Sekali waktu saya pernah bercita-cita menjadi petani. Mau
punya lahan sendiri, digarap sendiri, dan dijadikan tempat menggantungkan
hidup. Hidup tenang di desa, kerja keras mengurus lahan. Bosan hidup di Jakarta
menjadi salah satu alasan tercetusnya ide macam ini. Lelah berhadapan dengan
jutaan kendaraan tiap harinya, lelah pula berhadapan dengan kehidupannya.
Tapi ya itu hanya sebuah harapan kosong. Mempertaruhkan
hidup saya di sini untuk sesuatu yang belum pasti jelas sulit. Apalagi, menjadi
petani bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah.
Tidak semua orang adalah Susno Duaji, itu loh yang pernah
jadi Kabareskrim di Polda Metro. Belio adalah orang berpunya yang bisa beli
lahan untuk bertani. Sementara saya, jangankan beli tanah, lulus kuliah saja
belum mampu. Hehe.
Menjadi petani itu berat dan resikonya besar. Sudah harus
keluar modal yang tidak sedikit, resiko gagal panen selalu membayangi. Saya sih
nggak terlalu paham kendala apa saja yang biasa dialami selama musim tanam.
Tapi ya resiko-resiko macam itu yang bikin saya gentar untuk menjadi petani.
Memang persoalan pertanian di Indonesia terlalu banyak.
Misalnya pada sektor gula, saya baru tahu kalau lahan pertanian itu banyak dikuasai
pabrikan. Jadi, mereka yang mengurus lahan ya buruh tani yang kerja di
perusahaan. Selain itu tinggi-rendahnya harga tebu sangat ditentukan oleh
rendemen. Singkatnya, rendemen itu kandungan gula yang terkandung dalam
tanaman. Jadi kalau semakin baik rendemennya, maka harga tebu bakal semakin
tinggi.
Masalahnya, kita tahu kalau kualitas tanaman amat bergantung
pada banyak faktor seperti gangguan hama dan cuaca. Untuk menghasilkan tanaman
berkualitas tentu teknologi pertaniannya harus bagus juga. Bagaimana caranya
petani mengakali kondisi alam, juga bagaimana mereka melewati gangguan hama.
Sementara para petani kebingungan menghadapi masalahnya,
negara malah dengan asiknya membuka keran impor gula. Ini persoalan klasik.
Ketika ketersediaan komoditas tidak mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan
negara memainkan strategi impor untuk menyelesaikan masalah. Dulu, dulu sekali,
saya sudah pernah menyatakan bahwa negara tak pernah menyelesaikan akar masalah
dengan membuka keran impor.
Pada tahun ini, kondisi pertanian tebu memang cukup
memprihatinkan. Kondisi alam yang tidak menentu memaksa produktifitas pertanian
tebu menurun. Sudah kuantitas produksi turun, harga pun ikut anjlok. Dan
bajingannya lagi, negara sama sekali tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya
yang sedang kesulitan.
Sebenarnya saya mau membandingkan persoalan pertanian di
banyak komoditas dengan sektor pertanian tembakau yang lumayan saya kuasai
isunya. Namun ketimbang dibilang antek pabrik rokok atau dibilang komunis
(lah?) lebih baik saya nggak bahas di sini.
Mengetahui hal-hal semacam ini, nyali saya untuk jadi petani
jelas ciut. Mendingan ngurus kuliah biar cepat lulus lalu kerja di Bank
daripada harus ambil resiko besar kayak gini. Saya rasa pemikiran macam ini
juga ada di kepala jutaan anak muda seusia saya.
Persoalannya kemudian, siapa yang mau jadi petani kalau
jutaan anak muda memiliki impian untuk kerja di Bank? Oke deh, nggak hanya
Bank. Itu cuma cita-cita saya lainnya yang nggak bakal tercapai. Tapi tetap
saja, jutaan anak muda itu lebih mempertimbangkan kerja kantoran dan membangun
karir ketimbang mengurus lahan pertanian negara yang katanya agraris ini. Ya
kalaupun ada, jumlahnya akan sangat sedikit sekali, saya kira.
Di desa-desa, lahan pertanian semakin banyak yang dialihfungsikan
menjadi lahan industri atau perumahan. Orang-orang sekarang lebih membutuhkan
pekerjaan dan rumah ketimbang membutuhkan makan. Ya kalaupun urusan makan
dirasa penting, masih ada jalan keluar yang solutif sekali. Tepat, jawabannya
adalah impor.
Besok, tanggal 24 September adalah hari tani nasional. Saya
kurang tahu agenda apa yang bakal dikerjakan teman-teman yang aktif di sektor
tani. Yang pasti, dalam 10 – 20 tahun ke depan persoalan pangan adalah salah
satu isu yang bakal banyak dibahas. Kalau persoalan pangan, yang akar
masalahnya ada di pertanian tidak segera diselesaikan jangan harap negara ini
bakal mandiri dalam urusan perut masyarakatnya.
0 komentar:
Posting Komentar