Tak ada demokrasi di Universitas Muhammadiyah
Tangerang (UMT). Upaya menyuarakan hak dan kepentingan mahasiswa dibalas dengan
ancaman Drop Out (DO) oleh pihak rektorat. Sekitar 15 mahasiswa fakultas hukum
terancam hukuman DO setelah terlibat dalam aksi terkait uang kuliah.
Semua bermula ketika ujian akhir semester akan
dimulai. Sebagian mahasiswa fakultas hukum yang belum mampu membayar uang
kuliah meminta dispensasi agar diizinkan ikut ujian terlebih dahulu. Dispensasi
ditolak, pihak dekanat berkukuh bahwa kebijakan ini turun dari pusat. Maka
terlaksana lah aksi bersama terkait bayaran oleh ratusan mahasiswa UMT.
Aksi ini sempat memanas. Tuntutan mahasiswa
sama sekali tak disambut oleh pihak rektorat. Mereka berkukuh pada kebijakannya
terkait bayaran ini. Mahasiswa berdalih, uang yang dibayarkan tidak sesuai
dengan fasilitas yang mereka dapat. Apalagi mereka telah diizinkan ikut
perkuliahan sedari awal. Jika memang tak bayar tak bisa ikut ujian, kenapa tak
sekalian saja sedari awal mereka tak boleh ikut kuliah.
Karena kesal, ada mahasiswa yang membakar
jaket almamater. Selain itu, ada juga mahasiswi yang menggembok pagar kampus
sebagai simbol terkuncinya demokrasi di UMT. Sialnya, karena urusan menggembok
inilah mahasiswi tersebut diancam DO oleh kampusnya sendiri.
Nama mahasiswi itu adalah Dian Sarasti.
Seorang teman yang juga banyak membahas persoalan buruh di akun facebooknya.
Dia dituduh sebagai aktor aksi gembok-menggembok pagar kampus. Dan karena
aksinya ini, Ia beserta 15 mahasiswa lainnya diberikan dua pilihan oleh pihak
rektorat.
Pilihan pertama bagi mereka adalah
mendatangkan orangtuanya ke kampus untuk meminta maaf secara langsung di
hadapan media. Opsi pertama ini ditolak mentah-mentah oleh mereka. Karena itu
mereka langsung dihadapkan pada pilihan kedua, dipulangkan kepada orangtuanya
masing-masing yang bahasa kasarnya adalah di DO.
Saya secara pribadi lumayan jarang melihat
mahasiswa UMT melakukan aksi semasif ini. Boleh dikata, ini pertama kalinya
saya melihat mereka turun serempak memperjuangkan kepentingan mereka di hadapan
rektorat dengan massa yang tumpah ruah di jalanan. Dan bisa jadi, saat-saat
seperti inilah yang paling tidak diinginkan pihak rektorat UMT hingga mereka
jadi kebakaran jenggot dengan memaksa mahasiswanya memilih antara minta maaf
atau DO.
Aksi yang dilakukan mahasiswa UMT ini sebenarnya
hanyalah aksi yang biasa saja. Mereka hanya memperjuangkan hak dan
kepentingannya sebagai mahasiswa. Tak ada yang spesial dari aksi ini jika kita
melihat di kampus-kampus lain tak jarang aksi seperti ini terjadi.
Aksi ini kemudian menjadi tidak biasa karena
respons tidak bijaksana dari pihak kampus yang mengancam anak didiknya dengan
kata-kata DO. Oke, bukan di DO, tapi dipulangkan pada orangtuanya. Justru
dengan bahasa ‘dipulangkan kepada orangtua’ semakin terlihat watak orde baru
yang tak peduli demokrasi pada jajaran birokrat UMT.
Dengan watak orde baru macam ini, apa yang
boleh dilakukan mahasiswa hanyalah terbatas pada urusan belajar, belajar, dan
bayaran. Jangankan untuk aksi, protes pada dosen di kelas saja sudah menjadi
dosa besar untuk mahasiswa. Karena orde baru memang menciptakan iklim kampus
yang adem, ayem, damai, dan tenteram. Kalau mahasiswa tidak mau menuruti
keinginan kampus, ancaman DO sudah siap menanti mereka.
Hal-hal seperti inilah yang dihadapi oleh Dian
dan 14 mahasiswa UMT lainnya. Mereka bakal menjadi contoh agar
mahasiswa-mahasiswi lainnya tak lagi berani macam-macam dengan kewibawaan
kampus. Tak berani lagi bersuara menyatakan keberatan pada sikap
sewenang-wenang kampus.
Memang Dian hanya menggembok satu pagar
kampus. Tapi aksinya ini menunjukkan kebenaran pada kita semua, bahwa masih
banyak kampus-kampus di Indonesia yang menggembok demokrasi agar tak masuk ke
kepala mahasiswanya.
Pertama terbit di Mahasiswa Bicara
0 komentar:
Posting Komentar