Aditia Purnomo

RIdwan Alimudin: Menggerakkan Pustaka Bukan Cuma Soal Menggelar Lapak Baca

Leave a Comment
Kami bertemu dalam satu agenda yang luar biasa: Simposium Pengorganisasian. Menghadirkan 14 lembaga yang fokus pada isu pengorganisasian massa, simposium ini berlangsung di Pusat Pelatihan Komunitas Ininnawa, Maros, Sulawesi Selatan. Acara berlangsung semarak selama 2 hari dan berhasil menyedot perhatian orang banyak, termasuk saya dan Ridwan Alimudin.
Selain kami berdua, tentu ada banyak orang luar biasa dalam simposium ini. Namun, nama terakhir, Ridwan Alimudin, tentu menjadi hal pembeda dalam keluarbiasaan agenda ini.
Selama ini, Ridwan dikenal sebagai sosok di balik kemudi Perahu Pustaka yang tersohor itu. Dalam gerakan literasi, yang kebetulan saat ini tengah saya geluti, nama Ridwan sama dikenalnya dengan Nirwan Arsuka, sang penggagas Pustaka Bergerak Indonesia. Mereka berdua adalah dua orang yang banyak menginspirasi anak muda seperti kami untuk terjun di gerakan ini, membuka taman baca walau hanya ala kadarnya.
Meski memiliki nama yang harum di mata publik, Ridwan tetap dengan rendah hati menerima saya untuk membincangkan Perahu Pustaka dan gerakan literasi bersamanya. Di sela waktu yang mepet usai makan siang, perbincangan dengannya memberi satu pencerahan baru bagi saya terkait urusan literasi ini.
Kehadiran Perahu Pustaka ini sebenarnya bermula dari sebuah diskusi di Twitter pada 2015. Obrolan yang berlangsung antara Nirwan Arsuka, Aan Mansyur, juga beberapa orang lainnya, wacana itu diwujudkan dengan menunjuk Ridwan sebagai komandan Perahu Pustaka. Setelahnya, berlayarlah sebuah kapal dengan ribuan buku yang mengantarkan donasi buku bagi masyarakat di beberapa daerah.
Dengan segala kebesarannya, Ridwan menganggap kehadiran Perahu Pustaka ini hanya sebagai sebuah simbol saja. Sebagai sebuah gerakan, Perahu Pustaka adalah katalisator, adalah sebuah simbol yang diharap menginspirasi anak-anak muda terlibat dalam gerakan literasi. Dan harapan itu terjawab, setelah berlayar untuk pertama kali, semakin banyak taman baca yang tumbuh di nusantara.
Menurut Ridwan, sebagai sebuah gerakan, Perahu Pustaka tidak bisa melulu dilayarkan. Mengingat kebutuhan biaya untuk membawa perahu ini berlayar cukuplah besar, menurutnya, lebih baik anggaran itu digunakan untuk membeli buku. Apalagi sekarang Pustaka Bergerak Indonesia telah bekerja sama dengan Pos Indonesia terkait program pengiriman buku gratis ke seluruh nusantara setiap bulannya.
Walau begitu, tentu saja, perjuangan gerakan literasi di Indonesia belumlah selesai. Masih ada banyak hal yang harus diperhatikan para pegiat literasi, khususnya para pengelola taman baca. Setidaknya, ada dua pesan penting, semacam otokritik bagi pegiat literasi,  yang saya dapat dari Ridwan Alimudin terkait hal ini.
Pertama terkait pengelola taman baca yang tidak konsisten dalam perjuangannya. Hal ini berkaitan dengan banyaknya penggerak taman baca, yang nontabene mengajak orang lain baca, di sisi lain justru menjadi orang yang tidak mau membaca buku. “Kan logikanya dimana? Mengajak orang baca buku tapi sendirinya tidak,” tegas Ridwan.
Kedua, jangan memaknai gerakan literasi sebatas menggelar lapak baca. Ini menjadi satu persoalan penting dalam gerakan literasi. Jika memaknai gerakan hanya sebatas itu, menurut Ridwan, bahkan ‘orang buta huruf’ juga bisa melakukannya. Bahwa aktivitas dalam gerakan literasi tidak hanya sebatas itu.
Ridwan memisalkan, agenda Simposium Pengorganisasian yang dilakukan Komunitas Ininnawa adalah contoh dari aktivitas yang bisa dilakukan oleh gerakan literasi. Meskipun dalam konteks yang berbeda, gerakan literasi bisa membuat beragam acara diskusi atau yang lainnya untuk mengembangkan kapasitas para penggerak taman baca. Bahkan, jika bisa, membangun jaringan dengan kelompok lain adalah hal yang perlu diupayakan.
Jika tidak memiliki kegiatan yang lain, mereka yang hanya membuat lapakan baca bisa jadi akan merasa bosan sendiri. Para penggerak literasi sendiri jangan terlalu memasang target muluk, setidaknya para penggerak bisa mendapatkan pengalaman dari gerakan ini. “Jangan langsung berharap satu kampung ranking 1 semuanya,” ujarnya.
Yang penting dalam sebuah gerakan literasi adalah proses bagi para penggeraknya. Pengalaman dan pembelajaran bagi para penggerak menjadi hal yang juga harus diperhatikan. Mengingat gerakan literasi macam begini tidaklah memberi penghasilan bagi para pegiatnya, proses dan perkembangan para penggerak menjadi satu-satunya keuntungan yang bisa didapatkan.
Jikapun nantinya kelompok itu harus bubar, Ridwan menganggap itu sebagai sebuah dinamika yang perlu dimaklumi. Setidaknya kelompok tersebut sudah berusaha, sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Terbit pertama untuk Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar