Aditia Purnomo


Setelah melewati masa panen yang melimpah, masyarakat di kaki Gunung Sumbing menggelar acara merti dusun, atau ritual bersih desa. Hakikatnya, tradisi ini adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karenanya, masyarakat mensyukuri limpahan karunia berupa panen tembakau yang bagus dari-Nya.

Acara merti dusun memiliki beragam tradisinya sendiri. Setiap daerah memiliki caranya masing-masing. Misalkan Upacara Garebeg yang dilakukan di Kraton Yogyakarta, atau yang dilakukan masyarakat di kaki Gunung Sumbing, melaksanakan ritual pernikahan pohon tembakau.

Ritual ini, dilakukan dengan menampilkan dua tembakau, yang satu tembakau lanang dan yang satunya tembakau wedhok. Tahun ini, kedua tembakau diberi nama Kiai Pulung Soto dan Nyai Srinthil, yang kemudian dinikahkan dalam sebuah performance art di atas Sendang Piwaan Dusun Gopakan.

Sebelum dinikahkan, para warga mengikuti doa bersama ini dengan duduk khidmat di bawah bangunan Pasanggrahan Sendang Piwaan. Sendang Piwaan adalah sumber air yang menjadi penghidupan warga untuk minum dan irigasi.

Prosesi Merti Dusun ini diawali kirab dari perkampungan menuju sendang. Barisan pertama warga membawa ingkung ayam, kemudian gunungan hasil bumi dan diikuti kesehatan tradisional jathilan serta warga. Sesampainya di sendang, Mereka berjalan mengelilingi sendang dan kemudian berdoa dipimpin sesepuh dusun.

Setelah itu, Prosesi pernikahan dilakukan. Pernikahan diawali dengan tarian yang menceritakan proses tanam tembakau, memanen dan meranjang dengan pisau dengan iringan tembang Jawa. Tembakau lanang dibawa pemuda berbaju adat Jawa basahan dan tembakau wedok dibawa perempuan muda berkebaya. Kemudian, kedua tembakau itu dipertemukan dan dinikahkan.

Bagi masyarakat di kaki Gunung Sumbing, acara ini memiliki makna yang istimewa. Tradisi ini merupakan perwujudan rasa syukur sekaligus doa dan pengharapan untuk masa depan yang lebih baik. Selain itu, tradisi ini juga bertujuan untuk melestarikan budaya masyarakat bertanam tembakau. Karena memang tembakau lah yang menjadi andalan masyarakat lereng Sumbing.

Menurut masyarakat, meski tembakau tidak enak dimakan, tapi tembakau dapat membuat orang bahagia dan senang. Karena itu, dengan melaksanakan upacara pernikahan ini, mereka berharap tanaman tembakau mendatang dapat lebih memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

Ernesto ‘Che’ Guevara dikenal sebagai salah satu tokoh paling revolusioner di dunia. Ia adalah tokoh pembebasan Kuba, melakukan gerilya untuk meruntuhkan rezim tirani yang kala itu menguasai Kuba. Bersama rekan perjuangannya, Fidel Castro, Ia kemudian berhasil membawa Kuba pada kemenangan terbesar melawan penindasan.

Meski begitu, tak banyak orang yang tahu kalau pada awal gerilya, Ernesto bergabung sebagai tenaga medis, bukan sebagai prajurit. Che Guevara memanglah seorang dokter, Ia mendapatkan pendidikan kedokteran di Universitas Buoenos Aires. Setelah lulus, Ia kemudian memilih untuk bepergian dengan sepeda motor menjelajahi Amerika Latin.

Dalam perjalanannya, Ia melihat kondisi nyata kehidupan masyarakat Amerika Latin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tinggal di tanah yang kaya, mereka malah hidup miskin, terbelakang, dan sederet kesusahan lainnya. Fenomena ini kemudian menyadarkan dirinya kalau ada yang tidak beres dengan kondisi masyarakat. karena itulah, kemudian Ia memilih jalur revolusioner sebagai gerilyawan.

Sebenarnya, Che Guevara bisa saja memilih hidup bergelimang harta mengingat Ia adalah seorang dokter. Namun, pilihan politiknya membuatnya memilih jalur perjuangan dengan cita-cita membebaskan masyarakat Amerika Latin dari kesengsaraan. Che, bukanlah orang yang seperti dokter-dokter di Indonesia. Ia tak mau kompromi, apalagi bekerja sama dengan perusahaan farmasi.

Pada awal perjuangannya, sebagai dokter Che ditunjuk sebagai tenaga medis. Akan tetapi karena ketangkasan dan kecerdasannya dalam meyusun strategi, Che kemudian ditunjuk menjadi komandan pasukan. Hal ini, sama dengan statusnya sebagai dokter, juga jarang diketahui oleh publik.

Bagi masyarakat umum, ada dua hal yang paling dikenal dari Che Guevara. Pertama topi baret yang kerap menempel di kepalanya, lalu ada cerutu yang menempel di bibirnya. Kedua benda tadi, adalah hal yang paling melekat pada Che, khususnya pada potret-potretnya.

Meski Ia adalah orang yang berkecimpung di dunia kesehatan, tapi Che Guevara sangatlah bersahabat dengan tembakau. Bersama cerutu, yang juga produk nasional Kuba, Ia kerap melewatkan saat-saat istirahat dari aktifitas yang begitu padat. Bahkan untuk hal ini, Ia pernah menyebutkan kalau cerutu adalah pendamping istirahat yang baik bagi prajurit yang soliter.

Che sendiri tahu, banyak rakyat Kuba yang menjadi petani tembakau. Cerutu sendiri adalah produk nasional Kuba, produk unggulan Kuba di pasar internasional. Apalagi Che pernah ditunjuk sebagai menteri perindustrian Kuba, pastinya Ia tahu betul betapa besar potensi ekonomi Cerutu bagi Kuba. Karenanya Che tidak pernah membenci tembakau. Sekalipun Ia seorang dokter, tapi Ia tahu betapa besarnya manfaat tembakau bagi Kuba dan masyarakatnya.

Pekan ini, kaum buruh Indonesia sedang melaksanakan aksi mogok nasional untuk menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Jutaan buruh di Indonesia, secara serentak menghentikan aktivitas produksi perusahaan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap PP tersebut.

Aksi dilakukan di berbagai daerah, memulainya dari kawanan industri hingga berkumpul bersama di titik-titik strategis daerah tersebut. Di Tangerang, misalnya, pintu tol bitung adalah mimbar utama para buruh menyampaikan aspirasinya.

Aksi mogok nasional ini dilakukan karena upaya dialog dan langkah lain yang diusahakan oleh buruh menemui jalan buntu. Pemerintah tetap saja meneken PP Pengupahan, lalu pengusaha senang sementara buruh merana. Kenapa begitu, jelas karena PP Pengupaan sama sekali tidak berupaya melindungi buruh dari kesewenang-wenangan upah.

Secara umum, kelompok buruh menolak PP tersebut karena tiga hal utama. Pertama, formulasi pengupahan terbaru tidak lagi didasari pada instrumen poin kebutuhan hidup layak. Formulasi didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi, yang kemudian dikalikan dengan upah pada tahun berlaku. Dalam formulasi ini, tidak ada jaminan kestabilan harga pasar yang mempengaruhi daya beli buruh dengan upah seadanya.

Kedua, hilangnya peran serikat buruh dalam pengambilan kebijakan soal upah. Selama ini peran serikat buruh sebagai garda depan perjuangan pengupahan menjadi poin penting kesejahteraan buruh melalui kenaikan upah. Kini dengan hilangnya peran serikat, siapa yang bisa mengawal kebijakan kenaikan upah?

Ketiga, dan bukan terakhir, peninjauan komponen kebutuhan hidup layak yang dilakukan 5 tahun sekali. Hal ini jelas sangat tidak realistis mengingat komponen yang hari ini berlaku saja sudah tidak relevan dengan kebutuhan hidup buruh.

Selain itu, masih ada beberapa hal yang menjadi alasan PP Upah ini mesti ditolak. Misal, hingga hari ini masih ada 23 provinsi yang upah minimumnya di bawah standar kebutuhan hidup layak. Jika formulasinya berdasarkan upah berlaku saat ini, maka kenaikan upah tetap membuat mereka hidup di bawah standar hidup layak.

Pemerintah sendiri hingga hari ini masih gagal melindungi buruh dari perlakuan nakal pengusaha. Penangguhan kenaikan upah masih sangat banyak terjadi tiap tahunnya. Belum sengketa industrial lainnya seperti pesangon yang tak dibayarkan, PHK sepihak tanpa alasan, dan masih banyak lainnya.

Karenanya, setelah dialog dan aksi yang dilakukan tak mendapat hasil, kaum buruh bersepakat untuk menggelar mogok nasional selama empat hari. Mogok nasional tahun ini sendiri agak spesial, karena hampir seluruh elemen serikat menyepakati dan memilih berjuang bersama. Sebelumnya, mogok nasional tak pernah seramai ini (dalam hal kesepakatan elemen serikat).

Kemudian kenapa yang dipilih adalah mogok, bukankah mogok kerja bakal membuat perusahaan merugi dan bisa jadi memilih menutup perusahaannya?

Yang jelas mogok adalah hak setiap pekerja yang dilindungi berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada pasal 137 Undang-undang tersebut berbunyi, “mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”. Maka, jelas sudah kalau mogok diperbolehkan undang-undang.

Lalu soal kerugian, bukan cuma perusahaan yang merasakan rugi. Karena selama melakukan mogok kerja, upah buruh tidak dibayarkan sepanjang hari ia mogok. Jadi, mogok sendiri memiliki konsekuensi perjuangannya sendiri.

Selain itu, kerugian perusahaan memang menjadi salah satu target dari aksi mogok. Tujuannya jelas, agar pengusaha sadar kalau buruh adalah elemen penting dalam produksi. Bukan sekadar pelengkap apalagi budak. Karenanya, dalam aksi mogok kerja selalu mengupayaka berhentinya proses produksi secara total.

Perkara urusan pengusaha ingin mencabut investasinya, ya silakan saja. Kaum buruh yang sadar tidak bakal gentar dengan hal macam itu. Karena dengan menutup perusahaan, pengusaha bakal kehilangan sumber pemasukan dan akan mengeluarkan ongkos besar sebagai upaya menutup perusahaannya. Ingat, kalau buruh dipecat selalu ada ‘pesangon’ yang harus dibayarkan.

Lalu, setelah penjelasan di atas mengenai asalan-alasan kenapa para buruh mogok nasional masih saja ada kelas menengah yang mencibir perjuangan buruh, ya biarkan saja. Mereka hanya manusia bermental inlander yang masih saja berpikir kalau buruh adalah budak dan tidak boleh sejahtera.

Lagipula, mana mau mereka membaca tulisan macam ini dan perkara substansial yang dihadapi buruh. Wong skripsi aja mungkin banyakan copy paste daripada tulisan sendiri.

(Pertama diterbitkan di Mahasiswa Bicara)

Hari ini laptop saya mogok. Ia ngadat dan tidak bisa digunakan. Ia mogok, bukan untuk untuk keren-kerenan apalagi ikut-ikutan buruh. Laptop ini mogok, karena tidak kuat dengan eksploitasi yang saya lakukan kepadanya.

Laptop ini hanyalah mesin. Ia bisa rusak apabila digunakan tanpa mengingat batasan dan kemampuannya.

Ingat loh, laptop ini adalah mesin yang katanya bisa menggantikan tenaga manusia. Gimana jadinya kalau manusia yang bukan mesin, mungkin bakalan mati kalau dipaksa kerjain produksi mulu.

Kemudian, apa saya berpikir untuk mengganti laptop? Jawabnya ya. Namun hal itu sulit terwujud mengingat saya hanya besarnya biaya yang bakal dikeluarkan untuk membeli laptop baru. Pilihannya ya menuruti mau si laptop, diobati dan nantinya diberikan jam istirahat lebih.

Kalau buruh yang mogok, apa perusahaan akan berpikir untuk menarik investasi dan menutup perusahaan? Jawabnya juga iya. Namun, bayangan akan beban memberi pesangon pada buruh yang diberhentikan dan modal besar buat membangun perusahaan baru pasti lebih menghantui pengusaha.

Yang pasti, dengan mogoknya laptop ini, saya menyadari kalau keberadaannya bukanlah pelengkap dalam agenda dan aktifitas saya. Ia adalah bagian penting dari kehidupan saya. Hingga nantinya saya tak bisa berlaku seenaknya saja kepada laptop ini.


Lalu, semoga saja pengusaha juga cepat sadar kalau buruh memiliki peran yang besar dalan kegiatan produksi perusahaannya. Bukan sekadar pelengkap apalagi budak. Toh dengan mogoknya para buruh, pengusaha bakal tahu kalau mereka tak bisa menjalankan perusahaanya tanpa keberadaan buruh.

Ada baiknya mulai besok saya berhemat. Mengubah gaya hidup yang konsumtif menjadi sederhana dan seadanya. Agar nantinya nggak perlu lagi ada kenaikan upah dan demo-demo buruh.

Saya perlu mengamalkan spirit kapitalisme dengan semangat menerima nasib agar tidak banyak melakukan protes terhadap perusahaan. Apabila saya menerima gaji yang pas-pasan ya diterima saja. Toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu.

Saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.

Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, punya ponsel pintar atau memiliki motor ninja. Hal-hal macam itu cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.

Untuk bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.

Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap.

Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalai buruh ya di warkop saja.

Ingat, pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.

Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah.


Dulu saya pernah dicaci teman karena dianggap merendahkan martabat guru di depan forum dalam sebuah diskusi bersama teman-teman mahasiswa dari fakultas pendidikan sebuah kampus swasta. Teman saya, dia mahasiswi fakultas pendidikan, marah karena profesi guru saya samakan dengan buruh. Menurutnya, profesi guru jelas berbeda dengan buruh. Guru mengabdi untuk anak bangsa, sedang buruh, jelas berbeda pokoknya.

Lalu Ia menjelaskan kalau menjadi guru itu tidak mudah. Menjadi guru memerlukan tanggung jawab yang besar, karena bagaimanapun masa depan bangsa ada di tangan mereka. Karenanya jangan samakan dengan guru yang bekerja dengan penuh pengabdian, beda dengan buruh yang bekerja untuk hidup sehari-hari.

Di forum itu, saya malas menanggapi bantahannya. Karena dengan posisi berpikir yang tidak objektif, dia hanya akan terus mendebat kusir jawaban saya. Maka saat itu saya hanya bilang kalau guru pun mengajar untuk mendapatkan gaji. Tanpa mau berpanjang-panjang saya kembalikan arah diskusi kepada tema yang diusung.

Meski begitu, hingga hari ini saya masih berkeyakinan kalau guru dan buruh adalah sama. Mereka sama-sama tenaga kerja produktif yang bekerja (juga) untuk menghidupi diri mereka dan keluarganya. Sama-sama  bekerja untuk memperjuangkan kesejahteraan.

Kalau pun beda, itu hanya pada progresivitas saja. Kaum buruh lebih terorganisir ketimbang guru. Mereka pun lebih berani bersuara ketika hak-haknya akan kesejahteraan direbut oleh negara atau perusahaan. Karena itu, dalam beberapa hal saya merasa bahwa buruh bahkan memiliki derajat yang lebih tinggi dari guru. Dalam beberapa hal ya.

Saya sendiri tidak bisa menafikan peran guru. Bahwa guru berjasa bagi hidup saya, iya. Tapi tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru yang saya kenal dan saya tahu punya etos layaknya guru. Kalau mau jujur, berapa banyak guru yang tidak kamu sukai cara mengajarnya? Atau berapa banyak guru yang meninggalkan pekerjaan untuk nyambi kerjaan lain? Kalau buruh sih meninggalkan pekerjaan buat aksi, nah kalau guru?

Kalimat guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, bagi saya, hanyalah slogan-slogan yang tidak mampu dibuktikan oleh mereka. Buktinya berapa banyak guru yang tidak melulu mengejar sertifikasi agar mendapat kenaikan tunjangan.  Toh pada akhirnya guru-guru lebih mengedepankan kesejahteraannya.

Memang mendapat kesejahteraan dan gaji adalah hak bagi guru, namun apakah itu menjadi perkara nomor sekian selain urusan mengabdi? Berapa banyak guru-guru muda yang mengejar status PNS agar mendapat kesejahteraan yang layak? Atau yang pernah saya alami, apa tidak ada guru yang mengambil keuntungan dari muridnya dengan menjual atau meminta seusuatu?

Sekali lagi, saya tidak bilang kalau semua guru pasti berlaku begitu. Ada juga guru yang benar-benar memliki etos pendidik yang tepat. Ada guru yang saya hormati, tapi tak sedikit juga guru yang saya tak sukai. Tentu ada juga guru yang saya caci dan ajak berdebat.  


Lagipula, bagi saya semua orang adalah guru, dan alam raya adalah sekolah. Saya bisa belajar banyak meski tak melulu berada di kelas. Dan yang paling penting adalah guru bukan dewa, mereka tak selalu benar. Karenanya jangan marah jika saya mengatakan kalau guru dan buruh sebenarnya sama saja. Sama-sama bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Sejak kemarin sampai hari jumat teman-teman buruh melaksanakan ibadah mogok nasional. Kenapa mogok dilakukan, ya karena dialog tidak menghasilkan solusi dari tuntutan buruh.

Pada mogok nasional tahun ini, buruh membawa isu utama tentang penolakan PP Pengupahan dan tuntutan untuk dibatalkannya PP tersebut. PP Nomor 78 Tahun 2015 ini secara substansial mengatur kenaikan upah berkala tap tahunnya berdasarkan formulasi tetap. Formulasi itu ialah upah minimum tahun ini akan dikali dengan berapa persen pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.

Sekilas, PP dan formulasi upah ini terlihat manis. Karena menjanjikan kenaikan upah yang pasti tiap tahunnya. Tapi kemudian, harus dipahami konteks masalah pengupahan yang terjadi hari ini terlebih dahulu sebelum menerapkan hal seperti itu.

Saat ini, upah yang berlaku di Indonesia masih berada di bawah standar layak. Bahkan Filipina saja memiliki standar upah minimal mencapai Rp 4 juta perbulan. Penghitungan upah di Indonesia sendiri dilakukan berdasar komponen hidup layak yang ditetapkan pemerintah. Sayangnya, 60 komponen yang berlaku merupakan warisan orde baru yang hingga kini tak disesuailan dengan kondisi zaman.

Karena itulah kemudian teman-teman buruh menolak PP Pengupahan yang belum layak pakai selama upah minimum tidak disesuaikan dengan standar hidup sejahtera terlebih dahulu.

Tak hanya soal formulasi, teman-teman buruh juga menolak PP ini karena menghilangkan peran serikat buruh secara signifikan dalam pengambilan kebijakan tentang upah. Serikat buruh, tak lagi diberi ruang dalam penentuan upah minimum yang dulu dilakulan oleh dewan pengupahan kota/kabupaten.

Karena berbagai dialog dan aksi-aksi yang dilakukan buruh tidak digubris pemerintah, dan pemerintah malah menerapkan PP Pengupahan meski DPR sudah meminta ditunda dulu penerapannya.

Sebagai contoh, UMK Bantul tahun lalu adalah Rp 1.108.249. Berdasarkan formulasi PP Pengupahan, UMK Bantul hanya naik Rp 133.900 saja. Kalau mau kita hitung kebutuhan hidup di sana, apakah kenaikannya mampu memenuhi hidup buruh dan keluarganya dalam sebulan?

Ada baiknya kita mulai berpikir adil terhadap buruh. Apakah anda dan keluarga bisa hidup dengan uang sebesar Rp 1,3 juta dalam sebulan? Mungkin uang segitu bakal anda habiskan untuk ngopi-ngopi gemez selama seminggu.


Karena itu ada baiknya anda diam saja ketika melihat buruh memperjuangkan haknya (mungkin juga hak anda). Jika anda memang belum bisa ikut berjuang, maka dukunglah perjuangan buruh dengan tidak mencibir mereka. Dengan diam. Biar bagaimanapun juga, selemah-lemahnya perjuangan adalah dengan mendukung meski dilakukan dalam diam.
Beberapa hari terakhir tak banyak hal yang saya lakulan. Bahkan untuk membuka sosmed pun saya malas. Kalau bukan karena agenda mogok kemarin, mungkin saya masih tidak memainkan sosmed.

Bukan apa-apa, saya sedang malas berhubungan dengan siapapun, dengan apapun. Menghentikan aktifitas memberi kabar, begitupun mendapatkan kabar. Sedang ingin asosial pokoknya.

Banyak hal-hal terbengkalai, banyak hal-hal yang tidak selesai. Tapi dengan begini, saya jadi belajar menata diri. Bersiap untuk beberapa hal yang harus dihadapi.

Nyatanya menjadi asosial tidaklah mudah. Ada banyak hal yang perlu dikeluarkan, namun harus tertahan. Ada banyak hal yang ingin diungkap, tapi tak keluar.

Tidak menyenangkan memang hanya berbicara pada dinding kamar. Tidak mengenakan tidak mendapat tanggapan dari orang.

Di dalam kamar, saya lebih sering membaca buku. Beberapa buku saya khatamkan. Selebihnya saya bengong, mencoba menulis, dan membuat mie instan juga kopi.

Ada yang menyenangkan dari menjadi diam. Buku-buku yang lama tak tersentuh kini kembali terbaca. Tak enaknya tentunya menjadi tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.

Tapi dengan begini saya belajar soal betapa berharganya kabar dari seseorang, betapapun tidak menyenangkannya kabar itu. Kadang kita terlalu banyak berbicara tanpa mau banyak mendengarkan.


Karena itu saya tetap berharap bisa mendapatkan kabar darinya. Meski mungkin agak sulit terjadi, tapi toh kita tetap boleh berharap. Karena menurut Pram, hidup tanpa harapan adalah hidup yang kosong. Selamat berbahagia.

Pada tahun 1989 Untung Noor hanya tukang ojek biasa. Karenanya saat melihat kebakaranyang melalap dealer motor di Kota Banjarmasih, tak banyak yang bisa dilakukannya. Sebagai tukang ojek, kewajibannya adalah mengantar penumpang sampai tujuan. Maka Ia pun pergi meninggalkan kebakaran tanpa bisa melakukan apa-apa.

Kejadian itu, kemudian begitu membekas pada benak lelaki yang akrab disapa Kai Untung ini. Setelahnya, Ia pun bergabung sebagai relawan barisan pemadam kebakaran di Banjarmasin. Tak sekadar bergabung, Kai Untung pun kemudian menyisihkan penghasilannya dari berjualan rokok dan bensin eceran untuk membeli mobil tua untuk dijadikan mobil pemadam kebakaran.

Dalam talkshow yang dilakukan pada sebuah televisi swasta, Kai Untung menceritakan perjuangannya bersama komunitas Pemadam Musibah Kebakaran (PMK) ‘Penjelajah’ yang didirikannya tahun 2004. Awalnya, Ia memulai komunitas ini dari komplek tempatnya tinggal. Bermodal mobil tua yang dijadikan mobil pemadam ini, Ia dengan sukarela membantu orang-orang yang terkena musibah kebakaran.

Mobil tua itu dibeli setelah lima tahun Ia menabung. Dari sebagian hasil jualan rokok dan bensin eceran, Ia meminta istrinya untuk menyimpan uang tersebut agar suatu saat bisa dibelikan mobil. “Saya tidak menabung di bank, tidak mengerti. Jadi saya minta istri yang simpan,” jelasnya pada talkshow tersebut.

Setelah memiliki mobil pemadam, Kai Untung bersama komunitas relawan pemadam kebakaran telah mendatangi banyak tempat. Dari kebakaran ke kebakaran, dari bencana ke bencana. Area kerja mereka pun tak terbatas pada kota Banjarmasin saja, tapi juga daerah-daerah di sekitarnya. “Pokoknya kalau dengar ada kebakaran, lagi sarapan pun Kai akan berangkat,” ujarnya.

Sebagai masarakat biasa, apa yang dilakukan Kai Untung bersama PMK Penjelajah adalah hal luar biasa. Mengingat bagaimana kehidupan masyarakat hari ini yang semakin acuh pada lingkungan, militasi Kai beserta kelompoknya patut diacungi jempol. Apalagi Kai beserta kelompoknya bukanlah abdi negara yang memang berkewajiban mengamankan area kebakaran.

Hal-hal macam ini, bantuan dari pihak ketiga, menjadi penting dalam banyak hal. Jika melihat ketidakmampuan aparatur negara dalam menyelesaikan berbagai masalah, bantuan dari pihak lain seperti dari PMK Penjelajah atau kelompok lain tentu akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, negara masih saja memandang kelompok-kelompok ini dengan pandangan sebelah mata.

Meski tidak mengharap imbalan, kelompok Kai Untung tentu memerlukan bantuan untuk menjalankan operasional komunitas. Apalagi, mereka tidak hanya memiliki mobil pemadam, tapi juga mobil ambulans yang memerlukan perawatan agar bisa dimaksimalkan dalam setiap musibah.

Begitulah cerita Kai Untung. Masyarakat biasa yang berupaya membantu mereka yang tidak terlayani negara. Menyisihkan sedikit demi sedikit uang hasil jualan rokok dan bensin eceran untuk membeli mobil pemadam. Karenanya, jangan melulu berharap pada negara. Seperti Kai Untung, jika ada yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain, begeraklah. Jangan ragu.

Sebulan terakhir saya sedang mencoba melatih diri untuk terus membaca. Dulu ketika awal masuk kuliah, saya sanggup menghabisi sekitar 15-30 buku dalam sebulan. Hal ini berlangsung dalam periode yang cukup lama, yakni 1,5 tahun.

Tapi setelahnya, saya begitu alpa dalam membaca. Tiga tahun lebih saya gagal membaca sebuah buku habis dalam sebulan. Malah seringkali saya tidak membaca buku dalam sebulan.

Saat itu saya memang tengah disibukkan kerja organisasi dan kegiatan di lapangan yang sangat menyita waktu. Bukan hendak memaklumi, gairah berorganisasi saya waktu itu sedang tinggi-tingginya. Tapi ya tetap saja pengalaman di lapangan tidak mampu saya imbangi dengan bacaan yang menopang aktifitas itu.

Belakangan saya merasa hidup yang sangat hambar. kesibukan dan aktifitas tiada henti dilakukan, tapi tetap saja ada yang saya rasa kurang dalam hidup ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk melatih diri agar tetap membaca. Karena saya menyadari betapa hambarnya hidup dengan aktifitas yang padat tanpa sama sekali memberikan otak ini gizi yang baik.

Sudah jarang memberi makanan pada otak, tiap harinya otak harus saya peras hingga mentok terakhir.

Baiknya, keberuntungan menghampiri saya dari teman-teman yang baik. Selain berkawan dengan banyak penjual buku bergizi, ada juga teman-teman yang dengan membuka penerbitan dan menyajikan buku yang saya rasa perlu untuk dibaca.

Misalkan buku Melawat dari Timur yang diterbitkan teman-teman dari Buku Mojok. Ketertarikan saya pada persoalan sosial membuat buku ini menjadi penting untuk dibaca, karena menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia Timur. Memberikan gambaran soal prahara panjang karena agama, juga hal-hal sederhana soal kehidupan sehari-hari masyarakat.


Kalau teman-teman tertarik dengan buku ini, mohon jangan hubungi saya buat membelinya. Karena saya juga mendapatkan buku ini dari Pojok Cerpen. Bukan dapat sih, tapi beli. nah kalau kalian mau beli, silakan hubungi yang bersangkutan. 


Saya pernah melihat seorang anak termenung melihat rumahnya dirobohkan aparat pamong praja. Kebetulan rumah itu milik seorang teman, dan anak itu adalah adiknya yang paling kecil.

Saat itu saya dan beberapa orang lainnya melakukan advokasi terhadap teman saya. Membantu teman yang dipaksa pindah karena rumahnya mengganggu pembangunan. Tapi kemudian kami gagal. Rumahnya dibongkar, Ia bingung harus tinggal dimana.

Beberapa minggu lalu seorang teman mengabarkan kalau tempat ibadahnya bakal disegel aparat. Ia minta bantuan, agar tempat ibadahnya tak jadi disegel. Dua minggu berlalu, rumah ibadahnya akhirnya ditutup aparat. Alasannya sederhana, dianggap mengganggu ketertiban masyarakat.

Dalam dua kasus tadi, saya gagal membantu teman. Meski ada banyak lagi kekalahan yang saya alami, dua kejadian tadi adalah yang paling menyakitkan. Karena sebagai seorang manusia, saya masih saja gagal membantu teman mempertahankan sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan mereka.

Padahal, selama ini saya sering dianggap sebagai orang yang luar biasa. Orang hebat. Padahal ya, membantu kedua teman tadi saya gagal.

Seringkali saya memiliki pemikiran yang saya anggap besar. Seringkali saya ingin melakukan sesuatu yang besar. Padahal, untuk hal-hal yang sangat dekat pada saya masih saja gagal saya wujudkan.


Sial memang untuk seorang yang bermimpi besar seperti saya. Ketidakmampuan untuk menyadari kalau saya ini tidak mampu melakukan hal besar begitu menyakitkan. Ya meski karena kekalahan demi kegagalan, saya akhirnya sadar kalau saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. 

Pada siang hari yang terik ketika puluhan ribu buruh sedang berdemo menolak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, pejabat teras Pemprov Jakarta, tengah melakukan aksi senyap. Tak ada yang menyangka, tak ada yang mengira, bapak Ahok tercinta mengeluarkan Peraturan Gubernur terbaru tentang Demonstrasi. Yak, mengatur perihal demonstrasi.

Dalam peraturan tersebut, Ahok menegaskan bahwa hanya ada tiga lokasi yang boleh dipakai untuk berdemo, yakni Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR, dan Silang Selatan Monas. Selain itu tidak boleh, apalagi kalau demo di Balaikota Jakarta tempat Ahok ngantor. Alasannya, jelas saja karena demo itu mengganggu ketentraman hidup warga ibukota.

Bagaimana tidak mengganggu, sudah yang demo itu bukan warga dengan KTP Jakarta, bikin jalanan kotor dengan sampah-sampah yang berserakan, dan yang paling parah tentu bikin macet. Bikin macet, catat itu. Sudah susah-susah warga Jakarta bayar pajak mahal masa masih kena getah kemacetan dari demonstrasi.

Karena itulah, Pergub ini harus didukung penuh warga Jakarta. Bayangkan saja Jakarta tanpa demo, tentu warga tetap nggak bakal kena macet lagi, ya masa macet hilang cuma karena nggak ada yang demo lagi. Tapi ya minimal, kalau demo cuma dilakukan di tiga tempat tadi nggak bakal deh buruh kena nyinyir kelas menengah (ngehek). Jelas-jelas demonya di tempat tertutup yang sudah disediakan, nggak bakal melanggar hak warga Jakarta.

Lagian kalian ini tahu kan Parkir Timur Senayan biasa dipakai buat apa? Paling kalau ada yang mau demo harus rebut-rebutan sama acara kayak Jackcloth, Hayday, atau konser-konser lain. Atau, konsernya digabung sama yang demo, biar kuat-kuatan yang paling keras sound systemnya.

Terus Alun-alun Demokrasi, dari namanya aja udah ngeri. Tempat ini memang sengaja dibuatkan oleh anggota dewan agar mereka yang demo nggak perlu panas-panasan lagi di jalanan. Di Alun-alun ini, sudah disediakan tenda yang cukup luas biar orator yang mimpin aksi nggak kehabisan suara gara-gara kepanasan. Kurang apa coba, bisa teriak sekencang-kencangnya tanpa mengganggu orang lain, termasuk anggota dewan yang didemo.

Nah kalau di Monas, yang aksi malah difasilitasi Ahok buat wisata gratis di sana. Palingan cuma bayar kalau mau naik lift Monas atau beli air minum saja. Daripada aksi di depan istana tapi masih foto-foto di Monas juga, mending sekalian aksi di Monas lah.

Lagipula Pergub ini nggak melarang orang buat demo, nggak melarang orang buat menyampaikan aspirasi. Catat itu. Pergub ini cuma memastikan demo ada di tempat yang benar-benar sepi hingga nggak ganggu orang lain, apalagi ganggu pemerintah dan parlemen.

Meski sebenarnya, ada satu tempat yang luput dari pandangan Ahok buat orang-orang demo. Yak, betul. Harusnya linimasa twitter juga dijadikan salah satu tempat demonstrasi yang diperbolehkan. Selain nggak bakal bikin jalanan macet kayak mobil-mobil kelas menengah ngehek itu, demo di twitter paling mentok cuma nyampah di timeline.

Tapi jangan salah sangka dulu. Kalau mahasiswa jomblo nan proletar macam saya bilang revolusi berawal dari warung kopi, sekarang udah beda zaman bos. Revolusi dimulai dari Twitter, pake hestek. Nggak percaya, coba tanya #TemanAhok yang getol banget belain Pergub ini di twitter.

Kita mesti belajar dari Ahok dan teman-temannya. Perkara menyampaikan aspirasi dan menolak kebijakan nggak perlu menggunakan aksi massa. Cukup ngeluh di twitter aja, asal jangan mengumpat biar nggak kena pasal Hate Speech. Toh orang-orang macam Jonru pun masih bisa bermimpi bikin revolusi dengan hestek, ya kan?

Selain dikenal sebagai kota santri, Kudus tentunya juga dikenal sebagai kota Kretek. Meski begitu, jangan pernah ke kudus untuk melihat ladang tembakau. Kudus dikenal karena industri kreteknya yang menghidupi warganya selama puluhan tahun.

Sejarah kretek bermula disini. Bukan karena tembakau pertama kali ditanam di sini, tapi karena penemuan Haji Djamhari terhadap tembakau dan cengkeh yang dilinting bersama sebagai obat sesak napasnya. Kemudian penemuannya ini dikenal masyarakat sebagai Kretek karena bunyinya yang ‘keretek-keretek’ saat dibakar.

Bukan cuma cerita soal Haji Djamhari, sejarah juga mencatat Nitisemito bersama istrinya Nasilah memulai bisnis industri kretek di kota ini. Awalnya, mereka hanya berdagang warung rumahan. Namun karena besarnya permintaan, akhirnya bisnisnya berkembang menjadi industri dengan jumlah pekerja yang besar.

Menurut sejarah, sedari muda Nitisemito seringkali membuka usaha, namun seringkali juga gagal. Hingga kemudian, Ia memutuskan menjual tembakau bersama istrinya di rumah.

Warung Nasilah menjual kretek yang banyak disukai pelanggannya. Campuran irisan tembakau dan cengkeh kemudian di bungkus dalam kulit jagung kering yang dikeringkan, lalu diikat dengan tali dari benang buatan Nasilah. Kini, kretek dengan pembungkus daun jagung itu dikenal dengan Klobot.

Seperti sudah dijelaskan diatas, kretek yang dijual Nasilah ini banyak disukai, dan permintaannya terus bertambah. Karena itu, menjualnya dengan nama produk dan mendirikan pabrik untuk memproduksinya. 10 tahun berjalan, pabriknya sudah dapat memproduksi sebanyak 10 juta batang dalam sehari dan mempekerjakan sekitar 15 ribu orang.

Cerita Nitisemito dan Nasilah tadi terjadi di paruh awal abad 20. Dan karena bisnisnya lah, Nitisemito telah membuka pintu zaman industri kretek. Dan kerajaan binisnya dimulai dari kota kretek, Kudus.

Karena banyaknya cerita tentang kretek di Kudus, pada tanggal 3 Oktober 1986, Guberbur Jawa Tengah kala itu Soepardjo Roestam mendirikan Museum Kretek sebagai monumen pengingat zaman bahwa sejarah Kretek dimulai di Kudus. Semua ini terjadi menyaksikan potensi kontribusi usaha kretek dalam menggerakkan perekonomian daerah dan penghidupan masyarakat.

Museum ini adalah saksi bisu bagaimana Kudus kemudian terus berkembang bersama industri kretek hingga hari ini. Meski begitu, Kudus juga menjadi saksi besarnya pengaruh kampanye dan kebijakan anti rokok yang membuat ribuan industri kretek rumahan yang gulung tikar. Kini, tinggal tiga perusahaan besar yang masih beroperasi di Kudus, yakni Sukun, Norojono, dan Djarum.

Pemerintah Kabupaten Kudus sendiri banyak bekerja sama dengan perusahaan dalam pembangunan Kudus. Pada bidang olahraga misalnya, dibangun Perkumpulan Bulutangkis Djarum yang membina bibit muda pebulutangkis lokal. Begitu juga pembangunan Gerbang Kudus Kota Kretek di kawasan Taman Tanggul Angin.


Begitulah, Kudus dan Kretek memang tak terpisahkan. Sedari abad 20-an hingga sekarang, kretek terus hidup bersama masyarakat dan Kota Kudus. Bukan hanya membangun perekonomian Kudus, tapi juga menghidupi masyarakatnya. Kota yang hidup dan tumbuh bersama kretek.