Aditia Purnomo

Drama itu akhirnya berakhir. Ya, drama pencalonan pasangan presiden dan wakilnya untuk Pilpres 2019 telah berakhir dengan (tidak) menggembirakan. Setelah pada rabu malam nama Sandiaga Uno santer dibincangkan menjadi calon wakil presiden Prabowo, Presiden Petahana Jokowi pun telah menjatuhkan pilihan cawapresnya: Ma’ruf Amin.
Sayangnya, segala drama itu berakhir antiklimaks. Setidaknya buat saya. Ramai diperbincangkan bakal menggaet mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Presiden Jokowi malah memilih seorang KH Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya. Sebuah dagelan (lagi) mengingat munculnya nama Sandiaga Uno saja telah membuat kita (hampir) tak percaya.
Jelang pengumungan cawapres Jokowi, Mahfud sebenarnya telah bersiap. Menurutnya, Ia telah dihubungi pihak istana untuk mempersiapkan diri. Tapi, karena dorongan partai koalisi, duet maut di pilpres nanti urung terwujud. Mahfud balik kanan, Jokowi ditemani Bunda Mega dan Papa Paloh mendeklarasikan duetnya bersama Ma’ruf Amin. Di sisi lain, Prabowo pun resmi meminang Sandiaga untuk bertarung. Suram nian nasib pilpres bangsa nantinya.
Ma’ruf Amin memang bukan nama sembarangan. Ia adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ia pun pernah menjadi Anggota DPR dan MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Tidak hanya itu, Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada cukup banyak lagi sih rekam jejaknya dalam berbagai organisasi, tapi ya sepertinya tidak perlu-perlu amat untuk dijabarkan. Ia sudah kenyang pada urusan itu. Namun, dalam urusan menjalankan pemerintahan, agaknya keputusan menjadikannya cawapres cukup menakutkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, rekam jejaknya terkait HAM cukup tidak baik. Sebagai Ketua Fatwa MUI, Ia pernah mengharamkan sekularisme dan pluralisme. Pandangannya terhadap Ahmadiyah juga Syiah juga terbilang keras. Dan terkait LGBT, Ia pernah memprotes putusan MK yang tidak memasukkan persoalan ini dalam delik pidana. Ya itu baru sebagian sisinya yang orang tidak tahu.
Hal paling jelas dan nyata dari kengerian saya terhadap caranya memandang sesuatu adalah ketika bersaksi dalam perkara mantan Gubernur Jakarta Ahok. Kala itu, Ia menyatakan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama karena ucapannya di Kepulauan Seribu. Tidak hanya itu, Ia juga menjadi salah satu aktor penggerak massa 212 yang kini memecah belah banyak hal dengan sudut pandang keagamaan. Dirinya adalah Konservatif sejati.
Selain segala kengerian tadi, satu hal yang patut digarisbawahi terkait pencalonan dirinya adalah usia. Ya, usianya tahun ini menginjak 75, angka yang terlalu tinggi untuk mendapuk jabatan publik sepenting wakil presiden. Dan hal ini kiranya menunjukkan inkonsistensi Jokowi sebagai pemimpin yang mengaku memiliki semangat anak muda.
Sebagai kontestan Pilpres yang ingin menang, saya memaklumi betapa keputusan memilih  Ma’ruf Amin didorong keberadaannya sebagai representasi umat Islam. Jabatan Ketua MUI, Rais Aam PBNU, serta Penggerak massa 212 tentu bakal menghindari Jokowi dari sentimen sara yang selama ini kerap menyerangnya. Tapi saya kira, penunjukan Ma’rif Amin lebih condong pada kepentingan partai pendukung.
Jika saja Jokowi jadi memilih Mahfud MD, maka nama terakhir bakal menjadi calon kuat presiden di tahun 2024. Hal ini tentu saja tidak diinginkan para partai pengusung. Mengingat mereka juga punya nama-nama yang ingin mendapatkan jatah untuk terlibat di kontestasi ini, maka Ma’ruf Amin yang sudah tua menjadi jawaban atas kepentingan mereka.
Jujur saja, kekecewaan saya terkait hal ini lebih kepada minimnya calon yang segar untuk ajang penting buat bangsa kita. Masa, cawapres yang ditawarkan dua pihak jadinya antiklimaks. Nama-nama mentereng seperti Mahfud MD, Susi Pujiastuti, Sri Mulyani, atau Anies Baswedan malah tenggelam. Ya ampun, saya tidak mampu membayangkan sosok Sandiaga yang nganu jadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Yawla….
Paling, satu-satunya hal yang masih membuat saya (amat) sedikit senang fakta bahwa ada orang Tangerang yang maju di Pilpres ini. Sekadar info, Kiai Ma’ruf Amin itu kelahiran Tangerang loh. Urang Tangerang. Jadi, ya lumayan lah masih ada yang bisa dibangga-banggain (walau maksa) ketika bahas capres-capresan ini sama teman.
Meski kemudian, saya juga sadar, kalaupun Jokowi-Ma’ruf Amin menang, ya nggak bakal membawa keuntungan apa-apa buat Tangerang. Kota ini bakal tetap jadi daerah pinggiran ibukota yang gitu-gitu aja. Yang tetap terkena dampak tidak enak dari segala kebijakan terkait Jakarta. Suram banget ya nasib aing.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Inilah ponsel pintar terbaik di tahun 2018. Begitu sih klaim sebagian pihak setelah
peluncuran perdana Samsung Galaxy Note 9 di New York, Amerika Serikat. Atau setidaknya,
inilah klaim yang bisa diandalkan Samsung hingga nantinya Apple mengeluarkan seri iPhone
terbarunya.

Sambutan yang luar biasa diterima flagship baru ini, bahkan lebih tinggi dari sambutan yang
diterima saudaranya, Galaxy S9 yang diluncurkan pada awal tahun lalu. Memang, seri Note
milik Samsung punya keunggulan tersendiri yang selalu ditunggu-tunggu oleh khalayaknya
yakni S-Pen. Apalagi sejak awal S-Pen di Note 9 digadang-gadang menjadi keunggulan utama
dari ponsel ini.

Soal spesifikasi, kurang lebih ponsel ini hampir sama seperti Samsung S9 Plus. Baik dari
jeroan, kamera, layar, juga ukuran layarnya. Paling hanya di urusan baterai saja yang
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari dan 3500 mAh di S9 Plus, menjadi 4000
mAh di Note 9. Selain itu, tiada perbedaan yang berarti dari kedua ponsel ini.

Pada jeroannya, Note 9 masih mengandalkan Exynos 9810 atau Snapdragon 845 (hanya
untuk pasar Amerika Serikat) yang sama dengan S9 Plus. GPU-nya Mali-G72 MP18, sama
seperti S9 Plus. Hanya RAM dan penyimpanan internal saja yang meningkat, yakni
6gb/128gb atau 8gb/512gb pada seri Note 9.

Hal ini menjadikan Note 9 sebagai salah satu ponsel dengan penyimpanan terbesar, karena
kapasitas itu masih bisa ditambah oleh kartu SD hingga ukuran 512gb. Ukuran yang
terbilang sangat besar untuk ukuran ponsel mengingat kapasitas penyimpanan laptop saya
saja masih 512gb. Malah, karena urusan ini, Note 9 cukup bisa disebut sebagai harddisk
portable berbasis multimedia. Jadi kalian nggak perlu takut penyimpanan penuh buat
nyimpen serial drakor di ponsel ini.

Sedikit peningkatan juga dilakukan pada kamera yang ada di Note 9. Sama-sama memiliki
lensa 12MP di dual kameranya dan 8MP pada kamera depan, tambahan fitur AI yang bisa
mendeteksi 20 jenis objek di kamera Note 9 lah yang menjadi pembeda. Karena fitur Dual
Aperture yang bisa menyesuaikan bukaan lensa bergantung cahaya atau super slow-motion
juga sudah ada di S9 Plus. Selebihnya, sama saja.

