Sekitar dua tahun yang lalu, saya pernah menginap di rumah
sakit Fatmawati selama dua minggu. Kala itu saya menemani seorang penulis yang
mengalami kecelakaan setelah menghadiri undangan dari kegiatan yang saya
adakan. Merasa bertanggung jawab, kami, saya dan teman-teman panitia, menemani
setiap proses penyembuhan yang dilakukan di rumah sakit.
Selama menemani proses itu, banyak hal yang harus dilakukan.
Mulai dari mengurus administrasi, mempersiapkan syarat-syarat fasilitas KJS,
mencari donor darah, dan sebagainya. Semua hal itu tentu memberikan beban pada
saya dan teman bernama Jong yang membantu mengurus semua itu. Tentu yang
terbebani hal seperti itu bukan cuma kami, tapi juga ratusan orang yang
mengurus fasilitas KJS untuk pengobatan keluarganya.
Beruntung, saya dan kawan masih bisa menghisap sebatang dua
batang kretek di sana. Tentu tidak di pelataran apa lagi dalam ruangan rumah
sakit, tapi ya di kawasan parkirnya. Kala itu (seingat saya) saya beberapa kali
merokok di dekat tempat parkir bersama beberapa kawan. Mengingat yang saya
tunggui di rumah sakit adalah penulis, maka tidak jarang orang-orang yang
menjenguk adalah perokok.
Sepengalaman saya, tidak pernah saya ditegur oleh petugas
keamanan rumah sakit. Karena menginap cukup lama di sana, saya pun akrab dengan
beberapa petugas. Bukan cuma tidak pernah ditegur, malah petugas ini yang
menyarankan saya untuk merokok di kawasan parkir dekat gedung tempat saya
menginap.
Menurut pengakuannya, Ia simpati dengan keluarga pasien
yanng harus pontang-panting mengurus administrasi rumah sakit. Karenanya Ia
tidak melarang mereka untuk merokok selama itu dilakukan di tempat semestinya.
Ia pun perokok, dan tahu ada cukup banyak petugas rumah sakit yang merokok.
Karenanya, Ia mampu menghargai kebutuhan kami, para penunggu pasien, untuk
merokok.
Sebagai perokok, saya sangat menghargai kebaikan hatinya.
Bukan apa-apa, belakangan peraturan kawasan merokok makin ekstrim dan absurd
saja. Merokok seakan tabu dilakukan di kawasan rumah sakit, padahal ya banyak
orang yang bersinggungan dengan rumah sakit adalah seorang perokok.
Ketika proses evakuasi pesawat Air Asia, misalnya. Saya
ingat saat itu para relawan dan petugas kesehatan yang membantu proses evakuasi
diperbolehkan merokok di Rumah Sakit Pangkalan Bun karena beban kerja yang
berat. Salah satu pimpinan tim evakuasi, Marsekal Pertama S.B. Supriyadi, malah
menceritakan kalau rokok adalah salah satu hal yang membuat mereka tetap waras
di sana.
Sebenarnya semua persoalan larangan merokok adalah sama,
yakni tentang ketersediaan ruang merokok. Begitu pun di rumah sakit. Bagi saya,
rumah sakit serta tempat umum lainnya adalah sama. Tidak bisa orang merokok
sembarangan di tempat umum, karena hal ini bisa mengganggu orang lain.
Namun tetap saja perlu disediakan ruang khusus merokok agar
para perokok, baik petugas rumah sakit maupun pengunjung dan keluarga pasien
bisa menyalurkan kebutuhannya. Kalaupun rumah sakit tidak mampu menyediakan
ruangan khusus, pertegas saja satu kawasan di luar ruang untuk menjadi ruang
merokok. Meski belum bisa dikatakan layak, setidaknya masih ada ruang yang
diperbilehkan.
Karena kalau pihak rumah sakit cuma memberlakukan larangan
tanpa memberi ruang bagi perokok, yang ada mereka akan mencuri-curi kesempatan
untuk merokok. Bisa jadi hal itu malah mengganggu orang lain ketimbang
pengelola rumah sakit (dan tentunya pengelola tempat umum lainnya) memberikan
ruang bagi mereka yang mau merokok.
Pertama dimuat di Komunitas Kretek
0 komentar:
Posting Komentar