Aditia Purnomo

STOVIA, ELAM, dan Paradigma Kedokteran Kita

3 comments

Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi modern yang kali pertama muncul di bumi nusantara. Terlepas dari berbagai perdebatan yang hadir bersama organisasi itu, inilah organisasi yang turut menginspirasi gerakan kebangkitan nasional. bersamanya, hadir pula para terpelajar dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) yang membidani proses
lahirnya organisasi ini, ya para calon dokter itu.

Sebagai organisasi, Boedi Oetomo (BO) memang tak banyak terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan. Ruang lingkup yang diambil oleh BO lebih mengarah pada bidang pengajaran. Belum lagi, dalam perkembangannya, kepengurusan BO kemudian diambil alih oleh para Priyayi tua yang membuat organisasi ini mandek.

Meski begitu, berbagai permasalahan yang dialami BO bukanlah hal yang akan dijadikan fokus dalam tulisan ini. Kesadaran yang timbul dari para calon dokter Gubermen itulah yang jadi titik pijak kemana tulisan ini dibentuk. Ya, kesadaran para calon dokter. Kesadaran untuk memajukan bangsanya.

Dalam historiografi Indonesia, kelahiran BO terinspirasi dari Wahidin Soedirohoesodo, alumni sekolah dokter ini,  yang melakukan perjalanan untuk mendatangi setiap sekolah di Jawa. Kehadirannya di STOVIA kemudian membuat beberapa mahasiswa terbuka pikirannya. Mereka adalah Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, dan kawan-kawan yang kemudian kerap mengadakan diskusi yang membicarakan nasib bangsa. 

Dalam diskusi-diskusinya, para calon dokter itu memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Hingga akhirnya Soetomo mengungkapkan gagasannya tentang masa depan bangsa dan terlahirlah Boedi Oetomo.

Begitulah, ternyata kesadaran yang dimiliki bangsa ini pertama-tama terbentuk dari kepala para mahasiswa STOVIA, sekolah pribumi paling tinggi di nusantara saat itu. Mengikuti bahasa yang digunakan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jejak Langkah, para mahasiswa menyadari, tugas dokter saja menyembuhkan penyakit pada badan, tapi juga membangkitkan jia bangsa yang memendam ketidaktahuan. 

“Siapa yang akan melakukannya kalau bukan para tepelajar?” begitu tegas Pram. 

Ya, siapa pula yang dapat membantu bangsanya keluar dari penjajahan jika bukan seorang terpelajar. Dan para calon dokter itu telah membuktikan, bahwa mereka, yang nantinya akan bekerja sebagai dokter, adalah bagian dari golongan terpelajar itu. Dan para dokter itu juga telah membuktikan, mereka lah yang mula-mula sadar di gerakan kebangkitan nasional.

Kedokteran dan Pendidikan Gaya Bank.

Bagi Paulo Freire, pendidikan adalah cara memanusiakan manusia. Pendidikan tidak boleh dianggap semata-mata sebagai bisnis dan investasi yang berorientasi profit. Karena itulah Ia menolak keras keberadaan pendidikan gaya bank yang membuat lembaga pendidikan seolah pabrik yang menciptakan tenaga kerja dengan upah murah.

Sayangnya, suara Freire tak mampu terdengar di Indonesia. Pendidikan gaya bank dalah mazhab pendidikan yang dianut di Negara ini. Komersialiasi pendidikan yang membuat harga pendidikan menjadi mahal membuatnya menjadi investasi yang harus mampu membalikkan modal pendidikan, kalau perlu menghasilkan keuntungan.

Model pendidikan seperti ini menjalar di berbagai lini pendidikan. Baik lembaga pendidikan milik Negara ataupun swasta, semua sama, berharga mahal dan tak mampu dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Dan yang paling mahal tentulah pendidikan kedokteran yang liar biasa harganya.

Jika berkaca pada STOVIA, tentu terdapat perbedaan yang nyata pada pendidikan kedokteran masa kini. Dulu, para calon dokter itu mendapatkan beasiswa hingga tak memusingkan persoalan harga pendidikan. Sekolah dokter itupun dapat diisi oleh anak-anak guru yang termasuk golongan masyarakat biasa. Coba kita tengok pendidikan kedokteran kini, masihkah murah seperti dulu?

Mahalnya harga pendidikan kedokteran kini pastinya membuat pendidikan ini menjadi tertutup bagi semua lapisan. Memang pada masa STOVIA tidak semua lapisan masyarakat mengikuti pendidikan kedokteran. Namun, setidaknya kesempatan tetaplah ada selama anak bangsa punya kemampuan untuk itu.

Pendidikan kedokteran yang mengikuti mazhab pendidikan gaya bank kini telah membuat universitas-universitas menjadi pabrik bagi para dokter baru yang menjadi agen kesehatan dengan harga mahal. Lihatlah mahalnya harga untuk satu kali konsultasi ke dokter, belum lagi obat-obat dan biaya perawatan yang harus ditebus, inilah sebabnya banyak rakyat tak mampu berobat.

Coba bandingkan dengan dokter lulusan STOVIA yang hanya digaji belasan Gulden, tentu saja jabatan pejabat pemerintah saat itu lebih menggiurkan. Tapi, doktrin kemanusiaan yang ditanam sejak awal bagi para siswa tentu menjadikan mereka sebagai pengabdi kemanusiaan yang bersedia hidup dengan gaji rendah.

Mungkin para dokter tak bakal mengakui jika mahalnya biaya berobat sebagai bagian dari upaya balik modal mereka. Tapi, melalui logika paling sederhana, tentulah masuk akal jika mahalnya harga pendidikan kedokteran menjadi salah satu faktor yang mahalnya biaya kesehatan. Dan dokter sebagai agen kesehatan, kini sama saja seperti agen Gas 3Kg yang mengharap untung dari pelanggannya.

Seandainya dunia kedokteran kita bisa berkaca pada sebuah Negara kecil bernama Kuba, mungkin urusan kemanusiaan akan menjadi asas yang paling diutamakan ketimbang urusan birokrasi. Di Kuba, kemanusiaan adalah landasan paling utama dalam dunia kedokteran. Tak heran jika hingga April 2012, ada 38,868 tenaga dokter professional Kuba yang bekerja di 66 negara.

Sejak memenangkan revolusi di tahun 1959, pemerintahan revolusioner Kuba aktif mengirimkan brigade medis untuk membantu rakyat di berbagai belahan dunia. Bahkan, meminjam terminologi Soekarno, pemimpin besar revolusi Kuba, Fidel Castro pernah berucap, “Kami mengirim dokter, bukan tentara.” 

Begitu juga ketika Castro mendirikan Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM) sebagai tindakan untuk mengatasi kekurangan dokter di wilayah tersebut. Apalagi setelah Amerika Tengah dan Karibia dilanda badai George dan Mitch yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban sedangkan jumlah dokter sedikit. Inilah alasan Fidel Castro mendirikan sekolah kedokteran internasional tersebut.

Di ELAM, semua biaya pendidikan ditanggung pemerintah Kuba alias gratis. Bahkan, sekolah juga menyediakan buku gratis dan sedikit tunjangan kepada mahasiswa. Sama seperti STOVIA  dalam gambaran Pramoedya. Ini merupakan bantahan terhadap logika neoliberal, yang selalu melihat pendidikan sebagai sesuatu yang harus dibayar.

Disana, mahasiswa akan belajar tentang system kesehatan publik, yakni klinik komunitas alias  consultorio (mirip Puskesmas di Indonesia), tapi ini ditingkat Rukun Tetangga (RT). Karena itu, banyak siswa sekolah ini berasal dari negara-negara yang membutuhkan tenaga dokter untuk melayani komunitas, terutama di pedesaan. 

Para siswa memang dididik untuk siap bertugas dimanapun. “Melatih para dokter agar siap untuk dikirim kemanapun mereka dibutuhkan, dan tinggal di sana selama dibutuhkan, adalah tujuan pendirian sekolah ini,” begitulah kata Miladys Castilla, wakil direktur ELAM. Coba bandingkan dengan Indonesia, pengiriman mahasiswa kedokteran ke daerah (kebanyakan) hanya dilakukan sebagai penuntasan tugas demi selesainya kuliah.

Mungkin perbedaan mendasar inilah yang menjadikan paradigma kedokteran yang ada hari ini. Diantara berbagai macam pernyataan para dokter tentang pengabdian, komersialisasi kesehatan tetap hadir sebagai hasil dari pendidikan gaya bank. 

Mungkin pemerintah terlalu manut pada Amerika Serikat hingga tak mau mencoba belajar pada kesuksesan Kuba dibidang Kedokteran dengan ELAM-nya. Atau, pemerintah memang tidak pernah belajar sejarah dimana terdapat STOVIA yang pernah menghasilkan anak-anak muda, calon dokter pula, yang sadar dan menginspirasi gerakan kebangkitan nasional kita.

Tentu siapa yang mencintai kemanusiaan, dia harus melihat Kuba. Negeri kecil di Karibia Utara yang punya komitmen besar pada kemanusiaan. Dan tentu, pemerintah harus kembali membuka buku-buku sejarah yang menceritakan keberhasilan STOVIA menciptakan terpelajar yang mengabdi pada kemanusiaan serta berjuang untuk kemajuan bangsanya.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

3 komentar:

  1. dokter-dokter humanis kita justru lebih banyak 'berbicara' di luar negeri.. seperti dr. Joserizal misalnya

    BalasHapus
  2. Kereen artikelnya ;)
    banyak informasi yang diperoleh di sini...

    BalasHapus
  3. ya, semoga kita semua tetap beriman pada kemanusiaan.
    terima kasih atas tanggapannya

    BalasHapus