Aditia Purnomo



Tiwi sakit perut lagi setelah meminum kopinya. Ia kerap merasa begitu, merasa tidak cocok dengan kopi. Karena itu, dalam berbagai kesempatan ia lebih senang memesan susu cokelat atau teh hijau. Begitu pun Panji, dadanya sering berdebar selepas menenggak kopi. Tidak tahu kenapa. Akhirnya ia lebih memilih minuman lain, yang tak membuat dadanya berdebar. Kejadian-kejadian semacam itu tak hanya dialami kedua teman saya di atas, tapi juga banyak orang lainnya. Meski tentu saja tidak semua orang merasa begitu.

Awalnya saya pikir ini perkara selera. Ada beberapa orang yang mengalami alergi terhadap beberapa makanan, pun (pikir saya) begitu pada kopi. Cuma perkara cocok tidak cocok. Tidak lebih tidak kurang, dan tak perlu banyak dipersoalkan.

Barulah pada satu kesempatan, saya mendapat jawaban yang cukup menjelaskan permasalahan beberapa teman tadi. Kesempatan itu datang dalam sebuah piknik yang menyenangkan bersama beberapa teman baru, baru ketemu di piknik itu tentunya. Pada kesempatan yang sama juga lah saya bisa belajar beberapa hal baru tentang kopi.

* * *
“Etdah, ini masih di Jakarta ya? Panjang bener macetnya,” celoteh Abdul sesaat setelah terbangun. Abdul mengatakannya sembari bercanda, mencoba mencairkan suasana yang melelahkan di dalam mobil. Waktu itu kami baru saja keluar pintu tol Moch. Toha Bandung. Menjelang tengah hari. Sekitar jam 11, mungkin lebih sedikit. Saya tidak ingat pasti. Yang pasti saat itu kami baru saja menempuh perjalanan hampir 4 jam dari Jakarta untuk mencapai Bandung.

Hampir di sepanjang tol Padaleunyi mobil yang kami temui menjumpai kepadatan kendaraan yang terhambat perjalanannya karena macet. Dari pintu keluar Pasteur hingga Moch. Toha kami lalui dengan kondisi padat merayap. Begitu keluar Tol, jangan sangka kami bisa menghirup udara segar yang sulit ditemui di Jakarta. Jalan Moch Toha Bandung selayaknya Cijantung di Jakarta, kendaraan padat merayap. Kiri-kanan jalan dipenuhi pabrik, dan tentunya lapak kaki lima yang menawarkan jajanan pada buruh yang baru menyelesaikan jam kerjanya di hari sabtu.

Kawasan Bandung Selatan memang dipenuhi pabrik garmen dan tekstil. Di sepanjang jalan Moch Toha dan Banjaran saja ada sekitar 35 pabrik. Jika diasumsikan satu pabrik mempekerjakan 500 buruh, terdapat sekitar 17 ribu buruh yang siap di organisir serikat. Tentu bukan jumlah yang sedikit untuk mencapai revolusi. Lah, kok malah bahas revolusi. Ini mau piknik atau live in?

Kembali lagi ke persoalan piknik. Sejak awal saya tahu bahwa piknik ini tidak akan berjalan mudah. Yang luput dari terkaan saya, tidak terbayang akan seberat ini. Sebagai kaum proletariat kampus, saya tidak terbiasa naik mobil. Naik taksi yang ukuran perjalanannya masih di dalam kota saja sudah membuat saya mabuk. Lah ini, harus menempuh total perjalanan hampir 200 km dengan waktu tempuh mencapai 7 jam. Sungguh penderitaan tiada tara bagi saya. Beruntung, teman perjalanan cukup sering mengajak bercanda. Selain dapat mencairkan suasana, tentu membantu saya melenyapkan mual sejak dalam pikiran.

Ah iya, kami semua berangkat ke Bandung dalam sebuah agenda dengan tajuk yang keren: Ekspedisi Kopi. Tapi sekali lagi, jangan bayangkan hal-hal yang ‘wah’ pada perjalanan kami. Rombongan kami tidak besar, hanya belasan orang. Terdiri dari 7 peserta, 4 panitia, serta 2 supir yang mengantar kami ke Pangalengan. Pun di Pangalengan, kami tidak mampir ke kebun kopi milik PT. Kopi Malabar yang luas itu. Kami hanya datang ke kebun milik petani lokal, serta satu gudang yang menimbun biji-biji kopi sebelum diproduksi. Selebihnya, tentu saja kami (para lelaki) menikmati perjalanan sembari menengok teteh-teteh geulis di sepanjang jalan. Eh.

Kami yang mengikuti piknik ini kebanyakan adalah ‘pemula’ dalam urusan kopi. Hanya beberapa penikmat kopi yang mau belajar tentang seluk-beluk kopi (sembari senang-senang tentunya) di Pangalengan. Ada Indah dan Enca, dua kawan karib yang selalu berdua. Lalu ada ‘tante’ Tere dan pak Zainal. Serta pasangan Dito-Marsela. Kenapa disebut pasangan, ya karena mereka pacaran lah. Memangnya saya, jomblo.

Menemani kami bertujuh, saya dan keenam peserta lainnya, hadir Abdul, Dion, Gober, serta Wibi selaku kepala rombongan. Dion adalah barista di Selera Kopi. Sementara Abdul adalah barista di Coffee Life dan pemilik bisnis roasting berbasis home industry bernama Hatim Bean. Keduanya membantu Wibi dan Gober sebagai narasumber pada piknik ini.

Diantara semuanya, boleh dibilang hanya Abdul dan Dion yang punya wawasan lebih tentang kopi. Tentu yang dimaksud wawasan lebih ini bukan sekadar tahu beda kopi arabica dan robusta. Kalau cuma begituan sih saya juga paham.

Rencana perjalanan yang telah dibuatkan panitia jadi berubah karena macet dan waktu tempuh yang berlebih. Sedianya kami akan makan siang begitu sampai di Pangalengan, baru bertandang ke gudang kopi milik Pak Wildan. Namun, kenyataan memaksa kami untuk langsung bertandang ke gudang agar tidak kelewat sore ketika belajar di sana. Pernah mendengar istilah semakin lapar seseorang maka Ia akan semakin kritis? Begitulah keadaan kami ketika sampai di gudang.

* * *
Di gudang kami disambut oleh Pak Wildan Mustofa, pemilik sekaligus pengelolanya. Beliau bukanlah orang baru di bidang pertanian. Orang tuanya adalah petani kentang, Ia pun melanjutkan studi di bidang pertanian dan melanjutkan usaha orang tuanya di bidang kentang. Baru pada medio 2010an, Pak Wildan masuk ke pertanian kopi setelah mendapat bantuan program untuk pengembangan pertanian kopi dari sebuah universitas di Belanda. Waktu itu di Pangalengan tengah dihinggapi euforia kopi.

Pak Wildan banyak bercerita tentang kopi, mulai dari jenis kopi hingga varietasnya. Namun, proses belajar-mengajar-tak-formal ini sedikit terganggu dengan kondisi lapar yang menghinggapi perut. Maklum, waktu sudah hampir memasuki jam 3 sore. Sementara kami, oke saya lebih tepatnya, belum memenuhi kebutuhan biologis perut saya untuk mengasup karbohidrat. Kalau cuma gorengan dan sepotong roti jelas tak bakal memuaskan libido perut saya. Beruntung beberapa teman juga terlihat gelisah. Tentu gelisah karena lapar, pikir saya.

Akhirnya setelah perkenalan dan kuliah singkat, kami bergegas menyantap makanan yang telah disediakan panitia. Ini adalah bagian penting bagi pembelajaran, karena otak memerlukan nutrisi dari makanan yang kita asup untuk menerima wawasan baru yang akan kami dapatkan dari Pak Wildan. Halah, ini cuma alasan. Kalau lapar ya bilang aja lapar, hehe.

Selepas makan, kami memulai tur kecil di gudang yang tidak terlalu besar ini. Pak Wildan berperan sebagai pemandu tur, dan beliau mulai menjelaskan banyak hal tanpa banyak basa-basi. Dalam rantai produksi kopi, gudang ini mendapatkan peran untuk mengolah buah kopi untuk dijadikan green bean. Prosesnya cukup sederhana dan tidak merepotkan, hanya memerlukan ketelitian dalam memilah kualitas green bean yang diproduksi.

Begitu panen, gudang akan menerima biji kopi dalam dua kondisi. Yakni yang masih berbentuk buah kopi maupun sudah diproses menjadi ‘gabah’. Harga yang diterima petani tentu akan akan berbeda, karena itu kebanyakan petani terlebih dahulu melakukan proses pengupasan buah dan washing terlebih dahulu sebelum menjual panennya ke gudang.

Di gudang, kami dijelaskan bagaimana alur dan proses produksi biji kopi. Tentunya setelah proses washing, setelah buah kopi diproses menjadi gabah. Pada tahap ini, kulit buah kopi dikelupas dan direndam dalam air untuk melakukan fermentasi terhadap biji kopi. Setelah itu, biji kopi kembali dikeringkan. Lalu, gabah yang sudah jadi ini kembali diproses dengan memasukannya ke mesin huller untuk dikelupas cangkang yang ada di biji kopi.

Ada beberapa mesin yang dimiliki gudang ini. Pertama mesin giling basah, yang berfungsi untuk mengeringkan biji kopi pasca difermentasi di dalam air. Kemudian, ada mesin huller untuk mengelupas cangkang setelah biji kopi dikeringkan. Terakhir, ada mesin yang digunakan untuk menyortir biji kopi berdasar kualitasnya.

Begitu selesai sortir, green bean yang ada akan dikelompokkan berdasar kualitas. Meski ada mesin yang membantu proses sortir, namun tenaga manusia adalah kunci pada tahap ini. “Karena mesin hanya membantu mengalirkan biji kopi, lalu para pekerja lah yang melakukan sortir,” jelas Pak Wildan.

Sampai tahap ini, saya hanya bisa mengangguk-angguk. Tahap produksinya agak mirip dengan proses penjualan tembakau yang harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum disortir dan dibeli pabrik. Dari daun tembakau segar yang baru dipetik hingga menjadi daun tembakau kering yang telah disortir. Untuk kopi, bedanya hanya terdapat pada bentuk akhir yang menjadi green bean.

Ah iya, sejak tadi kita banyak membahas perkara green bean, sebenarnya apa sih green bean itu?

Sederhananya, green bean adalah biji kopi siap masak. Untuk lebih mudahnya lagi, green bean itu seperti beras dalam proses memasak nasi. Jadi, green bean harus terlebih dulu dimasak. Proses memasaknya disebut sangrai. Kurang lebih seperti itu analoginya. Setelah disangrai, biji kopi sudah matang dan siap seduh untuk disajikan kepada kami.

Selesai tur singkat ini, kami ditawari Pak Wildan untuk mencicip kopi hasil kebun di Pangalengan. Dion selaku barista yang bertanggung jawab unjuk kebolehan menyeduhkan kopi untuk kami.

Dion menggunakan teknik menyeduh kopi dengan menggunakan French Press. Setelah menggiling biji kopi, Dion menyeduh bubuk itu di dalam tabung French Press dengan air panas bersuhu kurang lebih 90° lalu mengaduknya perlahan. Sehabis itu, tutup tabung dan biarkan sekitar 4 menit. Baru setelah itu tekan plunger French Press secara perlahan.

Saya cukup sering melihat teman melakukan hal ini, namun baru sekali ini mendapat penjelasan yang cukup detail untuk melakukannya. Sebelumnya, saya mengira proses ini dilakukan hanya untuk menghindari ampas kopi yang tersisa. Nyatanya tiap metode penyeduhan memiliki efek yang berbeda terhadap ekstraksi antara kopi dan air. Dan metode ini akan meningkatkan ekstraksi kopi yang kita rasakan. Wawasan baru untuk pemula seperti saya.

Dari gudang, kami bergegas menuju vila sebelum hari bertambah gelap. Cuaca dingin mulai menusuk kulit saya yang agak gemuk. Oke-oke, gemuk tanpa agak. Sesampainya di vila, kami segera berbagi kamar, membersihkan diri, dan beristirahat. Sembari melakukan itu, Indah dan Dito iseng belajar menyeduh kopi dengan Aeropress. Metodenya sama dengan cara Dion menyeduh di gudang, hanya alatnya saja yang berbeda. Melihat mereka yang asyik menyeduh kopi, rasa kepingin saya muncul untuk ikut mencobanya. Hitung-hitung cari gerak agar badan sedikit melupakan perkara sepi, eh dingin maksud saya. Dan kami menutup malam itu dengan obrolan mengenai ganja di depan perapian yang hangat.

* * *
Paginya, kami berangkat ke kebun selepas sarapan. Kira-kira jam 9 kami baru berangkat. Jika mengikuti jadwal yang direncanakan harusnya kami berangkat pagi sekali, sekitar jam 6. Namun berhubung manusia hanya bisa berencana, akhirnya waktu lah yang membuktikan. Ya membuktikan kalau membenarkan kebiasaan adalah perilaku manusia, sekalipun kebiasaan yang tak baik.

Di kebun, kami disambut oleh Om Anton. Ia adalah pemilik lahan di kebun tersebut. Kini, beliau yang memandu kami mempelajari perkara-perkara yang berkaitan dengan tanaman kopi. Maka, berceritalah ia tentang kebun kopi di Pangalengan.

Pada mulanya, kebanyakan penduduk di Pangalengan menanam sayuran sebagai mata pencaharian. Namun setelah demam kopi luwak melanda dunia, kebanyakan penduduk memilih beralih menjadi petani kopi. Selain karena harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mereka juga mendapatkan bantuan bibit dari dinas pertanian setempat untuk menanami lahannya dengan tanaman kopi.

Meski begitu, tidak serta merta kehidupan petani kopi di Pangalengan langsung kaya mendadak. Ada fase uji coba terhadap tanaman kopi ini, apakah mampu menghasilkan kopi yang baik atau tidak. Fase ini berjalan tiga tahun, dan panen pertama (yang memberi untung) dirasakan Om Anton pada tahun 2012.

Kebanyakan petani di sini menanam arabica di lahan mereka. Dengan ketinggian Pangalengan yang ada: 1300-1500 mdpl memang sesuai dengan kebutuhan kopi jenis ini untuk tumbuh. Dengan ketinggian itu, kopi arabica dapat tumbuh maksimal karena tanaman ini tidak tahan suhu yang terlampau dingin di ketinggian melebihi 1500 mdpl dan terlalu panas di bawah ketinggian 1100 mdpl. Memang, tanaman ini bisa tumbuh di ketinggian selain 1300-1500 mdpl, namun pertumbuhannya tidak akan maksimal.

“Kalau terlalu rendah kualitasnya akan turun, kalau terlalu tinggi jumlah produksinya yang turun,” jelas Om Anton.

Pada saat kami main ke kebunnya, kondisi tanaman belum siap panen. Maklum, panen raya biasanya terlaksana sekitar bulan Juli dan Agustus. Sedangkan kami yang awam ini, datang pada awal april. Tentunya kami tidak dapat menyaksikan buah kopi yang rimbun dengan warna merah menyala, tanda siap panen. Ketika kami ke sana memang sudah ada beberapa buah kopi yang berwarna merah, tapi belum banyak. Jadi ya kami nikmati saja ‘panen’ kecil-kecilan buah-buah berwarna merah tersebut.

Dalam satu kali panen (raya), kebun Om Anton bisa menghasilkan sekitar 20 ton buah kopi. Dengan asumsi harga jual ‘ceri’ sekitar Rp 7 ribu, silakan anda hitung sendiri betapa besarnya nilai ekonomis yang didapatkan dari tanaman ini.

Untuk mengurus lahan kebunnya yang hanya seluas satu hektar itu, Om Anton dibantu oleh Kang Wadim dalam mengelola kebunnya. Kang Wadim sendiri banyak menjelaskan pada saya bagaimana proses plantation di kebunnya berjalan. Nanti akan saya buatkan satu tulisan sendiri soal ini.

Di kebun, kami tidak berjalan beriringan dalam rombongan untuk melihat-lihat kebun. Ada yang sibuk bertanya Om Anton sembari melihat kebun, ada yang ‘menculik’ Kang Wadim untuk menjajal buah kopi, ada pula yang jalan-jalan sendirian di dalam kebun. Yang terakhir itu adalah saya, sendirian.

Lelah melihat-lihat kebun, kami beristirahat sembari menyantap makan siang yang disediakan lebih awal. Kira-kira baru jam 11, dan kami sudah makan lagi. Brengseknya, makanan yang disajikan oleh istri Kang Wadim luar biasa enaknya. Nasi putih, ayam goreng, ikan asin, tahu dan tempe goreng, sayur asem, sambal goreng, serta lalapan yang aduhai itu saya santap. Semua saya cicipi, tanpa terkecuali. Sungguh edan, semua makanan yang kami santap selama piknik ini benar-benar enak. Entah itu makan siang di kebun Om Anton, atau makanan yang yang tersaji di vila. Termasuk Mie rebusnya. Ini piknik kopi atau piknik kuliner sih?

Sehabis makan, membakar sebatang dua batang kretek, Om Anton datang membawakan kami bergelas-gelas kopi siap seruput. Nah kan, nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan? Sehabis makan kenyang, diajak nyicip buah kopi, eh disediain yang sudah jadi pula.

Ketika semua bahagia dibagikan kopi, hanya Pak Zaenal yang menolak. Ia beralasan perutnya sering sakit jika minum kopi. Mendengar itu, Om Anton sambil tersenyum ‘memaksa’ Pak Zaenal meminum kopi yang sudah disediakan. “Coba saja dulu kopinya, kalau perutnya sakit saya yang tanggung jawab,” sesumbar Om Anton.

Merasa tak enak, kalau yang ini tebakan saya, Pak Zaenal menyicip kopi yang disediakan. Sekali cicip, dua kali cicip, tiga kali cicip, eh keterusan. Pak Zaenal bilang kopi ini enak. Mendengarnya, Om Anton tertawa.

Menurut Om Anton, perkara perut sakit sehabis meminum kopi adalah karena kopi yang diminum adalah kopi dengan kualitas yang kurang bagus. Kopi yang begitu biasanya kopi sasetan yang sudah mendapat campuran bahan kimia dalam proses produksinya. Karena itu tak jarang orang mengeluh sakit perutnya sehabis minum kopi. Jadi, ini bukan semata-mata tidak cocok atau perkara memiliki penyakit maag. Begitu jelas Om Anton. Selain itu, perkara dada yang berdegup kencang setelah minum kopi biasanya karena belum terbiasa menyesap kopi yang memiliki kandungan kafein yang cukup tinggi.

Sudah cukup pengetahuan, sudah puas makan dan bersenang-senang kini saatnya kami pamit pada Om Anton. Kami harus kembali ke ibukota, kembali pada kepadatan jalan dan kesibukan yang menyita harapan.

Kami pulang berbekal kopi pemberian Om Anton, paket souvenir dari panitia, dan wawasan yang lumayan untuk bercuap-cuap di depan teman saat nongkrong di coffee shop yang kami datangi. Tentu saja senang, apalagi bisa mendapat wawasan terkait pengaruh kopi pada sakit perut yang dialami Tiwi. Ya, ini kan bisa jadi bekal untuk ngajak Tiwi main lagi.


Ada beberapa hal yang bisa membuat mood kembali baik usai menjalani aktifitas melelahkan. Ada yang memilih untuk tidur, jalan-jalan, ataupun makan. Dan Efi memilih untuk menjatuhkan harapan untuk mengembalikan mood pada pilihan ketiga, makan. Ya, waktu itu Efi baru saja menjalani hari yang cukup melelahkan. Setelah kurang istirahat akibat banyaknya pekerjaan, jiwa sosial Efi kembali membawanya pada aktifitas padat mengawal opa-oma penyintas ‘65 ke Komnas HAM.

Waktu itu, para penyintas yang tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi Simposium Nasional harus diusir dari vila yang disewanya. Pelakunya, siapa lagi kalau bukan ormas-ormas intoleran nan kurang piknik itu. Karena pengusiran itu, mereka harus diungsikan ke Kantor YLB HI dan mendapat bantuan ala kadarnya dari orang-orang yang bersolidaritas. Efi adalah salah satu orang tersebut.

Maka setelah melewati hari yang cukup panjang, Efi mengajak saya mencari tempat makan asik dan enak di bilangan Jakarta. Setelah mencari-cari beberapa alternatif di aplikasi direktori makanan, kami memutuskan untuk makan di Warung Sop Tulang Sum Sum 468 Tebet. Kami memilih tempat ini setelah Efi, secara tidak sengaja, menemukan resto ini dari iklan layanan fesbuk. Sungguh kebetulan yang menyenangkan.

Maka, berangkatlah kami setelah pamit kepada beberapa kawan yang masih menjalani rapat. Ya, mau gimana lagi. Ini urusan perut. Kalau rakyat lapar bisa-bisa terjadi keributan yang tidak biasa. Hal macam ini harus dihindari. Sekalipun waktu itu masih berada di jam padat kendaraan, kami rela bermacet-macetan demi segera menikmati makanan enak.

Begitu sampai, saya terpikat dengan warung ini. Tempatnya lumayan asik, dengan beberapa poster dan gambar yang menggugah selera. Apalagi poster tutorial menikmati Sum Sum yang baik dan benar menurut mbak-mbak cantik yang ada di poster. Benar-benar menggugah selera. Tanpa banyak basa-basi, kami memesan dua porsi sop sum sum tulang, dua piring nasi, dan satu porsi garang asem iga. Minumnya, saya memilih air mineral sementara Efi memesan jeruk hangat.

Sembari menunggu pesanan datang, kami melongok ke kedai sebelah. Ada sebuah warung kopi yang tempatnya terbilang asik, setidaknya dalam pandangan saya. Lagi-lagu dari band Sore melantun dari warung tersebut. Saya tidak banyak hafal lagu-lagu Sore, tapi setidaknya masih bisa menikmati alunan musik yang enak barang sekadar menentramkan hati dari gejolak lapar dari dalam perut.

Ketika pesanan tiba, pemutar musik dari warung kopi sebelah memutarkan lagu berjudul Sssst… dari Sore. Sungguh momen yang tepat, sudah saatnya menghentikan obrolan tak tentu arah dengan Efi dan waktunya menyantap hidangan di depan mata. Hmmmm, menggugah selera.

Di hadapan kami, telah berjejer sop sum sum tulang dan garang asem iga untuk dinikmati. Tentunya, sebelum kalap dan menghabisi apa yang ada di meja makan, sejenak saya memanjatkan doa kepada Tuhan atas karunia dan nikmat yang telah diberikan. Bismillahirahmanirahim. Selamat makan.

Sebagai menu pembuka, saya mencicip kuah dari kedua hidangan yang ada. Mulai dari sop sum sum, dilanjut ke garang asem. Untuk kuah sop sum sum, saya tidak merasakan sesuatu yang terlalu berbeda dari rasanya. Tetap segar sebagaimana sop enak lainnya. Tapi rasa yang ditawarkan kuah garang asem sungguh keterlaluan enaknya. Saya agak bingung menjelaskan, sekilas agak mirip dengan kuah sayur asam enak tapi dengan level berkali-kali lipat di atasnya. Wah, makanan ini harus segera disantap.

Sejenak, saya memperhatikan Efi. Bukan memperhatikan Efinya, tapi bagaimana ia menikmati makanan di hadapannya. Dia pun terlihat lahap menyantap garang asem seporsi berdua ini. Untuk sopnya, sepertinya remahan daging dan sayur di dalamnya yang akan dihabisi. Sum sum tulang akan menjadi penutup.

Karena itu, saya juga segera menghabiskan isian sop saya. Kuah sayur berupa wortel dan buncis, serta irisan daging yang ada saya santap bersama nasi putih. Entah kenapa, kelezatan nasi putih bertambah levelnya ketika itu. Bisa jadi karena memang makanannya enak, atau kami benar-benar lapar.

Selesai menghabiskan nasi, garang asem iga, serta pelengkap dalam sop, kami masuk pada sajian utama, sum sum tulang. Seperti mbak-mbak cantik yang tergambar di poster, kami menikmati sum sum iga dengan cara yang baik dan benar menurutnya. Pertama, siramkan kuah sop ke dalam sum sum. Kedua, aduk sum sum dengan sedotan. Terakhir, adegan paling asik dari tutorialnya, sedot senikmat seakan kamu adalah bintang iklan Nyot nyot dikenyot Nyot.

Efi tampak berkeringat ketika mempraktikkannya. Ia begitu bersemangat mengocok isian sum sum dengan kuah. Seakan tak mau rugi, ia menyedot sum sum tulangnya hingga tetes terakhir. Sungguh totalitas yang luar biasa dari anak muda kiri kekinian. Tuntas sudah kewajibannya untuk meyantap sop sum sum dengan baik dan benar.

Selesai makan, kami disambangi oleh seorang perempuan paruh baya yang rupanya adalah pemilik tempat makan ini. Ia menanyakan kesan kami setelah menyantap habis sajian di depan kami, dan meminta kami membuat review di aplikasi direktori makanan yang menuntun kami kemari. Yang menyenangkan dari permintaanya adalah: tawaran ini tidak gratis. Dengan membuat review atas tempat makannya, kami dijanjikan untuk mendapatkan seporsi tahu gimbal. Mendapat tawaran seperti itu, otak mahasiswa kami langsung saja mengiyakan. Dasar semangat gratisan.

Yang jadi masalah, kami sudah teramat kenyang untuk menghabiskan satu porsi tahu gimbal itu. Di hadapan kami, masih ada bekas-bekas kebrutalan kami tanpa menyisakan sedikitpun makanan. Dan dengan tahu gimbal ‘hadiah’ pemilik resto, sungguh keterlaluan kami mengisi perut yang tadinya kosong ini. Maka, sambil menurunkan tensi saya iseng mengajak ngobrol si ibu pemilik resto.

Dari ceritanya, tempat makan ini dibuat untuk memuaskan dahaga akan kuliner semarang yang kurang semarak di Jakarta. Menurutnya, mungkin garang asem atau tahu petis memang cukup banyak. Tapi menu itu saja tidak cukup untuk memuaskan dahaga akan kuliner semarang yang melimpah. Karena itulah, ia membangun resto yang menyediakan kuliner khas semarang seperti garang asem, babat gongso, urat gongso, tahu gimbal, serta menu-menu lainnya.

Untuk penyajian makanan, Ia tidak mau sembarangan dalam proses pengolahannya. Untuk sop sum sum, misalnya. Setelah kuah sop dimasak, ia akan mendiamkan makanan tersebut hingga lemak-lemak yang terkandung di kuah mengapung ke permukaan. Setelah mengapung itulah, ia membuang lemak-lemak tersebut dari kuah agar tidak mengganggu kenikmatan para pelanggan.

“Coba kalian lihat, nggak ada gumpalan lemak kan di kuahnya?” ujarnya sambil menunjuk sisa kuah sop sum sum dan garang asem.

Betul, tidak ada gumpalan lemak. Selain itu, langit-langit mulut kami pun tidak merasakan ada sisa gajih menempel karena pengolahan seperti tadi. Betul-betul, gumam saya.

Sehabis mengobrol, perut kami tak kunjung surut. Rasa kenyang masih menghinggapi sehingga kami hanya sempat menyicip sepotong-dua potong tahu gimbal yang disediakan. Ini kali pertama saya menyantap makanan yang dibuat dari tahu yang diletakkan di atas campuran adonan tepung serta udang, serta diberi saus kacang di seluruh permukannya ini. Dan saya langsung jatuh cinta pada makanan ini pada suapan pertama. Sungguh perjalanan kuliner yang menyenangkan.

Sebelum pulang, saya meminta bill pada pramusaji untuk segera dibayarkan. Saya takut nantinya akan diberikan hadiah-hadiah lagi jika terus berlama-lama di sini. Total harga yang harus kami bayarkan adalah Rp 130 ribu. Jika dirinci, maka kami harus mengeluarkan Rp 64 ribu untuk dua porsi sum sum, Rp 43 ribu untuk seporsi garang asem, Rp 12 ribu untuk dua porsi nasi putih, dan masing-masing Rp 7 ribu dan Rp 4 ribu untuk jeruk hangat dan air mineral. Harga yang lumayan untuk nikmat yang kami terima.

Ketika hendak membayar tagihan, saya melihat seorang pramusaji membawakan seporsi sop sum sum tulang dengan dua piring nasi kepada pengunjung yang duduk tak jauh dari kami. Melihat itu, saya iseng meminta Efi melihat pasangan itu.

“Noh, Fi. Makan tuh kayak mereka, seporsi berdua. Biar mesra. Lah kita, makan tiga porsi berdua, ditambah tahu gimbal pula,” ujar saya yang disambut cekikik kami ketika meninggalkan tempat itu.
Pengungkapan kebenaran dan keadilan tidak mengenal kadaluarsa. Begitulah hal yang saya yakini ketika membincang permasalahan yang terkait peristiwa 65. Tahun lalu tragedi kemanusiaan, kalau tidak mau disebut begitu ya kita sebut saja peristiwa 65, telah berusia 50 tahun. Selama itu pula, jutaan korban harus meratapi nasib dan hidup di bawah bayang-bayang.

Maka ketika Menteri Kordinator bidang Politik, Hukum, dan HAM Luhut Binsar Panjaitan menginisiasi sebuah simposium nasional untuk membedah peristiwa 65 demi mencapai rekonsiliasi nasional, tidak sedikit orang bergembira menyambut acara ini.

Sayang, beberapa hari sebelum Simposium terjadi pembubaran pertemuan para penyintas 65 di Cinajur yang tengah mempersiapkan diri untuk datang sebagai undangan peserta simposium. Mereka, penyintas 65 yang rata-rata telah berusia 60 tahun ke atas itu, dipaksa pergi dari sebuah vila yang mereka sewa oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan perkara “komunis”.

Para opa-oma yang telah sepuh ini menyambut baik keinginan pemerintah untuk melakukan simposium. Tapi mereka pula yang pertama kali mendapatkan kenyataan, negara ini masih belum siap menghadapi impian rekonsiliasi. Aparat negara masih gagal melindungi mereka yang hendak terlibat dalam rekonsiliasi, dan kembali terusir oleh kelompok intoleran.

Sekitar sebulan lalu, saya terlibat dalam agenda Belok Kiri. Fest, sebuah festival yang diadakan dengan semangat membongkar kebohongan propaganda orde baru. Pada festival itu pula saya melihat negara melalui institusi-instutusi yang ada gagal melindungi kebebasan berpendapat dengan membiarkan kelompok intoleran memaksa untuk membubarkan acara kami.

Pembubaran demi pembubaran sebenarnya telah terjadi dan semakin gencar setelah muncul sebuah film dokumenter Jagal dan Senyap. Mereka, kelompok intoleran serta orang-orang yang berkepentingan, tidak menyukai keberadaan film yang mencoba mengungkap fakta, apa yang sebenarnya terjadi setelah 65.

Peristiwa 65 yang harus dipahami oleh masyarakat adalah bukan melulu perkara penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Jendral dan beberapa perwira menengah, namun juga tragedi apa yang terjadi setelahnya. Pasca 65, Indonesia mengalami sebuah peristiwa paling kelam dalam sejarah bangsa dengan dilakukannya pembunuhan massal terhadap mereka yang dianggap PKI atau sial ditunjuk sebagai PKI.

Tidak sedikit jumlah orang yang dibunuh kala itu. Bahkan, pembantaian dilakukan tidak hanya di satu atau dua lokasi, tapi di berbagai belahan nusantara pun terjadi pembantaian. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di tahun 65, Soe Hok Gie, salah satu aktivis mahasiswa yang menjadi motor penggerak gerakan mahasiswa menggambarkan bagaimana pulau dewata yang begitu indah terlihat begitu merah dengan banyaknya darah yang tumpah.

Tidak pernah ada data pasti berapa jumlah korban dalam pembantaian massal tersebut. Dalam bukunya, John Roosa menjelaskan beberapa versi korban, mulai dari 70 ribuan menurut  laporan Presiden Soekarno hingga 500 ribu sampai 1 juta korban menurut memoar Oei Tjoe Tat. Bahkan, Pimpinan komando pembantaian massal, Sarwo Edie pernah menyatakan telah membantai hingga 3 juta nyawa. Tentu bukan angka yang sedikit.

Sayangnya, hal-hal ini tidak pernah diungkap secara terbuka kepada publik. Buku-buku pelajaran sejarah masih belum berani menampilkannya. Dan yang pasti, negara belum pernah mengakui terjadinya peristiwa itu secara terbuka.

Pada pembukaan acara Simposium Nasional 65, Menko Polhukham menyatakan dengan arogan bahwa negara tidak perlu meminta maaf. “Jangan ada pikiran bahwa negara akan meminta maaf ke sana-sini, jangan pikir kami sebodoh itu,” ujar Luhut dalam sambutannya. Lalu kolega Luhut seorang pensiunan TNI juga, Sintong Panjaitan yang memimpin pasukan RPKAD di kawasan Pati, menyatakan tidak ada korban jiwa sebesar itu. Bahwa apa yang dilaporkan lembaga-lembaga HAM dan peneliti serta Komandannya sendiri, Sarwo Edhie yang juga mertua Mantan Presiden SBY, adalah sebuah kebohongan.

“Selama saya memimpin operasi, cuma ada satu orang yang mati ditembak oleh RPKAD karena berusaha kabur,” jelas Sintong Panjaitan.

Emosi saya begitu tersulut mendengar pernyataan-pernyataan dari para jendral itu. Semangat oma-opa penyintas 65 yang datang untuk memperjuangkan kebenaran seperti dilecehkan dengan ‘sambutan’ para jendral dari agenda simposium yang mulia ini. Kemuakkan saya memuncak menyaksikan omong kosong soal kebenaran yang (lagi-lagi) didengang-dengungkan pemerintah.

Untuk apa mengadakan simposium ini jika pemerintah, yang terwakili oleh Luhut dan acara ini, masih saja menolak untuk mengakui telah terjadi pembunuhan besar-besaran pada masa itu. Untuk apa simposium ini mengupayakan rekonsiliasi jika maaf masih saja sulit terucap oleh pihak pemerintah.

Bagi para korban, pengakuan adalah sesuatu yang penting. Pengakuan dan permintaan maaf, akan memberi sedikit penyembuhan bagi penderitaan mereka. Rekonsiliasi bukan cuma soal yang sudah ya sudah, bukan sudah lupakan dan mari berjalan ke depan. Tapi rekonsiliasi adalah upaya saling memaafkan tanpa melupakan dosa sejarah negara dan (kalau bisa) penyelesaian hukum pada yang terlibat. Karena, pengakuan kebenaran adalah sebuah syarat mutlak bagi rekonsiliasi. 


Kemarin sore, di hari yang terik dan sama sekali tak ada tanda akan turun hujan, entah kenapa muncul pelangi dari kejauhan. Sang pelangi muncul secara tiba-tiba, tanpa diduga sebelummnya, tanpa tanda-tanda alam. Ia datang menghampiri keharuan kami yang tengah berada di depan Istana Negara, mengawal sembilan perempuan perkasa memperjuangkan tanah dan hidupnya tanpa mengenal lelah.

Sejak Senin kesembilan perempuan ini tiba di depan Istana dengan satu tujuan, meminta Presiden Joko Widodo menemui mereka untuk membahas nasib tanah mereka yang hendak dikuasai pabrik semen. Mereka datang dengan tekad baja, tetap diam selama 9 hari di depan Istana sembari memasung kaki mereka di dalam adukan semen hingga membatu. Sebuah simbolisasi nekat untuk menunjukkan pada negara kalau mereka tak ingin dipasung semen.

Pada hari kedua aksi dilakukan, semen yang memasung kaki mereka dihancurkan. Berdasar saran tim medis serta permintaan dan janji Istana, aksi nekat ini dihentikan. Saat pasung semen itu dihancurkanlah, pelangi terlihat dari kejauhan di belakang para kartini yang teguh berjuang.

Haru merebak seketika, tidak sedikit orang menitikkan air mata melihat aksi mereka. Kegetiran melihat perjuangan tak kenal lelah mereka tiada bisa dilihat hanya dengan dua hari berdiri di depan Istana. Tapi tengoklah kukuhnya tenda-tenda yang mereka tiduri selama 667 hari di dekat lokasi pembangunan pabrik. Atau dengarlah cerita perjalanan Rembang – Semarang dengan berjalan kaki sejauh 100 km demi mengawal putusan gugatan mereka atas izin pertambangan pabrik semen. 100 km saudara-saudara.

Sepanjang hampir dua tahun mereka berjuang, bukan cuma lelah yang harus mereka hadapi. Tapi juga popor senapan dan kebringasan aparat yang memaksa mereka menghentikan aksi. Dan ketahuilah, ibu-ibu ini tidak pernah mundur walau harus berdarah. Walau harus terluka. Bahkan jika mati adalah pilihan terbaik, tampaknya mereka telah siap.

Yang diinginkan mereka bukanlah pekerjaan tetap menambang semen dan gaji bejibun setiap bulan. Perbaikan kesejahteraan yang diimingi hanyalah bualan belaka jika hidup yang lestari berubah menjadi nestapa bagi lingkungan. Mereka tidak butuh gaji tetap, cukup bisa menanam padi di sawah dan mengambil air yang tidak tercemar. Juga udara segar, itu saja.

Menurut Yulianti, salah satu perempuan yang memasung kakinya dengan semen, pertambangan semen di kawasan Rembang, Pati, dan sekitarnya telah membuat beberapa daerah kekeringan. Pegunungan karst yang sedianya menampung air bagi kehidupan masyarakat di sana tidak boleh ditambang karena akan merusak harmoni yang sudah ada. Ekosistem, lingkungan, dan masyarakat yang tinggal disanalah yang akan jadi korban. Yang untung, tentu saja mereka para pemodal yang mengekspliotasi kawasan ini demi semen.

“Kalau pabrik semen terus dibangun, lantas kami mau makan dan minum dari mana?” tegas Yulianti.

Sekalipun aksi memasung kaki di depan istana telah dihentikan, tapi perjuangan mereka tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan terus menagih janji presiden untuk bertemu, juga menuntut dihentikannya pembangunan pabrik semen di daerah mereka. Sampai kapan, tentu sampai tetes darah perjuangan terakhir.

Lagipula mereka tidak akan berjuang sendirian. Gelora dan semangat perjuangan mereka telah menginspirasi beragam gerakan lintas sektor untuk ikut turun membantu mereka. Bukan cuma mengawal, tapi memberi seggala bantuan yang diperlukan untuk mereka, para kartini dan pejuang dari rembang. Membantu ibu-ibu ini memperjuangkan daerahnya dari kehancuran ekologis.

Sekalipun mereka tahu, perjuangan ini tidak akan pernah mudah, mereka tetap saja bertahan di tenda-tenda, tetap melakukan , dan mendatangi ibu kota demi menagih janji presiden. Sekali waktu, pada awal masa pemerintahannya, presiden Jokowi pernah untuk menemui ibu-ibu ini di Rembang. Namun, pemerintah tetaplah pemerintah, janji tersebut tak pernah direalisasi Jokowi bahkan hanya dengan menemui mereka di depan istana.

Walau korporasi terus bergerak tanpa memperhatikan alam, aparat dibayar untuk melindungi perusahaan, pemerintah diam membiarkan cukong bermain uang, maka melawan adalah satu-satunya pilihan. Kalaupun keadaan berbicara lain, masyarakat hanya bisa diam, hanya yang memiliki keadilan yang mau berbicara, tenang saja. Nantinya alam juga pasti akan berbicara dengan sendirinya.


Malam itu David De Gea tampil gemilang di bawah mistar gawang. Bertubi-tubi serangan pemain depan Everton yang merepotkan barisan pertahanan Manchester United berhasil dipatahkan oleh kesigapannya. Melihat adegan demi adegan itu, seorang teman yang khusyuk duduk di depan televisi melulu mengumpat ketika pemain bertahan si setan melakukan kesalahan.

“Asu!”

Saya anteng saja menyaksikan ulah teman-teman saya, mengumpat berulang kali, seiring berulang kali juga MU digempur Everton. Toh buat apa ngoyo. Kedua tim itu bukan jagoan saya. Saya juga sedang tidak mencari nafkah dari pertandingan itu. Lagipula, niat awal kami datang ke tempat ini adalah untuk makan, bukan untuk nobar.

Oh iya, waktu itu kami tengah menunggu pesanan makanan di Warung Nasi Jagal Bapak Satar. Salah satu warung makan legendaris di daerah Bayur, Tangerang. Ketika masih SMA dulu, warung makan ini menjadi favorit anak-anak sekolah di Tangerang. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung tiap malam, terutama pada malam minggu. Dan Kebetulan, saat kami datang, malam itu sedang ada pertandingan MU vs Everton.

Dulu ketika kali pertama datang ke tempat ini, sungguh saya tak menyangka ada warung makan di tempat seperti itu. Tempatnya sama sekali tidak strategis, menjorok ke dalam sebuah gang tempat bernaung rumah penjagalan sapi milik Dinas Pertanian Kota Tangerang. Memang tak berada persis di rumah penjagalan, namun berada tepat di depan gerbang rumah penjagalan itu.

Belakangan, lokasinya pindah ke jalan besar, namun tetap berada tak jauh dari tempat penjagalan. Di sekitaran itu, sebetulnya bukan hanya ada Warung Nasi Jagal Bapak Satar, masih ada beberapa warung makan lain. Tapi tetap saja, warung milik Bapak Satar ini adalah favorit karena kelezatan sambalnya.

“Sambalnya dimasak pakai apa sih, Mbak?”

“Ya pakai cabai lah, Mas,” ujarnya sambil tesenyum.

Sial, kalau cuma itu saya juga tahu. Tentu, umpatan ini hanya dipendam dalam hati.

Sambal goreng warung Pak Satar memang juara. Entah kenapa, meski terlihat biasa saja, namun pedas yang dihasilkannya susah untuk bertolak dari lidah. Meski mulut sudah disiram bergelas-glas air dan berbatang-batang rokok. Pun dengan mengingatnya saja, kuliner ini sudah mampu membuat lidah saya memproduksi air liur berlimpah. Bangsat, air liur saya jadi banyak ketika menulis ini.

Warung Nasi Jagal Bapak Satar menyajikan dua menu utama, yakni Nasi Jagal dan Nasi Goreng Jagal. Dua menu itu sebetulnya bisa saja anda tambah dengan kerupuk udang, emping, tempe dan tahu goreng, atau telur asin. Tapi pelengkap utama dari masakan ini tentu saja sambal goreng yang menggoyang lidah seperti lagu Ayu Ting Ting yang itu.

sambala sambala bala sambalado
terasa pedas, terasa panas
sambala sambala bala sambalado
mulut bergetar, lidah bergoyang

Sambal goreng Pak Satar sebetulnya dibuat amat sederhana: hanya cabai rawit merah yang dihaluskan lalu ditumis bersama bawang merah dengan minyak yang cukup. Mungkin ditambah dengan bumbu lain, tapi entah apa saya tidak tahu. Si Mbaknya pun tidak mau kasih tahu. Yang pasti, sekali lagi, rasanya begitu nendang.

Alamak, mari sejenak melupakan sambal sebelum mulut banjir karena air liur. Kita masuk ke santapan utamanya.

Seperti nama dan tempatnya, nasi jagal adalah seporsi nasi plus potongan daging sapi hasil penjagalan di tempat penjagalan dekat warung itu. Jadi, benar-benar daging sapi segar yang baru dipotong. Pilihan dagingnya pun tidak sembarangan, yakni bagian sandung lamur yang memiliki tekstur kenyal dan memiliki cukup banyak lemak yang biasanya digunakan untuk memasak rawon.

Potongan daging dimasak dengan kecap, seperti disemur namun tidak berkuah karena bumbu dan kecapnya benar-benar meresap ke daging. Lalu, daging “jagal” ini disajikan bersama nasi putih. Sementara untuk Nasi Goreng Jagal daging, daging “jagal” digoreng bersama nasi serta campuran sambal dan kecap. Tentunya semua hidangan tersaji dalam kondisi panas siap santap. Dan jangan lupa tambahkan sambal goreng yang aduhai itu.

* * *
Pesanan kami datang tak lama setelah Everton memastikan kekalahannya. Malam telah semakin larut. Rasa lapar kami semakin menjadi usai satu porsi Nasi Jagal dan dua porsi Nasi Goreng Jagal tersaji. Tak perlu menunggu lama, saya langsung mengambil sebutir telur asin sebagai toping. Sementara, kedua teman saya langsung menyambar kerupuk udang beserta sambal goreng merah.

Saya menyendok sambal tiga kali. Tak perlu banyak-banyak, bisa-bisa nanti lidah saya tak henti bergoyang. Tiga sendok sambal kemudian saya aduk rata dengan daging dan nasi. Setelah rata, baru nasi jagal tersebut sah untuk saya santap. Sebenarnya ritual semacam ini dilakukan sesuai selera saja, seperti halnya menyantap seporsi bubur dengan mengaduk semua toppingnya hingga rata.

Baru habis setengah, seorang teman kembali memesan Nasi Goreng Jagal. Tentu bukan untuk dibawa pulang, tapi sebagai tambahan porsinya. Tak mau kalah, saya juga melakukannya, memesan lagi seporsi nasi. Bukan. Bukan karena saya terlalu lapar atau rakus, tapi semata dilakukan untuk mengurangi rasa pedas dari sambal yang sedikit berlebihan untuk takaran saya.

Lagipula, sayang saja jika menyantap Nasi Jagal tanpa nambah. Porsinya memang dibuat nanggung—dalam ukuran saya dan teman-teman—sehingga membuat kami hampir selalu nambah jika makan di sini. Lagipula, sudah lama juga saya tidak menyantap nasi ini. Ya sekalian makan sambil ziarah kenangan masa sekolah.

Dulu sekitar 2010-an, warung pak Satar ini menjadi warung makan favorit di Kota Tangerang. Mulai dari anak sekolah, abang-abang, mbak-mbak, hingga pejabat daerah kerap makan di tempat ini. Bahkan, lantaran saking populernya, warung makan ini sering menjadi rekomendasi kuliner di beberapa media massa.

Sayang, sejak 2012 tempat ini mulai ditinggalkan pelanggannya gara-gara usai tayang sebuah reportase di televisi yang menyebut kalau warung nasi jagal ini menggunakan daging tikus. Sontak isu beredar tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, acara itu pun pernah diisukan membuat tayangan rekayasa untuk menaikkan rating, tapi entah seperti apa benarnya. Toh kalaupun tayangannya benar, saya yakin tidak semua pedagang sampai sejahil itu. Mungkin perbandingannya 1 pedagang nakal di antara 100 yang berjualan.

Meski begitu, Nasi Jagal bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditinggalkan. Toh isu hanyalah isu sebelum itu dibuktikan. Dan kami, para penikmat setia Nasi Jagal tetap makan di sana. Ya, walaupun tidak seramai dulu, warung Nasi Jagal tidak pernah benar-benar sepi pembeli. Memang benar, kisah hebat, apalagi yang berhubungan dengan kelezatan, tidak bisa dibungkam hanya oleh isu semacam itu.

Di lokasi yang sekarang, masih berjejer sekitar enam atau tujuh warung yang berjualan. Pun mereka tetap berjualan 24 jam seperti dulu. Dan soal rasa, tetap melenakan seperti delapan tahun yang lalu. Sama melenakannya seperti rasa yang dulu pernah ada. Nah kan, curhat.

Sebelum pulang, tak lupa kami membayar pesanan kami. Bisa diamuk warga kalau kelar makan kabur begitu saja, hehe. Dua porsi Nasi Jagal dan sebutir telur asin dihargai Rp24 ribu, sedang tiga porsi Nasi Goreng Jagal serta dua bungkus kerupuk udang dihargai Rp35 ribu. Harga satuannya, masih Rp10 ribu untuk satu porsi Nasi Jagal dan Rp11 ribu untuk Nasi Goreng Jagal. Minumnya, air putih hangat saja yang gratisan.

Karena nasi telah tandas, rokok sudah dibakar, dan yang paling penting pesanan sudah dibayar. Maka inilah saat yang tepat untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, sembari bercanda, teman saya iseng bertanya, “Dari jaman sekolah sampai hampir DO kuliah, lu nggak pernah bawa pacar ke sini ya, Dit?”

Rasa nikmat dan puas di lidah usai makan tiba-tiba menjadi umpatan kepada Anthony, teman saya yang brengsek itu.
"Kapan kita bisa merayakan kematian dengan canda tawa dan percaya bahwa somehow, the man who passed away ahead us way more happier than us?" ~ Isidorus Rio

Siang tadi, saya melihat kalimat di atas dari twitter seorang isidorus rio. Membacanya, saya cuma bisa menghela nafas agak dalam, mengingat hari ini bukanlah jumat yang baik. Minimal bagi saya dan teman-teman sepenongkrongan.

Tepat sebelum jumatan saya mendapatkan kabar duka dari seorang teman, yang mengabarkan kalau Mamih meninggal. Dengan agak panik, saya menanyakan keseriusan kabar ini padanya. Juga pada beberapa grup watsap berisi teman sepenongkrongan. Belum ada konfirmasi.

Saya tidak sedang melakukan prinsip verifikasi a la jurnalisme pada perkara ini. Hanya ingin memastikan bahwa kabar ini memanglah main-main, mengingat tidak satu dua kali ada kabar kematian berhembus namun yang disangkutpautkan masih segar tertawa. Sekali lagi, saya berharap ini main-main.

Selepas jumatan, baru ada konfirmasi. Bukan main-main, kabar itu benar adanya. Sial, kenapa disaat begini hal yang tidak main-main justru mengesalkan. Menyesakkan. Brengsek, kabar duka memang tidak pernah menyenangkan.

Mamih bukanlah orang biasa bagi kehidupan kami. Boleh dibilang Ia adalah induk semang bagi kawan-kawan yang kelaparan. Bagi orang lain, Ia hanyalah pedagang makanan dengan gerobak di samping kampus kami. Tapi bagi kami, mamih adalah penyelamat hidup disaat-saat yang paling genting. Saat lapar.

Makan bukanlah hal mudah bagi sebagian kami saat itu. Kami hanyalah kaum miskin kampus yang untuk makan dan ngopi saja mesti patungan. Soal rokok ya joinan. Kalau ada uang ya beli makan, kalau ngga ada ya tunggu ada yang nawarin. Kalau ngga ada yang nawarin, ya terpaksa ngutang. Kalau ngga ada yang ngutangin, ya kan ada mamih.

Begitulah kira-kira jasa besar mamih bagi sebagian kami. Kawan-kawan sepenongkrongan di jalan pesanggrahan samping kampus uin yang itu.

Mengingat mamih tentu membuat saya mengingat seorang teman, yang bila hendak makan terlebih dahulu mencuci piring kotor sebelum mengambil sendiri nasi dan lauk dari gerobak mamih. Di saat uang semakin tiris, menu nasi putih sambal pecel dan bala-bala satu biji adalah menu andalan yang bisa kami dapatkan dengan amat terjangkau. Tentu oleh kantong kami.

Dan kebiasaan ini bukan hanya ada pada generasi kami. Bahkan sebelum abang-abang aktipis mahasiswa 98 melakukan aksi menjelang reformasi, mamih sudahlah menjadi mamih yang kami kenal. Induk semang naqanaq gerakan yang datang ketika perut lapar.

Mungkin tanpa mamih, tidak akan ada demo-demo bisa yang dilakukan anak-anak uin. Mungkin tanpa mamih, anak-anak gerakan di uin hanyalah berisi mahluk astral yang tidak ketahuan bentuknya. Tanpa mamih, naq gerakan hanyalah omong kosong yang melulu kelaparan dan memilih diam di kosan.

Dan inilah dosa terbesar kami terhadap mamih, datang ketika lapar dan mau nongkrong doang. Di luar itu, kesibukan melenakan kami dari kebaikan mamih yang semakin terlupakan.

Dan hari ini, mamih pergi untuk selamanya. Belum ada hal yang bisa saya berikan untuk membalas jasa mamih. Mungkin hanya sedikit doa, semoga Ia hidup lebih bahagia setelah meninggalkan dunia ini.