Aditia Purnomo

Sebuah Upaya Membedah Gelap Terang Hidup Kartini

Leave a Comment
Ada dua hal yang kiranya tidak, atau setidaknya belum, bisa dilepas dalam narasi tentang Kartini. Ibu kita yang harum namanya itu selalu memiliki keterkaitan terhadap dua hal: kontradiksi dan perdebatan. Persoalan pertama adalah sumber dari perkara kedua. Tapi keduanya selalu terikat dalam segala pandangan tentangnya.
Tidak sedikit orang yang mendebat: Kartini bukanlah prototipe dari awal mula gerakan feminisme di Indonesia. Jikapun sekadar diukur dari perjuangan dan perwujudan cita-cita, ada banyak tokoh perempuan, pun seangkatan, yang lebih berhasil dari apa yang diraih Kartini. Nama-nama macam Dewi Sartika atau Rohana Kudus adalah contoh dari tokoh perempuan tersebut.
Perdebatan terkait hal ini pastinya akan dikaitkan pada kontradiksi yang terjadi dalam hidup Kartini. Sebagai sosok yang ditampilkan sebagai pendekar kaumnya, Ia justru menelan nasib hidup dalam lingkaran poligami, satu hal yang benar-benar Ia benci. Segala upayanya melawan kultur feodal dan patriarki, yang Ia tunjukkan dari surat-suratnya, pada akhirnya tidak menjadi tameng dalam hidupnya. Ia tetap dipersunting Bupati Rembang dalam status: istri keempat.
Meski begitu, ada banyak hal yang tetap bisa kita pelajari dari sosoknya. Ia adalah sosok yang cerdas, sekaligus lemah hati. Melahap pelbagai paham barat, tapi tetap tunduk di hadapan adat. Dan yang terutama, Ia adalah pejuang bagi kaumnya, juga menjadi salah satu ‘sang pemula’ bagi gerakan nasionalisme di nusantara.
Hal inilah yang kemudian ditangkap tim redaksi majalah Tempo tatkala menggarap sebuah liputan khusus untuk mengulik gelap terang hidup Kartini. Bahwa Ia kemudian harus menyerah pada rasa sayangnya terhadap sang ayah, tidak serta merta menghilangkan api yang telah Ia nyalakan. Ia tetaplah sosok dengan gagasan visioner dan mendorong perlawanan terhadap adat yang menghabisinya.
“Walau begitu, satu hal pasti: kami jadi semakin yakin bahwa kami tak keliru memilih Kartini untuk edisi khusus kali ini.” – Tim Redaksi Tempo
Liputan khusus yang kemudian diterbitkan dalam buku seri Tempo: Gelap Terang Hidup Kartini ini menjadi sebuah kumpulan tulisan yang berupaya, kembali menggali gagasan dan narasi perjuangan yang telah Ia lakukan. Tidak hanya menyajikan kisah hidupnya, tapi juga membedah pokok-pokok pemikiran dalam gagasan yang tertulis surat-suratnya.
Ketika menjalani satu masa terberat dalam kehidupannya, pingitan, Kartini tidak lantas patah arang. Ia membacai buku-buku yang tersedia di rumahnya. Tatkala kedua adiknya turut menjalani masa pingitan, Ia malah menghimpun kekuatan bersama mereka. Sebuah perlawanan, dengan cara yang paling sederhana, dilakukan terhadap adat yang mengekang mereka. Persamaan derajat dan sebuah upaya membebaskan diri dari tradisi unggah-ungguh berlebih dilakukan dalam lingkup kehidupan mereka.
Satu hal lain yang menjadi jalan pembebasan baginya pada masa tersebut adalah: melakukan korespondensi dengan teman-teman penanya. Lewat sarana surat-menyuratlah, Ia berhasil melakukan kontak dengan bebas serta menajamkan pikirannya. Hal menarik pada fase ini adalah, Ia menemukan lawan bersurat melalui iklan di sebuah majalah Belanda.
Memang pada akhirnya, kisah hidup Kartini berakhir tragis. Tanpa pernah benar-benar membangun sekolah untuk kaumnya, juga meski gagal menghindar dari adat dan cengkeraman poligami, Kartini tetap berhasil menyalakan api bagi kaumnya untuk memperjuangkan kesetaraan di bumi nusantara.
Pertama terbit di Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar