Aditia Purnomo


Sebenarnya ini persoalan perspektif. Saya warga kota Tangerang, tahu bagaimana kapasitas Wahidin Halim. Dia walikota yang baik, setidaknya selama dua periode memimpin kota Tangerang. Pembangunan berjalan baik, meski tetap ada satu dua kebijakan yang ngawur, tetap tidak membuat prestasinya di kota ini tercoreng.

Tahun 2012, Ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur untuk melawan Atut, Gubernur petahana pemimpin tahta dinasti ciomas. Saat itu, meski tidak sepenuhnya setuju dengan langkah Wahidin, tapi saya mendukungnya. Rekam jejak baik ditambah kemuakan terhadap dinasti ciomas membuat saya dengan tegas memilih WH. Setidaknya, harus ada pemimpin baru menggantikan dinasti korup milik Atut.

Sayangnya, saat itu Ia harus kalah oleh Atut. Dan kekuasaan dinasti ciomas terus berlanjut hingga akhirnya Atut dan adiknya, TB Chaeri Wardana tersangkut kasus korupsi yang jumlahnya tidak seberapa itu.

Tahun depan, Wahidin bakal maju kembali di pemilihan kepala daerah Banten. Ia tetap membawa harapan perubahan untuk pembangunan yang lebih baik. Tapi, amat disayangkan, kali ini Ia maju berpasangan dengan Andika Hazrumi yang nontabenenya adalah anak kandung dari Atut Chosiyah.

Memang yang sudah terjerat perkara korupsi di keluarga Atut bukanlah Andika. Kalau kata seorang kawan yang dulu getol berhadapan dengan keluarga ciomas tapi sekarang berbalik membela Andika, "yang ditangkap itu paman dan ibunya, Andika ngga ada sangkut paut."

Walau sebenarnya kita sama-sama tahu, persoalan korupsi di keluarga Atut jelas melibatkan setiap pihak yang ada di sana. Atau setidaknya, perlawanan yang dulu digalakkan teman-teman bukan cuma persoalan menjatuhkan Atut. Tapi untuk menghadang seluruh bagian dinastinya agar tak lagi berkuasa di Banten.

Perkara ini menjadi dilematis, setidaknya bagi saya. Di satu sisi saya tahu kalau Wahidin punya kompetensi untuk menjadi gubernur Banten. Tapi di sisi lain, sangat mustahil bagi saya untuk mebiarkan gerbong ciomas kembali berkuasa melalui posisi Andika yang dipasangkan dengan WH.

Mungkin Rano Karno belum punya rekam jejak yang bagus-bagus amat sebagai gubernur Banten. Kapabilitasnya sebagai seorang kepala daerah belum benar-benar teruji. Tapi setidaknya, Ia tidak maju bersama gerbong ciomas. Tidak bersama dinasti korup itu.

Beruntung Rano maju bersama Haji Embay, salah satu pendiri Banten yang punya rekam jejak lumayan. Setahu saya, dia memang tidak pernah terjun di dunia pemerintahan. Tapi sebagai tokoh masyarakat, Ia berhasil membangun hubungan baik dengan masyarakat. Kalau tidak salah, Ia juga membangun perekonomian berbasis komunitas di daerahnya. Setidaknya melalui program pendirian 1000 BMT di Banten.

Mungkin saya memang tidak terlibat begitu aktif dalam pergerakan melawan dinasti Atut. Boleh dibilang, saya hanya seorang pribadi yang tak terikat pada kelompok-kelompok arus utama pada waktu itu. Intensitas aksi yang saya lakukan tidak sebesar teman-teman yang lain, yang sedari awal getol melawan dinasti korup ini. Tapi saya punya satu kesadaran, korupnya pemerintahan Banten saat itu bukan hanya dilakukan Atut seorang, tapi ada sebuah dinasti yang menggerogoti hak hidup masyarakat Banten.

Karenanya, saya jelas agak kecewa dengan teman-teman yang dulu ada pada barisan yang sama tapi memilih untuk memenangkan pasangan yang ditumpangi gerbongnya Atut ini. Tidak-tidak, saya tidak mengatakan pilihan politik mereka salah. Setiap orang berhak memilih dan mengambil sikap. Tentu kekecewaan tak akan berarti apa-apa, tak bakal merubah apa-apa. Karenanya, ketimbang sekadar kecewa saya juga memilih untuk mengambil sikap serupa, tentu pada pasangan yang berbeda.

Sebenarnya, dengan tulisan ini saya menyatakan sikap politik pribadi dalam Pilkada Banten tahun depan. Mungkin Rano Karno dan Embay Mulya bukanlah sosok yang sempurna. Tapi diantara dua calon yang ada, jelas saya tidak menjatuhkan pilihan pada pasangan yang membawa gerbong korupnya Atut Chosiyah untuk menjadi kepala daerah di Banten nanti. 

Sebagai salah satu tempat yang dinyatakan sebagai kawasan tanpa asap rokok, angkutan umum jadi salah satu ruang yang paling berpolemik terkait hak merokok. Di ruang yang tidak seberapa besar macam angkutan kota, memang agak sulit mewujudkan keberadaan ruang merokok sebagai amanat dari undang-undang yang ada.

Seyogyanya adanya ruang merokok perlu menjadi perhatian para pihak terkait, mengingat banyak pengguna angkutan umum yang merokok namun tidak mendapatkan fasilitas itu. Memang bisa saja mereka melakukannya setelah turun dari angkutan, dan umumnya juga sudah demikian sejauh pengamatan sambil lalu. Akan tetapi bagi penumpang angkutan umum jarak jauh, sedianya bisa disediakan ruang merokok sebagai salah satu penunjang kenyamaan mereka yang merokok.

Seperti telah dilakukan oleh beberapa bus antar propinsi, misalkan bus Primajasa, mereka menyediakan ruang merokok yang terdapat di bagian belakang bus. Mereka menyekat ruang di bagian belakang bus sebagai tempat untuk para penumpang merokok. Tidak terlalu besar memang, kurang-lebih hanya bisa dipakai sekitar 5 orang, tapi setidaknya ruang ini cukup untuk memenuhi hak penumpang yang merokok.

Jelas, ini adalah sebuah inisiatif yang baik dari pengelola angkutan umum agar kenyamanan dan hak penumpang bisa mereka penuhi. Dengan jarak tempuh Jakarta – Bandung yang memakan waktu sekitar 4 jam, penumpang bisa bergantian duduk di ruang merokok sepanjang perjalanan.

Hal serupa juga diterapkan oleh pengelola bus Mila Sejahtera jurusan Yogyakarta – Banyuwangi. Mereka menyediakan ruang merokok yang cukup nyaman bagi para penumpang di bagian belakang bus. Tentu masih ada beberapa pengelola bus yang menyediakan ruang merokok di angkutannya, dan ini menjadi solusi baik dari polemik dan perdebatan mengenai hak perokok dan bukan perokok.

Tentu solusi ini juga bisa diterapkan oleh pengelola kereta api jarak jauh untuk memberikan fasilitas ruang merokok pada para penumpangnya. Mengingat banyaknya penumpang kereta api yang merokok, maka sudah sewajarnya pengelola dapat menyediakan satu gerbong khusus untuk para perokok agar dapat memenuhi hak mereka. Karena merokok di gerbong umum sudah dilarang, maka penyediaan ruang merokok di salah satu gerbong bisa menjadi solusi untuk memenuhi hak semua pihak.

Menyediakan ruang merokok di kereta sebenarnya sudah dilakukan di Jepang oleh pengelola kereta api ‘peluru’ Shinkansen. Jepang yang tercatat sebagai salah satu masyarakat perokok tertinggi di dunia namun nyatanya tingginya harapan usia hidup di sana justru membantah asumsi tingginya resiko kematian karena rokok itu, tentu membutuhkan adanya fasilitas ruang merokok. Walhasil, didesainlah salah satu gerbong kereta api Shinkansen itu menjadi tempat yang diperbolehkan untuk merokok.

Jika PT KAI selaku pengelola kereta api Indonesia mau belajar dari kasus tersebut, mereka bisa meniru model dan kebijakan pengelola kereta api di Jepang untuk memenuhi hak penumpangnya yang merokok. Jika hal ini bisa dilakukan PT KAI tentu jadi sebuah terobosan baru yang luar biasa super. Apalagi amanat peraturan perundang-undangan memang mewajibkan tempat-tempat umum untuk menyediakan ruang merokok bagi para perokok. Selain memenuhi hak penumpangnya, model solusi ini juga menjadi bagian dari fasilitas yang membuat kenyamanan bepergian dengan angkutan umum bertambah.

Jika sebelumnya merokok di angkutan umum adalah hal yang agak mustahil dibayangkan, maka sekarang sudah saatnya mewujudkan hal yang sebenarnya bisa diwujudkan itu. Karena, daripada pemerintah melulu melarang orang untuk merokok, lebih baik membuat kejelasan batas ruang di mana mereka boleh dan tidak boleh merokok. Untuk mewujudkan hal ini, tentu menyediakan ruang merokok adalah hal yang perlu didorong oleh para pihak pengelola tempat umum dan pemerintah.


Selain itu, perlu diingat juga bukankah pemerintah di sisi lain sebenarnya juga berharap banyak dengan kontribusi cukai rokok sebagai sumber income APBN (?). Sehingga pemenuhan fasilitas merokok di tempat umum khususnya pada jasa layananan angkutan umum, lebih-lebih yang dikelola oleh perusahaan “plat merah” seperti kereta api, semestinya jadi konseren dan kebijakan pemerintah.

Pertama dimuat di Boleh Merokok


Namanya La Ido, usianya sudah menginjak 73 tahun. Kepalanya hampir sepenuhnya memutih, tubuhnya jelas mulai terlihat ringkih. Namun ia masih dipaksa bekerja setiap hari agar dapat bertahan hidup. Ya, dipaksa oleh keadaan. Setiap malam, ia mangkal di pinggir jalan RA Katini Kota Baubau Sulawesi Tenggara, berjualan minuman cepat saji dan rokok kretek.

Berjualan sejak 1986, Kakek La Ido menyukai Jalan RA Kartini sebagai tempatnya mangkal. Dengan sepeda dan kotak dagangan, setiap malam ia berangkat ke tempat itu dari kontrakannya. “Sudah 30 tahun jual rokok di pinggir jalan ini. Saya juga belum pernah jualan di tempat lain, saya sudah suka jualan disini,” ujarnya seperti dilansir dari Kompas.com, Selasa (1/3).

Kakek La Ido hanya hidup seorang diri di kontrakannya. Tanpa istri, anak, ataupun cucu. Ia harus berjuang sendirian, tiap harinya, untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar kontrakan serta mengisi perut dan melepas dahaga.

“Saya jualan hanya untuk bertahan hidup saja. Laku dari jualan ini tidak tentu. Tiap malam biasa dapat Rp 50.000. Itu saya belikan ikan dengan nasi,” tuturnya.

Tentunya bukan Kakek La Ido yang bergantung hidupnya dari rokok. Ia hanya satu dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari industri hasil tembakau. Entah dari berdagang, bertani, ataupun bekerja di pabrik rokok. Industri ini memang menjadi salah satu industri padat karya yang menghidupi begitu banyak orang yang terlibat, dari hulu-hilir industri tembakau.

Di Banjarmasin misalnya, ada sosok Kai Untung yang tidak hanya menghidupi diri dan keluarganya dari berjualan rokok, tetapi juga bisa membuatnya membeli mobil untuk dijadikan mobil pemadam kebakaran. Kai Untung adalah relawan barisan pemadam kebakaran di Banjarmasin sekaligus penggagas komunitas Pemadam Musibah Kebakaran Penjelajah. Ia juga berhasil membeli sebuah mobil tua bekas untuk dijadikan mobil pemadam dari hasil jualan rokok.

Mobil tua itu dibeli setelah lima tahun menabung. Dari sebagian hasil jualan rokok dan bensin eceran, ia meminta istrinya untuk menyimpan uang tersebut agar suatu saat bisa dibelikan mobil. “Saya tidak menabung di bank, tidak mengerti. Jadi saya minta istri yang simpan,” jelasnya pada sebuah talkshow di salah satu tv swasta.

Sebagai masarakat biasa, apa yang dilakukan Kai Untung bersama PMK Penjelajah adalah hal luar biasa. Mengingat bagaimana kehidupan masyarakat hari ini yang semakin acuh pada lingkungan, militasi Kai Untung beserta kelompoknya patut diacungi jempol. Apalagi dia beserta kelompoknya bukanlah abdi negara yang memang berkewajiban mengamankan area kebakaran.


Ini hanyalah beberapa contoh dari orang-orang yang berusaha untuk hidup dan berbagi ketimbang hanya mengharap pertolongan dari negara. Kerja keras dan kegigihan mereka dalam hidup ini layak diapresiasi meski hanya berbekal hidup dari jualan rokok.

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com


Sidang kasus Jessica Kumala Wongso sedikit lagi mencapai klimaks.

Setelah menemani hari masyarakat kita selama beberapa pekan ini, siaran langsungnya bakal membuat hati sebagian kita kembali sepi. Rating tinggi dan pemasukan yang lumayan besar buat stasiun televisi jelas membuat mereka bakal berpikir untuk membuat serialnya.

Bisa saja, apapun vonis hakim serial adalah jawabannya. Jika Jesica dinyatakan bersalah, maka sang pengacara Otto Hasibuan bakal membela dengan mengajukan banding. Kalau tidak, ya bapaknya korban yang mengajukan banding.

Dan hal ini bakal menjadi seru, bagi stasiun televisi, apalagi kalau kasusnya dibawa hingga ke Mahkamah Agung. Bakal mendatangkan keuntungan besar.

Kalaupun tidak mau dibuat serialnya, saya rasa stasiun televisi bisa menampilkan sidang-sidang lainnya yang saya rasa tidak kalah menarik dan menghibur. Ya, kalaupun tidak terlalu menghibur, saya rasa ada gunanya televisi menyajikan sidang-sidang yang informatif buat masyarakat. Yang begini ini juga bisa mendatangkan rating tinggi.

Maka, setelah melalui telaah tingkat tinggi sebagai seorang akademisi di fakultas komunikasi (baca: dakwah), saya mengajukan beberapa sidang ini agar segera disiarkan secara langsung oleh para pemilik frekuensi.

Sidang Perceraian

Yang pertama dan jelas diutamakan tentunya adalah sidang perceraian. Entah sidang cerai artis siapa atau masyarakat biasa.

Dari yang saya dengar, seorang kenalan pengacara pernah menyatakan kesaksiannya melihat beberapa hal penting di sidang perceraian. Belio melihat betapa para korban perceraian adalah mamah-mamah muda, entah anak satu, dua, atau belum punya yang mana yang paling aduhai.

Bayangkan, mereka, para mamah muda itu, menjadi korban dari sebuah peristiwa tidak menyenangkan bernama perceraian.

Ketika resmi bercerai, bisa saja mereka sedikit lega karena beban biaya pengacara tak lagi membengkak. Tapi setelah itu, mereka bakal merasakan sepi dan kurangnya kehangatan dari seorang teman. Itu belum ditambah sentimen negatif masyarakat terhadap predikat janda yang didapatnya. Betapa tidak enaknya perceraian itu.

Selain itu, agar tidak dipandang seksis atau sebagainya, sudah barang tentu korban dari sudut lainnya adalah para duda yang bisa jadi tak kalah keren dari Mike Lewis atau siapalah. Karena agak sulit membayangkan para mamah muda itu dicerai seorang lelaki dengan tampang seperti saya. Sangat tidak mungkin saya rasa.

Di sanalah stasiun televisi masuk untuk memberi pencerahan pada mereka. Dengan menampilkan sidang cerai para korban, mereka bisa menyampaikan pada khalayak kalau bakal ada satu calon ‘jomblo’ yang bisa digebet. Bakal ada satu calon ‘jomblo’ yang bisa mereka perjuangkan untuk bahagia.

Saya yakin, program ini bakal mendapat respon baik dari masyarakat dan rating. Sudah membantu para jomblo untuk mendapatkan pasangan hidup, tayangan ini juga bakal membuat harkat pengacara kasus cerai lebih tinggi bayarannya. Hahay.

Sidang Tilang

Lalu sidang kedua yang saya rekomendasikan adalah sidang tilang.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo tentang pemberantasan pungli di lingkaran pemerintahan, sidang ini saya rasa bakal mengedukasi masyarakat soal tidak diperlukannya calo dalam proses sidang tilang. Kenapa banyak orang menggunakan calo untuk mengurus perkara tilang, bisa jadi karena mereka tidak tahu bagaimana proses sidang tilang itu sendiri.

Sebagai anak muda dari Fakultas Dakwah di Universitas Islam, sogok-menyogok dan memberi pungutan liar di dunia tilang adalah haram hukumnya bagi saya. Karenanya, ketika pernah kena tilang, saya memutuskan untuk mengikuti sidang saja ketimbang pakai calo.

Ternyata, mau ikut sidang saja kita harus berjibaku dengan ratusan orang untuk mendapatkan tempat di hadapan hakim. Sudah repot antre dan menunggu agak lama, ternyata sidang yang dihadapkan pada kita hanyalah begitu saja. Cuma ditanya tahu kesalahan atau tidak, lalu diberi vonis dan disuruh bayar. Begitu saja, selesai.

Jika kemudian sidang tilang disiarkan secara langsung di televisi, bisa jadi agenda sidang yang gitu-gitu saja berubah jadi lebih menarik. Nantinya adegan-adegan dalam sidang bakal berubah, nggak lagi menjemukan seperti sidang tilang selama ini.

Siapa tahu, nanti bakal ada nota pembelaan setebal 4000 halaman yang dibacakan pelanggar agar terbebas dari jeratan denda. Siapa tahu.

Lagipula, hal positif yang bakal dirasakan masyarakat dari disiarkannya sidang tilang secara langsung adalah pemahaman tentang itu sendiri. Nantinya informasi soal tilang bukan lagi monopoli para calo dan agenda Presiden Jokowi soal pemberantasan pungli bukan sekadar gertak sambal.

Kelak juga bakal beredar buku-buku soal tutorial mengikuti sidang tilang yang baik di toko buku yang jelas membuat penerbit dan penjual buku senang. Luar biasa kan?

Sidang Skripsi

Yang prioritas memang selalu disebut terakhir, apa itu? Betul: sidang skripsi.

Sebagai ajang untuk membuktikan kualias intelektual seorang calon sarjana, sidang skripsi kerap dianggap angker bagi para mahasiswa tingkat akhir. Seorang teman, ketika menghadapi sidang ini, bahkan harus tidak bisa tidur karena grogi dan datang kesiangan karenanya.

Kegentaran ini terjadi karena mereka tidak tahu bagaimana jalannya sidang. Belum lagi desas-desus yang menakutkan soalnya, membuat nyali mereka makin ciut untuk menghadapi sidang ini. Saya sendiri tidak tahu bagaimana jalannya sidang, apalagi rasa takut untuk menghadapinya karena memang belum pernah merasakannya.

Karena itu, siaran langsung untuk sidang skripsi adalah sebuah terobosan baru di dunia pertelevisian agar negara ini dapat mencetak para sarjana berkualitas.

Agar nantinya tidak ada lagi mahasiswa seperti Eddward S. Kennedy yang harus blingsatan menjelang sidang. Serta supaya sidang skripsi menjadi satu program akademik yang membahas argumen-argumen akademis dipandu oleh para pimpinan sidang.

Kalaupun ratingnya nggak terlalu besar, ya tak apa, karena tayangan ini adalah bagian dari tugas media sebagai alat edukasi masyarakat. Dan kalau nantinya stasiun tv swasta nggak mau, siapa tahu TVRI bersedia menayangkan. Siapa tahu pula setelah siaran langsung sidang skripsi tayang, saya jadi ada semangat buat memperjuangkan lulus. Siapa tahu.

Setelah membaca tulisan di atas, saya yakin ada beberapa teman yang kecewa karena sidang kasus-kasus perburuhan, agraria, atau yang menjadi persoalan kerakyatan tidak ditampilkan. Nantinya, pandangan mereka terhadap saya yang dianggap sebagai aktivis bakal berubah. Peduli setan.

Karena bagi saya, sidang-sidang kasus perjuangan kerakyatan adalah sesuatu yang penting. Tidak mungkin kita bisa mengharap sidang kriminalisasi aktivis buruh atau sidang kriminalisasi petani bakal disiarkan.

Wong diberitakan oleh mereka saja tidak, kok ya mau kita berharap pada media…

Lagipula, apa yang ditayangkan oleh televisi itu tidak ada yang penting. Mungkin ya menghibur bagi sebagian orang, tapi ya tetap tidak bermanfaat. Lagipula mana yang lebih penting, sidang Jesicca atau kasus penggusuran bukit duri? Dan mana yang disiarkan? Jelas yang tidak penting, kan?


Sudahlah, matikan saja televisimu.

Pertama terbit di Mojok.co

Apa hal terbaik yang bisa kita lakukan dalam perayaan ulang tahun? Bisa mengundang teman sebanyak-banyaknya, menyiapkan perayaan yang meriah, atau sekadar memanjatkan doa kepada yang maha esa. Tergantung seberapa besar perayaan yang kita inginkan. Tergantung semampu apa kita membuat perayaannya.

Maka dalam rangka merayakan ulang tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia yang ke 36 tahun ini, sebuah perayaan dihelat di markas mereka di kawasan Mampang Prapatan. Menjelang hari jadi yang sebenarnya jatuh pada tanggal 15 Oktober nanti, sebuah pameran terlebih dulu dihelat sebagai pembuka rangkaian acara perayaan HUT mereka.

Pada perayaan ultah kali ini, WALHI tidak hanya mengundang teman sebanyak-banyaknya untuk hadir di perayaan meriah yang mereka gelar. Tapi WALHI juga mencoba mengajak para tamu yang hadir di perayaan mereka untuk melihat kondisi nyata advokasi lingkungan di Indonesia.

Dengan menggandeng Andreas Iswinarto bersama beberapa kawan lainnya, WALHI menggelar sebuah pameran rupa yang menampilkan rupa dan warna perjuangan advokasi lingkungan di Indonesia. Menggunakan tajuk “Perayaan Warna”, pameran ini menampilkan ragam rupa kehidupan dan perjuangan masyarakat kita.

Dalam pameran ini, Andreas benar-benar tidak tampil sendiri. Ia mengajak beberapa kolega, serta beberapa teman muda untuk mengisi pameran ini. Ada beberapa nama yang sudah tidak asing di dunia seni rupa seperti Dolorosa Sinaga, Wijatmika Ika dan Toni Malakian. Juga hadir nama Chairun Nissa, Michelle R Yudhita, serta Efi Sri Handayani yang mewakili anak muda dalam pameran ini. Selain itu ada Galis Agus Sunardi dan Budi Santoso yang turut menyumbangkan karyanya.


Menurut Andreas, pertemuannya dengan beberapa teman muda ini disebabkan aktifitasnya dalam advokasi jaringan masyarakat Kendeng yang menolak keberadaan pabrik semen di sana. Kebetulan, Michelle, Toni, dan Efi juga aktif terlibat dalam gerakan ini. Karena keterlibatan dalam gerakan yang sama serta upaya mereka merekam perjuangan masyarakat Kendeng dalam gambar, mereka kemudian memiliki wacana untuk mengadakan satu pameran tersendiri tentang masyarakat Kendeng. Sayangnya hal tersebut belum mampu terlaksana.

Beruntung, meski pameran itu belum terlaksana mereka punya kesempatan untuk menampilkan karya-karya mereka dalam agenda ini. Ada satu pojok bernama Perayaan Bumi Kendeng yang menampilkan gambar-gambar Efi, Michelle, dan Toni tentang perjuangan masyarakat Kendeng. Selain itu, ada pula pojok dengan tajuk Perayaan Solidaritas yang menampilkan gambar Marsinah.

Andreas sendiri menampilkan karyanya di dua pojok bertajuk Perayaan Kehidupan yang menampilkan permainan warna ala Andreas dan Perayaan Tanah Air yang menggambarkan kehidupan masyarakat adat di Indonesia. Dan terakhir, ada pojok bertajuk Perayaan Keberagaman yang menampilkan karya penuh warna dari Wijatmika Ika.


Pada karya-karya yang terpampang di ruang galeri WALHI ini, saya melihat betapa beratnya perjuangan advokasi lingkungan hidup di Indonesia. Bukan hanya soal perjuangan masyarakat Kendeng, saya kira. Tapi juga pada banyak perlawanan lain seperti penolakan reklamasi di Bali dan Jakarta serta perlawanan terhadap aktifitas tambang lainnya.

Begitu anda memasuki ruang galeri, anda langsung disuguhi gambar-gambar para pejuang lingkungan yang harus tewas karena perjuangannya. Agak tragis memang, mengingat sebagian mereka hanyalah masyarakat yang tak ingin hak hidupnya dirampas korporasi agar lingkungan tempatnya mencari hidup rusak akibat aktifitas tambang.


Selain itu anda juga bisa menyaksikan semacam infografis yang memetakan sejarah WALHI sejak awal berdiri pada tahun 1980. Pada infogafis ini, anda bisa mengetahui perjuangan WALHI dari periode ke periode dalam mengawal advokasi lingkungan di Indonesia.

Pameran dan perayaan ini akan berlangsung sedari tanggal 10 hingga 31 Oktober 2016. Nantinya akan ada agenda workshop dan bincang-bincang kebudayaan di galeri ini masih dalam rangka perayaan ultah WALHI yang ke 36 ini. Pada puncak perayaannya, bakal dilaksanakan jalan santai di kawasan Monumen Nasional serta Workshop WALHI Memanggil sekaligus acara lelang karya lukisan dalam pameran ini.

Pada pembukaan yang dilaksanakan semalam, para pengunjung larut dalam suasana riang dan bahagia. Bukan saja karena mereka dihibur sebuah grup musik pendatang baru bernama Keroncong Hibrida yang digawangi oleh Ibeth Koesrini, Alfa Gumilang, Jibal Windiaz, Ardiansyah Mbe, serta Agnes Gurning. Namun juga karena kabar gembira tentang kemenangan warga Kendeng dalam putusan Mahkamah Agung terkait gugatan terhadap izin Pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Kemenangan ini berarti, izin PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng sana telah dibatalkan. Satu kemenangan besar di kala brutalnya pembangunan yang digalakkan negara tanpa memperhatikan nasib hidup orang banyak. Terbayang senyum bahagia para Kartini Kendeng yang terus berjuang mempertahankan hidupnya serta teman-teman lainnya yang ikut berjuang bersama dan bersolidaritas terhadap gerakan ini. Tentunya kemenangan ini menjadi kado indah bagi WALHI pada perayaan ulang tahunnya kali ini.

Pertama kali terbit di Minumkopi.com
Mungkin selama ini saya dikenal sebagai seorang aktivis, mau ikut berjuang untuk beberapa agenda advokasi. Kadang, saya dipandang sebagai seseorang yang militan. Punya daya juang tinggi.

Bisa jadi anggapan itu benar, tapi bisa juga menjadi salah. Untuk beberapa hal, saya adalah orang yang sangat bergairah untuk melakukan sesuatu. Ikut terlibat dalam suatu agenda, baik advokasi, pengorganisiran, atau berbagai agenda lain yang membuat saya bergairah.

Sekali include dalam sebuah agenda, saya jarang memilih meninggalkan tim apabila target kami belum tercapai. Saya adalah tipikal orang yang tidak bisa multitasking. Tidak bisa mengerjakan berbagai hal dalam satu kesempatan. Karenanya, ketika terlibat saya harus menyelesaikan itu baru membuka tabir baru.

Namun anggapan tadi juga bisa salah. Saya adalah tipikal orang yang malas memperjuangkan sesuatu kalau tak punya alasan kuat. Bahkan untuk hal-hal yang baik untuk diri saya, termasuk untuk perkara pribadi.

Kadang saya bisa ngotot kepada mbak-mbak petugas kasir yang tanpa izin saya memberikan sumbangan dengan uang kembalian saya. Tapi kemudian saya sadar, hal itu tidaklah berguna. Mungkin uang 100 atau 200 perak terlihat kecil. Tapi saya amatlah tidak senang jika uang itu disumbangkan untuk sesuatu yang tidak saya inginkan. Tapi kemudian saya jadi kasihan sama mbak-mbak itu, dan meninggalkannya pergi begitu saja.

Perkara berjuang dalam hidup saya bukanlah suatu hal yang sederhana. Ketika dalam suatu agenda gerakan, saya merasa ada beberapa hal yang melenceng dari landasan yang telah kami sepakati, saya bisa saja meninggalkan kelompok ini begitu saja tanpa permisi. Pernah juga, saya tengah memperjuangkan sesuatu yang lain, tapi karena ada satu-atau dua hal yang mengganggu pikiran dan perasaan, semua yang telah saya lakukan bakal saya tinggalkan begitu saja.

Ini perkara mental, memang. Saya adalah orang kalahan. Meski acapkali berkoar-sesumbar soal perjuangan dan hal-hal motivatif lainnya, saya nyatanya adalah orang yang mudah menyerah. Mungkin ini adalah satu dari sekian banyak sifat buruk yang saya punya. Tapi ini adalah salah satu yang terburuk. Memang nyatanya begitu.


Untuk beberapa hal, saya amat mudah menyerah. Seperti pada urusan perasaan, misalnya. Mungkin saya amat ingin berjuang, memperjuangkan sesuatu yang amat jarang saya ingin perjuangkan. Tapi, kadang kenyataan berkata lain. Menerima nasib seakan lebih identik dengan saya. Ketimbang meneruskan langkah dan mengambil resiko, saya lebih suka mundur dari langkah ke langkah. Hingga kemudian, saya sadar bahwa saya tak pernah pantas untuk mendapatkan itu. Memenangkan perasaan seseorang. Dan saya memang menyerah untuk hal ini.

Masuknya nama Agus Harimurti Yudhoyono dalam percaturan politik DKI membuat banyak orang terkejut. Punya karir militer yang lumayan, Agus dianggap membuang masa depannya yang bisa cemerlang itu untuk bertarung di Pilkada Jakarta. Tidak sedikit orang menyayangkan Susilo Bambang Yudhoyono yang memaksa anaknya untuk tampil di gelaran politik paling panas tahun depan. Namun tidak sedikit juga yang menganggap ini strategi jitu dari SBY untuk menaikkan nama Agus dalam pentas ini.

Memang, hampir semua pihak menganggap pencalonan Agus hanya dijadikan batu pijakan untuk kebutuhan politiknya suatu saat nanti. Ada yang menganggap pada Pilkada DKI Jakarta ini hanyalah pemanasan bagi Agus untuk maju di Pilkada Jawa Timur nantinya. Dan hampir semua pihak itu memprediksi kekalahan Agus pada pertempuran di Jakarta. Hampir mustahil baginya untuk menang.

Namun patut diingat, politik itu dinamis. Sangat dinamis. Mungkin tidak ada yang menyangka kalau Joko Widodo bakal memenangkan pilkada Jakarta pada 2012 lalu. Siapa sangka kalau Jokowi mampu menggeser sang petahana, Fauzi Bowo yang didukung mayoritas partai politik pada putaran kedua pilkada. Kemenangan besar untuk calon yang tak diduga bakal menang.

Termutakhir, sulit membayangkan keberadaan Jokowi di Istana Negara karena mengalahkan Prabowo pada 2014 lalu. Walau tipis, tapi menang tetaplah menang. Agak sulit memang membayangkan dirinya bisa mengalahkan Prabowo, yang didukung koalisi gemuk penguasa parlemen. Walau awalnya diragukan bakal maju, Jokowi akhirnya berhasil memenangkan hati rakyat Indonesia.

Hal seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada Agus. Walau berat, siapa tahu Agus tiba-tiba menang. Bisa saja kemuakan sebagian warga Jakarta pada tingkah Ahok yang pongah dan ketidaksukaan sebagian lainnya pada Anies Baswedan yang dianggap kutu loncat membuat mereka menjatuhkan pilihan pada Agus. Ingat, politik itu dinamis. Siapa tahu itu bisa saja terjadi.

Dan jangan pernah lupakan keberadaan SBY di belakang Agus. Walau nama besarnya kian pudar, tapi jangan pernah remehkan popularitas SBY. Persoalan popularitas dan elektabilitas dalam politik Indonesia menjadi penting, salah satunya, karena peran SBY. Betapa pentingnya mencitrakan diri demi adalah trademark SBY. Untuk urusan ini, pastilah beliau membantu anaknya sebaik mungkin. Bisa jadi keberadaan si jagonya pencitraan ini bakal memenangkan Agus di Jakarta.

Persoalannya, pada pilkada kali ini Agus dianggap hanya melakukan pemanasan. Menjadikannya sebagai batu loncatan untuk popularitas yang lebih baik. Belum terbayang, dalam benak saya, apakah Agus dan timnya benar-benar memikirkan program kerja yang tepat untuk jakarta. Apakah Agus benar-benar siap menjadi Gubernur Jakarta seandainya menang nanti?

Sialnya, Agus nampak tak pernah benar-benar siap untuk itu. Sebagai calon dadakan, Ia terlihat amat tidak siap menghadapi ini. Bahkan untuk sekadar pertanyaan wartawan mengenai program saja Agus tidak sanggup menjawabnya. Agaknya Agus benar-benar belum memiliki program andalan untuk Jakarta.

Walau ditemani seorang birokrat DKI, Agus tidak memiliki pengalaman dalam urusan birokrasi. Sekalipun nantinya tim Agus bisa membuat satu-dua program baik untuk Jakarta, bukan tidak mungkin program itu bakal tak terlaksana karena birokrasi yang berbelit. Untuk urusan ini, Ahok agak unggul karena efisiensi adalah andalannya. Walau harus melanggar hukum yang ada.

Selain itu, pengalaman politik Agus masih sangat minim. Ia belum pernah menghadapi tekanan politik yang berhasil membuat rambut bapaknya memutih dan katung matanya menghitam. Bagaimana cara menghadapi tekanan media dan masyarakat karena gagal menjalankan program. Atau tekanan selalu menjadi kambing hitam atas suatu permasalahan di Jakarta. Agus belum benar-benar teruji.

Kapabilitasnya pun patut diragukan. Pengalaman militernya saya rasa tidak bakal membantu banyak dalam urusan memerintah. Apalagi pengalaman kepemimpinannya di militer tidak banyak. Yang boleh agak dibanggakan paling ketika menjadi Komandan Yonif 203/Arya Kemuning Tangerang. Selebihnya saya rasa tidak ada yang bisa dibanggakan.


Ada baiknya Agus memang kalah pada pilkada kali ini. Selain karena sulit menang, Agus memang tidak pernah benar-benar siap menjadi Gubernur Jakarta. Kapabilitasnya meragukan, pengalaman tidak ada. Baiknya Agus menjadikan kekalahan di pilkada ini sebagai sebuah pelajaran, bahwa mengikuti keinginan orang tua tidak melulu baik untuk diri sendiri.

Pertama kali terbit di bolehmerokok.com

Ketika awal masuk organisasi tempat saya bernaung di kampus, saya adalah satu dari sekian banyak orang yang cukup sering kena omelan. Pertama kali datang di pendidikannya, saya sudah dimarahi karena sudah dua kali tidak hadir di pertemuan sebelumnya. Itu belum ditambah keterlambatan saya datang saat itu. Semakin menjadilah kemarahan yang dilampiaskan pada saya.

Saat itu saya hanya diam karena sadar saya salah. Walau punya alasan kenapa tidak hadir di dua pertemuan awal, tetap saja itu hanyalah sebuah alasan. “Kalau kalian bisa membuat alasan untuk tidak hadir, kenapa tidak kalian buat alasan untuk bisa hadir dalam setiap agenda kita!” ujar senior saya saat itu. Dan memang, sebenarnya alasan ketidakhadiran itu, walau tidak dibuat-buat, tetap saja hanya menjadi dalih kemalasan saya untuk hadir.

Setelah pertemuan itu, saya kemudian sadar bahwa alasan-alasan dibuat hanya untuk menjadi pembuktian kemalasan. Ada kejadian teman-teman yang tidak membuat tugas dengan alasan sibuk kuliah. Kalau dipikir-pikir, teman-teman yang mengerjakan juga sibuk kuliah. Tapi mereka bisa mengerjakan tanpa harus menjadikan aktifitas mereka sebagai alasan, sebagai hambatan.

Pun ketika ada teman-teman yang tidak hadir karena alasan mengerjakan tugas kuliah dan semacamnya. Bukan berarti mereka yang tidak mengerjakan tugas kuliah, hanya saja mereka mampu mengatur jadwal dan serius mengikuti pendidikan organisasi saat itu.

Hal-hal seperti inilah yang kemudian amat membekas dalam diri saya. Ketika posisi saya di organisasi telah berganti, dari peserta didik menjadi penanggungjawab pendidikan, saya kemudian sadar bahwa bebiasaan macam begini adalah hal pertama yang harus saya enyahkan. Mereka yang mau masuk ke organisasi saya, harus bisa menyingkirkan kemalasan dan pandai-pandai mengatur jadwal. Kapan wajtu dan pikiran mereka fokuskan untuk perkara kuliah, dan kapan mereka harus fokus untuk organisasi.

Kedisiplinan adalah kunci. Keterlambatan adalah sesuatu yang fatal. Mengingat organisasi tempat saya bernaung bergerak di bidang jurnalistik, garis mati sama sekali tak boleh dilanggar.

Karenanya keterlambatan, sekecil apapun tak bisa saya tolerir. Ini bukan perkara sikap sok disiplin. Tapi keterlambatan bisa membuat mereka kehilangan berita karena ditinggal narasumber atau kehilangan momen karena telat meliput.

Begitu pun dalam dunia pekerjaan. Keterlambatan bisa membuat kredibilitas seseorang jatuh. Karena telat mengerjakan proyek, kepercayaan dari klien bisa saja hilang dan membuat anda kehilangan pekerjaan.

Sayangnya, perkara tepat waktu adalah hal yang masih agak sulit saya temui dalam kehidupan teman-teman yang masih aktif di organisasi. Ketika membuat acara diskusi, acara ngaret sudah biasa. Ketika janjian rapat, masih datang telat. Telat satu dua jam dianggap biasa. Telat tiga jam bisa selesai dengan perkara maaf sembari cengengesan.

Sialnya, seiring waktu berjalan hal-hal semacam ini tidak pernah berubah. Telat adalah hal biasa, yang tepat waktu dianggap luar biasa. Mungkin inilah yang membuat masyarakat menganggap banjir atau macet adalah hal biasa. Kerena terlalu sering dirasakan, hal ini dianggap sebagai sebuah realitas yang biasa saja.


Begitu pun dengan urusan terlambat. Karena sudah terlalu sering telat, kebiasaan jelek ini dianggap sebagai sebuah hal biasa. Bukannya membiasakan yang benar, kebanyakan kita lebih sering membenarkan yang biasa terjadi. Mana yang mau anda pilih?

Dalam sebuah tim, kerja sama antar individu di dalamnya sangat menentukan nasib tim itu. Sekalipun orang-orang yang ada di tim tersebut merupakan individu dengan kemampuan luar biasa, selama tak ada kerja sama, sistem yang dijalankan tim tersebut tak akan berjalan.

Hal macam begini bisa kita lihat di Liverpool pada musim lalu, misalnya. Siapa yang meragukan kualitas seorang Phil Coutinho atau Christian Benteke. Mereka adalah pemain bagus yang tidak mampu memaksimalkan kualitasnya karena sistem yang diciptakan pelatihnya tak berjalan baik. Untungnya, si pelatih itu sudah diganti.

Kini di bawah asuhan Jurgen Klopp, Liverpool bermain lebih rapi dengan sistem yang baik. Setiap pemain bahu-membahu menjaga pertahanan, dan mengikuti skema penyerangan yang sistematis. Tentu semua bisa berjalan karena ada sistem yang baik dan latihan yang serius.

Perubahan terjadi karena adanya keinginan untuk berkembang. Tentu sebuah tim dengan sejarah yang hebat seperti Liverpool tidak mau terus berada di papan tengah. Mereka butuh maju, karenanya sistem harus diubah. Semua harus bekerja keras untuk mencapai tujuan.

Walau memiliki pemain sekelas Lionel Messi, Sergio Aguero, atau Angel Di Maria, tim nasional Argentina tetap saja gagal merengkuh gelar karena kurang baiknya sistem dan kerja sama dalam tim mereka. Biar bagaimanapun, yang namanya organisasi adalah persoalan kerja sama. Agak sulit meraih kesuksesan jika cara kerja organisasi masih one man team saja.

Kegagalan macam tadi bakal terus terjadi selama sistem yang sudah disepakati dalam tim tidak dijalankan. Kenapa tidak berjalan, bisa karena sistemnya yang tak cocok, bisa karena tidak ada kekompakan dalam tim, bisa juga karena individunya tidak mau mengikuti sistem yang ada.

Dan yang terpenting, kegagalan itu akan terus menerus dilakukan jika tim itu tak pernah menyadari kalau mereka melakukan kesalahan. Tak pernah menyadari bahwa mereka telah gagal. Dan hal ini adalah yang paling berbahaya bagi sebuah organisasi.


Apapun penyebabnya, tidak berkembangnya pekerjaan tim adalah sebuah permasalahan yang harus diselesaikan. Tapi ya kalau individu di tim tersebut tidak mau memperbaiki timnya, ya apa boleh buat. Toh kenyamanan kadang lebih penting ketimbang kemajuan. Kalau sudah begini, saya sarankan anda lebih baik keluar atau bubarkan saja organisasinya.