Aditia Purnomo


Sudah dua minggu kondisi tubuh tidak mengenakkan. Dimulai dari gangguan pencernaan, dan bermuara pada flu berat. Tidak nyambung, memang. Masalahnya kenapa pula hal yang tidak nyambung ini malah terjadi.

Sepekan lebih saya menderita gangguan pencernaan. Kalau makan, perut malah melilit. Tidak makan, pun melilit. Saat berak pun keluar darah. Astaga, berak berdarah. Begitu saja saya memutuskan ke rumah sakit untuk periksa kesehatan.

Setelah diperiksakan ke dokter, katanya itu gejala radang usus. Saya harus banyak makan buah dan diberi obat serta antibiotik. Lucunya, si dokter memperkarakan aktivitas merokok saya sebagai salah satu penyebab. Malas berdebat ya saya diamkan. Kan aneh perkara usus masih dihubung-hubungkan sama rokok.

Alhamdulillah, setelah minum obat yang diberikan, saya agak baikan. Meski masih suka nyeri, tapi sudah jauh lebih baik. Saya pun bisa pergi ke beberapa agenda yang memang sudah dijadwalkan.

Tanggal 19 malam, saya hadir ke acara Dis Natalis organisasi saya di kampus. Datang sambil hujan-hujanan, pulang pun masih kena hujan. Hasilnya saya langsung pilek disertai bersin-bersin. Masuk ke hari seninnya, tenggorokan pun bermasalah. Sial, jadi merembet begini. Akhirnya kondisi badan yang sudah agak mendingan kembali jatuh dalam dua hari.

Lalu, selasa kemarin saya yang merasa agak lemas memaksakan diri untuk tetap mengisi diskusi di sebuah kampus di Tangerang. Kondisi badan yang tidak baik ditambah lupa makan plus pendingin ruangan yang tidak manusiawi membawa saya pada persoalan meriang yang buruk.

Sepanjang malam rabu, saya tidak bisa tidur karena merasa nyeri di sekujur tubuh. Setelah dikerik/dikerok dengan uang logam pada pagi harinya, baru saya bisa terlelap barang dua-tiga jam.

Selesai dengan angin, baru saya merasakan pilek dan batuk yang menyiksa. Sungguh menyiksa sampai buat tiduran pun tidak enak. Akhirnya saya kembali ke dokter dan menebus resep obat.

Karena hal ini, banyak agenda yang terganggu. Banyak pekerjaan yang tidak selesai. Banyak rasa tidak enak karena lalai akan tanggung jawab.

Makanya, kamu, jangan lupa makan ya. Jangan juga hujan-hujanan. Kalau suamimu belum bisa beli mobil, naik angkutan umum saja. Soalnya saya masih nggak percaya kalau kamu bawa motor jauh-jauh.


Ngomong-ngomong, kamu apa kabar?


Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah menginap di rumah sakit Fatmawati selama dua minggu. Kala itu saya menemani seorang penulis yang mengalami kecelakaan setelah menghadiri undangan dari kegiatan yang saya adakan. Merasa bertanggung jawab, kami, saya dan teman-teman panitia, menemani setiap proses penyembuhan yang dilakukan di rumah sakit.

Selama menemani proses itu, banyak hal yang harus dilakukan. Mulai dari mengurus administrasi, mempersiapkan syarat-syarat fasilitas KJS, mencari donor darah, dan sebagainya. Semua hal itu tentu memberikan beban pada saya dan teman bernama Jong yang membantu mengurus semua itu. Tentu yang terbebani hal seperti itu bukan cuma kami, tapi juga ratusan orang yang mengurus fasilitas KJS untuk pengobatan keluarganya.

Beruntung, saya dan kawan masih bisa menghisap sebatang dua batang kretek di sana. Tentu tidak di pelataran apa lagi dalam ruangan rumah sakit, tapi ya di kawasan parkirnya. Kala itu (seingat saya) saya beberapa kali merokok di dekat tempat parkir bersama beberapa kawan. Mengingat yang saya tunggui di rumah sakit adalah penulis, maka tidak jarang orang-orang yang menjenguk adalah perokok.

Sepengalaman saya, tidak pernah saya ditegur oleh petugas keamanan rumah sakit. Karena menginap cukup lama di sana, saya pun akrab dengan beberapa petugas. Bukan cuma tidak pernah ditegur, malah petugas ini yang menyarankan saya untuk merokok di kawasan parkir dekat gedung tempat saya menginap.

Menurut pengakuannya, Ia simpati dengan keluarga pasien yanng harus pontang-panting mengurus administrasi rumah sakit. Karenanya Ia tidak melarang mereka untuk merokok selama itu dilakukan di tempat semestinya. Ia pun perokok, dan tahu ada cukup banyak petugas rumah sakit yang merokok. Karenanya, Ia mampu menghargai kebutuhan kami, para penunggu pasien, untuk merokok.

Sebagai perokok, saya sangat menghargai kebaikan hatinya. Bukan apa-apa, belakangan peraturan kawasan merokok makin ekstrim dan absurd saja. Merokok seakan tabu dilakukan di kawasan rumah sakit, padahal ya banyak orang yang bersinggungan dengan rumah sakit adalah seorang perokok.

Ketika proses evakuasi pesawat Air Asia, misalnya. Saya ingat saat itu para relawan dan petugas kesehatan yang membantu proses evakuasi diperbolehkan merokok di Rumah Sakit Pangkalan Bun karena beban kerja yang berat. Salah satu pimpinan tim evakuasi, Marsekal Pertama S.B. Supriyadi, malah menceritakan kalau rokok adalah salah satu hal yang membuat mereka tetap waras di sana.

Sebenarnya semua persoalan larangan merokok adalah sama, yakni tentang ketersediaan ruang merokok. Begitu pun di rumah sakit. Bagi saya, rumah sakit serta tempat umum lainnya adalah sama. Tidak bisa orang merokok sembarangan di tempat umum, karena hal ini bisa mengganggu orang lain.

Namun tetap saja perlu disediakan ruang khusus merokok agar para perokok, baik petugas rumah sakit maupun pengunjung dan keluarga pasien bisa menyalurkan kebutuhannya. Kalaupun rumah sakit tidak mampu menyediakan ruangan khusus, pertegas saja satu kawasan di luar ruang untuk menjadi ruang merokok. Meski belum bisa dikatakan layak, setidaknya masih ada ruang yang diperbilehkan.

Karena kalau pihak rumah sakit cuma memberlakukan larangan tanpa memberi ruang bagi perokok, yang ada mereka akan mencuri-curi kesempatan untuk merokok. Bisa jadi hal itu malah mengganggu orang lain ketimbang pengelola rumah sakit (dan tentunya pengelola tempat umum lainnya) memberikan ruang bagi mereka yang mau merokok.


Pertama dimuat di Komunitas Kretek

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan segera menyelesaikan perkuliahan, entah di drop out atau diwisuda, saya harus segera belajar bagaimana cara menjadi buruh yang baik. Karena saya bukan anak pengusaha apalagi penguasa, kecil kemungkinan saya bakal membuka usaha dan lapangan kerja sendiri. Jangankan ngurus usaha, ngurus skripsi saja saya sudah frustasi.

Karenanya, hampir pasti saya bakal jadi pekerja, bakal jadi buruh. Agar dapat bekerja dengan benar, saya perlu tahu saja indikator menjadi buruh yang tepat guna. Karenanya saya perlu belajar.

Beruntung, sepekan terakhir banyak komentar-komentar tentang mogok nasional yang bisa saya jadikan pedoman untuk menjadi buruh yang baik dan benar. Pemikiran cerdas dari pekerja kelas menengah tentang konsep hidup buruh yang benar jelas bakal sangat membantu saya nantinya.

Pertama tentang gaya hidup. Menjadi buruh itu berarti saya harus hidup dalam kondisi pas-pasan. Nantinya, saya harus banyak berhemat. Meninggalkan gaya hidup konsumtif menuju kehidupan yang sederhana dan seadanya. Karena memang yang seperti inilah hakikat hidup buruh, kalau nggak mau disebut miskin ya hidup pas-pasan saja.

Saya harus belajar mengamalkan spirit kapitalisme yang disampaikan Webber. Dengan semangat menerima takdir sebagai buruh, saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.

Untuk itu, segala hal yang berbau marxis dan kekiri-kirian harus segera saya lupakan. Selain karena yang begitu selalu dianggap komunis, dan komunis itu selalu salah, ajaran Mbah Marx sendiri adalah antitesa dari semangat kapitalisme. Karena bertentangan, tentunya saya nggak boleh mengamalkan marxisme, apalagi melawan pemilik modal.

Karena itu saya harus banyak mensyukuri apa yang sudah diberikan pengusaha pada saya. Dengan gaji seadanya, toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu. Ketimbang orang lain yang belum tentu bisa makan.

Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, yang banyak. Buat beli ponsel pintar? Atau punya motor ninja? Jangan mimpi. Yang begituan mah cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.

Buruh itu pantasnya beli hape Nokia 3100, atau hape-hape prasejarah yang masih berstandar polyphonic deh. Soal kendaraan, bisa beli Astrea Grand tahun 90-an aja sudah bagus. Kalau perlu malah naik angkot aja, biar nggak bikin macet. Karena, bikin macet itu cuma hak kelas menengah dan pengusaha, titik.

Soal tempat tinggal ya kayak nyanyian Iwan Fals. Kalau nggak bisa sewa kontrakan, ya kolong jembatan. Dan agar bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.

Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap. Mimpi saja buruh nggak boleh.

Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalau buruh ya di warkop saja. Boleh mimpi itu kalau tidur di kasur yang empuk, masa buruh yang tidurnya gelar tikar boleh mimpi.

Dan ini pelajaran paling penting yang harus saya ingat. Pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha, buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.


Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah. Karena inilah teori pasti soal buruh yang harus kita pahami.

(Tulisan ini pertama dimuat di Mahasiswa Bicara)