Aditia Purnomo



Jangan sekali-kali melupakan sejarah, hal itu diungkapkan oleh Bung Karno dalam pidato kenegaraan tahun 1966. Dan tentu pula, sebagian besar masyarakat yang hidup pada masa itu jelas mengingat kejadian pembantaian masyarakat yang dianggap komunis ataupun yang dekat dengan komunis, pasca terbunuhnya jendral teras angkatan darat (AD) oleh pasukan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S).

Gerakan itu sendiri memang langsung dapat diatasi kekuatan AD yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto selaku yang secara sepihak mengambil alih pimpinannya. Namun malapetaka yang sebenarnya justru terjadi pasca peristiwa itu. Keterlibatan beberapa pimpinan Partai Komunis Indonesia dalam G30S menjadi dalih utama pembantaian massal terhadap anggota kader dan simpatisan PKI di berbagai daerah.

Tak hanya itu, ribuan orang yang di cap “merah” pun ditangkapi dan ditahan di berbagai penjara dan kamp konsentrasi, dan salah satu yang terkenal adalah Pulau Buru dimana terdapat seorang Sastrawan besar Indonesia yang turut ditahan tanpa diadili. Bagi mereka yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, hidupnya tak lebih indah dari mereka yang mati dan ditahan. Mereka yang selamat ini tetap mendapat diskriminasi dan pengebirian hak-hak mereka. Bahkan tak jarang harta mereka seperti tanah dan rumah juga turut dirampas.

Bagi mereka yang merasakan kekerasan dan melihat sendiri bagaimana pembantaian dilakukan, mungkin seumur hidup mereka takkan lupa apa yang terjadi diantara akhir tahun 1965 hingga awal tahun 1966. Mereka juga takkan lupa akan diskriminasi terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan politik mereka yang dilakukan oleh rezim selama 32 tahun.

Namun, sekalipun rezim yang menindas mereka sudah lengser, mereka berusaha untuk tak bersuara menuntut keadilan. Sudah terlalu lama mereka berharap akan datangnya keadilan, tapi selama itu pula mereka harus menelan pahitnya ketidakadilan. Mereka jug sudah bosan dengan ketegangan yang ada hingga mereka bersikap seakan tak terjadi apa-apa meski kemarahan, kesedihan, dan kekerasan yang mereka alami masih terasa.

Begitu pula bagi masyarakat biasa yang tak ingin terlibat, mereka berusaha tutup mulut meskipun mereka tahu kebenarannya. Apalagi masyarakat yang terlibat, mereka akan bungkam (mungkin) untuk menutupi pa yang mereka lakukan. Bagi mereka, kini tak perlu lagi membuka luka peristiwa 65 yang kini mulai tertutup.

Tapi ada satu hal yang sama dari mereka yang ditindas, tak ingin terlibat, ataupun yang ikut menindas. Mereka sama-sama belum dapat memaafkan apa yang terjadi pada kurun waktu terjadinya malapetaka tersebut. Bagi mereka yang menjadi korban, tentu takkan mudah memaafkan pelaku pembantaian keluarga mereka, penindas hak-hak mereka, dan segala kejahatan Ham yang mereka alami.

Dan bagi yang ikut serta dalam penindasan, mereka takkan mudah meminta maaf karena mereka tetap meyakini jika yang mereka lakukan itu benar meski tahu jika kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mereka pada peristiwa 65 adalah salah.

Memang, saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden republik, beliau pernah meminta maaf secara langsung kepada Premoedya Ananta Toer yang menjadi korban peristiwa 65. Gus Dur selaku bagian dari Nahdlatul Ulama yang terlibat dalam peristiwa 65. Tak pelak, peristiwa itu memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat meski pada akhirnya Bung Pram menolak mentah-mentah permintaan maaf Gus Dur. “Gampang amat,” tegas Pram  saat itu.

Pasca peristiwa itu, muncul berbagai gagasan untuk melakukan Rekonsiliasi terhadap korban peristiwa 65. Dukungan untuk Presiden Susilo Bambng Yudhoyono yng ingin meminta maaf kepada korban pelanngaran HAM berat oleh Negara juga pernah dilontarkan oleh Franz Magnis Suseno, dalam opininya di harian Kompas. Begitu juga Komnas HAM yang member rekomendasi pada Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65.

Namun semua usul, gagasan, dan rekomendasi yang dimunculkan untuk melakukan rekonsiliasi belum terwujud hingga kini. Bagi mereka yang menolak usul ini menilai, lebih baik tak perlu membuka luka lama yang belum tertutup sepenuhnya. Padahal, siapapun yang terlibat dalam peristiwa 65, baik korban maupun pelaku, seharusnya saling memaafkan dan tak melupakan peristiwa ini. Karena tanpa sebuah kata “maaf” dendam dan luka lama dapat timbul kembali. Dan kita juga tak boleh melupakan peristiwa ini, karena kita dapat mengambil pelajaran yang berharga sepahit apapun peristiwa ini. Jangan sampai peristiwa ini buntu dan tetap tak termaafkan namun dilupakan.

Nasionalisme, tidak perduli dengan aneka ragam wujud penampilannya, pada awalnya adalah gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan. Nasionalisme merupakan nilai rohaniah yang mendorong kehendak untuk hidup sebagai satu bangsa serta mempertahankan kelangsungan hidup kebangsaannya itu. Maka tidak aneh jika nasionalisme dijadikan alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Soekarno pernah mengajarkan bahwa nasionalisme harus dibangun atas dasar prinsip kemanusiaan. Dia juga mengingatkan bangsa ini akan bahaya nasionalisme yang tumbuh diluar prinsip kemanusiaan. Nasionalisme demikian adalah nasionalisme yang chauvinis, nasionalisme yang sempit, yang “Deutschland Alles” seperti terjadi di Jerman pada masa Adolf Hitler. Nasionalisme Indonesia harus tumbuh diatas taman yang mampu mempersatukan keragaman suku, budaya, dan agama dalam horizon persatuan umat manusia yang hakiki.

Faktual, kini nasionalisme yang pernah mengantarkan bangsa Indonesia dalam meraih harkat dan martabatnya (kemerdekaan), hanya menjadi bunyi-bunyian tanpa makna. Ditengah dinamika kekuatan ekonomi-politik global yang didominasi oleh kekuatan pasar bebas menjadikan batas-batas teritorial suatu negara menjadi kian tak jelas dan kedaulatan negara-bangsa semakin tak berarti.

Kapitalisme kini menjelma menjadi sebuah mighty power yang berwujud dalam korporasi multi-nasional yang kekuasaanya melebihi kedaulatan Negara-bangsa. Bahkan kekayaan sebuah megakorporasi ditengarai melampaui pendapatan kotor domestic (GDP) Negara-negara berkembang yang ada.

Pemberian hak operatorship blok cepu kepada Exxon Mobil merupakan contoh aktual dari kekuatan korporasi global untuk mengeksploitasi dan mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Bahkan mantan menteri kesehatan, Siti Fadilah Supari membeberkan pola pendiktean yang dilakukan oleh negara adigdaya sekelas Amerika Serikat. Dalam biografinya dituliskan bahwa Kemenkes “dipaksa” membeli vaksin buatan AS yang jika tidak dipenuhi, maka AS akan menyebarkan virus yang hanya dapat diatasi oleh vaksin tersebut.

Keadaan ini menunjukan dengan jelas ketidakberdayaan para pemimpin bangsa yang rela didikte guna melayani agen-agen pembangunan. Sikap demikian jelas akan merugikan kepentingan ekonomi dan politik nasional dalam jangka panjang dan membuat bangsa ini mandul dalam segala aspekm utamanya menyangkut kapasitas kebijakan para elit dalam memanage kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dalam menghadapi berbagai permasalahan yang kian kompleks dan kian rumit ke depan.


Melihat kenyataan diatas, pertanyaan yang muncul adalah masih pentingkah nasionalisme untuk bangsa Indonesia saat ini? Bila masih penting, nasionalisme yang bagaimanakah yang harus diwujudkan? Kepadamu aku bertanya.

"Soekarno juga seorang manusia biasa"
Bung Karno selama ini selalu dilihat dalam sosoknya sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Lantaran kebiasaan itulah Bung Karno dipandang negatif karena gayanya yang nyeleneh dan blak-blakan. Padahal, di luar sosok kepresidenannya, Bung Karno tetaplah manusia seperti masyarakat pada umumnya.

Dalam buku “Bung Karno dan Kemeja Arrow”, Asvi Warman Adam mencoba menampilkan Bung Karno dalam sosok yang berbeda. Dalam salah satu tulisan di buku tersebut, Asvi menggambarkan sosok dan hubungan manusiawi Bung Karno dan Sutan Sjahrir yang bertengkar karena tingkah Bung Karno.

Insiden itu terjadi karena Bung Karno yang meminta sehelai kemeja arrow kepada petugas belanda yang menahan mereka. Bagi Sjahrir, tingkah Bung Karno itu dapat merendahkan martabat kepala Negara. Saking kesalnya, Sjahrir sampai menyebut Bung Karno adalah kepala Negara yang tolol.

Pada diskusi dan launching buku tersebut yang diadakan  di Museum Kebangkitan Nasional, Asvi menjelaskan, insiden kecil tersebut dapat menampilkan sosok keduanya sebagai manusia yang bisa bertengkar. Namun, ia menyanggah jika perseteruan itu menyebabkan perpecahan yang terjadi pada mereka kemudian.

“Insiden kecil itu tidak dapat dijadikan alasan kenapa Bung Karno membubarkan Partai Sosialis Indonesia,” tegasnya (29/5). Menurutnya, makian Sjahrir tidak dapat diartikan secara politis, apalagi jika hal tersebut kemudian menjadi alasan dibungkamnya kaum sosialis pengikut Shajrir di Indonesia.

Selain menggambarkan hubungan manusiawi Bung Karno, buku ini juga menceritakan hubungannya dengan seni. Saat diasingkan di Flores, ia pernah menulis dan menyutradarai sebuah drama. Selain itu, Bung Karno juga seorang pengagum seni lukis yang luar biasa. Bahkan, ketika wafat, ia meninggalkan 2.300 bingkai lukisan koleksinya.

Dari hal-hal tersebut, dapat dilihat bagaimana Soekarno juga adalah seorang manusia biasa. Bung Karno tak melulu seorang pemimpin gagah dan pandai pidato, namun dibalik itu semua, ia masih memiliki sisi kemanusiaan yang terdapat pada jiwa orang keba­­nyakan. Hal ini menjadi pesan tersirat yang berusaha ditampilkan Asvi melalui buku tersebut.


Judul     : Bung Karno dan Kemeja Arrow
Penulis : Aswi Warman Adam

ISBN      : 978-979-709-623-6


"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"
Pada masa kolonial, masalah Agraria seperti Land Rent merupakan musuh utama Pribumi Indonesia. Pada saat itu, lahan dikuasai pemerintah, lalu Pribumi, dalam hal ini kepala desa harus membayar pajak dengan kisaran 50%. Karena hal itulah, para tani di desa kerap melakukan perlawanan kepada pemerintah meski hampir selalu berakhir dengan kekalahan.

Meski masih banyak alasan kenapa Indonesia harus merdeka, tapi alasan agraria ini menjadi salah satu alasan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan para petani. Demi memiliki tanah yang cukup dan tidak lagi diperas dengan pajak yang tinggi, akhirnya petani angkat senjata mendukung perjuangan kemerdekaan.

Namun, pasca kemerdekaan, masalah agraria tidak pernah selesai. Jika dulu bangsa asing yang menindas, kini penindas kaum tani adalah pemerintah, baik pusat atau daerah. Itu pun belum ditambah tengkulak dan lintah darat lainnya. Dan hal ini telah berlangsung dari jaman penjajahan, Orde lama, Orde baru, hingga kini, orde yang paling baru.

Pada masa Orba, atas nama pembangunan, masyarakat dapat digusur dari tempat tinggalnya. Tanahnya dibeli setengah harga, bahkan lebih kecil. Jika menolak, tekanan dan teror menjadi senjata guna memuluskan jalan demi pembagunan. Sekali lagi, dengan dalih pembangunan.

Kasus Mesuji atau Lapindo bisa menjadi contoh kasus di mana pemerintah lebih berpihak pada perusahaan dan pemilik modal ketimbang masyarakat, terlebih lagi petani. Bahkan, hingga kini ada sekitar 7000 kasus agraria yang belum terselesaikan di bumi nusantara.

Regulasi yang mengatur agraria pun hanya sedikit yang pro rakyat. Sebagai contoh, dari 17 UU yang berkaitan dengan tanah, hanya satu yang pro rakyat, yakni UU tahun 1960. Ini dapat menjadi bukti jika dalam urusan tanah, rakyat masih tertindas.

Selain itu,  pada tahun lalu terjadi peningkatan yang signifikan ihwal konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Jika pada 2010 terjadi sekitar 22 kasus dalam kurun waktu satu tahun, pada 2011 terjadi sekitar 120 konflik agraria dalam kurun waktu yang sama.

Umumnya, konflik ini terjadi antara petani dengan perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, AMDK (air minum dalam kemasan), juga dengan BUMN. Dan jika konflik ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka petani akan terus dirugikan.

Dalam konflik ini, petani tidak hanya dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan, serta berbagai bentuk kekerasan kriminalisasi, konflik ini juga menghadapkan petani pada kerugian finansial. Tentu bisa dibayangkan berapa besar kerugian petani jika tanah yang harusnya ditanami tidak dapat dipakai dan kerugian mereka saat gagal panen.

Padahal, UUPA tahun 1960 menjamin hak petani atas tanah yang merupakan implementasi dari pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.


Oleh karena itu, penggunaan tanah haruslah untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar keuntungan para pemodal, baik asing ataupun pribumi. Regulasi yang dibuat haruslah dijadikan sebagai alat penyelesaian konflik, bukan malah menimbulkan konflik baru yang kebanyakan merugikan petani. Jika tidak, bisa jadi akan selamanya Indonesia dirundung masalah agraria.


Dalam sejarah perjalanan bangsa, perkembangan organisasi islam yang turut memberi sumbangsih pada perjuangan pra kemerdekaan bangkit diawal abad 20. Di jawa, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya Sarekat Dagang Islam pada 1911 dan lebih dikenal dengan Sarekat Islam (SI). Berdirinya organisasi ini, selain karena situsi perdagangan dan situasi islam pada saat itu, juga karena pengaruh gerakan Pam Islamisme.

Selain karena urusan perdagangan, munculnya organisasi islam pada awal abad tersebut juga dipengaruhi faktor kolonialisme yang melahirkan penderitaan bagi masyarakat. Karena itu, muncul organisasi baru seperti Muhammadiyah yang bergerak di bidang kesehatan dan pendidikan yang saat itu begitu diperlukan oleh masyarakat.

Pada tahun 1926, lahir sebuah organisasi islam yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan lokal dan memang menjadi sebuah alat pelembagaan tradisi bagi pengikutnya, yakni Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan ulama. Kelahiran  NU sendiri tak lepas dari keinginan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan umat islam.

Secara tidak langsung, tujuan menumbuhkan rasa nasionalisme dimaksudkan untuk menekan pemerintah kolonial belanda. Pada saat itu, perlawanan rakyat terhadap belanda sedang gencar-gencarnya. Dan dalam perlawanan ini, peran para pemimpin agama cukup besar.

Tapi, diluar tujuan diatas, tujuan utama NU sebagaimana bebera[a organisasi islam lainnya adalah sosial keagamaan. Penganut Ahlussunah Wal-Jamaah ini memiliki paham yang bersumber pada Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma, dan Al-Qiyas. Namun, ajaran Ahlussunah Wal-Jamaah yang dipegang NU berbeda dengan beberapa organisasi islam lainnya. Kaena dalam hal ini, NU memasukan konteks kebudayaan masyarakat. Akulturasi ini dipraktekan dengan kehidupan kultural rakyat Indonesia.

Paham keulamaan NU sendiri terlaksana atas konsekuensi ajaran mereka. Penghormatan yang tinggi kepada para ulama, ini merupakan releksi dari tradisi berpikir yang menggunakan mazhab. Bagi NU, bermazhab adalah hal yang mutlak. Selain itu, kebudayaan masyarakat NU yang berbasis pesantren juga memperkuat paham keulamaan NU.

Meski begitu, NU juga ikut turut ambil bagian  dalam perpolitikan Indonesia. Dalam hal ini, kebanyakan orang melihat visi berpolitik NU dimulai ketika bergabung dengan Masyumi pasca dikeluarkannya Maklumat Pemerinth 3 November 1945. Namun, hal ini tidak sepernuhnya tepat. Apalagi jika kita mampu melihat aktivitas politik NU memang sudah dilakukan sejak ia berdiri.

Meski memang, pada awal berdirinya NU lebih sering berbicara soal sosial keagamaan, dan kepolitikannya pun masih belum jelas. Apalagi saat itu SI lebih sering tampil sebagai organisasi islm yang begitu aktif dalam politik. Namun, NU tetap memiliki sikap politik terhadap belanda, yakni NU bersifat nonkooperatif terhadap kebijakan pemerintah kolonial.

Pada masa fasisme jepang, aktivitas NU di dunia politik kian jelas. Dalam pembentukan Pembela Tanah Air (Peta) misalnya, KH Wahid Hasyim dapat meminta jepang untuk melibatkan para santri sehingga lahirlah Hizbullah. Dari lembaga inilah NU mengnal kemiliteran dan berinteraksi dengan militer pda awal-awal kemerdekaan.

Namun ketika Masyumi dibentuk, NU beserta beberapa organisasi lainnya ikut bergabung dengannya. Meski hl ini tidak berlangsung lama. Keutuhan Masyumi mulai retak ketika masa kabinet Amir Syarifudin terbentuk partai politik islam lainnya, Partai Sarekat Islam Indonesia. Keputusan SI untuk membentuk partai politik senidiri ini, diikuti NU beberapa tahun kemudian dengan terlebih dulu memutuskan untuk menarik diri dari Masyumi.

Keluarnya NU dari Masyumi merupakan produk akumulatif dan kekecewaan NU terhadap dialektika perkembangan mayumi dan kekecewaan terhadap intelektual Masyumi yang melokasikan ulama NU hanya dalam urusan agama belaka.

Dibentuknya NU sebagai partai politik merupakan sebuah babak baru. Meskipun ia belajar politik dari Masyumi, tetapi langkahnya ini akan membawa peran baru. Para kiai yang telah lama hilang dalam percaturan politik, mulai saat itu terlibat langsung dalam permainan politik. Orang-orang berkopiah dan bersarung serta bersandal saat itu harus bergelut langsung dengan persoalan kekuasaan. Kejadian inilah yang menandai kepolitikan pesantren, karena NU memang berbasis pada pesantren.

Tak lama setelah mendeklarasikan untuk aktif berpolitik, NU langsung menghadapi pesta demokrasi rakyat, yakni pemilu 1955. Hal ini membuat kesiapan NU dalam menghadapi pemilu sedikit kurang. Namun, bagi NU sendiri, pemilu pertama ini sangat penting untuk menunjukan bahwa dirinya besar, terutama kepada masyumi.

Di pihak lain, lewat pemilu ini pula NU akan mendudukan orang-orangnya untuk duduk di Konstituante, yang dimana dalam wadah para wakil rakyat itu, akan diperbindangkan masalah mendasar bagi bangsa, soal dasar negara.

Dan pemilu pertama telah menjadi alat pembuktian NU. Dalam pemilu ini, NU menempati posisi ketiga, atau masuk kedalam 4 besar bersama PNI, masyumi, dan PKI. Jika sebelumnya di parlemen NU hanya mendapatkan jatah 8 kursi, kini NU dapat menaruhkan 45 perwakilan di parlemen.

Tugas awal NU pasca pemilu pun cukup berat. Beserta anggota parlemen lainnya, Konstituante bertugas untuk menentukan dasar negara. Bagi para kalangan nasionalis seperti PNI dan fraksi lain non islam, mereka mendukung Pancasila menjdi dasar negara. Sedangkan nU beserta kalangan Pan-Islamis laninya mendukung Islam untuk menjadi dasar negara. Dan yang terakhir, paham sosial ekonomi yang didukung prtai Murba dan Partai Buruh.

Namun, disaat perdebatan mengenai hal ini belum selesai, Presiden Soekarno atas desakan militer mengeluarkan Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945, yang didalamnya terdapat pancasila, dan membubarkan majelis Konstituante. Dengan demikian tertutuplah keinginan kelompok islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Kemudian, suatu babak baru  muncul dalam kepolitikan Indonesia. Presiden Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah sistem pemerintahan yang baru. Dan menghadapi babak baru ini, kekuatan politik islm terpecah menjadi dua. Yang satu mendukung, yakni NU, PSII, dan Perti. Dan yang menolak yakni Masyumi. Bagi NU sendiri, mendukung Demokrasi Terpimpin ini lebih didasari pada dasar mufakat yang mendasari Demokrasi Terpimpin.

Meski begitu, dalam dialektikanya, poros utama  Demokrasi Terpimpin terfokus pada tiga titk, yakni PKI, Soekarno, dan Militer. Ketegangan politik yang terjadi antara PKI-Militer, dinaungi oleh poros Soekarno sebagai Presiden. Namun, segitiga kekuasaan ini semakin lama semakin panas hingga terjadi aksi G30S yang membuat Soekarno digantikan oleh Soeharto.

Dan kepolitikan NU berlanjut pada masa orde baru. Dalam  rangka restrukturisasi dan penyederhanaan partai politik pada tahun 1970an, Presiden Soeharto menyerukan perlunya dipkirkan pengelompokan partai-partai kedalam kelompok material dan spiritual disamping Golkar tentunya. Sistem kepartaian yang diinginkan Soeharto ini mirip dengan apa yang disebut Giovani Sartori sebagai sistem kepartaian pulralisme sederhana.

Dan karena itulah, NU bersama parpol Islam lainnya dipaksakan bersatu dibawah  bendera Partai Persatuan Pembangunan. Partai ini melengkapi tiga kelompok lainnya, yakni Partai demokrasi Indonesia, Golkar, dan Abri didalam fraksi di DPR.

Meski begitu, NU bukan hanya diam dalam menghadapi pemaksaan ini. Seperti PSII yang menolak fusi partai, NU lewat Muktamar ke 25 Desember 1971 juga menyatakan penolakannya terhadap fusi partai islam menjadi satu. Alasannya sederhana, NU takut menjadi inferior dan minoritas dalam partai baru tersebut. Pasalnya, NU pada masa itu tengah berada didalam puncak kepolitikannya setelah berdiri di posisi ke dua dalam perpolitikan Indonesia setelah Golkar. Meski begitu, pada akhirnya NU tetap menandatangani Deklarasi PPP.

Posisi NU cukup kuat dalam tubuh PPP, namun di dalam jabatan pemerintahan, NU tidak lagi dilibatkan. Kalau pada kabinet pembangunan  masih ada orang nu yang duduk sebagai menteri, pada kabinet pembangunan 2, tak ada lagi orang NU yang dilibatkan. Hal ini disebabkan rezim lebih memilih berkoalisi dengan para teknokrat dibanding para politisi non-Golkar.

Pada akhirnya, unteraksi politik NU mentok di lembaga legislatif saja. Maka, jalan yang paling strategis bagi parpol adalah meraih suara sebanyak-banyaknya di setiap pemilu, agar dapat memiliki wakil yang duduk di DPR/MPR. Namun begitu besarnya kekuatan Golkar membuat PPP selalu berada dibawah Golkar.

Pada tahun 1984, NU memutuskan kelur dari PPP. Ini deisebabkan dinamika politik orde baru yang cenderung otoriter. Apalagi setelah rezim memasukan Pcenderung otoriter. Apalagi setelah rezim memasukan P4 kedalam GBHN. P4 yang merupakan tafsiran pada pancasila dikhawatirkan dapat mengaburkan Pancasila sendiri. Selain itu konflik internal terkait sikap PPP sendiri dan NU juga membawa situsi kian rumit.

Akhirnya, setelah retrospeksi yang cukup panjang terhadap pergulatan politik NU, NU memilih untuk kembali pada khittah 1926. Para intelektual muda NU berpendapat, kembali ke khittah 1926 adalah keharusan, dan oleh karena itu mereka pun meyakinkan para ulama tua untuk menyetujuinya. Selain itu, para ulama non-politisi jug menyambut baik keinginan ini karena hal ini dapat mengembalikan posisi ulama ke peran yang lebih besar lagi.

Sekalipun tidak lagi aktif dalam pergulatan politik Indonesia, NU tetap memiliki aktifitas yang besar dalam kehidupan masyarakat. Selain kembali menjadikan tujuan organisasi yang memang sebagai Jam’iyah Dinniyah. Keputusan yang dibuat pasca kembali ke khittah 1926 juga mengharuskan para pengurus NU untuk tidak aktif lagi di politik praktis. Hal ini tercermin dari keputusan yang mentidakbolehkan seorang NU merangkap jabatan di organisasi lain, apapun itu.

Kemana NU akan melangkah setelah kembali ke khittah 1926? Sebagai organisasi social keagamaan yang sering dikatakan tradisional, secara teoritis, ia mestinya rigit terhadap perubahan-perubahan lingkungannya. Baik secara ekonomi, politik, mpun system-sistem lainnya. Namun kenyataannya tidak demikian. NU justru mampu bertahan dan malahan berkembang sebagaimana organisasi-organisasi modern.

Namun NU tidak sepenuhnya oportunistik sebagaimana penyesuaian diri yang dilakukannya, karena NU pernah bersikap nonkooperatif dan menjaga jarak dengan penguasa. Dan untuk memahami prilaku NU, tidak bias hanya dengan kacamata organisasi saja, namun juga harus melalui perspektif kebudayaan.

Sebagai penganut Ahlussunah Wal-Jamaah, NU menunjukan sosoknya yang berbeda dengan penganut Ahlussunah Wal-Jamaah yang lainnya. Karena ia bersikap terbuka dengan mengakulturasi kebudayaan local dan social masyarakatnya. Hal ini tidak luput dari pemahaman agama NU, yakni islam sebagai agama yang fithri, suatu agama yang menyempurnakan kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia.


Oleh karena itu, Dewasa kini, NU tengah menapaki langkah sebagai Jam’iyah Dinniyah saja. Meski NU kemudian mulai berbicara ekonomi, dan muncul pertanyaan, apakah NU akan tetap selalu menggunakan pendekatan kultural sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Wahid, ataukah langkah-langkahnya itu lebih ditentukan oleh struktur ekonomi dan bahkan stuktur politik yang melingkupinya.

Dalam sejarah perjalanan bangsa, mobilisasi massa menjadi salah satu senjata utama rakyat untuk melawan penindasan rezim. Hal ini dilakukan oleh berbagai elemen, baik kaum intelektual, buruh, tani, maupun rakyat miskin kota. Dan mobilisasi menjadi senjata efektif dalam menjatuhkan rezim tirani negara ini.

Namun, gaung reformasi pasca jatuhnya orde baru justru menghilangkan kultur masif gerakan mobilisasi. Kini, mahasiswa yang tidak pernah merasakan penindasan rezim dan sudah terbiasa dengan budaya hidup praktis serta hedonis menjadi maklum terhadap apa yang terjadi.  Kebiasaan hidup santai dan serba dilayani teknologi membuat mereka dibiasakan oleh keadaan.

Bahkan, ketika kebijakan yang diambil rezim tidak memihak rakyat, selama hal yang berhubungan dengan kehidupan mereka tak terenggut, mereka memaklumkan semua yang terjadi. Selama mereka masih bisa nongkrong, jalan-jalan, atau sekadar ngopi dan ngobrol bersama teman, kesengsaraan rakyat tak jadi pikiran.

Apalagi kerap bentroknya massa dengan aparat saat mobilisasi dilakukan membuat mereka tak ingin keluar dari zona nyamannya. Bersama dengan budaya hidup memaklumi apa yang terjadi, hal tersebut menjadi katalisator dari semakin malasnya mahasiswa turun ke jalan. Mungkin, ketika nongkrong, jalan-jalan, dan gaya hidup mereka telah dilarang oleh rezim, baru mereka akan turun ke jalan.