Pada kualitas layar pun begitu, tidak beda jauh. Hanya pada ukuran layar saja yang sedikit
bertambah, dari 6,2’ di S9 Plus jadi 6,4’ di Note 9. Sisanya, masih menggunakan layar Super
Amoled dengan rasio 18,5:9 serta resolusi layar QHD (2960 X 1440 pixel). Ya bukan
persoalan sih, karena pada urusan ini Samsung masih menjadi yang terbaik pada urusan
grafis layarnya.

Hal utama yang amat saya sayangkan dari dari ponsel ini adalah ketiadaan in display
fingerprint. Mengingat salah satu hal yang paling menyebalkan dari flagship Samsung adalah
kemampuan pemindaian wajahnya yang buruk, dan pemindai sidik jadi di body belakang
yang saya rasa kurang praktis, fitur ini benar-benar saya nantikan sejak mendengar isu Note
9 bakal menggunakannya. Sayang, Note 9 gagal mewujudkannya. Jadi, lebih baik menunggu
ponsel baru keluaran Apple kalau mau ganti ponsel.

Memang, membandingkan ponsel-ponsel kelas flagship tidak bisa hanya diukur dari jeroan
atau kamera belaka. Karena pada level ini, semua ponsel yang hadir dengan spesifikasi kelas
wahid yang sesuai dengan harganya. Jadi kalau ada ponsel flagship yang kerap mengalami
lag atau lamban ketika proses multitasking, ada baiknya ponsel tersebut dibawa ke servis
center karena ada kemungkinan kalau barangnya rusak.

Kalau begitu, apa hal yang bisa membedakan ponsel satu dengan lainnya di level ini?
Jawabannya adalah fitur. Yap, fitur. Misal triple kamera belakang di Huawei 20 Pro yang
keren banget, fitur super slow motion dan super amoled dengan resolusi QHD di Samsung
S9, atau tingkat kekerenan yang bakal meningkat kalau kamu pegang iPhone x. Dan fitur
pemindai sidik jari di dalam layar adalah yang paling saya nantikan.

Sayangnya, fitur yang paling diandalkan di Note 9 ini hanyalah S-Pen. Tapi ingat, ini S-Pen
bukan sembarang S-Pen. Ini S-Pen yang telah ditingkatkan, dengan bluetooth. Hasilnya, S-
Pen ini bisa dijadikan remot kontrol untuk aplikasi di ponsel ini seperti kamera, perekam
suara, musik, pun bisa digunakan untuk presentasi.

Kalau hal ini dirasa kurang berguna buat Anda, ada satu lagi hal yang menjadi andalan
Samsung Galaxy Note 9 ini. Ya, Smart TV sebagai bonus pembelian pre ordernya. Para
pembeli bisa mendapatkan bonus TV 32” untuk ponsel berkapasitas 128gb, dan TV 40”
untuk yang berkapasistas 512gb.

Sungguh sebuah tawaran yang menggiurkan untuk membeli ponsel seharga Rp 13,5 juta
dengan bonus senilai Rp 3 juta. Jadi, jika kamu merasa tawaran spek dan fitur dari Note 9
masih terkesan biasa, maka TV yang ditawarkan ini bisa membuatmu menjadi tertarik. Atau
malah, bonus TV ini malah yang menjadi daya tarik utama? Bisa jadi sih.
Bertahun-tahun lalu, ketika masih berstatus mahasiswa, saya pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sebagai seorang mahasiswa yang jarang ikut kelas, KKN bisa jadi salah satu dari sedikit beban kuliah yang saya ikuti. Dan boleh jadi, KKN juga yang membuat saya punya sedikit kenangan bagus soal mata kuliah.
Satu prasyarat penting dari mata kuliah bidang pengabdian masyarakat ini adalah program kerja. Ada yang membuat program penyuluhan atau lokakarya tentang budidaya tanaman atau pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat. Ada yang mengajar di sekolah-sekolah. Ada juga yang membangun jamban. Setidaknya itu sih program-program yang biasa ada di KKN.
Ah iya, satu lagi program andalan mahasiswa di ajang ini: pengadaan buku untuk taman baca masyarakat.
Program yang satu ini memang seakan keren, mungkin juga berguna dan bermanfaat. Memberikan sumbangan ratusan buku pada sebuah desa, diberikan di taman baca atau perpustakaan sekolah, dan kemudian meninggalkan semua itu tanpa jejak. Iya, tanpa jejak.
Ketika melakukan aktivitas yang sama dulu, ada satu hal yang membuat saya sadar: pengadaan buku dari mahasiswa KKN tidak bakal berarti apa-apa, tidak akan menjadi apa-apa. Karena fokus dan tujuan dari program ini hanyalah pengadaan buku, bukan pembangunan budaya membaca serta pola pengelolaan taman baca.
Mungkin, selama satu bulan taman baca itu bakal berjalan. Meski ya tidak bakal efektif-efektif amat. Anak-anak akan datang ke perpustakaan sekolah atau taman baca, bergantung mana yang diberi buku, karena keberadaan orang asing yang menyediakan buku. Rasa penasaran mereka terhadap mahasiswa menjadi dorongan pertama untuk datang, setelahnya, tergantung buku-buku yang disediakan menarik atau tidak.
Tapi ya itu, setelah satu bulan berjalan, mahasiswa akan kembali ke kelas yang begitu-begitu saja. Kewajiban mereka telah tuntas. Hal-hal yang dilakukan di desa bakal segera terlupakan, dan terbengkalai.
Saya kira kesalahan cara berpikir menjadi faktor kunci dari kegagalan kebanyakan taman baca yang dibangun saat KKN. Umumnya, para mahasiswa datang ke desa dengan pandangan yang “ngota”. Mereka berpikir bahwa desa membutuhkan bantuan sarana dan prasarana. Padahal, hal yang dibutuhkan desa adalah pikiran cerdas untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di sana.
Mereka pikir, dengan memberi bantuan buku anak-anak bakal jadi senang membaca. Padahal, berdasar pengalaman KKN dulu, perpustakaan sekolah di desa memiliki begitu banyak buku-buku bagus. Ensiklopedia, dan beragam buku pengetahuan untuk anak-anak tersedia dengan lengkap di sana. Masalahnya, perpustakaan tersebut tidak diurus. Dan guru-gurunya, tidak tahu bagaimana cara mengurus perpustakaan.
Hal inilah yang tidak banyak dipahami para mahasiswa, termasuk saya waktu itu. Jika orang-orang desa telah memiliki kemampuan pengelolaan pustaka yang mumpuni, mereka tidak akan memerlukan bantuan dari para mahasiswa. Toh jika bisa mengelola pustaka, mereka bakal tahu cara mencari donasi buku tanpa bantuan mahasiswa.
Karenanya, membangun sistem dan pola pengelolaan taman baca akan jauh lebih bermanfaat ketimbang pengadaan buku belaka. Memang, ketersediaan buku itu penting. Tapi tanpa adanya pengelola, buku-buku yang banyak itu bakal terbengkalai. Seperti yang terjadi di perpustakaan kecamatan yang ada di Tangerang.
Tanpa adanya pengelolaan yang baik, sebuah taman baca juga perpustakaan bakal sepi belaka. Tanpa kegiatan, orang-orang mungkin tidak akan tahu bahwa taman baca itu ada. Dan tanpa jadwal buka yang sistematis, orang-orang bakal dikecewakan dengan sering tutupnya taman baca yang telah mereka datangi.
Mungkin karena pengalaman inilah, sebagai Koordinator Komunitas Baca Tangerang, saya menolak segala permintaan donasi buku yang dilakukan mahasiswa KKN tahun ini. Buat saya, buku-buku itu bakal lebih berguna jika kami donasikan untuk simpul-simpul pustaka bergerak. Ketimbang sia-sia di desa, seperti yang dulu pernah saya alami.
Boleh jadi, cara pandang saya tentang hal ini keliru. Bisa saja kan. Tapi, jika ada mahasiswa yang bisa menawarkan ide bagus untuk mengatasi persoalan ini, kami bersedia membantu pencarian buku untuk didonasikan kepada desa tempat kalian harus mengabdi.
Pertama terbit di Baca Tangerang