Aditia Purnomo

Tembakau adalah salah satu komoditas yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Entah itu dalam urusan ekonomi, politik, budaya, soial, ataupun olahraga. Suka tidak suka, memang tembakau adalah salah satu komoditas penting yang menunjang jalannya berbagai hal dalam banyak sekali bidang.
Pada urusan olahraga, saya kira, Indonesia tidak akan mengenal istilah kejayaan bulu tangkis apabila tidak ada Djarum yang membangun satu klub profesional dan mendidik banyak atlet dari klub tersebut. Bahkan, dalam banyak gelaran turnamen, Djarum terlibat sebagai salah satu penyumbang terbesar dana yang digunakan.
Selain olahraga, tentu saja tembakau juga teribat dalam banyak masalah lain. Meski dianggap kontroversial, tetap saja tembakau memiliki banyak manfaat pada bidang yang lain. Ini adalah satu hal yang, suka tidak suka, harus diakui oleh masyarakat.
Karenanya ketika seorang Nirwan Arsuka memberi pernyataan soal kegiatan ‘dagang’ seorang penjual tembakau, saya agak menyayangkan pandangan dari aktivis pustaka bergerak tersebut. Menurut Nirwan, urusan literasi harusnya dipisahkan dari tembakau. Katanya, dunia literasi banyak melibatkan anak-anak, yang harusnya terpisah dari tembakau.
Saya amat memahami bahwa anak-anak memang harus dijauhkan dari urusan rokok. Tentu saja dijauhkan dari barang dan produknya. Tapi tidak manfaatnya. Bahwa kemudian yang berurusan dengan hal-hal positif, saya rasa tidak ada masalah jika dilakukan. Toh tujuannya membawa kebaikan.
Entah ada berapa banyak anak yang dibiayai oleh beasiswa dari perusahaan rokok. Apakah itu strategi agar anak-anak yang diberi beasiswa untuk merokok? Tentu saja tidak. Saya mengenal satu orang yang benci terhadap rokok, tapi biasa saja ketika menerima beasiswa dari perusahaan rokok. Tidak ada masalah kan?
Memang, saya mengakui ada kebodohan pemikiran dari si pedagang tembakau yang menyatakan, bahwa tidak ada masalah jika ada anak yang merokok. Kalau ini yang mau dikritisi, silakan saja. Toh masih banyak orang yang tidak sadar bahwa anak-anak memang harus dijauhkan dari perkara rokok dan merokok.
Hanya saja, kegiatan mendonasikan buku dari hasil penjualan tembakau bukanlah satu hal yang perlu dipermasalahkan oleh seorang Nirwan Arsuka. Sebagai seorang yang tengah aktif dalam kegiatan literasi, saya berutang banyak pada gagasan serta pemikiran Nirwan. Tapi dalam urusan ini, saya kira bang Nirwan berada dalam posisi yang kurang tepat.
Program dan kegiatan yang dilakukan di Bandung itu, sekalipun ada pada konteks urusan dagang, sah-sah saja dilakukan. Toh ada banyak barang dagang yang menarik minat pembeli dengan mengadakan program serupa. Satu kemasan pasta gigi untuk satu santap sahur atau dua botol air mineral untuk 1 dukungan pendidikan, saya kira tidak ada bedanya.
Donasi, apapun bentuknya, tidak mengenal latar belakang. Siapapun anda, tidak bisa dilarang untuk memberikan donasi. Aneh rasanya jika kita mengkotak-kotakan upaya seseorang untuk membantu yang lain. Dan tidak benar rasanya, jika ada seseorang yang mau membantu donasi malah dilarang-larang.
Pertama kali terbit di situs Komunitas Kretek
Saya sudah lama mendengar tentang kelakuan tidak menyenangkan dari gramedia Grup. Setidaknya, dari kabar-kabar yang tidak mengenakkan. Masih teringat dalam benak kala Toko Buku gramedia, memilih untuk menarik buku-buku berbau ‘kiri’ tatkala isu soal komunisme kembali memanas 2016 silam. Sebagai toko buku ‘besar’, mereka memilih takluk pada tekanan kelompok intoleran karena upaya sweeping buku-buku kiri terjadi.
Salahkah bila hal tadi dilakukan? Tentu saja sepenuhnya tidak salah, bagi mereka. Namun bagi kami para pecinta buku, menarik buku karena ketakutan akan kelompok intoleran cuma jadi bahan bakar agar perilaku intoleran tersebut terus berkembang. Apalagi ketakutan ini justru ditampilkan oleh sebuah toko buku yang diklaim paling besar se-Indonesia.
Sialnya, perilaku memuakkan dari kelompok usaha ini tidak berhenti sampai di sana. Saya juga masih ingat soal ditolaknya beberapa buku oleh toko buku tersebut lantaran mengusung tema-tema berbau kiri. Entah seberapa takutnya kelompok besar bernyali kecil ini, tapi setidaknya ada 3 buku terbitan Marjin Kiri yang pernah ditolak gramedia untuk dijual di toko mereka. Sejauh ingatan saya menggali sih begitu.
Apakah sudah selesai, tentu saja belum. Salah satu hal paling mengesalkan dari gramedia adalah besarnya marjin keuntungan yang didapat oleh toko buku tersebut. Dari setiap buku yang terjual, gramedia selaku pihak yang menjual meminta ‘upeti’ 55% dari harga buku tersebut. Artinya, penerbit hanya mendapat sisa 45% yang itupun masih terbagi untuk royalti penulis dan biaya produksi.
Sebagai pemilik lapak mungkin gramedia memiliki kuasa berlebih untuk menentukan tarif tersebut. Namun, rasa jengah dan muak membuat banyak penerbit memilih menjual bukunya di lapak daring yang kini menjamur. Para penerbit dan pegiat buku seakan ingin membuktikan bahwa, pasar buku dapat tercipta meski tanpa gramedia.
Memang harus diakui bahwa gramedia sebagai sebuah merek, entah itu toko buku ataupun penerbitan, adalah nama besar yang dipercaya pasar. Karenanya, meski saya sendiri mendukung niatan teman-teman pegiat buku dengan upaya membeli buku di lapak daring saja, tapi tetap saja saya masih datang ke gramedia untuk beli buku di sana. Alasannya sederhana, tempat ini memiliki koleksi buku yang banyak dan sebagai konsumen saya tidak punya alasan untuk tidak beli buku di sana.
Namun kali ini, setelah satu yang langsung berkaitan dengan saya, agaknya kepercayaan konsumen (terutama saya) pada Gramedia bakal jauh berkurang. Atau bisa jadi malah hilang sama sekali.
Semua bermula dari ajang Hari Belanja ‘Online’ Nasional yang diikuti hampir semua toko daring yang ada di Indonesia. Gramedia melalui lini daringnya, gramediadotcom memberikan promo dan diskon yang membuat banyak orang tertarik. Diskon 50% untuk semua buku dan ongkos kirim gratis se-Indonesia. Sebuah promo yang tidak mungkin terlewat bagi konsumen-konsumen macam saya.
Sialnya, kami para konsumen sama sekali tidak tahu bahwa gramedia tidak siap dengan promonya sendiri. Terjebak diskon semacam itu, saya membeli 42 buku dengan total harga Rp 1.361.350. Senang, saat itu tentu saja. Apalagi sebagian besar buku itu bakal saya gunakan untuk lapak baca gratis dari Komunitas Baca Tangerang. Menambah stok buku komunitas adalah hal utama yang tengah saya pikirkan kala itu. Dan dapat diskonan semacam ini tentu saja sangat membahagiakan.
Sayang, saya benar-benar tidak tahu kalau gramedia tidak mampu bertanggungjawab atas promo yang mereka keluarkan sendiri. Hingga lewat satu bulan dari tanggal 12 Desember, jumlah buku yang baru saya terima hanya berjumlah 4 buah. Beberapa hari berselang, bertambah menjadi 16 buah. Dan kini total baru 20an buah buku saya terima dengan cara bertahap.
Sebenarnya keterlambatan pengiriman karena dalih Harbolnas masih bisa saya terima. Saya tidak banyak melakukan protes meski keterlambatan pengiriman benar-benar masuk dalam kategori tidak profesional. Saya masih berbaik sangka bahwa gramedia memang kerepotan mengurus banyaknya orderan.
Namun semua mulai tampak mengesalkan setelah beberapa teman mendapat kabar kalau pesanan mereka dibatalkan sepihak oleh pihak gramediadotcom. Di media sosial, ramai tangkapan layar surel kiriman gramedia yang memuat permohonan maaf dan pembatalan sepihak tadi. Alasannya tentu saja tidak bisa saya terima, cuma karena kelebihan orderan hingga 400 kali lebih banyak, kelompok sebesar gramedia membatalkan semua pesanan pelanggannya.
Memang ada ganti rugi berupa pengembalian dana dan voucher dengan nilai yang sama dari gramedia buat para pelanggannya. Tapi ganti rugi yang semacam itu tentu tidak saya inginkan. Saya lebih membutuhkan buku-buku yang saya pesan daripada ganti rugi yang tidak menghilangkan kerugian saya dari perilaku gramedia mengurus pesanan Harbolnas saya.
Jangan dikira urusan ganti rugi selesai dengan bayar-bayar yang semacam itu. Kerugian para pelanggan bukan cuma soal uang yang mereka keluarkan, tapi juga kesabaran dan emosi terhadap sikap dan pelayanan kalian. Enak saja minta maaf dan ganti rugi, kami tidak butuh maaf. Yang kami butuhkan adalah buku-buku yang kami pesan bisa sampai ke alamat kami.
Jika gramedia pikir ganti rugi berupa pengembalian dana dan voucher bakal memuaskan hak pelanggan, maka mereka salah besar. Hal konsumen tidak serendah itu. Apalagi gramedia telah melanggar martabat banyak konsumennya dengan alasan-alasan tidak masuk akal terkait pengiriman yang terlambat hingga pembatalan pesanan ini.
Awalnya, ada klarifikasi dari gramedia bahwa keterlambatan pengiriman dikarenakan pihak ekspedisi pengiriman tidak mampu menjalankan kerjanya dengan baik. Hal ini dipublikasi oleh banyak media, dan okelah saya masih menerima alasan itu. Namun setelah membaca surel pembatalan pesananan, akhirnya gramedia mengakui bahwa merekalah pihak yang tidak mampu mengurusi semua pesanan tadi. Merekalah yang gagal memenuhi hak konsumen dan cuma cari alasan saja ketika menyalahkan pihak ekspedisi.
Mungkin gramedia berpikir bahwa nama besar dan ganti rugi bisa menyelesaikan masalah. Tapi pikiran semacam itu tentu saja salah karena, bagi saya, ganti rugi yang semacam tadi sama sekali tidak mengganti kerugian yang telah saya alami. Jika mereka benar-benar mau mengganti kerugian saya dengan uang, saya minta setidaknya nilainya dikalikan 40, seperti lamanya hari saya bersabar menunggu buku dari mereka. Dan saya tetap memilih buku yang saya pesan harus dikirimkan pihak gramedia ke alamat rumah saya.
Begitulah kiranya jika kelompok usaha dengan nama besar berurusan dengan publik. Tampil kecongkakan mereka dengan anggapan semua konsumen bisa terima pernyataan maaf dan ganti rugi yang cuma segitu. Saya kira sikap brengsek macam begini, apalagi itu ditampilkan oleh kelompok besar seperti mereka, sudah bisa kita jadikan alasan untuk tidak lagi mempercayai gramedia dan anak turunannya.
Terbit pertama untuk Baca Tangerang
Soe Hok Gie adalah manusia setengah dewa. Setidaknya begitulah pandangan saya ketika selesai menghabiskan berbagai bacaan soal Gie tatkala menjadi mahasiswa dulu. Sebagai seorang pemuda, juga mahasiswa, Ia seorang yang cerdas dan berani. Sebagai seorang dosen, Ia tidak kehilangan idealismenya. Gambaran paling jelas soal Gie adalah, seorang idealis yang tidak tersentuh kemunafikan.
Saya masih ingat bagaimana catatannya di buku Catatan Seorang Demonstran yang mengkritik rekan-rekan sejawatnya kala menjadi aktivis mahasiswa. Ia pernah mengirimi mereka bedak dan gincu kepada aktivis mahasiswa yang duduk di parlemen dengan catatan:  “Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmati kursi Anda–tidurlah nyenyak”.
Membaca begitu banyak karya Gie, saya merasa sedang digurui oleh seorang aktivis yang menjadi prototype aktivis mahasiswa. Cerdas, iya. Berani, iya. Pintar menulis, dan memiliki idealisme yang amat tinggi. Mungkin karena hal-hal itulah saya menganggapnya sebagai seseorang yang setengah dewa, setidaknya saat saya masih baru-baru masuk kuliah.
Hal ini kemudian berubah tatkala saya membaca tulisannya di buku Zaman Peralihan, yang memberi gambaran tentang satu dimensi berbeda yang ada di diri Soe Hok Gie. Soal sisi manusiawi yang jarang sekali dimunculkan ketika seseorang membicarakannya. Dan melalui buku Soe Hok Gie sekali lagi lah, saya berhasil menemui sisi manusiawi yang jarang dibicarakan itu.
Buku yang pertama kali terbit tahun 2009 ini menampilkan beragam tulisan dari orang-orang yang mengenal Gie, baik yang secara langsung maupun tidak. Di buku ini Gie digambarkan sebagai seorang teman, pujaan hati, juga idola dari mereka yang terlibat dalam penggarapan buku ini. Dari orang-orang terdekat Gie inilah kemudian, sebuah dimensi baru terkait Gie bisa terbaca oleh publik.
Ada beberapa babak hidup Gie yang coba ditampilkan oleh penyusun buku ini, yakni Rudi Badil dan kawan-kawannya. Kisah haru dari rekan-rekan Gie yang terlibat dalam pendakian terakhir Gie, dan detik-detik jelang kepergiannya menjadi babak pembuka dari buku ini. Tragis dan heroik, saya kira, bagaimana upaya teman-teman Gie untuk menggambarkan masa-masa berat tersebut.
Ada kisah haru yang hadir tatkala mereka harus kehilangan seorang rekan tepat sehari sebelum ulang tahunnya. Apalagi mereka harus meninggalkan Gie dan Idhan Lubis agar bisa melakukan evakuasi terhadap jasadnya, hingga akhirnya upaya tersebut disambut luas oleh banyak pihak yang ikut membantu.
Babak lain dalam hidup Gie yang tergambarkan dalam buku ini adalah tatkala teman-temannya di masa kuliah menceritakan kisah hidup bersamanya. Kisah-kisah yang mengalir tentang kisah kasih tak sampai dan sikap Gie sebagai seorang moralis sejati. Gie memang berselisih paham dengan Partai Komunis Indonesia, tapi tatkala Ia juga menolak pembantaian yang dilakukan terhadap orang-orang yang terlibat dengan PKI pasca peristiwa 65.
Di dalam buku ini pula, ditampilkan surat-surat yang dtulis oleh Kartini Sjahrir, seorang aktivis perempuan dan teman dekat Gie yang sekaligus pernah terlibat asmara dengannya. Satu lagi dimensi tentang Gie, yang selama ini dianggap sebagai ‘jomblo’, ternyata memiliki kisah asmara yang menarik.
Tidak hanya itu, Gie yang selama ini tergambar sebagai sosok dingin dan cuek nyatanya ditampilkan sebagai sosok yang hangat dan bersahabat di buku ini. Gie memang aktivis, tapi Ia sebagai manusia, masih sama hal nya seperti orang kebanyakan. Ia kerap melakukan aktivitas yang menyenangkan seperti menonton film, konser musik, ataupun datang ke pesta-pesta.
Dan yang terpenting dari buku ini adalah, bagaimana penyusun mencoba mengangkat beragam pandangan tentang Gie, dari orang yang paling dekat hingga mereka yang terinspirasi dari kisah hidupnya. Sebuah upaya untuk melihat Gie secara utuh, yang tidak melihat Gie hanya dari heroisme yang selalu tampak darinya. Dan sekali lagi, Gie memang layak diidolai, entah sebagai seorang demonstran entah sebagai seorang manusia.
Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Sepanjang 15 tahun terlibat dalam kegiatan organisasi, saya memahami jika aklamasi adalah jalan buruk dalam kegiatan politik. Aklamasi, atau sebuah pemilihan pimpinan kelompok tanpa ada pemungutan suara, bukanlah hal yang tak terhindarkan di dalam kegiatan politik. Tapi, tetap saja, aklamasi adalah sebuah pertanda gagalnya kaderisasi yang berjalan dalam tubuh satu organisasi.
Belakangan ini, nama Banten juga Tangerang kembali disorot publik setelah dua daerahnya yang kena jatah Pilkada, Kabupaten dan Kota Tangerang hanya memiliki satu pasangan calon untuk dipilih masyarakat. Sialnya lagi, di Banten 3 dari 4 Pilkada yang bakal berlangsung hanya mempertontonkan pertarungan satu calon melawan kotak kosong. Hanya satu daerah yakni Kota Serang yang memiliki 2 pasangan calon untuk bertarung, itu pun karena sang petahana tidak lagi bisa maju setelah melewati masa 2 periode jabatan.
Betul juga, ketiga daerah yang menghasilkan calon tunggal dalam Pilkada mencalonkan 3 petahana yang saat ini masih berkuasa. Pertama ada Bupati Iti Octavia Jayabaya dan Ade Sumardi menjadi calon tunggal di Kab. Lebak. Kemudian ada dua pasangan Ahmad Zaki Iskandar dan Mad Romly dan Arief R. Wismansyah dan Sachrudin yang merupakan Bupati dan Walikota Tangerang. Ketiga petahana ini, sekali lagi maju (dan kini tanpa hambatan) untuk memimpin daerahnya.
Fenomena semacam ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pilkada dengan calon tunggal tetap bisa dilaksanakan. Ini kemudian mengubah mekanisme yang sebelumnya tidak membolehkan pemungutan suara jika calon hanya satu. Jika hal tidak ada pasangan lain yang mencalonkan diri, maka KPU setempat akan mengulangi mekanisme pencalonan sambil berharap ada pasangan yang (mau) mencalonkan diri.
Hal tersebut pernah terjadi di Pilkada Surabaya. Saat itu, hanya ada satu calon yang maju yakni petahana Tri Rismaharini hingga masa pencalonan berakhir. Akhirnya, KPU memperpanjang masa pendaftaran calon dan maju satu pasangan lagi untuk bertarung dengan petahana. Walau memang majunya satu calon terakhir dianggap hanya sebagai pelengkap formalitas pemilu, tetap saja hal itu menjadi penting untuk pendidikan politik masyarakat.
Tanpa adanya pertarungan dari dua pasang calon, Pilkada seakan hanya menjadi hajatan agar satu calon mendapatkan kursi pemimpin daerah. Masyarakat yang menjadi kelompok paling berkepentingan tidak bakal mendapat pendidikan politik yang baik jika tidak ada kampanye dan adu gagasan dari dua pasangan calon. Dengan adanya kampanye dan adu gagasan, masyarakat diberikan satu pelajaran penting untuk memilih calon terbaik guna menentukan hajat hidup mereka 5 tahun ke depan.
Walau kini calon tunggal bakal tetap berkampanye pemungutan suara tetap dilakukan, tetap saja pemilihan semacam ini hanya kamuflase dari sebuah aklamasi. Memang, calon tunggal tidak bisa memimpin apabila kalah dari kotak kosong di surat suara. Tapi, kemungkinan itu bakal kecil belaka mengingat orang-orang (yang sebenarnya) ingin mencoblos kotak kosong sepertinya bakal memilih untuk tidak hadir ke TPS karena alasan tertentu.
Seandainya  dalam perhitungan suara nantinya kotak kosong dan golput dihitung bersamaan, kemungkinan besar si calon tunggal bakal kalah telak. Apalagi kekalahan calon tunggal pernah hampir terjadi di Pati. Artinya, kemenangan buat warga yang tidak memilih calon tersebut terbuka lebar.
Di luar itu semua, fenomena ini harusnya menjadi sebuah pukulan telak bagi partai politik yang terlibat dalam pemilu. Ketidakmampuan (atau ketidakmauan) mereka mencari lawan bagi calon tunggal menjadi penanda bahwa, kaderisasi politik di partai masihlah buruk. Apalagi ada banyak partai yang juga mengusung calon yang kader partai lain, atau malah yang bukan kader partai sama sekali.
Masih teringat jelas bagaimana Pilkada DKI Jakarta yang begitu panas itu ternyata hanya memiliki satu wakil dari kader partai yakni Djarot Saeful Hidayat yang merupakan kader PDIP. Selain itu, tidak ada satupun calon yang menjadi anggota partai. Entah itu Anies Baswedan, Sandiaga Uno, ataupun Basuki TP yang tidak aktif di parpol kala itu.
Setidaknya hal semacam ini menunjukkan dua hal yang perlu diperbaiki oleh parpol. Pertama, kegagalan parpol membina kader agar memiliki kapabilitas guna bisa dan mampu maju dalam kontestasi politik. Kedua, sikap oportunis partai yang mau ambil gampang saja ketika ada calon lain dengan kemungkinan menang tinggi. Tanpa mau berusaha memenangkan kadernya tapi memilih untuk mengusung orang lain yang penting menang.
Sebagus dan sekuat apapun Arief Wismansyah atau Zaki Iskandar, kegagalan partai lah yang kemudian membuat mereka seakan tak tersentuh dalam kontestasi. Dan sikap oportunis partai yang-penting-asal-menang itulah kemudian yang membuat pendidikan politik dan nasib hidup masyarakat hanya menjadi formalitas demi memegang atau terlibat dalam kekuasaan.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Salah satu hal yang cukup saya suka dari rezim kali ini adalah karena pemerintah membuat satu kebijakan menggratiskan pengiriman buku. Tentu saja bukan pengiriman sembarangan yang digratiskan. Bukan pengiriman buku dalam transaksi jual beli, atau pengiriman buku dari seorang yang mencinta pada seorang yang dicinta. Bukan begitu.
Pengiriman buku gratis ini tersedia bagi semua pegiat literasi yang ingin mengirimkan buku pada taman baca masyarakat. Ada syarat, memang. Cuma perlu terintegrasi dalam sebuah gerakan literasi tingkat nasional bernama Pustaka Bergerak garapan Nirwan Ahmad Arsuka. Jika sudah TBM yang ingin Anda kirimkan buku tela terintegrasi, maka paket buku kiriman Anda akan diantarkan tanpa biaya dengan layanan PT Pos Indonesia.
Pustaka bergerak adalah sebuah gerakan yang diinisiasi dengan satu tujuan: menyuplai pelosok daerah dengan buku berkualitas. Selama ini, masalah akses adalah satu persoalan berat bagi pegiat literasi di daerah untuk mengembangkan budaya membaca di tempatnya. Apalagi, jika mereka berada di daerah yang tempatnya jarang dijangkau oleh bantuan negara.
Meski begitu, tidak banyak yang tahu jika ide membangun Pustaka Bergerak lahir dari aktivitas liburannya. Tentu bukan liburan yang biasa, karena kala itu Ia memilih pergi ke Bandung dengan menunggangi kuda. Di perjalanan itulah, sepanjang Pamulang hingga tempat tujuan Ia menemukan banyak hal yang menginspirasinya membangun Pustaka Bergerak.
Salah satu hal utama yang menggerakkan hatinya adalah keberadaan anak-anak yang Ia temui di sepanjang perjalanan. “Waktu saya ngobrol dengan adik-adik itu, memang menyenangkan. Tapi, saat saya mulai tanya sesuatu seperti bagaimana asal usul nama kampung yang mereka tinggali, mereka tidak bisa jawab. Rupanya, adik-adik itu kurang senang membaca,” ujarnya seperti dikutip dari Jawapos.com.
Setelah ditelisik, ternyata keadaannya bukan karena anak-anak tersebut malas dalam urusan membaca. Hanya memang, ketidaktersediaan buku di desa mereka membuat mereka jarang bersentuhan dengan bacaan. Dari perjalanan inilah kemudian muncul keinginan Nirwan untuk membuat sebuah perpustakaan yang bergerak.
Perlahan memang, tapi Nirwan telah berhasil mewujudkan keinginannya. Bermula dari sebuah Fanpage Facebook bernama Pustaka Bergerak, Ia mengajak warganet untuk mendonasikan buku-buku mereka kepada anak-anak di nusantara. Selain itu, dengan menggunakan fanpage ini, Ia bisa mengajak para donatur buku memantau perkembangan dari Pustaka Bergerak.
Dalam perjalanan Pustaka Bergerak, Nirwan dipertemukan dengan banyak pegiat literasi seperti Ridwan Amaludin dari Perahu Pustaka di Sulawesi Barat atau Ridwan Sururi dari Kuda Pustaka di Purbalingga. Dari pertemuan dengan para pegiat literasi inilah kemudian Pustaka Bergerak terus bergerak dan berkembang. Dan tahun lalu, mereka telah berhasil membuat satu gebrakan dengan menggandeng PT Pos Indonesia untuk menggratiskan pengiriman buku kepada seluruh simpul Pustaka Bergerak di seluruh nusantara.
Meski telah mencapai satu tahapan baik buat Pustaka Bergerak, Nirwan tidak puas begitu saja. Baginya, ada bantuan dari ekspedisi macam PT Pos ataupun Cargonesia, bukan itu yang menjadi patokan berhasil atau tidaknya gerakan literasi ini. Dan yang paling saya ingat dari sebuah pertemuan dengan Nirwan, adalah kata-katanya soal hal paling penting dari gerakan ini.
“Selama ada orang-orang yang mau bergiat dan mencintai buku, selama itu juga Pustaka Bergerak dapat berjalan. Gerakan ini ada bukan karena adanya perahu, motor, kuda, atau hal lainnya. Ia hadir karena masih ada orang yang mencintai buku dan mau bergiat demi kebutuhan masyarakat akan pustaka.”
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Sejak awal mengikuti acara ini, saya tahu bahwa Tangerang Youth Fest bukanlah agenda biasa. Dan ternyata memang benar, meski bertajuk festivalnya anak muda, namun acara yang terselenggara selama 4 hari ini lebih layak disebut sebagai sebuah pestanya rakyat Kabupaten Tangerang.
Semua ramai, tentu saja. Antrean mengular sejak Anda mau masuk ke area. Apalagi pengisi acara musik adalah grup-grup dan solois yang lumayan terkenal, kecuali Naif tentu saja yang memang sudah benar terkenal. Pada pesta peringatan HUT ke-74 ini, Pemerintah Kabupaten benar-benar menampilkan segala hal yang layak untuk membuat pestanya meriah. Pengisi acara macam Anji, Payung Teduh, atau Wali Band dihadirkan untuk membuat para pengunjung terhibur sejak hari pertama. Selain bintang kelas atas tadi, masih ada Starlit atau Virgoun serta musisi lain yang terus mengentak panggung Tangerang Youth Fest selama 4 hari tersebut.
Tapi tunggu dulu, bukan keberadaan bintang-bintang tadi yang membuat acara ini menjadi meriah. Bahwa mereka turut memeriahkan, memang betul. Tapi pusat dari segala keramaian acara ini lebih tertuju pada konsep festival rakyat yang menghadirkan wahana bermain yang biasa ada di segala pesta rakyat. Mulai dari wahana macam komidi putar, kuda-kudaan, hingga perahu goyang berhasil membuat antrean pengunjung mengular hingga ratusan meter.
Wahana-wahana bermain inilah sumber dari segala banyaknya orang di pesta ini. Sejak buka di siang hari, masyarakat (terutama yang membawa anak) telah bersedia mengantre agar bisa masuk ke area bermain. Ada tiga area bermain yang diisi berbagai wahana, tapi dua favorit masyarakat tentu saja perahu goyang yang membuat adrenalin terpacu dan komidi putar yang, ya begitulah. Sepanjang pesta digelar, area bermain tak pernah sepi.
Selain dipenuhi masyarakat yang mau bermain, pesta rakyat ini turut dipenuhi puluhan booth distro yang menyajikan pakaian-pakaian branded dengan harga diskon yang lumayan. Apalagi bazar ini tidak cuma dimeriahkan booth pakaian yang diskriminatif pada ukuran badan saya.
Jika lapar, para pelapak juga menjaja makanan dari yang ringan hingga yang berat. Dari telur gulung hingga nasi goreng. Semua lengkap, kecuali memang harganya yang agak mahal. Di booth jualan, hadir pula Meikarta yang menawarkan masyarakat untuk pindah menuju sebuah kota (yang katanya) layak huni tapi belum berbentuk dan belum bisa ditinggali. Sebuah ajakan absurd untuk meninggali kota yang pernah benar-benar ada di dunia.
Setelah asik bermain, para pengunjung biasanya mampir ke lapakannya komunitas Tangerang. Ada Omah Daon yang bikin action figure robot dari barang bekas, ada Reptil’s zone yang bikin atraksi bareng uler, ada Rakel Tempur Addict yang bisa nyablonin kaos kalian, ada juga kelompok suporter Persita Tangerang yang menjajakan merchandise untuk para Bentang Viola. Selain mereka, masih ada banyak komunitas lain yang asik-asik.
Di barisan ini pula, Komunitas Baca Tangerang hadir menggelar buku untuk di baca selama acara. Ya, kami meramaikan kemeriahan pesta rakyat ini sebagai salah satu komunitas yang ada di Tangerang. Selain menjaja buku untuk dibaca pengunjung, kami juga ikut mengasuh anak-anak para pedagang lapak bazar yang sibuk melayani pengunjung. Tentu saja semua dilakukan dengan hati yang riang.
Jika sore telah tiba, waktunya panggung hiburan yang mengentak. Para musisi ambil bagian untuk mengajak para pengunjung berjingkrak dan berjoget. Paling-paling Payung Teduh saja yang membuat para pengunjung terhanyut dalam alunan musik tanpa perlu berjingkrak-jingkrak. Selain itu, ya semua berjalan meriah penuh dengan teriak dan tawa lepas dari para pengunjung.
Memang beginilah seharusnya pesta rakyat berjalan. Ramai, penuh tangisan anak yang kehilangan orang tua, juga tawa bahagia karena bisa melepas penat setelah dibudaki oleh perusahaan di kota seribu industri ini. Setelah kenyang makan di lapakan makanan, beli baju branded diskon miring di lapak distro, teriak-teriak melepas adrenalin di wahana bermain, malamnya ikutan nyanyi-nyanyi diiringi Payung Teduh, Anji, Naif, serta pengisi acara yang lain.
Walau sepanjang tahun Kabupaten Tangerang memiliki beberapa kejadian tidak mengenakan, setidaknya, masyarakat Tangerang bisa menikmati akhir tahun dengan sebuah pesta rakyat meriah sembari merayakan ulang tahun daerahnya. Selamat ulang tahun, semoga semakin waras untuk mengayomi masyarakatnya.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang