Aditia Purnomo

DO yang Menggembok Demokrasi Kampus

Leave a Comment



Tak ada demokrasi di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT). Upaya menyuarakan hak dan kepentingan mahasiswa dibalas dengan ancaman Drop Out (DO) oleh pihak rektorat. Sekitar 15 mahasiswa fakultas hukum terancam hukuman DO setelah terlibat dalam aksi terkait uang kuliah.

Semua bermula ketika ujian akhir semester akan dimulai. Sebagian mahasiswa fakultas hukum yang belum mampu membayar uang kuliah meminta dispensasi agar diizinkan ikut ujian terlebih dahulu. Dispensasi ditolak, pihak dekanat berkukuh bahwa kebijakan ini turun dari pusat. Maka terlaksana lah aksi bersama terkait bayaran oleh ratusan mahasiswa UMT.

Aksi ini sempat memanas. Tuntutan mahasiswa sama sekali tak disambut oleh pihak rektorat. Mereka berkukuh pada kebijakannya terkait bayaran ini. Mahasiswa berdalih, uang yang dibayarkan tidak sesuai dengan fasilitas yang mereka dapat. Apalagi mereka telah diizinkan ikut perkuliahan sedari awal. Jika memang tak bayar tak bisa ikut ujian, kenapa tak sekalian saja sedari awal mereka tak boleh ikut kuliah.

Karena kesal, ada mahasiswa yang membakar jaket almamater. Selain itu, ada juga mahasiswi yang menggembok pagar kampus sebagai simbol terkuncinya demokrasi di UMT. Sialnya, karena urusan menggembok inilah mahasiswi tersebut diancam DO oleh kampusnya sendiri.

Nama mahasiswi itu adalah Dian Sarasti. Seorang teman yang juga banyak membahas persoalan buruh di akun facebooknya. Dia dituduh sebagai aktor aksi gembok-menggembok pagar kampus. Dan karena aksinya ini, Ia beserta 15 mahasiswa lainnya diberikan dua pilihan oleh pihak rektorat.

Pilihan pertama bagi mereka adalah mendatangkan orangtuanya ke kampus untuk meminta maaf secara langsung di hadapan media. Opsi pertama ini ditolak mentah-mentah oleh mereka. Karena itu mereka langsung dihadapkan pada pilihan kedua, dipulangkan kepada orangtuanya masing-masing yang bahasa kasarnya adalah di DO.

Saya secara pribadi lumayan jarang melihat mahasiswa UMT melakukan aksi semasif ini. Boleh dikata, ini pertama kalinya saya melihat mereka turun serempak memperjuangkan kepentingan mereka di hadapan rektorat dengan massa yang tumpah ruah di jalanan. Dan bisa jadi, saat-saat seperti inilah yang paling tidak diinginkan pihak rektorat UMT hingga mereka jadi kebakaran jenggot dengan memaksa mahasiswanya memilih antara minta maaf atau DO.

Aksi yang dilakukan mahasiswa UMT ini sebenarnya hanyalah aksi yang biasa saja. Mereka hanya memperjuangkan hak dan kepentingannya sebagai mahasiswa. Tak ada yang spesial dari aksi ini jika kita melihat di kampus-kampus lain tak jarang aksi seperti ini terjadi.

Aksi ini kemudian menjadi tidak biasa karena respons tidak bijaksana dari pihak kampus yang mengancam anak didiknya dengan kata-kata DO. Oke, bukan di DO, tapi dipulangkan pada orangtuanya. Justru dengan bahasa ‘dipulangkan kepada orangtua’ semakin terlihat watak orde baru yang tak peduli demokrasi pada jajaran birokrat UMT.

Dengan watak orde baru macam ini, apa yang boleh dilakukan mahasiswa hanyalah terbatas pada urusan belajar, belajar, dan bayaran. Jangankan untuk aksi, protes pada dosen di kelas saja sudah menjadi dosa besar untuk mahasiswa. Karena orde baru memang menciptakan iklim kampus yang adem, ayem, damai, dan tenteram. Kalau mahasiswa tidak mau menuruti keinginan kampus, ancaman DO sudah siap menanti mereka.

Hal-hal seperti inilah yang dihadapi oleh Dian dan 14 mahasiswa UMT lainnya. Mereka bakal menjadi contoh agar mahasiswa-mahasiswi lainnya tak lagi berani macam-macam dengan kewibawaan kampus. Tak berani lagi bersuara menyatakan keberatan pada sikap sewenang-wenang kampus.


Memang Dian hanya menggembok satu pagar kampus. Tapi aksinya ini menunjukkan kebenaran pada kita semua, bahwa masih banyak kampus-kampus di Indonesia yang menggembok demokrasi agar tak masuk ke kepala mahasiswanya.

Pertama terbit di Mahasiswa Bicara
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar