambar
sampai edit video, dari main game berat sampai cuma WhatsApp-an, dari twitwor sampai
fesbuk-wor dapat dengan mudah anda jalankan. Semua tentu akan berjalan mulus dengan
ponsel berjeroan terbaik.

Coba bandingkan kemampuan iPhone 5s dengan ram 1gb yang dulu aing punya itu dengan
ponsel sekelas Asus Zenfone 2 ram 4gb yang juga pernah aing punya. Adu kemampuan
multitasking kedua ponsel beda kapasitas ram itu tetap dimenangkan sama ponsel yang
ramnya cuma 1gb. Apalagi ponsel Asus sering panas kalau mesinnya terlalu dipaksakan.
Sampai aing kadang heran sama diri sendiri, kok ya dulu aing mau-maunya beli hape
semacam setrikaan itu.

Perkara kamera juga jangan ditanya bos. Ponsel adik aing yang Oppo F1s itu memiliki
kamera belakang 13mp sementara iPhone 5scuma 8mp. Tapi perkara pengambilan gambar,
apalagi video, mantan ponsel aing itu tidak kalah kelas. Dalam urusan dapur pacu pun
mantan ponsel aing tetap tak dikalahkan dengan ponsel yang ramnya 4gb itu. Nama doang
mirip balapan, kecepatan mesin sekelas Xenia.

Kalau Xiaomi mah udah jelas-jelas cuma mau niru iPhone. Dengan harganya yang murah dan
spek lumayan tinggi, Xiaomi jenis redmi cuma bisa ngadalin hape macam Vivo. Buat yang
agak bagusan macam Mi5, palingan menangnya sama Samsung seri J bos. Ada sih Samsung
yang bagus, tapi ya dibandingin nama iPhone 6 aje tetep kalah kemane-mane.
Itu hape-hape tadi baru sama iPhone 5s dan 6 loh, belum dibandingkan dengan iPhone 7
dan iPhone 7 Plus yang aing pegang sekarang.

Buat orang yang suka ponsel layar sedang dan mudah digenggam, iPhone 7 adalah ponsel
terbaik yang ada saat ini. Kemampuan kamera, dapur pacu, dan desain elegan yang berpadu
menjadi satu ponsel. Tentu saja, ini bukan ponsel yang cuma mengandalkan kamera selfie,
ram besar, baterai maximal, atau harga murah. Ini iPhone, bung.

Sementara buat yang suka ponsel layar lebih besar dengan kemampuan seperti di atas tapi
lebih bagus lagi untuk dieksploitasi, iPhone 7 Plus adalah solusinya. Dapur pacu super plus
dual kamera terbaik dibalut dengan desain super elegan. Ini ponsel terbaik yang pernah ada.

Mau nonton film, main game berat, buka medsos berakun-akun, serta aplikasi penunjang
kerja yang butuh tenaga besar tidak membuat iPhone 7 Plus perlu untuk mematikan aplikasi
yang ada di taskbar. Bandingkan dengan Android yang kalau mulai lelet, pilihan untuk
menutup semua aplikasi di taskbar menjadi solusi mereka. Dan tentu saja, salah satu
kelebihan utama iPhone 7 Plus adalah membuat penggunanya menjadi jauh lebih keren.

Kalau mau dibandingkan dengan ponsel flagship sekelas Galaxy S7 atau yang Edge, iPhone 7
Plus, ponsel terakhir terlalu tangguh untuk ponsel pintar besutan Samsung itu. Apalagi sejak
Samsung seri S menampilkan tampilan antimainstream tapi aneh dengan layar melengkung
yang hadir di S7 Edge, minat aing membeli ponsel S8 jadi hilang.

Secara 'spek', Android boleh merasa lebih tinggi dari iPhone. Tapi tahukah Anda, jika kemampuan IoS untuk menjalankan mesin rasa-rasanya lebih efisien dan unggul ketimbang sistem operasi
bernama makanan itu. Maka, mohon ini mah, jangan bandingkan iPhone 7 dan 7 Plus
dengan merek semacam Xiaomi, Oppo, Asus, apalagi Vivo. Bertarung sama iPhone 6 atau 5S
saja belum mampu, masa mau diadu sama 7 Plus bhaaang.

Kalau pun harga iPhone mahal, ya wajar aja sih. Ada harga ada kualitas bos. Masa hape
harga 3 juta mau sebanding kemampuannya ama yang premium. Itu Samsung Galaxy Note 8
yang pengen dibeli kepala suku (aing juga pengen sih) aja harganya hampir 13 juta.

Atau ya memang kalau kemampuan kalian cuma beli Asus Zenfone ngaku aja deh. Nggak
usah minder gitu. Kalau nggak mampu beli iPhone ya ngaku aja, aing tahu kok kemampuan
kantong kalian. Ya tolong jangan bandingin kemampuan kalian sama aing yang kemarin baru
beli iPhone 7 bekas kepala suku yang nggak paham-paham amat soal ponsel premium itu.