Pilkada memang membuat hidup kita suram. Mulai
dari wabah menghapus pertemanan hingga blokir akun di media sosial, sampai
urusan kafir-mengkafirkan menjadi tren yang bahkan ditiru oleh anak-anak. Sifat
mudah tersinggung menjadi hal yang biasa kita temukan, berbeda pilihan politik
bahkan membuat pasangan memutuskan hubungan.
Tentu tak ada yang mengira kalau pilkada bakal
membuat hidup menjadi sesuram ini. Apalagi pilkada adalah sebuah hajatan
pestanya demokrasi. Sebuah pesta tentunya harus dirayakan dengan gembira. Namun
yang terjadi adalah pilkada menjadi pestanya para pembenci. Saling sindir
saling sikat tak peduli karib ataupun tetangga.
Mungkin kejadian ini adalah efek dari
kemenangan Donald Trump. Kesuraman warga Amerika kemudian menjangkit hingga ke
Indonesia. Kesuraman karena pemilihan umum menghasilkan presiden semacam Trump
harus dihadapi oleh masyarakat kita. Apalagi momen pemilu di Amerika sana nggak
beda jauh sama Pilkada di sini.
Tapi memang pilkada, khususnya Pilgub DKI
membuat orang lupa terhadap urusan lain. Ketika semua mata tertuju padanya,
kita semua seakan lupa pada banyak hal. Baju-baju yang lupa disetrika, jemuran
yang belum diangkat padahal di luar sedang hujan, bahkan urusan makan saja bisa
terlupa karena bius dan magnet pilkada DKI. Suram betul nasib mereka.
Tentu hal tadi masih sebatas suram yang biasa
saja. Kesuraman yang bersifat pribadi, tak terlalu genting untuk kepentingan
masyarakat. Karena masih ada kesuraman-kesuraman yang lebih buruk dari itu.
Kesuraman yang diakibatkan semua mata terlalu fokus pada Jakarta.
Ketika semua perhatian dan mata tertuju pada
debat terakhir calon gubernur DKI, misalnya, hanya sedikit mata tertuju ke
Rembang saat sebuah musala perjuangan warga dibakar oleh oknum yang itu-itu
juga. Ketika Bapak Gubernur Jawa Tengah yang katanya terhormat itu asik
menyaksikan debat, Ia tak tahu (atau mungkin tak peduli) kalau rakyatnya di
Rembang sana, di Kendeng sana merana.
Pilkada DKI memang membuat suram. Hampir 6
bulan adanya media sosial jadi memuakkan tak menyenangkan. Semua orang membahas
Pilkada DKI, membahas Ahok lagi, membahas pemilihan yang bahkan mereka sendiri
tak punya hak untuk memilih. Itu belum ditambah drama tidak menghibur dari
mantan presiden yang kerjanya cuma baper melulu. Beruntung masih ada laman
fesbuk menyenangkan seperti Tasty dan Indomie goreng yang menghibur perut
ketika lapar.
Tapi tak ada yang lebih suram ketimbang
menjadi warga tetangga ibukota. Ketika sebagian tentangga dan teman terlena
mengomentari pilkada Jakarta, kami harus terperangah melihat calon-calon kepala
daerah yang begitu nganu hingga membuat otak tak lagi bisa berfikir. Mungkin
pilkada DKI memang lebih menarik, tapi Banten dan Bekasi juga memiliki
pilkadanya sendiri, bung.
Coba tengok tetangga DKI bernama Bekasi itu.
Warganya harus menghadapi kemuraman ketika Ahmad Dhani Prasetyo maju menjadi
calon wakil bupati mereka. Urusan rekam jejak Ahmad Dhani mungkin tak perlu
kita perdebatkan lagi. Selain urusan musik, tak ada hal yang membanggakan bisa
dilihat dari rekam jejaknya.
Atau mungkin tak ada yang lebih suram dari
masa depan masyarakat Banten. Baru tiga tahun kami sebagai warga Banten
berupaya membangun masa depan setelah lepas dari jerat dinasti Atut Chosiyah,
eh anak kandungnya yang nganu itu maju menjadi calon wakil gubernur Banten.
Bayangkan saudara-saudara, anaknya RATU ATUT yang dulu dihajar habis-habisan
sama teman-teman aktivis malah didukung sebagian mereka yang ada di barisan
melawan ATUT.
Dan yang semakin membuat suram, kedua calon
tadi malah unggul sementara dalam penghitungan cepat. Entah gimana nasib warga
Bekasi yang harus dipimpin sama Ahmad Dhani, saya sendiri nggak bisa bayangin
hidup masyarakat Banten di bawah kepemimpinan anaknya Atut. Kurang suram
apalagi hidup ini.
Mungkin warga Bekasi bisa dapat sedikit
terhibur dengan nazar Ahmad Dhani yang mau mendatangkan Red Hot Chili Papers
jika menang. Mereka bisa nonton RHCP manggung dengan gratis, meski kita tidak
tahu biaya datangin RHCP itu pakai APBD atau uang pribadi. Itu pun kalau menang
lho.
Dan kemarin, ketika warga Jakarta bersiap
menghadapi putaran kedua dengan kegembiraan mengejek pendukung dari pasangan
yang kalah, kami harus menghadapi kenyataan yang menyedihkan. Ketika televisi
menampilkan secara langsung hasil hitung cepat Pilkada DKI, kami warga tetangga
harus buka situs KPU atau cari-cari berita dulu. Itu pun kami harus harap-harap
cemas, berharap agar mereka yang menang bukanlah calon yang potensial membuat
hidup rakyatnya suram.
Mungkin warga Bekasi agak beruntung, mengingat
yang memenangkan Ahmad Dhani di pilkada hanyalah hasil hitung cepat versi PKS.
Kalau dari KPU sih memperlihatkan kekalahan Ahmad Dhani, ya walau nggak
telak-telak amat. Tapi ya tetap, masa depan warga Bekasi belum tentu tidak
suram di bawah pimpinan petahana yang juga nganu. Toh menjadi warga tetangga
daerah paling kaya tetaplah membawa kesuraman tersendiri.
Lagipula kesuraman kami warga tetangga ibukota
ini tak pernah dipedulikan orang lain. Sudah melulu menghadapi macetnya
ibukota, diperas keringat dan tenaga untuk kemajuan ibukota, tetap saja nasib
suram orang pinggiran tak bakal diperbaiki oleh siapapun yang nantinya menang
Pilkada DKI.
0 komentar:
Posting Komentar