Aditia Purnomo

Kalian Mahasiswa, Belajarlah Menjadi Buruh yang Benar

Leave a Comment

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan segera menyelesaikan perkuliahan, entah di drop out atau diwisuda, saya harus segera belajar bagaimana cara menjadi buruh yang baik. Karena saya bukan anak pengusaha apalagi penguasa, kecil kemungkinan saya bakal membuka usaha dan lapangan kerja sendiri. Jangankan ngurus usaha, ngurus skripsi saja saya sudah frustasi.

Karenanya, hampir pasti saya bakal jadi pekerja, bakal jadi buruh. Agar dapat bekerja dengan benar, saya perlu tahu saja indikator menjadi buruh yang tepat guna. Karenanya saya perlu belajar.

Beruntung, sepekan terakhir banyak komentar-komentar tentang mogok nasional yang bisa saya jadikan pedoman untuk menjadi buruh yang baik dan benar. Pemikiran cerdas dari pekerja kelas menengah tentang konsep hidup buruh yang benar jelas bakal sangat membantu saya nantinya.

Pertama tentang gaya hidup. Menjadi buruh itu berarti saya harus hidup dalam kondisi pas-pasan. Nantinya, saya harus banyak berhemat. Meninggalkan gaya hidup konsumtif menuju kehidupan yang sederhana dan seadanya. Karena memang yang seperti inilah hakikat hidup buruh, kalau nggak mau disebut miskin ya hidup pas-pasan saja.

Saya harus belajar mengamalkan spirit kapitalisme yang disampaikan Webber. Dengan semangat menerima takdir sebagai buruh, saya harus percaya kalau ketabahan hidup adalah jalan paling baik menuju surga. Terima saja apa yang ada, jangan banyak mengeluh. Apalagi mengeluh sama pengusaha, eh Tuhan maksudnya.

Untuk itu, segala hal yang berbau marxis dan kekiri-kirian harus segera saya lupakan. Selain karena yang begitu selalu dianggap komunis, dan komunis itu selalu salah, ajaran Mbah Marx sendiri adalah antitesa dari semangat kapitalisme. Karena bertentangan, tentunya saya nggak boleh mengamalkan marxisme, apalagi melawan pemilik modal.

Karena itu saya harus banyak mensyukuri apa yang sudah diberikan pengusaha pada saya. Dengan gaji seadanya, toh masih syukur saya bisa makan, meski sehari dua kali dan hanya dengan tempe atau tahu. Ketimbang orang lain yang belum tentu bisa makan.

Lagian mana pantas saya dapat upah yang layak, yang banyak. Buat beli ponsel pintar? Atau punya motor ninja? Jangan mimpi. Yang begituan mah cuma boleh dimiliki kelas menengah pekerja kantoran dan pemilik perusahaan.

Buruh itu pantasnya beli hape Nokia 3100, atau hape-hape prasejarah yang masih berstandar polyphonic deh. Soal kendaraan, bisa beli Astrea Grand tahun 90-an aja sudah bagus. Kalau perlu malah naik angkot aja, biar nggak bikin macet. Karena, bikin macet itu cuma hak kelas menengah dan pengusaha, titik.

Soal tempat tinggal ya kayak nyanyian Iwan Fals. Kalau nggak bisa sewa kontrakan, ya kolong jembatan. Dan agar bisa bayar kontrakan, saya harus bekerja lebih keras dengan mengambil lemburan. Kalau nggak ya mana bisa bayar. Bisa tidur di kontrakan saja sudah bagus, kok bermimpi beli rumah.

Hal-hal yang enak dan menyenangkan itu cuma punya kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha. Buruh mah nggak boleh ngopi-ngopi di kafe atau nonton di bioskop. Buruh cuma boleh nonton layar tancap. Mimpi saja buruh nggak boleh.

Masa level kelas menengah pekerja kantoran dan pengusaha harus disamakan sama buruh. Mana boleh. Pengusaha dan kelas menengah pekerja kantoran itu nongkrong di kafe, kalau buruh ya di warkop saja. Boleh mimpi itu kalau tidur di kasur yang empuk, masa buruh yang tidurnya gelar tikar boleh mimpi.

Dan ini pelajaran paling penting yang harus saya ingat. Pengusaha adalah dewa penolong yang memberikan buruh pekerjaan. Kalau nggak ada pengusaha, buruh nggak bisa hidup. Kalau nggak ada buruh, pengusaha bisa cari yang baru. Pokoknya yang nurut dan bodoh.


Karena buruh yang demo itu cuma dihasut sama kepentingan serikat. Mana bisa mereka sadar kalau dieksploitasi pengusaha. Ingat, buruh itu bodoh dan layak hidup susah. Karena inilah teori pasti soal buruh yang harus kita pahami.

(Tulisan ini pertama dimuat di Mahasiswa Bicara)
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar