Aditia Purnomo

Ketika Manusia Dianggap Sampah

Leave a Comment

Kotor, dekil, jorok, berandal, dan tak bisa diatur, itulah kata-kata yang terlintas dalam pikiran banyak orang tentang anak jalanan. Mereka selalu dianggap sebagai sebuah kotoran yang tak layak dan tak boleh masuk ke tempat suci seperti masjid. Ya, begitulah diskriminasi yang selalu anak jalanan rasakan dari mereka yang merasa paling suci.

Namun, seorang dari lingkungan hidup “borju” justru hadir mengulurkan tangan untuk mereka para penerus bangsa ini. Meski memiliki latar belakang yang kontradiktif, orang ini malah terlibat langsung dalam penanganan “sampah” bagi masyarakat kebanyakan. Dialah Roostien Ilyas, wanita yang disebut sebagai ibunya gelandangan.

Mengambil latar kisah hidupnya, dua penulis muda, Zakky Zulhazmy dan Aziz Raharjo menghadirkan perjuangan aktivis sosial dan dunia “sampah” di dalam buku “Tuhan Kenapa Salat Itu Mahal?”


Sesuai dengan judul buku ini, penulis mengisahkan pertemuan Roostien dengan anak-anak jalanan yang selalu dipersulit jika hendak melaksanakan ibadah. Dianggap sebagai sampah, anak jalanan harus menerima nasib ditolak oleh mesjid. Sebuah ironi negara berketuhanan maha esa.

Hal tersebut kemudian membuat anak jalanan justru malas beribadah. Bayangkan saja, mereka dipaksa membayar ongkos bersuci jika mau menunaikan ibadah, itupun jika ada mesjid yang mau menerima. Akhirnya, ketimbang membuang uang untuk bersuci, anak jalanan tentu akan memilih membeli makanan untuk bekal hidup mereka yang tak pasti.

Tak hanya anak jalanan, buku ini juga menceritakan interaksi Roostien dengan “sampah” lainnya, yakni pelacur. Dalam sebuah bab di buku ini, diceritakan bagaimana kesalnya Roostien ketika pemerintah seenaknya saja menutup tempat lokalisasi yang mematikan hidup para pelacur.

Dalam hal ini, Roostien bukan memperbolehkan aktivitas pelacuran dilakukan. Hanya saja, para pelacur tersebut tidak tahu jalan hidup lain yang bisa menyambung hidup mereka. Karena itulah, seperti WS Rendra dalam sajak Bersatulah bersatulah pelacur-pelacur kota jakarta, Roostien menegaskan perlunya lapangan kerja bagi mereka sebelum melepaskan diri dari aktivitas pelacuran.

Bagi Roostien, “sampah” juga butuh penampungan. Karena itu, Roostien menolak keputusan menutup lokalisasi sebagai penampungan bagi para pelacur. Hal ini dikarenakan Roostien memiliki pemikiran yang visioner. Ia berpikir, ketimbang membiarkan “sampah” berserakan di jalanan, lebih baik ada tempat penampungannya sebelum permerintah mampu memberikan mereka pekerjaan. Sungguh pemikiran brilian yang tak bisa ditolak bahkan oleh para teknokrat.

Sayangnya, buku ini hanya sepenggal-sepenggal mengisahkan kehidupan Roostien dan “sampah” bagi masyarakat. Seandainya fokus buku ini betul-betul mengaah pada kisah para “sampah”, tentu buku ini akan lebih menarik dan dapat dijadikan pegangan para aktivis pemula.

Namun, seperti pemikiran Rendra tentang para pelacur kota Jakarta, Roostien telah berpikir secara cerdas untuk menangani permasalahan dari akarnya, bukan hanya di permukaan. Mengutip sajak Rendra:
“Membubarkan kalian
 Tidak semudah membubarkan partai politik
 Mereka harus beri kalian kerja
 Mereka harus pulihkan darjat kalian
 Mereka harus ikut memikul kesalahan”
Begitulah Roostien, dengan upayanya memanusiakan manusia, bekerja untuk manusia yang dianggap “sampah” oleh orang lain, dan mengabdikan dirinya untuk mencapak kesalehan sosial.

Judul                 : Tuhan, kenapa salat itu mahal ya?   
No. ISBN            : 979-5727174-6
Penulis              : A. Zakky Zulhazmy dan Nasihin Aziz Raharjo
Penerbit            : Yayasan Nanda Dian Nusantara
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar