Aditia Purnomo



Saya merokok hampir setiap hari. Ngisepnya sih nggak sampai sebungkus, tapi berhubung hidup bareng rakyat banyak sehari bisa beli sampai 2 atau 3 bungkus. Ya nggak apalah, namanya hidup komunal, yang kayak gitu emang wajar. Buat saya, semakin sering kita keluarin yang semakin sering juga uang yang masuk. Kalau terlampau pelit malah nantinya rezeki kesumbat.

Setiap bulan saya punya target pengeluaran. Ingat, bukan target pemasukan. Soalnya kalau biaya yang harus saya keluarkan udah ketahuan, ya jelas sudah berapa pemasukan yang haris saya perjuangkan. Nah di target pengeluaran itu ada sisihan biaya kalau saya mau beli-beli sesuatu yang harganya lumayan.

Misal, bulan ini saya ganti kedua ponsel yang saya miliki. Yang satu diganti iPhone 7 Plus, yang satu diganti Samsung J7 Prime. Total yang dikeluarkan ya lumayan. Cukuplah buat beli 1 motor matic baru.

Pertanyaannya, apa betul uang dan pemasukan saya sebesar itu? Jawabannya ya nggak juga. Kerjain proyek sana-sini, dari kantor pajak satu ke kementerian yang lain. Tiap bulan saya juga harus alokasikan uang untuk biaya rumah serta biaya sekolah dan kuliah adik saya. Ya saya juga harus alokasikan untuk biaya mobilitas saya setiap harinya. Apalagi saya tipikal orang yang gampang banget ngeluarin duit. Gampang jajan, maksudnya.

Misal, kalau ketemu action figure bagus di lelangan fesbuk atau tokol ya saya usahain beli. Kalau harganya kelewat mahal, ya hitung-hitungan dulu. Itu barang seberapa susah dapetnya dan layak atau tidak dimahar mahal. Belum ya kalau lagi ketemu ama teman, makan atau ngopi ya kadang saya yang bayar. Tapi ya ikutin prinsip saya tadi, semakin lancar pengeluaran (insyaallah) pemasukan nggak tersumbat.

Nah soal beli hape, saya emang udah niat dari awal barang itu dirilis. Dari bulan November udah niat pengen beli ponsel itu. Makanya ya ada anggaran yang emang dialokasikan buat tersisih di rekening khusus simpanan, biar nantinya hape mahal itu bisa kebeli. Lah alhamdulillah awal bulan kemarin bisa kebeli, dua sekaligus malah.

Apakah saya bikin tulisan ini buat riya? Nggak juga. Saya bikin tulisan kayak gini karena liat status soal rokok dan nabung. Seorang kawan membagi status yang bilang kalau situ berhenti merokok maka situ bakal punya banyak uang. Halah, logika dari mana itu.

Dari cerita soal rokok dan dapat uang itu, ada satu hal yang sebenarnya menjadi kunci si orang yang berhenti merokok itu bisa punya banyak uang; nabung. Ya karena menabunglah dia bisa mempunyai uang yang bisa buat beli motor. Kalau situ berhenti merokok tapi duitnya nggak ditabung ya mana bisa punya duit banyak.

Yang merokok dan nabung juga banyak kok. Misalnya ya saya. Orang lain juga ada. Mereka yang hidupnya ya sebenarnya pas-pasan, merokok, tapi bisa nabung buat umroh, naik haji, atau beli-beli sesuatu juga ada. Jadi intinya mah di niat buat nabung aja. Dia punya duit bukan gegara ngerokok atau nggak ngerokok.

Jadi, menurut saya mah, nggak ada hubungan antara beli rokok sama nggak punya uang. Persoalan kalian berhenti merokok ya bagus, ditambah kalian bisa nabung ya lebih bagus. Tapi menyederhanakan kalau uang rokok dipotong atau ditiadakan, lalu kalian bisa punya banyak uang ya nggak bisa juga. Toh saya yang beli rokok tiap hari masih bisa beli apa-apa yang saya mau.


Kalau emang kalian mau beli sesuatu atau punya uang banyak, jalannya ada dua: kerja keras dan nabung. Kalau kalian malas atau kesulitan melakukan kedua hal itu, saya kasih saran ketiga: makan Indomie goreng setiap hari selama setahun.

Pertama tayang di situs Komunitas Kretek

Saya pernah bekerja dengan banyak orang. Entah dalam kerja sosial ataupun kerja profesional. Setiap orang punya karakteristik kerja yang berbeda. Karena itulah saya perlu beradaptasi dengan cara kerja orang lain.

Dari sekian banyak orang itu, ada saja orang menyebalkan yang membuat kerja jadi tak enak. Entah karena sering telat deadline, kerjaannya tidak beres, ataupun sulit diajak berkomunikasi. Apapun itu, menurut saya, permasalahannya ada pada ketiadaan tanggung jawab dalam bekerja.

Dalam urusan apapun, tanggung jawab adalah kunci. Saya lebih senang bekerja dengan orang yang masih awam dalam bidang kerja atau kemampuannya belum diuji. Karena persoalan ini bisa diselesaikan bila orang itu punya rasa tanggung jawab yang tinggi. Bila salah, jadikan itu pelajaran dan coba perbaiki.

Tapi jika tanggung jawab sudah tak dimiliki, apapun yang dikerjakan niscaya bakal mengecewakan.

Bagi saya tanggung jawab adalah kunci kepercayaan. Ketika seseorang diberi sebuah kepercayaan, maka orang itu harus membayar kepercayaan itu. Inilah nilai yang saya yakini dalam bekerja.

Ketika kepercayaan dibayar dengan ketidaan tanggungjawab, buyar sudah kepercayaan kepada orang itu. Dan saat kepercayaan hilang, sulit rasanya kerjasama bisa dilanjutkan.

Maka bersyukurlah atas pekerjaan yang kamu hadapi saat ini. Bertanggungjawablah pada pekerjaan. Karena saat kamu seenaknya saja bekerja tanpa tanggung jawab, di luar sana ada banyak orang yang lelah mencari kerja, kepayahan melanjutkan hidupnya. Kadang, hidup memang tak seadil yang kita bayangkan.
sumber: mojok.co
sumber: mojok.co
Saya nggak lagi mau bahas rokok. Meski diberi mandat oleh rakjat untuk jadi ketua Komunitas Kretek, tulisan kali ini nggak mau bahas (banyak-banyak) perkara rokok. Urusan itu biarlah kita selesaikan di situs komunitaskretek.or.id yang nggak terkenal-terkenal amat itu. Kali ini marilah kita bahas perkara yang lebih penting buat rakyat Indonesia: listrik.

Saya secara nggak punya dendam pribadi sama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau ketuanya, Tulus Abadi. Buat saya mereka adalah pejuang, entah secara sukarela ataupun karena memang profesi. Cuma ya kesel aja baca berita yang nyebut Ketua YLKI itu bilang listrik naik nggak bikin banyak masalah dalam urusan kemiskinan.

Saya nggak tahu apa isi kepala belio yang sebegitu bencinya sama rokok. Tapi ya nggak soal juga belio nggak seneng sama rokok. Itu hak dan kewajiban YLKI sebagai sebuah lembaga perlindungan konsumen. Yang jadi masalah, belio sama lembaganya itu nggak banyak ngelakuin apa-apa ketika harga listrik naik tinggi.

Oke, sebagian orang nggak senang dengan kata-kata listrik naik. Karena memang yang dijadikan dalih adalah SUBSIDI LISTRIK DICABUT. Tapi kan efek dari subsidi dicabut, harga yang dibayar masyarakat buat listrik jadi melonjak. Entu yang orang kata listrik naik, tong.

Ini emang perkara politik bahasa rezim berkuasa. Penggusuran dikata relokasi, penertiban, atau normalisasi. Eksploitasi alam dikata pembangunan. Aksi demonstrasi dikata aksi makar. Korupsi dikata oli pembangunan. Yaelah, korupsi mah korupsi aje. Kagak usah banyak alesan.

Perkara kenaikan harga BBM atau tarif dasar listrik ini jugalah yang dikata pencabutan subsidi. Padahal ya karena masyarakat banyak terbebani itu makanya mereka perlu dikasih subsidi. Kagak percaya, coba aja ente lihat tetangga sebelah.

Rumah tangga yang pakai listrik 900VA emang nggak dianggap miskin. Tapi bukan berarti bayar listrik jadi DUA KALI LIPAT dari awal tahun sampai Juni ini nggak jadi persoalan buat mereka. Kalau nggak jadi persoalan sih nggak bakal orang-orang pada bikin status atau tweet yang ngeluhin harga listrik makin mahal. Artinya, kenaikan ini jadi masalah besar juga buat sebagian besar masyarakat.

Lagian banyak masyarakat menengah ke bawah pakai listrik 900VA juga gegara yang 450VA udah kagak disediain PLN. Lah, kosan aing dulu aje yang luasnya sepetak cuma 2 x 3 meter kudu pake listrik 900VA. Padahal mah listrik kepake cuma buat lampu, kipas angin, ama chargeran doang. Boro-boro pakai kulkas atau mesin cuci, buat tidur berempat aje udah kagak muat.

Nah saat ini saya menempati rumah yang listriknya dijatah 1.300VA. Setiap bulan pengeluaran kami untuk listrik hampir 400 ribu. Sekarang pas naik, beli voucher listrik 100 rebu yang biasa kepake seminggu cuma cukup buat empat sampe lima hari. Sebulan bisa 600 rebu duit keluar buat bayar listrik.

Okelah, pengeluaran segitu ngga seberapa besar buat aing. Toh setiap bulan aing bisa beli action figure sampai angka jutaan. Yaelah, tong. Buat orang-orang yang lumayan mampu mah selo aja perkara ginian. Tapi ini bukan perkara buat aing dan kelompok kelas menengah doang, kan?

Coba tengok tetangga atau teman kalian yang biasanya voucher listrik 50 ribu cukup untuk sekitar dua minggu, sekarang cuma abis seminggu. Bayangin itu duit yang biasanya bisa dipake buat beli daging yang jarang-jarang mereka makan. Belum lagi keluhan-keluhan yang mereka sampaikan di media sosial. Apa itu nggak ganggu nurani ente, Lus?

Beli rokok emang makin hari makin mahal. Lah kan ente juga yang nyuruh harga rokok naek terus. Tapi suka kagak suka, rokok jadi penambah semangat rakyat buat nyari duit. Ya semacam hiburan di tengah kerasnya kehidupanlah. Semacam rekreasi ke Disneyland yang nyaris mustahil mereka lakukan.


Beban berat yang mereka tanggung akibat kenaikan listrik ini mungkin nggak lantas bikin mereka miskin. Tapi ini jelas dan pasti bikin mereka stres dan pusing. Sebagai pimpinan lembaga perlindungan konsumen harusnya ente dan YLKI bertindak tegas terkait persoalan ini. Jangan cuma tegas di isu rokok doang, giliran urusan listrik atau hal lain yang lebih penting kalian bahas, kalian diem dan nggak banyak peduli. Giliran isu-isu yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, YLKI melempem. Yaelah, tong.

Pertama kali terbit di Mojok