Aditia Purnomo

Masa Depan

Leave a Comment


Jangan bahas masa depan bersamaku. Bagiku masa depan selalu pahit. Karena itu biarlah ia datang tanpa dipersiapkan. Kamu pun memutuskan untuk memilih masa depanmu sendiri, tidak kamu bicarakan denganku. Maka, biarlah aku sendiri yang memutuskan bagaimana hidupku nanti. Jadi tak perlu bahas masa depan bersamaku.

Kamu selalu meributkan masa depan, seakan ia tak akan datang bila tak dipersiapkan. Kamu selalu berharap yang indah dalam mimpimu itu. Memang tak salah kamu berharap yang seperti itu. Kamu adalah wanita baik dengan harapan yang baik. Tapi kamu pun tahu, aku menjalani hidup dengan cita-cita yang begitu tinggi. Aku terdidik dalam kerasnya kehidupan politik.
Kita kenal sejak awal masuk kuliah. Kamu dan aku duduk di kelas yang sama. Kamu telah mempersiapkan masa depanmu sejak awal kuliah. Mengikuti mata kuliah dengan baik, aktif, dan disiplin. Kamu yang mendapatkan IP 4 di semester satu adalah dambaan setiap lelaki di fakultas.

Namun bagiku, masa depan itu sederhana. Seperti anak muda yang baru lulus SMA, membuat band dan menjadi terkenal menjadi cita-cita. Pergumulan budaya kota membuatku tak tertarik pada dunia akademis. Aku ingin menjadi orang yang bebas.

***

Ketika itu kita hampir tak pernah berbicara. Lebih tepatnya kita tak pernah mengobrol. Wajar saja, ketika itu kamu adalah mahasiswa paling rajin sedang aku kebalikannya. Hampir tak pernah kita berkomunikasi kecuali ketika kamu mencoba menghubungiku saat dosen-dosen mempermasalahkan absenku. Ya, begitulah awal kehidupan kita di kampus. Awal persiapan kita menyongsong masa depan.

Saat itu kamu tak mengenalku. Lebih tepatnya belum mengenalku. Ya, memang di kelas aku hanya berhubungan dengan 4 orang. Mereka adalah orang-orang yang pertama ku kenal ketika masuk kelas. Yang pertama adalah teman sependeritaanku. Ia adalah teman yang paling sering telat dan tak hadir, tentu saja dia yang kedua setelahku. Dan dia adalah teman ngopi bareng ketika diusir dosen karena terlambat hadir. Kami cocok dalam hal ini.  Kemudian ada teman yang kebetulan menyukai klub sepakbola yang sama denganku. Kami sama-sama mengidolai Liverpool. Ya, untuk urusan itu saja kami cukup dekat. 

Lalu yang satu adalah mantanku. Kami jadian dua minggu setelah masuk kuliah. Orangnya baik, supel, dan nafsunya besar. Dia juga primadona di fakultas, dan aku menjadi yang pertama setelah masuk kuliah. Sayangnya hubungan kami hanya bertahan tiga minggu. Dia tak siap dengan orang yang tak punya waktu sepertiku. Dan kami putus dengan baik. Lalu orang yang terakhir adalah kamu, orang yang tak pernah bosan menghubungiku.

Dua minggu pertama kuliah, penyakit akademikku hanyalah telat masuk kuliah. Pagi dan jarak selalu menjadi alasanku kepada dosen. Dua minggu penuh keterlambatan pada jam pertama. Dosen bosan, kamu biasa saja, aku pun begitu. Setelahnya, aku benar-benar tak hadir dalam perkuliahan selama semester pertama.

Dalam masa-masa itu, aku terlibat dalam kegiatan politik setelah mengikuti pendidikan sebuah organisasi. Terjun dalam advokasi, turun ke jalan untuk demonstrasi, mengacaukan seminar-seminar proyek di kampus, sampai dikejar-kejar kepolisian karena membakar mobil polisi pernah kulakukan. Dan dalam masa-masa itu, kamu hadir dalam pesan-pesan singkat yang mempertanyakan keberadaanku.

Kelelahan bukan hanya menghajar fisik, tapi juga mentalku. Berulangkali diteror, diancam, bahkan dikejar-kejar aparat membuatku lelah. Tapi lelah ini tak berarti membuatku menyerah. Ini adalah resiko politik, konsekuensi sepadan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan, begitu pikirku. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang kurang dalam diriku.

Saat itulah kamu tiba-tiba menghantuiku karena pesan yang amat singkat. “Kamu berubah,” begitu pesannya. Lantas saja aku bertanya, apa yang berubah pada diriku. Segera saja aku menuju konter pulsa, membelinya, dan menelponmu. Setelah kutunggu beberapa saat, tak ada jawaban. Mungkin kamu sudah tidur, lagipula ini sudah larut, dan ponsel pun baru kunyalakan setelah seminggu. Lalu kuputuskan untuk menghubungimu esok hari.

Keesokannya, ponselmu tak aktif saat kuhubungi. Ku kirimi kau pesan singkat, tak kau balas meski sudah dua hari kutunggu. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakan keadaanmu pada mantanku. Pesanku dibalas cepat, ia memang orang yang selalu membawa ponsel. “Dia sedang dirawat, sudah seminggu lebih.” Jawabnya.

Deg, aku diam. Setelah beberapa saat mematung, aku membalas untuk menanyakan tempatmu dirawat. “Dia dibawa pulang orang tuanya, mungkin dirawat di Kediri. Kamu kemana aja? Nggak pernah ke kampus!” jawabnya cepat. Pertanyaannya tak kujawab, kubalas saja dengan terima kasih. Kembali aku terdiam, seperti ada sesuatu yang mengganjal hati, tapi aku tak tahu apa. Aku merasa bersalah, tapi aku tak tahu apa salahku. Akhirnya semua perdebatan dalam diriku selesai setelah kuputuskan untuk menjengukmu ke Kediri.

***

Bertemu bapakmu membuatku langsung tahu, kamu adalah orang berada. Ya, minimal hidupmu takkan sulit karena bapakmu adalah PNS, apalagi jabatannya kepala dinas di Kediri. Tapi dengan melihatnya pun aku tahu, kamu begitu menyayanginya, begitupula sebaliknya. Ia ingin semua yang terbaik untukmu, anak sematawayangnya. Aku menjadi kerdil dihadapannya.

Seperti yang kamu tahu, aku adalah aktif dalam gerakan, sedang ia adalah penghamba penguasa. Oke, maaf, kamu tak suka kata itu. Baik, minimal dia adalah pendukung kekuasaan, aku tak akan cocok dengannya. Melihatnya membicarakan kriteria calon pendampingmu ketika aku duduk menjengukmu, membuatku kesal. Apanya yang mesti PNS, mengikuti jejaknya. Bukankah setiap manusia dilahirkan merdeka, ibuku pun tak protes dengan hidupku yang begini.

Tapi, aku tak memusingkan itu. Entah kenapa, setelah bertemu kamu rasa lelah yang menghantui selama ini hilang. Ya, hanya karena kamu dan senyummu ketika menyambutku datang menjenguk. Dan, ketika kamu sembuh, kita kembali ke ibukota bersama, hanya kamu dan aku. Sebuah perjalanan menyenangkan bagiku, melihat kamu duduk disampingku. Aku sendiri tak tahu kenapa aku senang, dan aku tak mau banyak mempersoalkannya. 

Setelahnya, hubungan kita semakin dekat. Dua minggu setelah perkuliahan semester genap dimulai, kamu menghubungiku. “Aku mau ketemu, ada yang harus aku omongin,” begitu teleponmu.  Deg, serangan mendadak. Aku tak tahu apa yang ingin kamu katakan, dan aku tak mau ge’er duluan. Jadi, aku bergegas ke warung, beli rokok, dan pergi ke tempat kita janjian.

Aku datang lebih dulu, tentu saja, waktu pertemuan masih 30 menit lagi. Jadi aku harus menunggu. Aku memang sengaja datang lebih dulu, mempersiapkan diri dan mentalku, untuk sesuatu yang membuatku tak karuan. Maklum, sudah lama aku tak dihinggapi perasaan seperti ini, bahkan dengan mantanku, teman sekelasmu juga, aku tak seperti ini aku memang tak mudah jatuh hati, dan kamu telah berhasil membuatku melakukannya.

Tepat sesaat setelah kau datang, lamunanku buyar, kopiku hampir tumpah. Bodoh, kelakuan tolol lagi batinku. Kamu dating tepat watu, seperti biasa. Kamu cantik sekali, eh, itu batinku ya, aku tak mungkin berani mengungkapkannya. Tapi memang benar dia cantik sekali saat itu.

“Udah lama? Maaf ya aku telat.”

“Nggak kok, aku aja yang kecepetan. Santai saja.”

Sejenak kamu diam. Kamu cantik.

“Aku seneng kamu udah masuk kuliah lagi, makasih ya”

“Loh, makasih untuk apa?”

“Ya makasih aja, kamu udah mau dengerin saran aku buat masuk kuliah”

Sebenarnya aku kuliah cuma buat ketemu kamu kok, batinku. Aku tersenyum.

“Aku harap setelah ini kamu bener-bener serius kuliah, juga mikirin masa depan kamu.”

Aku mendengarkan sambil membatin, masa depan kita. 

“Oh ya, aku mau bilang sesuatu yang penting ke kamu.”

Deg, jantungku berdebar. Aku diam mendengarkan.

“Aku dapet beasiswa dari kedutaan besar jerman buat kuliah disana.”

Aku masih diam. Menunggu kalimat selanjutnya.

“Ayah minta aku nikah dulu sebelum berangkat kesana.”

Deg, serangan mendadak. Aku nggak siap buat ini. Keringat dingin mulai mengucur. Mukaku mulai pucat.

“Kamu kenapa? Kamu sakit?”

Aku menggeleng, meneguk kopiku yang sudah dingin, dan membakar sebatang rokok. Aku tetap diam. Aku tetap pucat.

“Karena itu, rencananya bulan depan aku udah harus berangkat ke jerman, dan sebelumnya aku udah harus nikah.”

Aku diam. Mungkin jantungku ikut diam mendengar ini.

“Makanya, aku mau undang kamu ke pernikahan aku. Aku juga mau minta tolong ke kamu buat kasih tahu ke teman-teman yang lain, soalnya cuma kamu yang pernah ke rumah aku.”

Jleb. Pukulan telak. Seperti gol di menit terakhir, menyesakkan. Aku diam. Mematung sesaat. Sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku memotong. Bilang ada urusan lalu pergi dengan segera. Dia diam. Aku tak peduli. Aku segera pulang ke kosan. Duduk, bingung mau berbuat apa. Kuminum bir sisa semalam, lalu menangis mengutuki masa depan.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar