Aditia Purnomo

Banten, Demokrasi, dan Gerakan Rakyat

Leave a Comment


Tahun ini Propinsi Banten merayakan ulang tahunnya yang kesebelas dengan penuh sukacita. Tepat semomen sebelum perayaan, rakyat Banten dikejutkan oleh berita ditangkapnya Tb. Chaery Wardana yang tak lain dan tak bukan adalah adik kandung Gubernur Banten. Sontak, mahasiswa dan tokoh-tokoh Banten merayakan kejadian itu dengan melakukan “sujud syukur” di jalanan. Inilah kado ulang tahun Banten paling istimewa bagi mereka.

Euforia tak selesai sampai disitu, tepat pada HUT Banten, ribuan mahasiswa dari berbagai organisasi tumpah ruah di ibukota Banten, mereka menuntut Gubernur, Ratu Atut Chosiyah mundur dan diusutnya kasus korupsi di Banten. Inilah gerakan mahasiswa yang paling massif (yang pernah saya ikuti) selain gerakan “Revolusi Rakyat Banten” pada perayaan HUT Banten ke 10 dan gerakan menolak kenaikan BBM tahun 2012.
Begitulah pesta yang digelar mahasiswa. Mereka melakukan orasi sepanjang hari, terus turun ke jalan selama seminggu penuh demi tercapainya cita-cita perjuangan. Bagi semua pihak yang berharap kejatuhan Atut, inilah   terbaik untuk melakukannya. Pasalnya, sudah lama perjuangan dilakukan, namun kekuasaan Atut masih terlalu kuat bagi gerakan.

Tahun 2011 lalu, dugaan penyelewengan dana hibah propinsi Banten sebesar 340 miliar yang sedikit muncul ke permukaan media gagal menyeret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mampir ke Banten. Semua laporan dugaan penyelewengan anggaran tidak banyak mendapat perhatian KPK. Pupuslah harapan melihat Atut jatuh saat itu.

Di tahun yang sama, gerakan 3000 mahasiswa yang turun mengepung Pendopo Gubernur dalam perayaan HUT Banten ke 10 tidak berhasil menggoyang kekuasaan Atut di Banten. Kekuasaan Atut di Banten masih begitu kuat dengan segala mesin politiknya. Tak kuasa menggoyang, justru gerakan mahasiswa dikejar oleh para jawara.

Begitulah kisah perjalanan gerakan Banten. Praktis, setelah tahun 2011 tak ada gerakan berarti yang mampu membuat penguasa ketar-ketir menghadapi kekuatan Rakyat. Dan masa jenuh gerakan kemudian terkikis oleh peristiwa yang telah disebut diatas. Gerakan di Banten kembali panas, terangsang, dan kembali massif.

Seketika permasalahan ini menjadi isu nasional yang terus digoreng media untuk disajikan kepada khalayak. Isu dimulai dari dugaan keterlibatan Atut pada sengketa pilkada Lebak yang menyeret dua tersangka, Akil Muchtar selaku Hakim Konstitusi dan Wawan sang pangeran dinasti Banten. Akhirnya media yang tadinya agak malas repot-repot pergi ke Banten segera bergegas mencari tokoh yang bisa diwawancara.

Sayang, hal ini kemudian dimanfaatkan mereka yang berkepentingan untuk mengaburkan isu. Media mempublikasikan semua data dan berita tentang dinasti politik yang dipimpin oleh Atut, namun isu utama yang mengaitkan Atut dengan kasus pilkada Lebak semakin terabaikan. Semua pihak akhirnya membahas tentang dinasti politik dan mulai amanlah kembali posisi Atut di mata hukum.

Media memainkan peran penting dalam hal kaburnya isu utama ini. Mereka setidaknya menyeret perhatian khalayak dan mengkonstruk opini publik agar fokus pada isu dinasti politik. Kemudian perdebatan yang terjadi adalah tentang boleh atau tidaknya keberadaan dinasti politik sampai urusan Pilkada yang kembali diserahkan kepada Parlemen daerah.

Padahal, persoalan dinasti politik ini sudah menjadi diskusi panjang sejak Atut mulai berkuasa. Bagi gerakan di Banten, perdebatan soal dinasti politik sudaj selesai. Tinggal bagaimana kemudian gerakan ini mampu membuat formula yang mampu menjatuhkan rezim tiran di Banten. Sayang media justru mem.ainkan opini publik yang melenceng dari harapan gerakan

Begitulah kemudian kondisi ini justru menguntungkan Gubernur dan keluarganya. Karena permasalahan hukum yang mereka hadapi tak lagi nyaring bunyinya dan urusan dinasti politik mudah dikondisikan. Dalam komunikasi politik, penggiringan opini publik ini sesuai dengan pengertian opini publik itu sendiri menurut Anwar Arifin.

Secara sederhana, ia menyatakan, “opini publik merupakan kegiatan untuk mengungkapkan atau menyampaikan apa yang oleh masyarakat tertentu diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh seseorang untuk kepentingan mereka dari situasi tertentu – issue diharapkan dapat menguntungkan pribadi atau kelompok (Arifin, 2010)”.

Inilah yang kemudian membuat gagalnya gerakan yang terbangun guna meruntuhkan kekuasaan dinasti. Isu hukum itu gagal dipertahankan oleh gerakan hingga perluasan isu menguntungkan pihak Ciomas. Seharusnya isu hukum ini dapat dipertahankan dan membuat pengusutan kasus yang diduga melibatkan Atut ini segera menyeretnya ke status tersangka.

Seandainya hal ideal ini yang berjalan dan Atut telah dijadikan tersangka, maka niscaya dinasti politik Banten akan segera runtuh sesuai dengan harapan gerakan. Ketika Atut mendapatkan hadiah status tersanga, maka dengan sendirinya keruntuhan akan dimulai dari impeachment kepadanya oleh parlemen daerah. Bila hal tadi berjalan lambat, gerakanlah yang akan mendorong dan mengawasi proses penjatuhan Atut secara demokratis.

Dinasti Politik

Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) di Widya Chandra dimana Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar jadi tersangka kini memunculkan babak baru. Nama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah kini disangkutpautkan.

Tidak lama usai operasi tangkap tangan, KPK pun mengambil langkah sikap dengan mengeluarkan pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Ratu Atut Chosiyah. Keputusan tersebut dikeluarkan setelah sang adik Tubagus Chaery Wardana alias Wawan ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kasus pilkada Kabupaten Lebak. Wawan disebut sebagai tokoh sentral Dinasti Banten .

Dengan penetapan status tersangka kepada Tubagus Chaery Wardana tersebut kini memperlebar perkara ke ranah politik, dimana hal tersebut dikaitkan dengan dinasti politik Ratu Atut.

Dikutip dari berbagai sumber, pada tahun 2006 diketahui, Ratu Atut terpilih menjadi Wakil Gubernur Banten melalui pemilihan langsung, hanya beberapa bulan setelah Pilkada. Atut kemudian menjadi gubernur menggantikan Gubernur Djoko Munandar yang terseret kasus korupsi.

Selama kepemimpinan Atut, banyak saudaranya yang mendapat tempat strategis di Banten. Pada tahun 2008, adiknya Haerul Zaman terpilih menjadi Wakil Wali Kota Serang, kemudian menjadi Wali Kota Serang setelah sang Wali Kota meninggal.

Kemudian tahun 2010 Ratu Atut Chasanah yang juga adik Ratu Atut, terpilih menjadi Wakil Bupati Serang. Tak lama setelah itu tepatnya tahun 2011, Heryani yang juga ibu tiri Atut terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang. Di tahun yang sama, istri Tubagus Chaeri Wardana (adik Atut) yaitu Airin Rachmi Diany terpilih menjadi Wali Kota Tangerang Selatan.

Keluarga terdekat Atut juga sukses di ranah politik menunggangi Partai Golkar. Suami Atut, Hikmat Tomet, menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 dan dijagokan lagi oleh Golkar sebagai caleg di Pemilu 2014. Anak Atut, Andika Hazrumy, kini duduk di DPD RI mewakili Banten dan menjadi caleg Golkar untuk DPR RI di Pemilu 2014 mendatang. Anak tiri Atut, Tanto Warbono Arban juga diajukan menjadi anggota DPRD I Banten di Pemilu 2014 mendatang.

Tidak hanya itu, Rosi Khoerunnisa yang juga saudara ipar Atut kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD II Serang dan akan diusung Golkar untuk DPRD I Banten pada Pemilu 2014. Kemudian ada nama anak Atut, Andiara Aprilia Hikmat yang akan maju menjadi DPD RI 2014 dari Banten. 

Begitulah silsilah kekuasaan yang terjadi dilingkaran keluarga Ciomas. Pada dasarnya, mereka yang terpilih telah melalui jalan demokrasi yang digunakan dan ditetapkan oleh Undang-undang. Saya juga sepakat jika kita tak dapat menghalangi hak konstitusional masyarakat untuk dipilih dan memilih. Namun, itu hanya berlaku jika kita memahami betul apa itu konteks demokrasi.

Sebenarnya apa  yang terjadi di Banten ini mengingatkan kita kembali akan mimpi buru 32 tahun orde baru. Dimana kekuasaan dibangun melalui jalur yang benar sesuai dengan Undang-undang yang tidak benar. Itulah yang terjadi di Banten. Semua kekuasaan yang diperoleh keluarga Ciomas memang sah dimata Undang-undang karena undang-undang yang dipakai memperbolehkan kita melakukan hak itu.

Jika mengacu pada hakikat demokrasi ala revolusi Perancis, maka pembagian kekuasaan harusnya menjadi sesuatu yang membangun dan saling mengawasi, bukannya satu keluarga duduk dalam kekuasaan yang terbagi. Jika konsep demokrasi ala undang-undang yang dijalankan, maka Korupsi Kolusi dan Nepotismelah yang yang terjadi. Begitulah kemudian demokrasi konstitusional berjalan.

Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan, ciri khas dari demokrasi konstitusional adalah dibatasinya kekuasaan pemerintah dan pembatasan itu tertuang dalam konstitusi. Karena itu, hak-hak warga negara yang tertuang dalam konstitusi kemudian akan dijamin oleh negara. Kemudian, untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam perjalanannya, demokrasi mendapatkan sistem yang diformulasikan oleh Montesqiueu dengan apa yang kita kenal dengan Trias Politica.

Namun, jika sering kita mendengar ucapan Karni Ilyas dalam iklannya di stasiun televisinya, kepada siapa kita harus percaya jika eksekutif, legislatif, dan yudikatif justru bekerja sama dan tak bisa dipercaya? Masihkan kita harus percaya pada demokrasi?

Saya teringat tulisan Bung Karno di dalam buku ” DI BAWAH BENDERA REVOLUSI” tepatnya halaman 174 – 175, disitu disebutkan sistem demokrasi yang seharusnya kita kehendaki dan kita terapkan adalah sebuah sistem demokrasi yang dinamakan sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah demokrasi masyarakat, demokrasi masyarakat adalah demokrasi yang berdiri dengan dua – dua kakinya didalam masyarakat. 

Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan gundukan kecil saja, tetapi mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Sosio- demokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman, dll, tetapi sosio-demokrasi adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negri dan keberesan rezeki. Sosio- demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Begitulah pemaknaan demokrasi oleh seorang bapak bangsa kita. Demokrasi berjalan bukan atas nama kepentingan hak individu seperti yang dicanangkan di Barat, namun demokrasi kita adalah demokrasi yang berdiri diatas kepentingan rakyat. Ingat, kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan. Saya tekankan kembali, bahwasannya demokrasi sekarang ini hanya memberikan sebuah legitimasi kepada elite untuk mempermainkan kesejahteraan rakyat jelata. Demokrasi yang hanya menimbulkan kesenjangan sosial saja.

Bahkan, jika kita menganalogikan dinasti politikdi Banten seperti kekuasaan orde baru, maka bolehlah jika saya mengutip “Manifesto Partai Rakyat Demokratik” yang dibacakan pada 22 Juli 1996. “TIDAK ADA DEMOKRASI DI INDONESIA. Demokrasi --dalam makna kedaulatan rakyat-- adalah prinsip dasar dan landasan bagi pembentukan suatu kekuasaan negara. Selama kedaulatan rakyat masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan ekonomi, politik, dan budaya sebuah bangsa dan masyarakat, selama itu pula sejarah akan memberikan alat-alat perlawanan untuk menegakkannya.”

Saat itu, PRD dikenal sebagai partai yang lahir dalam kekacauan politik di akhir orde baru. PRD didirikan oleh sekelompok anak muda yang berani melawan kekacauan dan kengacoan demokrasi ala Orde Baru. Mereka kemudian mengorganisir buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota untuk melawan penindasan sistemik orde baru.

Perkembangan ekonomi Indonesia yang makin menguntungkan kelompok minoritas pemilik modal, dan eksploitasi modal asing di Indonesia, menjadikan kehidupan bernegara yang ada semakin keji dan jauh dari cita-cita rakyat untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Begitulah mereka mengungkapkan keadaan Indonesia dibawah demokrasi “ngaco” ala orde baru.

Kemudian : kaum buruh mulai melakukan pemogokan di berbagai kawasan industri; kaum tani melakukan aksi-aksi menentang penggusuran; para mahasiswa berdemonstrasi menentang militerisme; para intelektual menentang penindasan atas kebebasan akedemik; dan inilah bentuk nyata perjuangan rakyat melawan penghisapan yang dilakukan sistem ini.

Sekali lagi, apa yang sebenarnya dilawan oleh gerakan, baik sektoral maupun bukan, adalah perlawanan terhadap sistem yang menghancurkan hak hidup banyak orang. Perlawanan rekan-rekan adalah perjuangan melawan sistem beserta perangkatnya yang menghisap kedaulatan rakyat. Tak ada kebencian secara personal dalam perjuangan ini, yang kami benci hanyalah kelakuan bejad yang penindas lakukan.

Karena itu, pantaslah jika gerakan rakyat menuntut Atut turun ini berjalan. Karena inilah gerakan orang-orang sadar yang bersedia merelakan jiwa raganya untuk berjuang melawan penindasan. Sistem ekonomi, politik dan budaya sekarang ini, yang dijaga oleh barisan jawaranya, terbukti memang tidak mampu menyalurkan apalagi mencari jalan keluar bagi problem-problem nyata yang dihadapi oleh rakyatnya sendiri.

Kembali mengacu pada Manifesto PRD, perkembangan masyarakat sipil modern yang berkedaulatan rakyat akan tergantung dari cara-cara kita membangun suatu gerakan demokrasi di masa kini. Langkah-langkah strategis-taktis harus dibangun sekarang ini dengan tetap berangkat dari kondisi-kondisi kongkrit yang ada dimasyarakat.

Semoga cita-cita pendiri bangsa mampu diwujudkan oleh kita sebagai generasi penerusnya, dan semoga cita-cita ini bukan menjadi milik segolongan kecil saja. Tentu saja kita berharap perbaikan kehidupan masyarakat tercipta dan Gubernur Ratu Atut Chosiyah segera diadili KPK. Kabulkanlah Tuhan.

Refferensi:
- Komunikasi Politik, Sebuah Pengantar (Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru)
- Dasar-dasar Ilmu Politik (Miriam Budiarjo)
- Pokok-pokok ajaran marhaenisme menurut Bung Karno (Soekarno)
- Manifesto Partai Rakyat Demokratik

Ciputat, 8 Oktober 2013

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar