Aditia Purnomo

Saya, Pak Raden, dan Generasi yang Berhutang Padanya

Leave a Comment


Sebagai anak yang lahir di generasi kartun Jepang, saya tidak begitu mengenal Unyil. Menjadi kanak-kanak pada akhir 90an, saya lebih banyak melihat Son goku atau Pikachu di televisi. Bahkan saya lebih dulu mengenal demontrasi ketimbang si Unyil ini. Sekeras apapun mengingat masa kecil, tak tampak wajah Unyil dan Pak Ogah dalam benak saya.

Maka ketika mendengar kabar sakitnya Pak Raden pada 2012 lalu, saya merasa biasa saja. Tidak emosional. Bagi saya, kala itu, Pak Raden adalah satu dari sekian banyak seniman yang nelangsa di masa tua karena tak diperhatikan pemerintah. Ini masalah, ya ini masalah. Tapi bukan hal yang membuat saya begitu emosional, mengingat tak banyak persinggungan hidup saya bersama Pak Raden maupun karyanya.

Namun, ketidaktahuan saya soal Pak Raden jelas tidak berarti apa-apa. Seniman dengan nama asli Drs Suyudi ini tetaplah idola bagi banyak orang, khususnya generasi satu dekade di atas saya.

Mendengar kabar Pak Raden sakit, banyak orang yang datang membantunya. Namanya yang telah lama tenggelam kembali menghiasi media, bersama gerakan moral untuk membantunya memperjuangkan karya dan ciptanya. Apalagi dalam kondisi sakitnya Ia tak sedikitpun dibantu Unyil, tokoh yang diciptakannya.

Maka, ada 14 April 2012, bersama beberapa anak muda, Pak Raden mengadakan acara penggalangan dana dengan tajuk “Pak Raden Mengamen”. Bersama beberapa artis yang bolak-balik nongol di layar kaca, Pak Raden berhasil mengumpulkan uang untuk hidup dan memperjuangkan hak cipta Si Unyil.

Kenapa mereka membantu Pak Raden, tentu karena Pak Raden adalah idola masa muda mereka. Setelah berselancar di internet dan tanya sana-sini, Pak Raden dan Unyil adalah kesatuan yang tak terpisahkan (sampai terjadi konflik hak cipta). Generasi 80an adalah penonton setia Unyil, Usro, Pak Ogah, dan Pak Raden. Mungkin tanpa Unyil, mereka tak punya hiburan yang menyenangkan dari televisi.

Pada generasi saya, hari minggu adalah hari yang menyenangkan. Saban pagi sampai siang, kami menyaksikan tokoh-tokoh kartun berjejalan di televisi. Nikmatnya minggu kala itu cuma bisa diimbangi oleh kolom sastra di koran hari minggu yang sekarang saya baca sambil minum kopi dan menghisap kretek.

Sementara itu, apa yang bisa disaksikan generasi 80an sangatlah terbatas. Karenanya, kehadiran Unyil ciptaan Pak Raden ini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang agaknya sulit terhapus dari memori mereka. Unyil bagi mereka adalah teman bermain dan besar bersama.

Kini, Pak Raden telah tiada. Dan sekali lagi, saya tak merasa begitu emosional. Tapi tetap saja Indonesia kehilangan seniman besar yang mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak. Seniman besar yang tidak dirawat negara, yang kehilangan hak cipta atas karyanya.

Namun, setidaknya, Pak Raden tak pernah sendirian. Ia tidak pernah dilupakan, apalagi ditinggalkan oleh generasi yang merasa telah berutang hiburan dan inspirasi padanya. Memang, mati takkan berarti bagi seorang yang berjasa besar. Mereka akan tetap ada dan berlipat ganda dalam diri anak muda yang terus berjuang, dalam hal ini, memperjuangkan hiburan mendidik bagi anak bangsa.


Selamat jalan Pak Raden.

Pertama kali dimuat di Mahasiswa Bicara
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar