Aditia Purnomo

Menyangrai Kopi di Ladang

Leave a Comment
Munduk adalah surga bagi pecinta kopi. Setidaknya seperti itulah perkataan kepala suku ketika kami datang ke Munduk. Desa yang diberkahi karena berada di ketinggian antara 650-1300 mdpl, kawasan yang cocok untuk ditanami kopi baik arabika maupun robusta.
Sebelum kami datang ke Munduk, kepala suku telah terlebih dulu datang ke tempat ini dan menyaksikan sendiri betapa kopi-kopi yang ditanam di sini memiliki kualitas yang baik. Baik itu jenis robusta maupun arabika. Setidaknya itu cerita kepala suku yang belum bisa saya buktikan. Lah, yang sudah keliling desa dan cari kopi pan beliau bukan saya. Karenanya butuh pembuktian lanjut nan saksama untuk klaimnya atas kopi Munduk.
Guna memastikan, kepala suku telah memanen sendiri kopi arabika di kawasan Tamblingan dan mengawasi proses pascapanennya. Oh, iya, kopi Arabika Blue Tamblingan ini kami proses dengan memilih metode natural process. Setelah melalui metode natural proses untuk mendapatkan biji beras (green bean) tiba giliran kami melakukan sortasi untuk mendapatkan biji terbaik. Proses sortasi disupervisi langsung oleh kepala suku.
Memilah biji-biji kopi untuk mendapatkan yang terbaik ternyata susah-susah mudah. Kadang Anda bakal menemukan biji-biji yang meragukan kualitasnya. Apalagi biji yang kami sortir didapat dari hasil natural proses yang masih lumayan banyak meninggalkan kulit ari kopi. Untungnya, kebanyakan biji yang kami pilah sudah berada dalam kualitas baik hingga tak memakan waktu lama untuk mendapatkan 1 kg green bean siap sangrai.
Sayang, biji tak bisa langsung kami sangrai karena kesibukan tim melakukan kerja lapangan. Maklum, kami datang tidak cuma untuk mempelajari komoditas kopi, tapi juga cengkeh yang tengah mengalami musim sulit tahun ini. Kebanyakan petani cengkeh yang kami temui mengalami gagal panen. Rerata, jumlahnya berada di bawah 10% produktivitas pohon.
Untuk mendalami persoalan cengkeh itulah kami harus menunda waktu untuk menyangrai kopi. Apalagi kebanyakan warga desa adalah petani cengkeh, dan mereka mengandalkan penghidupannya dari komoditas itu.
Barulah ketika waktu kami agak senggang, dan Bli Komang Armada selaku pemilik mesin sangrai juga lowong, kami berangkat untuk menyangrai sekitar 3 kg biji kopi yang telah kami sortasi.
Mesin sangrai milik Bli Komang
Mesin sangrai milik Bli Komang | © Aditia Purnomo
Bli Komang Armada adalah salah satu petani Munduk yang mulai serius menggarap pascapanen komoditasnya. Jika dulu, Ia cuma menjual biji beras ke pengepul, kini Ia mulai mendalami bisnis biji sangrai dan bubuk untuk langsung dijual ke pasar. Dan kami mau menumpang untuk menyangrai kopi di ladang dekat penginapan yang Ia miliki.
Taman Puri, penginapan miliknya, memiliki konsep menjadikan ladang sebagai salah satu lanskap wisata yang ditawarkan pada siapa saja yang berkunjung ke sini. Di sekitar ladang, Anda bisa mendapati spot terbaik untuk melihat matahari terbenam menyinari laut Bali Utara. Sungguh tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama, ehem, kekasih (itu pun kalau punya). Dan sore itu, jelang matahari terbenam, kami mendatangi semacam kedai tempat mesin sangrai berada yang kebetulan ada di sekitar ladang tersebut. Jadi sembari menikmati senja yang indah, kami juga bisa menuntaskan agenda kami yang tertunda cukup lama; membuktikan klaim kepala suku soal kopi Munduk.
Kepala suku begitu semangat dalam agenda menyangrai kali ini. Ia sudah lama menantikan saat untuk membuktikan kualitas kopi pilihannya. Dengan segera Ia membagi green beanyang kami bawa dalam tiga plastik ukuran satu kilogramnya. Kami akan menyangrai kopi ini dalam tiga sesi dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda.
Pada sesi pertama, kami mencoba menyangrai biji kopi dalam waktu 12 menit 30 detik dan resting 30 detik. Resting, yang saya maksud di sini adalah waktu untuk mengistirahatkan biji di mesin sangrai dalam kondisi api yang telah dimatikan. Jadi setelah dimasak, biji kopi ditiriskan terlebih dahulu. Sayang, sesi pertama berjalan terlalu kelamaan hingga keinginan awal menyangrai medium malah mendapat hasil medium to dark.
Oh iya, dalam proses sangrai ada beberapa metode yang terbagi sesuai dengan tingkat kematangan. Seperti ketika memanggang steak, Anda bisa memilih tingkat kematangannya. Begitu pun dengan kopi. Semakin rendah tingkat kematangannya, semakin tinggi sensasi asam dari kopi yang keluar. Tentu saja jika Anda menyangrai kopi jenis arabika.
Dari pengalaman sesi pertama, kepala suku memutuskan sesi kedua sangrai hanya di kisaran waktu 9 menit resting 30 detik. Keputusan yang menghasilkan biji sangrai dengan tipe medium. Saya kemudian diminta kepala suku untuk mengunyah biji tersebut, mencoba merasakan hasil sangrai yang ini. Rasanya, nanti saja saya ceritakannya. Saya mau menyelesaikan cerita sangrainya dulu.
Kepala suku menimbang biji kopi yang akan disangrai
Kepala suku menimbang biji kopi yang akan disangrai | © Aditia Purnomo
Bli Komang menanti proses sangrai selesai
Bli Komang menanti proses sangrai selesai | © Aditia Purnomo
Selama proses sangrai, aroma kopi menyembul keluar dari saluran pembuangan asap. Menghirup aroma kopi yang tengah disangrai adalah hal yang menenangkan. Beberapa bule yang hendak menyaksikan matahari terbenam datang menghampiri kami. Sembari bertanya satu dua hal, mereka ikut menikmati aroma kopi yang tengah kami sangrai.
Hari semakin sore, matahari mulai terbenam. Kami perlu segera menyelesaikan agenda menyangrai kami.
Pada sesi terakhir, kami mencoba mendapatkan biji sangrai dengan tipe light dan menentukan waktu sangrai cuma 8 menit 30 detik dan resting 30 detik. Setelah dikeluarkan dari mesin sangrai, terlihat biji kopi berwarna agak terang dan tak terlihat seperti biji sangrai yang biasa saya lihat. Tapi itulah kopi sangrai tipe light, tidak terlalu matang dan masih menyimpan cita rasa yang khas dari kopinya.
Kepala suku kemudian menjelaskan, biasanya kedai-kedai kopi jarang menggunakan biji sangrai tipe light karena cita rasanya yang tidak biasa di lidah masyarakat Indonesia. Jika dulu Anda pernah mendengar slogan: kopiku kental kretekku mantap, cita rasa ringan yang akan keluar dari biji tipe ini.
Pada setiap tipe sangrai yang kami peroleh, kami mencoba merasakan cita rasa dengan memakan biji kopinya. Dari setiap tipe yang kami cicip, cita rasa berbeda tentu saja melanda mulut kami. Dari tipe sangrai light yang masih terasa keasamannya hingga medium to dark yang pekat khas lidah orang Indonesia.
Sebenarnya proses sangrai sudah bisa diselesaikan ketika bunyi first crack terdengar. First crack sendiri adalah kondisi saat biji kopi yang disangrai mengalami pecah karena tekanan pembakaran terhadap uap air yang ada di biji kopi. Kalau dianalogikan secara sederhana, seperti ketika kita mendengar bunyi letupan saat memasak popcorn.
Setelah proses sangrai selesai, matahari menampakkan kecantikannya di ufuk barat sana. Saya menyaksikan banyak bule yang duduk bersama keluarga (atau pasangannya) menikmati momen terbenamnya matahari dari ladang tempat kami berada. Kayaknya asyik deh kalau punya pacar terus dibawa kemari. Romantis gimana gitu. Uh.
Pemandangan ladang dari tempat kami menyangrai
Pemandangan ladang dari tempat kami menyangrai | © Aditia Purnomo
Namun dalam keadaan yang menggebu, kepala suku langsung mengajak kami kembali ke penginapan untuk menikmati hasil sangraian kami. Untuk membuktikan klaimnya kalau Arabika Blue Tamblingan adalah kopi dengan kualitas yang amat bagus. Bergegaslah kami pergi tanpa banyak menikmati keindahan tempat ini.
Sesampainya di Don Biyu, kami meminjam mesin penggiling kopi milik Bli Putu Ardana. Kebetulan salah satu kawan membawa alat seduh kopi dalam ekspedisi ini. Jadilah agenda mencicip kopi ini semacam kelas cupping paling dasar untuk pemula.
Setiap jenis sangraian kami seduh manual dengan dua metode: tubruk dan V60. Hasil sangrai medium to dark terasa pekat di lidah, rasa asam yang tidak banyak keluar. Lalu, hasil sangrai medium, rasa asam yang khas muncul. Muncul rasa fruity yang lebih segar, hadir menemani rasa asam membuatnya menjadi aduhai di lidah saya.
Dan yang terakhir, tentu saja tipe sangrai light yang telah saya nanti, hehe. Berdasar penjelasan kepala suku terkait cita rasa yang dipengaruhi tingkat kematangan, saya amat menantikan jenis sangrai ini. Maklum, jarang-jarang bisa mencicip kopi enak yang keaslian rasanya tidak hilang dibawa kematangan.
Begitu satu sendok saya sesap, bajingan. Rasa asam dan fruitynya jauh lebih terasa ketimbang medium. Segar sekali, tidak ada rasa pekat alias pahit yang tertinggal di aftertastenya. Sweetnessnya pas dan aciditynya, nendang! Sangat cocok untuk penikmat arabika seperti saya.
Akhirnya kepala suku berhasil membuktikan kepada kami kesaktian rasa dari arabika Tamblingan pilihannya. Kini, buah kopi yang Ia petik, Ia kawal pascapanennya, Ia sortasi dan sangrai sendiri telah memberikan kepuasan kepada kami yang masih belajar tentang nilai dari salah satu komoditas yang menghidupi para petani Munduk.
Pertama terbit di situs Minum Kopi
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar