Aditia Purnomo

Protap Polri dan Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat

Leave a Comment


Diterbitkannya Prosedur Tetap Polri tentang penanggulangan anarki tahun 2010 menimbulkan pertanyaan besar bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Protap tersebut memberikan keleluasaan bagi polri untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga kestabilan dan keamanan negara. Namun disatu sisi, keberadaan protap tersebut juga menjadi ganjalan bagi masyarakat saat melakukan demonstrasi.

Keberadaan demonstrasi sebagai alat penyampai pesan dimuka umum kini sedikit terpengaruhi keberadaan protap tersebut. Terlalu seringnya demonstrasi di jalanan berujung pada chaos membuat protap tersebut menjadi alat sakti aparat untuk membubarkan dan mengacaukan massa.

Hal tersebut tentu menjadi rancu di masa reformasi yang katanya anti rezim orba, namun menciptakan sebuah peraturan yang khas sekali dengan rezim itu. Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang tercantum dalam konstitusi republik ini memang tak terwujud pada masa itu. Dimana konsep massa mengambang ala jendral tua yang sudah mati itu tak memberi kesempatan masyarakat mengamalkan pasal 28 UUD 1945.

Padahal, lahirnya reformasi yang diiringi lahirnya berbagai perundangan baru yang membawa angin segar bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya terlah terwujud. UU no 9 Tahun 1998 juga telah memberi keleluasaan masyarakat untuk kembali turun ke jalan, seperti saat melawan parlemen yang tumpul melalui mobilisasi massa yang menjadi sebuah parlemen jalanan yang mampu menghakimi rezim otoritarian tersebut.

 Namun, terlalu banyaknya permasalahan yang tak mampu diselesaikan pemerintahan baru  berbanding lurus dengan banyaknya demonstrasi, baik yang sifatnya seremonial pertahun ataupun insidental untuk menanggapi kebijakan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang menurut para demonstran menyengsarakan rakyat selalu menjadi isu yang diangkat dalam aksinya. Tetapi terlalu sering pula pemerintahan baru ini tak merasa dikritik atas kebijakannya.

Oleh karena itu, untuk menaikan isu yang mereka angkat di media massa, kebanyakan agenda setting para demonstran akan berujung pada chaos yang dalam protap tersebut disebut anarki. Meski para penanggungjawab aksi tentu memahami teks yang ada di UU no 9 Tahun 1998 dan tahu akan ancaman pidana yang menunggu mereka jika aksi berujung anarki, mereka masih menjalankannya demi mewujudkan kemerdekaan 100% bagi rakyat Indonesia.


Meski begitu, pemerintah bersama aparatur yang kini siap menjadi alat untuk menjaga kekuasaan tidak lagi menghiraukan keselamatan massa dengan penindakan yang berkala hingga perintah tembak di tempat. Kini, kemerdekaan menyampaikan pendapat, sekali lagi diuji oleh peraturan dan legitimasi yang dibuat pemerintah.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar