Sebenarnya ini persoalan perspektif. Saya warga kota
Tangerang, tahu bagaimana kapasitas Wahidin Halim. Dia walikota yang baik,
setidaknya selama dua periode memimpin kota Tangerang. Pembangunan berjalan
baik, meski tetap ada satu dua kebijakan yang ngawur, tetap tidak membuat
prestasinya di kota ini tercoreng.
Tahun 2012, Ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur untuk
melawan Atut, Gubernur petahana pemimpin tahta dinasti ciomas. Saat itu, meski
tidak sepenuhnya setuju dengan langkah Wahidin, tapi saya mendukungnya. Rekam
jejak baik ditambah kemuakan terhadap dinasti ciomas membuat saya dengan tegas
memilih WH. Setidaknya, harus ada pemimpin baru menggantikan dinasti korup
milik Atut.
Sayangnya, saat itu Ia harus kalah oleh Atut. Dan kekuasaan
dinasti ciomas terus berlanjut hingga akhirnya Atut dan adiknya, TB Chaeri
Wardana tersangkut kasus korupsi yang jumlahnya tidak seberapa itu.
Tahun depan, Wahidin bakal maju kembali di pemilihan kepala
daerah Banten. Ia tetap membawa harapan perubahan untuk pembangunan yang lebih
baik. Tapi, amat disayangkan, kali ini Ia maju berpasangan dengan Andika
Hazrumi yang nontabenenya adalah anak kandung dari Atut Chosiyah.
Memang yang sudah terjerat perkara korupsi di keluarga Atut
bukanlah Andika. Kalau kata seorang kawan yang dulu getol berhadapan dengan
keluarga ciomas tapi sekarang berbalik membela Andika, "yang ditangkap itu
paman dan ibunya, Andika ngga ada sangkut paut."
Walau sebenarnya kita sama-sama tahu, persoalan korupsi di
keluarga Atut jelas melibatkan setiap pihak yang ada di sana. Atau setidaknya,
perlawanan yang dulu digalakkan teman-teman bukan cuma persoalan menjatuhkan
Atut. Tapi untuk menghadang seluruh bagian dinastinya agar tak lagi berkuasa di
Banten.
Perkara ini menjadi dilematis, setidaknya bagi saya. Di satu
sisi saya tahu kalau Wahidin punya kompetensi untuk menjadi gubernur Banten.
Tapi di sisi lain, sangat mustahil bagi saya untuk mebiarkan gerbong ciomas
kembali berkuasa melalui posisi Andika yang dipasangkan dengan WH.
Mungkin Rano Karno belum punya rekam jejak yang bagus-bagus
amat sebagai gubernur Banten. Kapabilitasnya sebagai seorang kepala daerah
belum benar-benar teruji. Tapi setidaknya, Ia tidak maju bersama gerbong
ciomas. Tidak bersama dinasti korup itu.
Beruntung Rano maju bersama Haji Embay, salah satu pendiri
Banten yang punya rekam jejak lumayan. Setahu saya, dia memang tidak pernah
terjun di dunia pemerintahan. Tapi sebagai tokoh masyarakat, Ia berhasil
membangun hubungan baik dengan masyarakat. Kalau tidak salah, Ia juga membangun
perekonomian berbasis komunitas di daerahnya. Setidaknya melalui program
pendirian 1000 BMT di Banten.
Mungkin saya memang tidak terlibat begitu aktif dalam
pergerakan melawan dinasti Atut. Boleh dibilang, saya hanya seorang pribadi
yang tak terikat pada kelompok-kelompok arus utama pada waktu itu. Intensitas aksi
yang saya lakukan tidak sebesar teman-teman yang lain, yang sedari awal getol
melawan dinasti korup ini. Tapi saya punya satu kesadaran, korupnya
pemerintahan Banten saat itu bukan hanya dilakukan Atut seorang, tapi ada
sebuah dinasti yang menggerogoti hak hidup masyarakat Banten.
Karenanya, saya jelas agak kecewa dengan teman-teman yang
dulu ada pada barisan yang sama tapi memilih untuk memenangkan pasangan yang
ditumpangi gerbongnya Atut ini. Tidak-tidak, saya tidak mengatakan pilihan
politik mereka salah. Setiap orang berhak memilih dan mengambil sikap. Tentu kekecewaan
tak akan berarti apa-apa, tak bakal merubah apa-apa. Karenanya, ketimbang
sekadar kecewa saya juga memilih untuk mengambil sikap serupa, tentu pada
pasangan yang berbeda.
Sebenarnya, dengan tulisan ini saya menyatakan sikap politik
pribadi dalam Pilkada Banten tahun depan. Mungkin Rano Karno dan Embay Mulya
bukanlah sosok yang sempurna. Tapi diantara dua calon yang ada, jelas saya
tidak menjatuhkan pilihan pada pasangan yang membawa gerbong korupnya Atut Chosiyah
untuk menjadi kepala daerah di Banten nanti.