Dadap malam ini, setelah lokalisasi bersama kafe-kafenya dirubuhkan, adalah Dadap yang berdiri melawan reklamasi. Dadap hari ini adalah Dadap yang dihantui banjir rab pasang laut sebagai dampak pulau palsu jutaan dolar.
Sejak 2012, pemkab Tangerang sudah mewacanakan untuk
membongkar lokalisasi di Dadap. Setelah tarik ulur sekian lama, awal 2016
wacana mulai direalisasikan. Demi norma kesusilaan dan untuk menjunjung
masyarakat yang akhlakul karimah, dimulailah drama pembongkaran lokalisasi di
kampung ini.
Sekitar bulan maret, kafe-kafe di sepanjang jalan kampung
mulai dibongkar. Warga setempat mendukung penutupan lokalisasi dengan ikut
membongkar kafe-kafe tersebut. Tanpa perlu banyak intruksi, warga dengan senang
hati menutup lokalisasi.
Sayangnya setelah lokalisasi dibongkar, pemerintah kabupaten
Tangerang belum puas. Mereka menuding masih ada lokalisasi di kawasan ini.
Bahkan mereka menuduh warga mendukung dan ikut mengamankan lokalisasi.
Akhirnya, sebulan terakhir pemkab mendorong kampung ini untuk digusur dan
dialihfungsikan menjadi pusat islami (apasih alih bahasa islamic center?).
Mereka mendatangi warga dengan sebuah peta rencana
pembangunan kawasan islami itu. Sungguh mewah tempat yang direncanakan, dan
alangkah modernnya kawasan ini nantinya. Persoalannya adalah, warga harus
angkat kaki dari kampung yang sudah puluhan tahun ditinggalinya. Pun persoalan
relokasi dan tetek-bengeknya belum disiapkan dengan matang oleh pemerintah.
Konsep dan rencana mereka hanya soal pembangunan, bagaimana hidup masyarakat ya
urusan belakangan saja.
Memang sih mereka dijanjikan akan dipindahkan sementara di
kontrakan jejer yang ada di sekitar tempat itu. Namun ketika ditanya perkara
lokasi dan jumlah kontrakan, nyatanya pemerintah belum siap dan hanya bisa
menjanjikan. Padahal, setelah membantu pemerintah membongkar tempat lokalisasi,
mereka dijanjikan pembenahan kampungnya menjadi lebih baik. Ini bukannya
dibenahi, malah diusiri.
Belakangan diketahui, kawasan Dadap masuk dalam bagian
proyek reklamasi teluk Jakarta. Nah mulailah warga curiga, bisa jadi isu
lokalisasi adalah dalih untuk memuluskan proyek itu. Lagipula, lokalisasi di
kawasan itu sudah ditutup. Kalaupun masih ada prostitusi di sana, itu adalah
sisa-sisa pekerja seks komersial yang tidak ditanggulangi oleh pemerintah.
Mulailah terjadi penolakan warga terhadap proyek ini. Bukan
hanya karena ketidakjelasan relokasi dan proses ganti rugi, tapi warga menolak
keberadaan pulau palsu yang membuat kehidupan mereka jadi berantakan.
Setahun terakhir, dampak reklamasi begitu terasa oleh
mereka. Jika sebelumnya banjir rab pasang laut hanya berlangsung satu-dua hari,
saat ini bisa sampai seminggu bahkan sebulan. Tinggi banjir pun meningkat, bisa
mencapai pinggul orang dewasa. Padahal sebelumnya hanya setinggi betis saja.
Pun dengan urusan ekonomi mereka. Kebanyakan warga adalah
nelayan, dan wilayah tangkapan ikan mereka menjadi terbatas. Baru masuk sedikit
saja wilayah reklamasi sudah diusir, itu sudah untung tidak ditangkapi. Warga
lainnya, yang berdagang atau bekerja pun terganggu kehidupan ekonominya seiring
besarnya banjir rab yang mereka dapatkan.
Sudah hidup makin susah, nasib mereka pun hendak
digantungkan oleh pembangunan yang membuat mereka dipaksa pergi dari rumahnya.
Lantas, apaguna pembangunan jika hanya merampas hidup rakyat kecil?
0 komentar:
Posting Komentar