Aditia Purnomo

Melawan Tulisan

Leave a Comment

Beberapa waktu lalu, nama Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi menjadi bahan perbincangan hangat di dunia maya. Namun, saat itu dia menjadi perbincangan bukan karena menelurkan novel baru, melainkan karena niatannya memproses secara hukum seorang blogger dan pengamat perbukuan bernama Damar Juniarto karena mengkritik dirinya.

Menurut Damar yang aktif mengamati dunia buku, klaim Andrea tentang tidak adanya karya  anak bangsa yang mendunia dalam kurun waktu seratus tahun jelas-jelas mencederai dunia sastra Indonesia. Pasalnya pengakuan internasional terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang hampir mendapat Nobel jelas tak sebanding dengan label bestseller karya Andrea.

Meski begitu, niatan Andrea untuk membawa urusan kritik Damar di Kompasiana ini ke ranah hukum tentu bukanlah hal yang patut diapresiasi. Entah apa yang ada di otanya hingga ia begitu bernafsu dicatat sejarah untuk menjadi orang pertama yang memperkarakan kritik terhadapnya.

Mungkin Andrea hanya belajar sejarah versi Orba, atau malah tidak belajar sejarah. Dalam perjalanan bangsa, Pramoedya, HB Jassin, atau Taufik Ismail kerap melakukan perang kritik. Begitu juga Martin Aleida yang membalas pandangan Sulastomo, matan ketua umum PB HMI tentang korban 65 di Harian Kompas melalui tulisan lagi.

Goenawan Mohammad, wartawan yang kini lebih diidentifikasi sebagai sastrawan juga pernah mengkritik Pram yang menolak permintaan maaf Gusdur atas peristiwa 65 di Majalah Tempo. Dan Pram, dengan kecerdasannya membalas tulisan Goenawan di media yang sama dengan argumentasi yang khas dirinya.

Dalam tataran ini, kritik yang diberikan seseorang mampu mereka lawan secara intelektual. Mereka, tak seperti Andrea, menggunakan intelektualitasnya dalam memandang kritik atas dirinya. Dengan hal tersebut, pertarungan intelektual lebih dikedepankan ketimbang membawanya ke ranah hukum atas dasar pencemaran nama baik.

Di Kampus UIN, peristiwa melawan tulisan dengan hukum juga pernah terjadi. Saat itu, pemimpin sebuah lembaga Pers Mahasiswa melancarkan kritik terhadap rektorat atas upayanya menjinakan mahasiswa. Sayangnya, pihak yang dikritik ini mungkin kurang cerdas dan tak mampu menulis hingga memperkarakan kritik tersebut dengan kekuasaannya di kampus. Tak ayal ancaman skorsing pun menimpa mahasiswa berani tersebut.

Ancaman skorsing memang begitu berbahaya bagi mahasiswa tingkat akhir, hingga akhirnya pemimpin lembaga pers mahasiswa ini menulis sebuah pernyataan permohonan maaf dan mencabut kritik yang dilancarkannya. Dalam hal ini, mahasiswa itu tak bisa disalahkan, tapi kelakuannya patut disayangkan.

Seandainya ancaman rektorat terhadap dirinya tak ia gubris, dan ia tetap berpegang pada apa yang ia yakini hingga tak perlu meminta maaf, penulis yakin, gerakan moral akan berada bersama orang-orang yang berani. Jika tidak, minimal penulis yang akan berdiri disampingnya untuk melawan semua tindakan yang membungkam.

Karena seperti kata Pram, menulis adalah sebuah keberanian. Dan karena keberanian Pram, penjara menjadi tempat yang tak asing baginya. Bagi penulis, Damar dan orang-orang yang berani menulis kritik adalah pemberani. Dan penulis tentu akan berada di garda depan bila akhirnya Damar harus dikriminalisasi.

Semoga tindakan pembungkaman dan pengekangan kebebasan berekspresi dapat musnah dari Bumi Indonesia. Dan semoga orang-orang yang tidak menyukai tulisan ini melakukan kritik terhadap penulis. Dan akhirnya semoga mereka tidak mengkriminalisasi penulis akibat tulisan ini.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar