Aditia Purnomo



Saya menyambut tahun 2016 dengan penuh kegembiraan dan harapan. Hadir di pertunjukan musik terbaik yang pernah saya saksikan. Proposal skripsi yang disetujui jurusan. Membangun harapan atas sebuah hubungan. Semua yang baik-baik menjumpai saya di awal tahun.

Baru kali ini saya menikmati hidup untuk diri sendiri. Datang ke banyak pertunjukan musik. Ikut terlibat dalam sebuah agenda keren dan berkenalan dengan banyak orang baik dan luar biasa. Mencicip banyak makanan dari warung ke warung untuk memuaskan lidah. Menonton banyak film yang diputar tahun ini.

Dan yang terbaik, tentu saja, menikmati waktu bermain bersama seseorang. Menghabiskan waktu di taman hingga menyaksikan pertunjukan musik bersama. Jalan-jalan tanpa arah, membuang-buang waktu tapi teramat menyenangkan.  Sesuatu yang telah lebih dua tahun tidak saya nikmati.

Semua berjalan baik hingga kabar itu datang. Seorang teman memutuskan akan keluar dari organisasi. Untuk regenerasi, katanya. Saya direkomendasikan untuk menggantikannya. Beban mulai menggelayut dalam pikiran.

Sejak saat itu, 2016 menunjukan wajah aslinya. Ia tak lebih dari tahun yang teramat buruk untuk ditinggali. Memberikan begitu banyak duka dan kabar yang tidak pernah mengenakan.

Dua kawan baik mati tahun ini. Satu mati karena penyakit, satu karena kecelakaan. Tidak ada yang menyangka, tidak ada yang mengenakan.

Kemudian nenek menyusul pergi. Ia mati, setelah berjuang mempertahankan hidup yang ditopang alat bantu dari rumah sakit. Lebih seminggu masuk ruang rawat intensif, Ia menyerah. Ia dibaringkan satu lubang dengan makam kakek.

Lalu kampus ikut-ikutan menunjukan wajah yang sebenar-benarnya. Urusan nilai yang saya hadapi menjadi dipersulit. Upaya membangun hubungan baik dengan jurusan tidak mendapat tanggapan berarti. Muak dengan sikap seperti itu, saya ambil keputusan tidak mau mengurusi perkara ini lagi. Satu keputusan yang belum benar-benar siap saya hadapi, DO.

Kebahagiaan memang fana, duka yang abadi. Hubungan baik yang saya jalani dengan seseorang tidak bisa dilanjutkan. Saya menyerah, dengan segala kekurangan dan kesalahan saya setelahnya. Saya memutuskan pergi dari hidupnya yang penuh warna. Biar gelap saja yang tetap menemani saya.

Tahun ini, saya kehilangan kepercayaan terhadap dua teman sekaligus. Keduanya kawan karib. Dan karena kekecewaan atas beberapa hal, hilangnya kepercayaan membuat kami tak lagi karib. Kehilangan uang bukanlah yang utama, tapi kehilangan teman tentu membuat diri nelangsa.

Sebagai gantinya, kabar buruk menjadi sahabat akrab tahun ini. Ia datang tiada henti, tanpa pernah bilang permisi.

Seorang teman ditimpa masalah yang cukup pelik, dan saya tidak bisa membantu banyak. Kemudian seorang kawan yang lain, seorang yang amat baik dan banyak memberikan kepercayaan pada saya, dihadapkan pada fase hidup yang teramat berat. Dan kembali, saya tidak bisa melakukan apa-apa untuknya. Sebuah pilu yang kembali harus saya hadapi.

Memasuki akhir tahun, Banda Neira bubar. Bajingan, senang betul 2016 ini memberi duka. Tapi itu bukan yang terakhir, dan belum apa-apa.

Menjelang natal, hari baik yang harusnya dilewati dengan penuh bahagia, orang itu mengirim pesan. 
Saya tidak benar-benar siap menerima pesan itu. Sebuah gambar tangkapan layar yang membuat saya kembali dihantui perasaan. Sial, membuka diri dengan semua perasaan ternyatya bukanlah sesuatu yang sanggup saya terima. Mungkin jatuh cinta bukanlah sesuatu yang salah. Hanya saja saya mungkin tidak ditakdirkan untuk sanggup menghadapi perasaan itu.

Dan hari ini, hanya beberapa jam sebelum tahun buruk ini berganti, kabar yang amat menyesakkan datang. Seorang guru yang amat kami hormati mendapati dirinya harus berhadapan dengan penyakit mematikan. Tubuhnya harus digerogoti oleh kanker. Dan kabar ini teramat telak memukul kehidupan kami, saya beserta teman-teman yang menyayanginya.

Barangkali di jam-jam yang akan datang, sebelum tahun berganti, akan tiba lagi buruknya kabar buruk. Jika harus datang, semoga diri ini siap menghadapi. Toh hati saya sudah remuk tahun ini, dan mungkin jiwa saya sudah tidak bisa ditolong lagi.

Maka saya tidak ingin berharap apa-apa untuk tahun yang akan datang. Barangkali hidup yang biasa-biasa saja, datar-datar saja, asal tetap hidup, sudah cukup bagi saya. Selama itu tak buruk-buruk amat, mungkin saya masih bisa menerima. Toh hidup memang tak pernah baik-baik saja.

Hari itu benar hari yang berat. Usai terjebak macet sejak pagi demi memenuhi janji seorang teman di daerah Pasar Minggu, motor bebek saya mendadak ngadat. Rantai motornya bermasalah. Walhasil, sepanjang perjalanan, saya harus berkendara dengan perasaan was-was lantaran tak ada bengkel terdekat sekitar jalan yang saya lewati, takut tiba-tiba rantai putus di tengah jalan.

Bunyi ‘krak’ terus meneror. Saya baru ketemu bengkel di daerah Kalibata. Matahari sudah lewat di atas kepala. Waktu janjian juga sudah lewat. Perut lapar belum diisi sejak semalam. Benar-benar hari yang menguras kesabaran.

Beruntung, teman yang menunggu saya sedang tak buru-buru. Saya menuju rumahnya usai motor diperbaiki. Pertemuan kami memang tak lama, hanya membahas beberapa hal soal pekerjaan. Namun tetap saja melelahkan. Apalagi muaranya kalau bukan pada persoalan yang saya hadapi sejak pagi. Lapar telah memuncak sampai taraf yang tak bisa ditahan.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak lama usai obrolan kami, teman saya mengajak keluar untuk cari makan. Nasib baik mulai menghampiri. Teman saya yang satu ini memang yang terbaik untuk urusan makanan. Dia selalu tahu tempat-tempat makan enak di banyak kota, banyak daerah. Dan mendapat ajakan makan olehnya adalah hal terbaik untuk mengobati rasa lelah dan lapar yang sudah tak tertahan.

Mengendarai sepeda motor, kami melaju mencari makan. Bayangan makan enak dan kenyang terus bergelayut dalam kepala: masakan padang, soto, dll. Akan tetapi semua tebakan itu meleset. Saya diajaknya ke warung pempek. Iya, warung pempek.

Saya hanya melongo ketika melihat teman saya masuk dengan santainya ke warung pempek itu. Dengan tingkat kelaparan yang sedang brutal-brutalnya, dua sampai tiga porsi pempek, saya pikir tak bakal bisa meredam perut saya. Seenak apapun pempeknya, saya yakin perut saya enggak bakal bisa terpuaskan. Saya butuh nasi! Saya butuh makan enak.

Dengan lemas, saya mengikutinya masuk ke dalam. Waktu itu jam makan siang sudah lewat, tapi masih ada beberapa pengunjung yang datang ke warung itu. Sepertinya pempek di warung ini memang enak, tapi tetap saja saya mau yang lebih dari pempek.

“Kamu belum pernah coba pindang iga kan?”

“Belum, Mas”

“Nah, kamu harus coba makanan ini.”

Ternyata, di warung pempek ini, tersedia satu menu khas masyarakat Palembang. Pindang tulang iga. Saya baru mendengar nama makanan ini. Mungkin juga karena pengetahuan saya soal makanan tidak bagus-bagus amat.

Namanya Warung Pempek Pak Raden. Lokasinya di Jalan Raya Pasar Minggu. Ya, jalan ‘raya’ yang nggak ‘raya-raya’ amat, tapi macetnya benar-benar keterlaluan. Di warung ini, tersedia berbagai macam pempek. Mulai dari kapal selam, lenjer, adaan, pempek kulit, hingga tekwan tersedia di warung ini. Namun, dua menu spesial di warung ini justru bukan pempek, melainkan pindang tulang iga serta es kacang merah.

Ketika diberi daftar menu oleh pegawai warung, dengan tegas kawan saya memesan dua porsi pempek, dua porsi pindang tulang iga, dan dua gelas teh manis hangat. “Pindang iganya yang satu jangan pakai bawang goreng ya, Mas,” ujar saya yang memang tidak bisa makan makanan yang ada bawang gorengnya.

Hari ini kami bakal makan dengan tiga tahapan ala masyarakat Eropa. Makan dari appetizer, main course, hingga dessert. Dibuka dengan pempek, dilanjut menu utama pindang tulang iga, dan diakhiri dengan entah apa. Saya sih makan apa saja jadi, toh perut sudah meronta untuk diisi.

Tak berapa lama, dua porsi pempek sudah tersaji. Pempek Warung Pak Raden tidak langsung disajikan dengan kuah cukanya. Kita bisa mengambilnya sendiri karena di meja sudah tersedia satu botol kuah cuka beserta sambal. Setelah menuangkan kuah cuka dan sedikit sambal, kok ya pempeknya makin menggiurkan. Tanpa perlu berlama-lama, langsung saja kami menyantap sajian pembuka ini.

Bajingan, ternyata pempeknya betul enak. Gurih dan maknyus. Rasa ikannya benar terasa. Rasa kuah cukanya pas. Saya tidak bisa menjabarkan dengan jelas bagaimana rasanya, tapi yang pasti betul enak.

Belum habis pempek kami makan, menu utama telah tiba. Disajikan dalam sebuah panci besar, pindang tulang iga begitu menggoda untuk disantap. Sayang, nasi yang disajikan di piring sepertinya tidak cukup untuk menuntaskan dendam perut saya. Agaknya saya bakal minta nambah nasi setelah yang ini habis.

Sebagai penikmat makanan amatir, saya menyeruput kuah pindang terlebih dulu. Bah, segar betul. Rempahnya terasa. Rasa kuahnya agak mirip seperti rendang, tapi dalam sajian kuah cair yang melimpah. Pindang iga disajikan bersama beberapa sayuran seperti kol, tomat, serta dilengkapi potongan cabai iris besar. Betul-betul membuat air liur membanjiri mulut.

Selesai mencicip kuah, waktunya mencicip daging iga. Potongan daging beserta tulang yang disajikan di warung ini betul-betul memuaskan. Tiga potong daging ukuran besar, benar-benar menggoyahkan iman untuk memakannya sedikit demi sedikit. Empuk dan gurih, bumbu serta rempahnya benar-benar meresap ke dagingnya. Niatan makan dengan terhormat hanya menjadi wacana, yang ada hanyalah brutal. Dan lahap, tentu saja.

Begitu nasi di piring tandas, kok rasanya keinginan untuk nambah jadi hilang. Perut terasa penuh, kepala terasa enteng. Di panci masih ada sepotong iga. Memang makanan terbaik harus disiapkan untuk yang terakhir. Save the best for the last. Rasa lapar sudah hilang, yang ada hanya kepuasan. Benar-benar nikmat. Benar-benar puas.

Setelah dua santapan tandas, sajian terakhir siap kami nikmati. Sepertinya Anda sudah bisa menebak sajian terakhir yang bakal kami nikmati. Bukan es kacang merah, tapi sebatang kretek. Ya, sebatang kretek adalah pelengkap nikmat makan kali ini.

Sebelum pulang, tak lupa kami membayar apa yang kami makan. Seporsi pempek kapal selam dihargai Rp20 ribu, sedang seporsi pindang tulang iga dihargai Rp35 ribu. Oh iya, tak lupa kami membayar tambahan seporsi pempek kulit hasil nambah kawan saya yang dihargai Rp7 ribu. Harga yang sepadan buat nikmat yang kami dapat dari apa yang kami santap.


Kini, saya sudah siap pulang. Dengan nikmat yang masih begitu kentara di mulut, saya merasa amat siap untuk menghadapi jalan Jakarta yang bajingan itu. Iya, menghadapi macet sepanjang jalan sedari Pasar Minggu menuju rumah saya di Tangerang.

Sejak kali pertama Portugis datang ke wilayah Nusantara pada awal abad ke-16, mereka telah mencium satu komoditas yang nantinya bakal menjadi alasan bangsa asing menjajah negara kita. Ya, rempah bernama cengkeh. Rempah yang tidak tumbuh di Eropa ini digunakan untuk mengawetkan makanan.

Sebagai salah satu tanaman endemik Indonesia, cengkeh diperjualbelikan dengan harga yang tinggi di Eropa. Pada saat itu, harga satu kilogram cengkeh sama dengan harga 7 gram emas. Oleh karena itu, negara-negara Eropa datang ke Nusantara untuk menguasai cengkeh.

Tapi, itu cerita masa lalu. Setelah negara Barat menemukan mesin pendingin bernama lemari es, pengawetan makanan tak lagi menjadi urusan cengkeh. Pasar cengkeh di Eropa pun berkurang dan harganya jatuh. Pemanfaatan cengkeh sebagai bumbu makanan dan bahan lainnya jelas tidak sebesar pemanfaatannya sebagai pengawet makanan.

Beruntung, penggunaan cengkeh sebagai salah satu bahan baku utama kretek membuat harganya terdongkrak lagi. Kebutuhan industri kretek, yang dimulai perusahan rokok Tjap Bal Tiga, membuat produksi cengkeh kembali naik. Masyarakat yang tadinya merugi karena kurang lakunya cengkeh kini kembali menjadikannya primadona mata pencaharian masyarakat.

Upaya budi daya cengkeh kemudian tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Jika dulunya tanaman ini banyak ditanam di wilayah kepulauan Maluku, kini cengkeh tersebar dari Kalimantan, Jawa, hingga Sumatra. Berkembangnya industri kretek pada periode 1950-an membuat harga cengkeh melangit.

Sayang, tingginya harga cengkeh saat itu menggoda rezim Orde Baru untuk memonopoli perdagangan cengkeh dalam negeri melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang sangat merugikan petani. Di bawah naungan lembaga itu, harga cengkeh di tingkat petani hanya dihargai Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilonya. Dampaknya, ratusan ribu pohon cengkeh ditebang atau dibiarkan telantar tak terurus.

Sesudah reformasi, keberadaan BPPC ditiadakan. Perlahan tapi pasti, harga cengkeh merangkak naik seiring bertambahnya tahun. Puncaknya, harga cengkeh mencapai angka Rp200.000 per kilo pada 2012. Tingginya harga jual dan kecenderungan harganya yang stabil membuat cengkeh menjadi salah satu komoditas primadona di Indonesia. Terpenting, para petani cengkeh kembali menikmati kehidupan yang baik.

Ibarat kata, hidup yang selalu berputar seperti roda, terkadang berada di atas kadang ada di bawah. Begitu pun nasib cengkeh. Pasang dan surutnya pertanian cengkeh terus berlanjut. Ketika harga cengkeh sedang bagus-bagusnya, petani ketiban masalah karena hoax kenaikan harga yang mencapai Rp50.000 per bungkus.

Ketika itu, harga cengkeh merosot tajam karena kepanikan pasar. Bahkan harga cengkeh anjlok hingga angka Rp65.000 per kilo. Padahal, harga terendah sebelumnya masih mencapai angka Rp80.000 hingga Rp90.000 per kilo.

Melihat persoalan di atas, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah begitu mempengaruhi pasang surutnya harga cengkeh. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan wacana liar soal rokok Rp50.000 perbungkus menjadi satu bukti betapa berpengaruhnya kebijakan politik dalam perdagangan cengkeh.

Setelah isu itu tak terbukti, harga cengkeh hari ini mulai stabil dan kembali ke harga normal di angka Rp120.000 per kilo. Petani kembali menaruh harapan yang tinggi terhadap tanaman ini. Namun, patut diingat, naikturunnya harga cengkeh amat dipengaruhi kebijakan pemerintah. Apalagi kebijakan pemerintah terkait industri kretek banyak merugikan. Padahal industri kretek merupakan satu industri yang menyerap lebih dari 95% produksi cengkeh nasional.


Ada baiknya pemerintah mulai memperhatikan hal ini. Apalagi pemasukan pemerintah dari sektor cukai salah satunya didukung oleh komoditas ini. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap cengkeh tentu bakal mempengaruhi pendapatan mereka karena selama ini, bagi banyak petani cengkeh, keberadaan industri kretek lebih memberikan pengaruh baik pada penghidupan mereka ketimbang keberadaan negara yang banyak merugikan.