Aditia Purnomo



Semua sudah kupersiapkan. Tempat, waktu, mental, dan kehadiranmu. Ya, kita telah membuat janji untuk bertemu di mushola di depan koperasi. Tentu ini bukan pertemuan untuk solat berjamaah, atau untuk mengikuti mentoring dengan anak rohis. Ini janji bertemu berdua, antara kamu dan aku.

Ya, dalam pertemuan ini aku berencana untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat penting. Ini adalah tentang perasaan seorang laki-laki terhadap perempuan. Sesuatu yang membuatku mempersiapkan mentalku sedemikian rupa hanya untuk bicara padamu. Ya, aku akan mengatakan cinta kepadamu.



Permintaan maaf hanyalah sebuah pengakuan dosa. Dan pengakuan dosa pada akhirnya hanyalah sebuah permohonan ampunan. Maka ketika muncul isu jika negara hendak meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM, banyak orang bereaksi.

Sebut saja pergulatan yang dialami oleh Franz Magnis Suseno. Ketika ia mendengar isu tadi, ia langsung menyampaikan dukungannya di sebuah harian besar Indonesia. Ia meminta Presiden meminta maaf kepada korban 65.

Beberapa hari berselang, muncul Sulastomo, mantan ketua PB HMI yang menolak isu tersebut. Ia menuntut. Jika ada permintaan maaf kepada para korban 65, lantas, siapa yang harus minta maaf atas apa yang diperbuat PKI?



Jangan bahas masa depan bersamaku. Bagiku masa depan selalu pahit. Karena itu biarlah ia datang tanpa dipersiapkan. Kamu pun memutuskan untuk memilih masa depanmu sendiri, tidak kamu bicarakan denganku. Maka, biarlah aku sendiri yang memutuskan bagaimana hidupku nanti. Jadi tak perlu bahas masa depan bersamaku.

Kamu selalu meributkan masa depan, seakan ia tak akan datang bila tak dipersiapkan. Kamu selalu berharap yang indah dalam mimpimu itu. Memang tak salah kamu berharap yang seperti itu. Kamu adalah wanita baik dengan harapan yang baik. Tapi kamu pun tahu, aku menjalani hidup dengan cita-cita yang begitu tinggi. Aku terdidik dalam kerasnya kehidupan politik.