Hari itu benar hari yang berat. Usai terjebak macet sejak
pagi demi memenuhi janji seorang teman di daerah Pasar Minggu, motor bebek saya
mendadak ngadat. Rantai motornya bermasalah. Walhasil, sepanjang perjalanan,
saya harus berkendara dengan perasaan was-was lantaran tak ada bengkel terdekat
sekitar jalan yang saya lewati, takut tiba-tiba rantai putus di tengah jalan.
Bunyi ‘krak’ terus meneror. Saya baru ketemu bengkel di
daerah Kalibata. Matahari sudah lewat di atas kepala. Waktu janjian juga sudah
lewat. Perut lapar belum diisi sejak semalam. Benar-benar hari yang menguras
kesabaran.
Beruntung, teman yang menunggu saya sedang tak buru-buru.
Saya menuju rumahnya usai motor diperbaiki. Pertemuan kami memang tak lama,
hanya membahas beberapa hal soal pekerjaan. Namun tetap saja melelahkan.
Apalagi muaranya kalau bukan pada persoalan yang saya hadapi sejak pagi. Lapar
telah memuncak sampai taraf yang tak bisa ditahan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak lama usai obrolan kami,
teman saya mengajak keluar untuk cari makan. Nasib baik mulai menghampiri.
Teman saya yang satu ini memang yang terbaik untuk urusan makanan. Dia selalu
tahu tempat-tempat makan enak di banyak kota, banyak daerah. Dan mendapat
ajakan makan olehnya adalah hal terbaik untuk mengobati rasa lelah dan lapar
yang sudah tak tertahan.
Mengendarai sepeda motor, kami melaju mencari makan.
Bayangan makan enak dan kenyang terus bergelayut dalam kepala: masakan padang,
soto, dll. Akan tetapi semua tebakan itu meleset. Saya diajaknya ke warung
pempek. Iya, warung pempek.
Saya hanya melongo ketika melihat teman saya masuk dengan
santainya ke warung pempek itu. Dengan tingkat kelaparan yang sedang
brutal-brutalnya, dua sampai tiga porsi pempek, saya pikir tak bakal bisa
meredam perut saya. Seenak apapun pempeknya, saya yakin perut saya enggak bakal
bisa terpuaskan. Saya butuh nasi! Saya butuh makan enak.
Dengan lemas, saya mengikutinya masuk ke dalam. Waktu itu
jam makan siang sudah lewat, tapi masih ada beberapa pengunjung yang datang ke
warung itu. Sepertinya pempek di warung ini memang enak, tapi tetap saja saya
mau yang lebih dari pempek.
“Kamu belum pernah coba pindang iga kan?”
“Belum, Mas”
“Nah, kamu harus coba makanan ini.”
Ternyata, di warung pempek ini, tersedia satu menu khas
masyarakat Palembang. Pindang tulang iga. Saya baru mendengar nama makanan ini.
Mungkin juga karena pengetahuan saya soal makanan tidak bagus-bagus amat.
Namanya Warung Pempek Pak Raden. Lokasinya di Jalan Raya
Pasar Minggu. Ya, jalan ‘raya’ yang nggak ‘raya-raya’ amat, tapi macetnya
benar-benar keterlaluan. Di warung ini, tersedia berbagai macam pempek. Mulai dari
kapal selam, lenjer, adaan, pempek kulit, hingga tekwan tersedia di warung ini.
Namun, dua menu spesial di warung ini justru bukan pempek, melainkan pindang
tulang iga serta es kacang merah.
Ketika diberi daftar menu oleh pegawai warung, dengan tegas kawan
saya memesan dua porsi pempek, dua porsi pindang tulang iga, dan dua gelas teh
manis hangat. “Pindang iganya yang satu jangan pakai bawang goreng ya, Mas,”
ujar saya yang memang tidak bisa makan makanan yang ada bawang gorengnya.
Hari ini kami bakal makan dengan tiga tahapan ala masyarakat
Eropa. Makan dari appetizer, main course, hingga dessert. Dibuka dengan pempek,
dilanjut menu utama pindang tulang iga, dan diakhiri dengan entah apa. Saya sih
makan apa saja jadi, toh perut sudah meronta untuk diisi.
Tak berapa lama, dua porsi pempek sudah tersaji. Pempek
Warung Pak Raden tidak langsung disajikan dengan kuah cukanya. Kita bisa
mengambilnya sendiri karena di meja sudah tersedia satu botol kuah cuka beserta
sambal. Setelah menuangkan kuah cuka dan sedikit sambal, kok ya pempeknya makin
menggiurkan. Tanpa perlu berlama-lama, langsung saja kami menyantap sajian
pembuka ini.
Bajingan, ternyata pempeknya betul enak. Gurih dan maknyus.
Rasa ikannya benar terasa. Rasa kuah cukanya pas. Saya tidak bisa menjabarkan
dengan jelas bagaimana rasanya, tapi yang pasti betul enak.
Belum habis pempek kami makan, menu utama telah tiba.
Disajikan dalam sebuah panci besar, pindang tulang iga begitu menggoda untuk
disantap. Sayang, nasi yang disajikan di piring sepertinya tidak cukup untuk
menuntaskan dendam perut saya. Agaknya saya bakal minta nambah nasi setelah
yang ini habis.
Sebagai penikmat makanan amatir, saya menyeruput kuah
pindang terlebih dulu. Bah, segar betul. Rempahnya terasa. Rasa kuahnya agak
mirip seperti rendang, tapi dalam sajian kuah cair yang melimpah. Pindang iga
disajikan bersama beberapa sayuran seperti kol, tomat, serta dilengkapi
potongan cabai iris besar. Betul-betul membuat air liur membanjiri mulut.
Selesai mencicip kuah, waktunya mencicip daging iga.
Potongan daging beserta tulang yang disajikan di warung ini betul-betul
memuaskan. Tiga potong daging ukuran besar, benar-benar menggoyahkan iman untuk
memakannya sedikit demi sedikit. Empuk dan gurih, bumbu serta rempahnya
benar-benar meresap ke dagingnya. Niatan makan dengan terhormat hanya menjadi
wacana, yang ada hanyalah brutal. Dan lahap, tentu saja.
Begitu nasi di piring tandas, kok rasanya keinginan untuk
nambah jadi hilang. Perut terasa penuh, kepala terasa enteng. Di panci masih
ada sepotong iga. Memang makanan terbaik harus disiapkan untuk yang terakhir. Save the best for the last. Rasa lapar
sudah hilang, yang ada hanya kepuasan. Benar-benar nikmat. Benar-benar puas.
Setelah dua santapan tandas, sajian terakhir siap kami
nikmati. Sepertinya Anda sudah bisa menebak sajian terakhir yang bakal kami
nikmati. Bukan es kacang merah, tapi sebatang kretek. Ya, sebatang kretek
adalah pelengkap nikmat makan kali ini.
Sebelum pulang, tak lupa kami membayar apa yang kami makan.
Seporsi pempek kapal selam dihargai Rp20 ribu, sedang seporsi pindang tulang
iga dihargai Rp35 ribu. Oh iya, tak lupa kami membayar tambahan seporsi pempek
kulit hasil nambah kawan saya yang dihargai Rp7 ribu. Harga yang sepadan buat
nikmat yang kami dapat dari apa yang kami santap.
Kini, saya sudah siap pulang. Dengan nikmat yang masih
begitu kentara di mulut, saya merasa amat siap untuk menghadapi jalan Jakarta
yang bajingan itu. Iya, menghadapi macet sepanjang jalan sedari Pasar Minggu
menuju rumah saya di Tangerang.
0 komentar:
Posting Komentar