Aditia Purnomo

Menyantap Pindang Tulang Iga di Warung Pempek

Leave a Comment

Hari itu benar hari yang berat. Usai terjebak macet sejak pagi demi memenuhi janji seorang teman di daerah Pasar Minggu, motor bebek saya mendadak ngadat. Rantai motornya bermasalah. Walhasil, sepanjang perjalanan, saya harus berkendara dengan perasaan was-was lantaran tak ada bengkel terdekat sekitar jalan yang saya lewati, takut tiba-tiba rantai putus di tengah jalan.

Bunyi ‘krak’ terus meneror. Saya baru ketemu bengkel di daerah Kalibata. Matahari sudah lewat di atas kepala. Waktu janjian juga sudah lewat. Perut lapar belum diisi sejak semalam. Benar-benar hari yang menguras kesabaran.

Beruntung, teman yang menunggu saya sedang tak buru-buru. Saya menuju rumahnya usai motor diperbaiki. Pertemuan kami memang tak lama, hanya membahas beberapa hal soal pekerjaan. Namun tetap saja melelahkan. Apalagi muaranya kalau bukan pada persoalan yang saya hadapi sejak pagi. Lapar telah memuncak sampai taraf yang tak bisa ditahan.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak lama usai obrolan kami, teman saya mengajak keluar untuk cari makan. Nasib baik mulai menghampiri. Teman saya yang satu ini memang yang terbaik untuk urusan makanan. Dia selalu tahu tempat-tempat makan enak di banyak kota, banyak daerah. Dan mendapat ajakan makan olehnya adalah hal terbaik untuk mengobati rasa lelah dan lapar yang sudah tak tertahan.

Mengendarai sepeda motor, kami melaju mencari makan. Bayangan makan enak dan kenyang terus bergelayut dalam kepala: masakan padang, soto, dll. Akan tetapi semua tebakan itu meleset. Saya diajaknya ke warung pempek. Iya, warung pempek.

Saya hanya melongo ketika melihat teman saya masuk dengan santainya ke warung pempek itu. Dengan tingkat kelaparan yang sedang brutal-brutalnya, dua sampai tiga porsi pempek, saya pikir tak bakal bisa meredam perut saya. Seenak apapun pempeknya, saya yakin perut saya enggak bakal bisa terpuaskan. Saya butuh nasi! Saya butuh makan enak.

Dengan lemas, saya mengikutinya masuk ke dalam. Waktu itu jam makan siang sudah lewat, tapi masih ada beberapa pengunjung yang datang ke warung itu. Sepertinya pempek di warung ini memang enak, tapi tetap saja saya mau yang lebih dari pempek.

“Kamu belum pernah coba pindang iga kan?”

“Belum, Mas”

“Nah, kamu harus coba makanan ini.”

Ternyata, di warung pempek ini, tersedia satu menu khas masyarakat Palembang. Pindang tulang iga. Saya baru mendengar nama makanan ini. Mungkin juga karena pengetahuan saya soal makanan tidak bagus-bagus amat.

Namanya Warung Pempek Pak Raden. Lokasinya di Jalan Raya Pasar Minggu. Ya, jalan ‘raya’ yang nggak ‘raya-raya’ amat, tapi macetnya benar-benar keterlaluan. Di warung ini, tersedia berbagai macam pempek. Mulai dari kapal selam, lenjer, adaan, pempek kulit, hingga tekwan tersedia di warung ini. Namun, dua menu spesial di warung ini justru bukan pempek, melainkan pindang tulang iga serta es kacang merah.

Ketika diberi daftar menu oleh pegawai warung, dengan tegas kawan saya memesan dua porsi pempek, dua porsi pindang tulang iga, dan dua gelas teh manis hangat. “Pindang iganya yang satu jangan pakai bawang goreng ya, Mas,” ujar saya yang memang tidak bisa makan makanan yang ada bawang gorengnya.

Hari ini kami bakal makan dengan tiga tahapan ala masyarakat Eropa. Makan dari appetizer, main course, hingga dessert. Dibuka dengan pempek, dilanjut menu utama pindang tulang iga, dan diakhiri dengan entah apa. Saya sih makan apa saja jadi, toh perut sudah meronta untuk diisi.

Tak berapa lama, dua porsi pempek sudah tersaji. Pempek Warung Pak Raden tidak langsung disajikan dengan kuah cukanya. Kita bisa mengambilnya sendiri karena di meja sudah tersedia satu botol kuah cuka beserta sambal. Setelah menuangkan kuah cuka dan sedikit sambal, kok ya pempeknya makin menggiurkan. Tanpa perlu berlama-lama, langsung saja kami menyantap sajian pembuka ini.

Bajingan, ternyata pempeknya betul enak. Gurih dan maknyus. Rasa ikannya benar terasa. Rasa kuah cukanya pas. Saya tidak bisa menjabarkan dengan jelas bagaimana rasanya, tapi yang pasti betul enak.

Belum habis pempek kami makan, menu utama telah tiba. Disajikan dalam sebuah panci besar, pindang tulang iga begitu menggoda untuk disantap. Sayang, nasi yang disajikan di piring sepertinya tidak cukup untuk menuntaskan dendam perut saya. Agaknya saya bakal minta nambah nasi setelah yang ini habis.

Sebagai penikmat makanan amatir, saya menyeruput kuah pindang terlebih dulu. Bah, segar betul. Rempahnya terasa. Rasa kuahnya agak mirip seperti rendang, tapi dalam sajian kuah cair yang melimpah. Pindang iga disajikan bersama beberapa sayuran seperti kol, tomat, serta dilengkapi potongan cabai iris besar. Betul-betul membuat air liur membanjiri mulut.

Selesai mencicip kuah, waktunya mencicip daging iga. Potongan daging beserta tulang yang disajikan di warung ini betul-betul memuaskan. Tiga potong daging ukuran besar, benar-benar menggoyahkan iman untuk memakannya sedikit demi sedikit. Empuk dan gurih, bumbu serta rempahnya benar-benar meresap ke dagingnya. Niatan makan dengan terhormat hanya menjadi wacana, yang ada hanyalah brutal. Dan lahap, tentu saja.

Begitu nasi di piring tandas, kok rasanya keinginan untuk nambah jadi hilang. Perut terasa penuh, kepala terasa enteng. Di panci masih ada sepotong iga. Memang makanan terbaik harus disiapkan untuk yang terakhir. Save the best for the last. Rasa lapar sudah hilang, yang ada hanya kepuasan. Benar-benar nikmat. Benar-benar puas.

Setelah dua santapan tandas, sajian terakhir siap kami nikmati. Sepertinya Anda sudah bisa menebak sajian terakhir yang bakal kami nikmati. Bukan es kacang merah, tapi sebatang kretek. Ya, sebatang kretek adalah pelengkap nikmat makan kali ini.

Sebelum pulang, tak lupa kami membayar apa yang kami makan. Seporsi pempek kapal selam dihargai Rp20 ribu, sedang seporsi pindang tulang iga dihargai Rp35 ribu. Oh iya, tak lupa kami membayar tambahan seporsi pempek kulit hasil nambah kawan saya yang dihargai Rp7 ribu. Harga yang sepadan buat nikmat yang kami dapat dari apa yang kami santap.


Kini, saya sudah siap pulang. Dengan nikmat yang masih begitu kentara di mulut, saya merasa amat siap untuk menghadapi jalan Jakarta yang bajingan itu. Iya, menghadapi macet sepanjang jalan sedari Pasar Minggu menuju rumah saya di Tangerang.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar