Aditia Purnomo

Piknik Kopi di Pangalengan

Leave a Comment


Tiwi sakit perut lagi setelah meminum kopinya. Ia kerap merasa begitu, merasa tidak cocok dengan kopi. Karena itu, dalam berbagai kesempatan ia lebih senang memesan susu cokelat atau teh hijau. Begitu pun Panji, dadanya sering berdebar selepas menenggak kopi. Tidak tahu kenapa. Akhirnya ia lebih memilih minuman lain, yang tak membuat dadanya berdebar. Kejadian-kejadian semacam itu tak hanya dialami kedua teman saya di atas, tapi juga banyak orang lainnya. Meski tentu saja tidak semua orang merasa begitu.

Awalnya saya pikir ini perkara selera. Ada beberapa orang yang mengalami alergi terhadap beberapa makanan, pun (pikir saya) begitu pada kopi. Cuma perkara cocok tidak cocok. Tidak lebih tidak kurang, dan tak perlu banyak dipersoalkan.

Barulah pada satu kesempatan, saya mendapat jawaban yang cukup menjelaskan permasalahan beberapa teman tadi. Kesempatan itu datang dalam sebuah piknik yang menyenangkan bersama beberapa teman baru, baru ketemu di piknik itu tentunya. Pada kesempatan yang sama juga lah saya bisa belajar beberapa hal baru tentang kopi.

* * *
“Etdah, ini masih di Jakarta ya? Panjang bener macetnya,” celoteh Abdul sesaat setelah terbangun. Abdul mengatakannya sembari bercanda, mencoba mencairkan suasana yang melelahkan di dalam mobil. Waktu itu kami baru saja keluar pintu tol Moch. Toha Bandung. Menjelang tengah hari. Sekitar jam 11, mungkin lebih sedikit. Saya tidak ingat pasti. Yang pasti saat itu kami baru saja menempuh perjalanan hampir 4 jam dari Jakarta untuk mencapai Bandung.

Hampir di sepanjang tol Padaleunyi mobil yang kami temui menjumpai kepadatan kendaraan yang terhambat perjalanannya karena macet. Dari pintu keluar Pasteur hingga Moch. Toha kami lalui dengan kondisi padat merayap. Begitu keluar Tol, jangan sangka kami bisa menghirup udara segar yang sulit ditemui di Jakarta. Jalan Moch Toha Bandung selayaknya Cijantung di Jakarta, kendaraan padat merayap. Kiri-kanan jalan dipenuhi pabrik, dan tentunya lapak kaki lima yang menawarkan jajanan pada buruh yang baru menyelesaikan jam kerjanya di hari sabtu.

Kawasan Bandung Selatan memang dipenuhi pabrik garmen dan tekstil. Di sepanjang jalan Moch Toha dan Banjaran saja ada sekitar 35 pabrik. Jika diasumsikan satu pabrik mempekerjakan 500 buruh, terdapat sekitar 17 ribu buruh yang siap di organisir serikat. Tentu bukan jumlah yang sedikit untuk mencapai revolusi. Lah, kok malah bahas revolusi. Ini mau piknik atau live in?

Kembali lagi ke persoalan piknik. Sejak awal saya tahu bahwa piknik ini tidak akan berjalan mudah. Yang luput dari terkaan saya, tidak terbayang akan seberat ini. Sebagai kaum proletariat kampus, saya tidak terbiasa naik mobil. Naik taksi yang ukuran perjalanannya masih di dalam kota saja sudah membuat saya mabuk. Lah ini, harus menempuh total perjalanan hampir 200 km dengan waktu tempuh mencapai 7 jam. Sungguh penderitaan tiada tara bagi saya. Beruntung, teman perjalanan cukup sering mengajak bercanda. Selain dapat mencairkan suasana, tentu membantu saya melenyapkan mual sejak dalam pikiran.

Ah iya, kami semua berangkat ke Bandung dalam sebuah agenda dengan tajuk yang keren: Ekspedisi Kopi. Tapi sekali lagi, jangan bayangkan hal-hal yang ‘wah’ pada perjalanan kami. Rombongan kami tidak besar, hanya belasan orang. Terdiri dari 7 peserta, 4 panitia, serta 2 supir yang mengantar kami ke Pangalengan. Pun di Pangalengan, kami tidak mampir ke kebun kopi milik PT. Kopi Malabar yang luas itu. Kami hanya datang ke kebun milik petani lokal, serta satu gudang yang menimbun biji-biji kopi sebelum diproduksi. Selebihnya, tentu saja kami (para lelaki) menikmati perjalanan sembari menengok teteh-teteh geulis di sepanjang jalan. Eh.

Kami yang mengikuti piknik ini kebanyakan adalah ‘pemula’ dalam urusan kopi. Hanya beberapa penikmat kopi yang mau belajar tentang seluk-beluk kopi (sembari senang-senang tentunya) di Pangalengan. Ada Indah dan Enca, dua kawan karib yang selalu berdua. Lalu ada ‘tante’ Tere dan pak Zainal. Serta pasangan Dito-Marsela. Kenapa disebut pasangan, ya karena mereka pacaran lah. Memangnya saya, jomblo.

Menemani kami bertujuh, saya dan keenam peserta lainnya, hadir Abdul, Dion, Gober, serta Wibi selaku kepala rombongan. Dion adalah barista di Selera Kopi. Sementara Abdul adalah barista di Coffee Life dan pemilik bisnis roasting berbasis home industry bernama Hatim Bean. Keduanya membantu Wibi dan Gober sebagai narasumber pada piknik ini.

Diantara semuanya, boleh dibilang hanya Abdul dan Dion yang punya wawasan lebih tentang kopi. Tentu yang dimaksud wawasan lebih ini bukan sekadar tahu beda kopi arabica dan robusta. Kalau cuma begituan sih saya juga paham.

Rencana perjalanan yang telah dibuatkan panitia jadi berubah karena macet dan waktu tempuh yang berlebih. Sedianya kami akan makan siang begitu sampai di Pangalengan, baru bertandang ke gudang kopi milik Pak Wildan. Namun, kenyataan memaksa kami untuk langsung bertandang ke gudang agar tidak kelewat sore ketika belajar di sana. Pernah mendengar istilah semakin lapar seseorang maka Ia akan semakin kritis? Begitulah keadaan kami ketika sampai di gudang.

* * *
Di gudang kami disambut oleh Pak Wildan Mustofa, pemilik sekaligus pengelolanya. Beliau bukanlah orang baru di bidang pertanian. Orang tuanya adalah petani kentang, Ia pun melanjutkan studi di bidang pertanian dan melanjutkan usaha orang tuanya di bidang kentang. Baru pada medio 2010an, Pak Wildan masuk ke pertanian kopi setelah mendapat bantuan program untuk pengembangan pertanian kopi dari sebuah universitas di Belanda. Waktu itu di Pangalengan tengah dihinggapi euforia kopi.

Pak Wildan banyak bercerita tentang kopi, mulai dari jenis kopi hingga varietasnya. Namun, proses belajar-mengajar-tak-formal ini sedikit terganggu dengan kondisi lapar yang menghinggapi perut. Maklum, waktu sudah hampir memasuki jam 3 sore. Sementara kami, oke saya lebih tepatnya, belum memenuhi kebutuhan biologis perut saya untuk mengasup karbohidrat. Kalau cuma gorengan dan sepotong roti jelas tak bakal memuaskan libido perut saya. Beruntung beberapa teman juga terlihat gelisah. Tentu gelisah karena lapar, pikir saya.

Akhirnya setelah perkenalan dan kuliah singkat, kami bergegas menyantap makanan yang telah disediakan panitia. Ini adalah bagian penting bagi pembelajaran, karena otak memerlukan nutrisi dari makanan yang kita asup untuk menerima wawasan baru yang akan kami dapatkan dari Pak Wildan. Halah, ini cuma alasan. Kalau lapar ya bilang aja lapar, hehe.

Selepas makan, kami memulai tur kecil di gudang yang tidak terlalu besar ini. Pak Wildan berperan sebagai pemandu tur, dan beliau mulai menjelaskan banyak hal tanpa banyak basa-basi. Dalam rantai produksi kopi, gudang ini mendapatkan peran untuk mengolah buah kopi untuk dijadikan green bean. Prosesnya cukup sederhana dan tidak merepotkan, hanya memerlukan ketelitian dalam memilah kualitas green bean yang diproduksi.

Begitu panen, gudang akan menerima biji kopi dalam dua kondisi. Yakni yang masih berbentuk buah kopi maupun sudah diproses menjadi ‘gabah’. Harga yang diterima petani tentu akan akan berbeda, karena itu kebanyakan petani terlebih dahulu melakukan proses pengupasan buah dan washing terlebih dahulu sebelum menjual panennya ke gudang.

Di gudang, kami dijelaskan bagaimana alur dan proses produksi biji kopi. Tentunya setelah proses washing, setelah buah kopi diproses menjadi gabah. Pada tahap ini, kulit buah kopi dikelupas dan direndam dalam air untuk melakukan fermentasi terhadap biji kopi. Setelah itu, biji kopi kembali dikeringkan. Lalu, gabah yang sudah jadi ini kembali diproses dengan memasukannya ke mesin huller untuk dikelupas cangkang yang ada di biji kopi.

Ada beberapa mesin yang dimiliki gudang ini. Pertama mesin giling basah, yang berfungsi untuk mengeringkan biji kopi pasca difermentasi di dalam air. Kemudian, ada mesin huller untuk mengelupas cangkang setelah biji kopi dikeringkan. Terakhir, ada mesin yang digunakan untuk menyortir biji kopi berdasar kualitasnya.

Begitu selesai sortir, green bean yang ada akan dikelompokkan berdasar kualitas. Meski ada mesin yang membantu proses sortir, namun tenaga manusia adalah kunci pada tahap ini. “Karena mesin hanya membantu mengalirkan biji kopi, lalu para pekerja lah yang melakukan sortir,” jelas Pak Wildan.

Sampai tahap ini, saya hanya bisa mengangguk-angguk. Tahap produksinya agak mirip dengan proses penjualan tembakau yang harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum disortir dan dibeli pabrik. Dari daun tembakau segar yang baru dipetik hingga menjadi daun tembakau kering yang telah disortir. Untuk kopi, bedanya hanya terdapat pada bentuk akhir yang menjadi green bean.

Ah iya, sejak tadi kita banyak membahas perkara green bean, sebenarnya apa sih green bean itu?

Sederhananya, green bean adalah biji kopi siap masak. Untuk lebih mudahnya lagi, green bean itu seperti beras dalam proses memasak nasi. Jadi, green bean harus terlebih dulu dimasak. Proses memasaknya disebut sangrai. Kurang lebih seperti itu analoginya. Setelah disangrai, biji kopi sudah matang dan siap seduh untuk disajikan kepada kami.

Selesai tur singkat ini, kami ditawari Pak Wildan untuk mencicip kopi hasil kebun di Pangalengan. Dion selaku barista yang bertanggung jawab unjuk kebolehan menyeduhkan kopi untuk kami.

Dion menggunakan teknik menyeduh kopi dengan menggunakan French Press. Setelah menggiling biji kopi, Dion menyeduh bubuk itu di dalam tabung French Press dengan air panas bersuhu kurang lebih 90° lalu mengaduknya perlahan. Sehabis itu, tutup tabung dan biarkan sekitar 4 menit. Baru setelah itu tekan plunger French Press secara perlahan.

Saya cukup sering melihat teman melakukan hal ini, namun baru sekali ini mendapat penjelasan yang cukup detail untuk melakukannya. Sebelumnya, saya mengira proses ini dilakukan hanya untuk menghindari ampas kopi yang tersisa. Nyatanya tiap metode penyeduhan memiliki efek yang berbeda terhadap ekstraksi antara kopi dan air. Dan metode ini akan meningkatkan ekstraksi kopi yang kita rasakan. Wawasan baru untuk pemula seperti saya.

Dari gudang, kami bergegas menuju vila sebelum hari bertambah gelap. Cuaca dingin mulai menusuk kulit saya yang agak gemuk. Oke-oke, gemuk tanpa agak. Sesampainya di vila, kami segera berbagi kamar, membersihkan diri, dan beristirahat. Sembari melakukan itu, Indah dan Dito iseng belajar menyeduh kopi dengan Aeropress. Metodenya sama dengan cara Dion menyeduh di gudang, hanya alatnya saja yang berbeda. Melihat mereka yang asyik menyeduh kopi, rasa kepingin saya muncul untuk ikut mencobanya. Hitung-hitung cari gerak agar badan sedikit melupakan perkara sepi, eh dingin maksud saya. Dan kami menutup malam itu dengan obrolan mengenai ganja di depan perapian yang hangat.

* * *
Paginya, kami berangkat ke kebun selepas sarapan. Kira-kira jam 9 kami baru berangkat. Jika mengikuti jadwal yang direncanakan harusnya kami berangkat pagi sekali, sekitar jam 6. Namun berhubung manusia hanya bisa berencana, akhirnya waktu lah yang membuktikan. Ya membuktikan kalau membenarkan kebiasaan adalah perilaku manusia, sekalipun kebiasaan yang tak baik.

Di kebun, kami disambut oleh Om Anton. Ia adalah pemilik lahan di kebun tersebut. Kini, beliau yang memandu kami mempelajari perkara-perkara yang berkaitan dengan tanaman kopi. Maka, berceritalah ia tentang kebun kopi di Pangalengan.

Pada mulanya, kebanyakan penduduk di Pangalengan menanam sayuran sebagai mata pencaharian. Namun setelah demam kopi luwak melanda dunia, kebanyakan penduduk memilih beralih menjadi petani kopi. Selain karena harapan mendapatkan keuntungan yang lebih besar, mereka juga mendapatkan bantuan bibit dari dinas pertanian setempat untuk menanami lahannya dengan tanaman kopi.

Meski begitu, tidak serta merta kehidupan petani kopi di Pangalengan langsung kaya mendadak. Ada fase uji coba terhadap tanaman kopi ini, apakah mampu menghasilkan kopi yang baik atau tidak. Fase ini berjalan tiga tahun, dan panen pertama (yang memberi untung) dirasakan Om Anton pada tahun 2012.

Kebanyakan petani di sini menanam arabica di lahan mereka. Dengan ketinggian Pangalengan yang ada: 1300-1500 mdpl memang sesuai dengan kebutuhan kopi jenis ini untuk tumbuh. Dengan ketinggian itu, kopi arabica dapat tumbuh maksimal karena tanaman ini tidak tahan suhu yang terlampau dingin di ketinggian melebihi 1500 mdpl dan terlalu panas di bawah ketinggian 1100 mdpl. Memang, tanaman ini bisa tumbuh di ketinggian selain 1300-1500 mdpl, namun pertumbuhannya tidak akan maksimal.

“Kalau terlalu rendah kualitasnya akan turun, kalau terlalu tinggi jumlah produksinya yang turun,” jelas Om Anton.

Pada saat kami main ke kebunnya, kondisi tanaman belum siap panen. Maklum, panen raya biasanya terlaksana sekitar bulan Juli dan Agustus. Sedangkan kami yang awam ini, datang pada awal april. Tentunya kami tidak dapat menyaksikan buah kopi yang rimbun dengan warna merah menyala, tanda siap panen. Ketika kami ke sana memang sudah ada beberapa buah kopi yang berwarna merah, tapi belum banyak. Jadi ya kami nikmati saja ‘panen’ kecil-kecilan buah-buah berwarna merah tersebut.

Dalam satu kali panen (raya), kebun Om Anton bisa menghasilkan sekitar 20 ton buah kopi. Dengan asumsi harga jual ‘ceri’ sekitar Rp 7 ribu, silakan anda hitung sendiri betapa besarnya nilai ekonomis yang didapatkan dari tanaman ini.

Untuk mengurus lahan kebunnya yang hanya seluas satu hektar itu, Om Anton dibantu oleh Kang Wadim dalam mengelola kebunnya. Kang Wadim sendiri banyak menjelaskan pada saya bagaimana proses plantation di kebunnya berjalan. Nanti akan saya buatkan satu tulisan sendiri soal ini.

Di kebun, kami tidak berjalan beriringan dalam rombongan untuk melihat-lihat kebun. Ada yang sibuk bertanya Om Anton sembari melihat kebun, ada yang ‘menculik’ Kang Wadim untuk menjajal buah kopi, ada pula yang jalan-jalan sendirian di dalam kebun. Yang terakhir itu adalah saya, sendirian.

Lelah melihat-lihat kebun, kami beristirahat sembari menyantap makan siang yang disediakan lebih awal. Kira-kira baru jam 11, dan kami sudah makan lagi. Brengseknya, makanan yang disajikan oleh istri Kang Wadim luar biasa enaknya. Nasi putih, ayam goreng, ikan asin, tahu dan tempe goreng, sayur asem, sambal goreng, serta lalapan yang aduhai itu saya santap. Semua saya cicipi, tanpa terkecuali. Sungguh edan, semua makanan yang kami santap selama piknik ini benar-benar enak. Entah itu makan siang di kebun Om Anton, atau makanan yang yang tersaji di vila. Termasuk Mie rebusnya. Ini piknik kopi atau piknik kuliner sih?

Sehabis makan, membakar sebatang dua batang kretek, Om Anton datang membawakan kami bergelas-gelas kopi siap seruput. Nah kan, nikmat Tuhan mana lagi yang ingin kau dustakan? Sehabis makan kenyang, diajak nyicip buah kopi, eh disediain yang sudah jadi pula.

Ketika semua bahagia dibagikan kopi, hanya Pak Zaenal yang menolak. Ia beralasan perutnya sering sakit jika minum kopi. Mendengar itu, Om Anton sambil tersenyum ‘memaksa’ Pak Zaenal meminum kopi yang sudah disediakan. “Coba saja dulu kopinya, kalau perutnya sakit saya yang tanggung jawab,” sesumbar Om Anton.

Merasa tak enak, kalau yang ini tebakan saya, Pak Zaenal menyicip kopi yang disediakan. Sekali cicip, dua kali cicip, tiga kali cicip, eh keterusan. Pak Zaenal bilang kopi ini enak. Mendengarnya, Om Anton tertawa.

Menurut Om Anton, perkara perut sakit sehabis meminum kopi adalah karena kopi yang diminum adalah kopi dengan kualitas yang kurang bagus. Kopi yang begitu biasanya kopi sasetan yang sudah mendapat campuran bahan kimia dalam proses produksinya. Karena itu tak jarang orang mengeluh sakit perutnya sehabis minum kopi. Jadi, ini bukan semata-mata tidak cocok atau perkara memiliki penyakit maag. Begitu jelas Om Anton. Selain itu, perkara dada yang berdegup kencang setelah minum kopi biasanya karena belum terbiasa menyesap kopi yang memiliki kandungan kafein yang cukup tinggi.

Sudah cukup pengetahuan, sudah puas makan dan bersenang-senang kini saatnya kami pamit pada Om Anton. Kami harus kembali ke ibukota, kembali pada kepadatan jalan dan kesibukan yang menyita harapan.

Kami pulang berbekal kopi pemberian Om Anton, paket souvenir dari panitia, dan wawasan yang lumayan untuk bercuap-cuap di depan teman saat nongkrong di coffee shop yang kami datangi. Tentu saja senang, apalagi bisa mendapat wawasan terkait pengaruh kopi pada sakit perut yang dialami Tiwi. Ya, ini kan bisa jadi bekal untuk ngajak Tiwi main lagi.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar