Tiwi sakit perut lagi setelah meminum kopinya. Ia kerap
merasa begitu, merasa tidak cocok dengan kopi. Karena itu, dalam berbagai
kesempatan ia lebih senang memesan susu cokelat atau teh hijau. Begitu pun
Panji, dadanya sering berdebar selepas menenggak kopi. Tidak tahu kenapa.
Akhirnya ia lebih memilih minuman lain, yang tak membuat dadanya berdebar.
Kejadian-kejadian semacam itu tak hanya dialami kedua teman saya di atas, tapi
juga banyak orang lainnya. Meski tentu saja tidak semua orang merasa begitu.
Awalnya saya pikir ini perkara selera. Ada beberapa orang
yang mengalami alergi terhadap beberapa makanan, pun (pikir saya) begitu pada
kopi. Cuma perkara cocok tidak cocok. Tidak lebih tidak kurang, dan tak perlu
banyak dipersoalkan.
Barulah pada satu kesempatan, saya mendapat jawaban yang
cukup menjelaskan permasalahan beberapa teman tadi. Kesempatan itu datang dalam
sebuah piknik yang menyenangkan bersama beberapa teman baru, baru ketemu di
piknik itu tentunya. Pada kesempatan yang sama juga lah saya bisa belajar
beberapa hal baru tentang kopi.
* * *
“Etdah, ini masih di Jakarta ya? Panjang bener macetnya,”
celoteh Abdul sesaat setelah terbangun. Abdul mengatakannya sembari bercanda,
mencoba mencairkan suasana yang melelahkan di dalam mobil. Waktu itu kami baru
saja keluar pintu tol Moch. Toha Bandung. Menjelang tengah hari. Sekitar jam
11, mungkin lebih sedikit. Saya tidak ingat pasti. Yang pasti saat itu kami
baru saja menempuh perjalanan hampir 4 jam dari Jakarta untuk mencapai Bandung.
Hampir di sepanjang tol Padaleunyi mobil yang kami temui
menjumpai kepadatan kendaraan yang terhambat perjalanannya karena macet. Dari
pintu keluar Pasteur hingga Moch. Toha kami lalui dengan kondisi padat merayap.
Begitu keluar Tol, jangan sangka kami bisa menghirup udara segar yang sulit
ditemui di Jakarta. Jalan Moch Toha Bandung selayaknya Cijantung di Jakarta,
kendaraan padat merayap. Kiri-kanan jalan dipenuhi pabrik, dan tentunya lapak
kaki lima yang menawarkan jajanan pada buruh yang baru menyelesaikan jam
kerjanya di hari sabtu.
Kawasan Bandung Selatan memang dipenuhi pabrik garmen dan
tekstil. Di sepanjang jalan Moch Toha dan Banjaran saja ada sekitar 35 pabrik.
Jika diasumsikan satu pabrik mempekerjakan 500 buruh, terdapat sekitar 17 ribu
buruh yang siap di organisir serikat. Tentu bukan jumlah yang sedikit untuk
mencapai revolusi. Lah, kok malah bahas revolusi. Ini mau piknik atau live in?
Kembali lagi ke persoalan piknik. Sejak awal saya tahu bahwa
piknik ini tidak akan berjalan mudah. Yang luput dari terkaan saya, tidak
terbayang akan seberat ini. Sebagai kaum proletariat kampus, saya tidak
terbiasa naik mobil. Naik taksi yang ukuran perjalanannya masih di dalam kota
saja sudah membuat saya mabuk. Lah ini, harus menempuh total perjalanan hampir
200 km dengan waktu tempuh mencapai 7 jam. Sungguh penderitaan tiada tara bagi
saya. Beruntung, teman perjalanan cukup sering mengajak bercanda. Selain dapat
mencairkan suasana, tentu membantu saya melenyapkan mual sejak dalam pikiran.
Ah iya, kami semua berangkat ke Bandung dalam sebuah agenda
dengan tajuk yang keren: Ekspedisi Kopi. Tapi sekali lagi, jangan bayangkan
hal-hal yang ‘wah’ pada perjalanan kami. Rombongan kami tidak besar, hanya
belasan orang. Terdiri dari 7 peserta, 4 panitia, serta 2 supir yang mengantar
kami ke Pangalengan. Pun di Pangalengan, kami tidak mampir ke kebun kopi milik
PT. Kopi Malabar yang luas itu. Kami hanya datang ke kebun milik petani lokal,
serta satu gudang yang menimbun biji-biji kopi sebelum diproduksi. Selebihnya,
tentu saja kami (para lelaki) menikmati perjalanan sembari menengok teteh-teteh
geulis di sepanjang jalan. Eh.
Kami yang mengikuti piknik ini kebanyakan adalah ‘pemula’
dalam urusan kopi. Hanya beberapa penikmat kopi yang mau belajar tentang
seluk-beluk kopi (sembari senang-senang tentunya) di Pangalengan. Ada Indah dan
Enca, dua kawan karib yang selalu berdua. Lalu ada ‘tante’ Tere dan pak Zainal.
Serta pasangan Dito-Marsela. Kenapa disebut pasangan, ya karena mereka pacaran
lah. Memangnya saya, jomblo.
Menemani kami bertujuh, saya dan keenam peserta lainnya,
hadir Abdul, Dion, Gober, serta Wibi selaku kepala rombongan. Dion adalah
barista di Selera Kopi. Sementara Abdul adalah barista di Coffee Life dan
pemilik bisnis roasting berbasis home industry bernama Hatim Bean. Keduanya
membantu Wibi dan Gober sebagai narasumber pada piknik ini.
Diantara semuanya, boleh dibilang hanya Abdul dan Dion yang
punya wawasan lebih tentang kopi. Tentu yang dimaksud wawasan lebih ini bukan
sekadar tahu beda kopi arabica dan robusta. Kalau cuma begituan sih saya juga
paham.
Rencana perjalanan yang telah dibuatkan panitia jadi berubah
karena macet dan waktu tempuh yang berlebih. Sedianya kami akan makan siang
begitu sampai di Pangalengan, baru bertandang ke gudang kopi milik Pak Wildan.
Namun, kenyataan memaksa kami untuk langsung bertandang ke gudang agar tidak
kelewat sore ketika belajar di sana. Pernah mendengar istilah semakin lapar
seseorang maka Ia akan semakin kritis? Begitulah keadaan kami ketika sampai di
gudang.
* * *
Di gudang kami disambut oleh Pak Wildan Mustofa, pemilik
sekaligus pengelolanya. Beliau bukanlah orang baru di bidang pertanian. Orang
tuanya adalah petani kentang, Ia pun melanjutkan studi di bidang pertanian dan
melanjutkan usaha orang tuanya di bidang kentang. Baru pada medio 2010an, Pak
Wildan masuk ke pertanian kopi setelah mendapat bantuan program untuk
pengembangan pertanian kopi dari sebuah universitas di Belanda. Waktu itu di
Pangalengan tengah dihinggapi euforia kopi.
Pak Wildan banyak bercerita tentang kopi, mulai dari jenis
kopi hingga varietasnya. Namun, proses belajar-mengajar-tak-formal ini sedikit
terganggu dengan kondisi lapar yang menghinggapi perut. Maklum, waktu sudah
hampir memasuki jam 3 sore. Sementara kami, oke saya lebih tepatnya, belum
memenuhi kebutuhan biologis perut saya untuk mengasup karbohidrat. Kalau cuma
gorengan dan sepotong roti jelas tak bakal memuaskan libido perut saya.
Beruntung beberapa teman juga terlihat gelisah. Tentu gelisah karena lapar,
pikir saya.
Akhirnya setelah perkenalan dan kuliah singkat, kami
bergegas menyantap makanan yang telah disediakan panitia. Ini adalah bagian
penting bagi pembelajaran, karena otak memerlukan nutrisi dari makanan yang
kita asup untuk menerima wawasan baru yang akan kami dapatkan dari Pak Wildan.
Halah, ini cuma alasan. Kalau lapar ya bilang aja lapar, hehe.
Selepas makan, kami memulai tur kecil di gudang yang tidak
terlalu besar ini. Pak Wildan berperan sebagai pemandu tur, dan beliau mulai
menjelaskan banyak hal tanpa banyak basa-basi. Dalam rantai produksi kopi,
gudang ini mendapatkan peran untuk mengolah buah kopi untuk dijadikan green
bean. Prosesnya cukup sederhana dan tidak merepotkan, hanya memerlukan
ketelitian dalam memilah kualitas green bean yang diproduksi.
Begitu panen, gudang akan menerima biji kopi dalam dua
kondisi. Yakni yang masih berbentuk buah kopi maupun sudah diproses menjadi
‘gabah’. Harga yang diterima petani tentu akan akan berbeda, karena itu
kebanyakan petani terlebih dahulu melakukan proses pengupasan buah dan washing
terlebih dahulu sebelum menjual panennya ke gudang.
Di gudang, kami dijelaskan bagaimana alur dan proses
produksi biji kopi. Tentunya setelah proses washing, setelah buah kopi diproses
menjadi gabah. Pada tahap ini, kulit buah kopi dikelupas dan direndam dalam air
untuk melakukan fermentasi terhadap biji kopi. Setelah itu, biji kopi kembali
dikeringkan. Lalu, gabah yang sudah jadi ini kembali diproses dengan
memasukannya ke mesin huller untuk dikelupas cangkang yang ada di biji kopi.
Ada beberapa mesin yang dimiliki gudang ini. Pertama mesin
giling basah, yang berfungsi untuk mengeringkan biji kopi pasca difermentasi di
dalam air. Kemudian, ada mesin huller untuk mengelupas cangkang setelah biji
kopi dikeringkan. Terakhir, ada mesin yang digunakan untuk menyortir biji kopi
berdasar kualitasnya.
Begitu selesai sortir, green bean yang ada akan
dikelompokkan berdasar kualitas. Meski ada mesin yang membantu proses sortir,
namun tenaga manusia adalah kunci pada tahap ini. “Karena mesin hanya membantu
mengalirkan biji kopi, lalu para pekerja lah yang melakukan sortir,” jelas Pak
Wildan.
Sampai tahap ini, saya hanya bisa mengangguk-angguk. Tahap
produksinya agak mirip dengan proses penjualan tembakau yang harus dikeringkan
terlebih dahulu sebelum disortir dan dibeli pabrik. Dari daun tembakau segar
yang baru dipetik hingga menjadi daun tembakau kering yang telah disortir. Untuk
kopi, bedanya hanya terdapat pada bentuk akhir yang menjadi green bean.
Ah iya, sejak tadi kita banyak membahas perkara green bean,
sebenarnya apa sih green bean itu?
Sederhananya, green bean adalah biji kopi siap masak. Untuk
lebih mudahnya lagi, green bean itu seperti beras dalam proses memasak nasi.
Jadi, green bean harus terlebih dulu dimasak. Proses memasaknya disebut
sangrai. Kurang lebih seperti itu analoginya. Setelah disangrai, biji kopi
sudah matang dan siap seduh untuk disajikan kepada kami.
Selesai tur singkat ini, kami ditawari Pak Wildan untuk
mencicip kopi hasil kebun di Pangalengan. Dion selaku barista yang bertanggung
jawab unjuk kebolehan menyeduhkan kopi untuk kami.
Dion menggunakan teknik menyeduh kopi dengan menggunakan
French Press. Setelah menggiling biji kopi, Dion menyeduh bubuk itu di dalam
tabung French Press dengan air panas bersuhu kurang lebih 90° lalu mengaduknya
perlahan. Sehabis itu, tutup tabung dan biarkan sekitar 4 menit. Baru setelah
itu tekan plunger French Press secara perlahan.
Saya cukup sering melihat teman melakukan hal ini, namun
baru sekali ini mendapat penjelasan yang cukup detail untuk melakukannya.
Sebelumnya, saya mengira proses ini dilakukan hanya untuk menghindari ampas
kopi yang tersisa. Nyatanya tiap metode penyeduhan memiliki efek yang berbeda
terhadap ekstraksi antara kopi dan air. Dan metode ini akan meningkatkan
ekstraksi kopi yang kita rasakan. Wawasan baru untuk pemula seperti saya.
Dari gudang, kami bergegas menuju vila sebelum hari
bertambah gelap. Cuaca dingin mulai menusuk kulit saya yang agak gemuk.
Oke-oke, gemuk tanpa agak. Sesampainya di vila, kami segera berbagi kamar,
membersihkan diri, dan beristirahat. Sembari melakukan itu, Indah dan Dito
iseng belajar menyeduh kopi dengan Aeropress. Metodenya sama dengan cara Dion
menyeduh di gudang, hanya alatnya saja yang berbeda. Melihat mereka yang asyik
menyeduh kopi, rasa kepingin saya muncul untuk ikut mencobanya. Hitung-hitung
cari gerak agar badan sedikit melupakan perkara sepi, eh dingin maksud saya.
Dan kami menutup malam itu dengan obrolan mengenai ganja di depan perapian yang
hangat.
* * *
Paginya, kami berangkat ke kebun selepas sarapan. Kira-kira
jam 9 kami baru berangkat. Jika mengikuti jadwal yang direncanakan harusnya
kami berangkat pagi sekali, sekitar jam 6. Namun berhubung manusia hanya bisa
berencana, akhirnya waktu lah yang membuktikan. Ya membuktikan kalau
membenarkan kebiasaan adalah perilaku manusia, sekalipun kebiasaan yang tak
baik.
Di kebun, kami disambut oleh Om Anton. Ia adalah pemilik
lahan di kebun tersebut. Kini, beliau yang memandu kami mempelajari
perkara-perkara yang berkaitan dengan tanaman kopi. Maka, berceritalah ia
tentang kebun kopi di Pangalengan.
Pada mulanya, kebanyakan penduduk di Pangalengan menanam
sayuran sebagai mata pencaharian. Namun setelah demam kopi luwak melanda dunia,
kebanyakan penduduk memilih beralih menjadi petani kopi. Selain karena harapan
mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mereka juga mendapatkan bantuan bibit
dari dinas pertanian setempat untuk menanami lahannya dengan tanaman kopi.
Meski begitu, tidak serta merta kehidupan petani kopi di
Pangalengan langsung kaya mendadak. Ada fase uji coba terhadap tanaman kopi
ini, apakah mampu menghasilkan kopi yang baik atau tidak. Fase ini berjalan
tiga tahun, dan panen pertama (yang memberi untung) dirasakan Om Anton pada
tahun 2012.
Kebanyakan petani di sini menanam arabica di lahan mereka.
Dengan ketinggian Pangalengan yang ada: 1300-1500 mdpl memang sesuai dengan
kebutuhan kopi jenis ini untuk tumbuh. Dengan ketinggian itu, kopi arabica
dapat tumbuh maksimal karena tanaman ini tidak tahan suhu yang terlampau dingin
di ketinggian melebihi 1500 mdpl dan terlalu panas di bawah ketinggian 1100
mdpl. Memang, tanaman ini bisa tumbuh di ketinggian selain 1300-1500 mdpl,
namun pertumbuhannya tidak akan maksimal.
“Kalau terlalu rendah kualitasnya akan turun, kalau terlalu
tinggi jumlah produksinya yang turun,” jelas Om Anton.
Pada saat kami main ke kebunnya, kondisi tanaman belum siap
panen. Maklum, panen raya biasanya terlaksana sekitar bulan Juli dan Agustus.
Sedangkan kami yang awam ini, datang pada awal april. Tentunya kami tidak dapat
menyaksikan buah kopi yang rimbun dengan warna merah menyala, tanda siap panen.
Ketika kami ke sana memang sudah ada beberapa buah kopi yang berwarna merah,
tapi belum banyak. Jadi ya kami nikmati saja ‘panen’ kecil-kecilan buah-buah
berwarna merah tersebut.
Dalam satu kali panen (raya), kebun Om Anton bisa menghasilkan
sekitar 20 ton buah kopi. Dengan asumsi harga jual ‘ceri’ sekitar Rp 7 ribu,
silakan anda hitung sendiri betapa besarnya nilai ekonomis yang didapatkan dari
tanaman ini.
Untuk mengurus lahan kebunnya yang hanya seluas satu hektar
itu, Om Anton dibantu oleh Kang Wadim dalam mengelola kebunnya. Kang Wadim
sendiri banyak menjelaskan pada saya bagaimana proses plantation di kebunnya
berjalan. Nanti akan saya buatkan satu tulisan sendiri soal ini.
Di kebun, kami tidak berjalan beriringan dalam rombongan
untuk melihat-lihat kebun. Ada yang sibuk bertanya Om Anton sembari melihat
kebun, ada yang ‘menculik’ Kang Wadim untuk menjajal buah kopi, ada pula yang
jalan-jalan sendirian di dalam kebun. Yang terakhir itu adalah saya, sendirian.
Lelah melihat-lihat kebun, kami beristirahat sembari
menyantap makan siang yang disediakan lebih awal. Kira-kira baru jam 11, dan
kami sudah makan lagi. Brengseknya, makanan yang disajikan oleh istri Kang
Wadim luar biasa enaknya. Nasi putih, ayam goreng, ikan asin, tahu dan tempe
goreng, sayur asem, sambal goreng, serta lalapan yang aduhai itu saya santap.
Semua saya cicipi, tanpa terkecuali. Sungguh edan, semua makanan yang kami
santap selama piknik ini benar-benar enak. Entah itu makan siang di kebun Om
Anton, atau makanan yang yang tersaji di vila. Termasuk Mie rebusnya. Ini
piknik kopi atau piknik kuliner sih?
Sehabis makan, membakar sebatang dua batang kretek, Om Anton
datang membawakan kami bergelas-gelas kopi siap seruput. Nah kan, nikmat Tuhan
mana lagi yang ingin kau dustakan? Sehabis makan kenyang, diajak nyicip buah
kopi, eh disediain yang sudah jadi pula.
Ketika semua bahagia dibagikan kopi, hanya Pak Zaenal yang
menolak. Ia beralasan perutnya sering sakit jika minum kopi. Mendengar itu, Om
Anton sambil tersenyum ‘memaksa’ Pak Zaenal meminum kopi yang sudah disediakan.
“Coba saja dulu kopinya, kalau perutnya sakit saya yang tanggung jawab,”
sesumbar Om Anton.
Merasa tak enak, kalau yang ini tebakan saya, Pak Zaenal
menyicip kopi yang disediakan. Sekali cicip, dua kali cicip, tiga kali cicip,
eh keterusan. Pak Zaenal bilang kopi ini enak. Mendengarnya, Om Anton tertawa.
Menurut Om Anton, perkara perut sakit sehabis meminum kopi
adalah karena kopi yang diminum adalah kopi dengan kualitas yang kurang bagus.
Kopi yang begitu biasanya kopi sasetan yang sudah mendapat campuran bahan kimia
dalam proses produksinya. Karena itu tak jarang orang mengeluh sakit perutnya
sehabis minum kopi. Jadi, ini bukan semata-mata tidak cocok atau perkara
memiliki penyakit maag. Begitu jelas Om Anton. Selain itu, perkara dada yang
berdegup kencang setelah minum kopi biasanya karena belum terbiasa menyesap
kopi yang memiliki kandungan kafein yang cukup tinggi.
Sudah cukup pengetahuan, sudah puas makan dan
bersenang-senang kini saatnya kami pamit pada Om Anton. Kami harus kembali ke
ibukota, kembali pada kepadatan jalan dan kesibukan yang menyita harapan.
Kami pulang berbekal kopi pemberian Om Anton, paket souvenir
dari panitia, dan wawasan yang lumayan untuk bercuap-cuap di depan teman saat
nongkrong di coffee shop yang kami datangi. Tentu saja senang, apalagi bisa
mendapat wawasan terkait pengaruh kopi pada sakit perut yang dialami Tiwi. Ya,
ini kan bisa jadi bekal untuk ngajak Tiwi main lagi.
0 komentar:
Posting Komentar