Aditia Purnomo

Persoalan Pertanian Kita

Leave a Comment

Sekali waktu saya pernah bercita-cita menjadi petani. Mau punya lahan sendiri, digarap sendiri, dan dijadikan tempat menggantungkan hidup. Hidup tenang di desa, kerja keras mengurus lahan. Bosan hidup di Jakarta menjadi salah satu alasan tercetusnya ide macam ini. Lelah berhadapan dengan jutaan kendaraan tiap harinya, lelah pula berhadapan dengan kehidupannya.

Tapi ya itu hanya sebuah harapan kosong. Mempertaruhkan hidup saya di sini untuk sesuatu yang belum pasti jelas sulit. Apalagi, menjadi petani bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah.

Tidak semua orang adalah Susno Duaji, itu loh yang pernah jadi Kabareskrim di Polda Metro. Belio adalah orang berpunya yang bisa beli lahan untuk bertani. Sementara saya, jangankan beli tanah, lulus kuliah saja belum mampu. Hehe.

Menjadi petani itu berat dan resikonya besar. Sudah harus keluar modal yang tidak sedikit, resiko gagal panen selalu membayangi. Saya sih nggak terlalu paham kendala apa saja yang biasa dialami selama musim tanam. Tapi ya resiko-resiko macam itu yang bikin saya gentar untuk menjadi petani.

Memang persoalan pertanian di Indonesia terlalu banyak. Misalnya pada sektor gula, saya baru tahu kalau lahan pertanian itu banyak dikuasai pabrikan. Jadi, mereka yang mengurus lahan ya buruh tani yang kerja di perusahaan. Selain itu tinggi-rendahnya harga tebu sangat ditentukan oleh rendemen. Singkatnya, rendemen itu kandungan gula yang terkandung dalam tanaman. Jadi kalau semakin baik rendemennya, maka harga tebu bakal semakin tinggi.

Masalahnya, kita tahu kalau kualitas tanaman amat bergantung pada banyak faktor seperti gangguan hama dan cuaca. Untuk menghasilkan tanaman berkualitas tentu teknologi pertaniannya harus bagus juga. Bagaimana caranya petani mengakali kondisi alam, juga bagaimana mereka melewati gangguan hama.

Sementara para petani kebingungan menghadapi masalahnya, negara malah dengan asiknya membuka keran impor gula. Ini persoalan klasik. Ketika ketersediaan komoditas tidak mencukupi, maka untuk memenuhi kebutuhan negara memainkan strategi impor untuk menyelesaikan masalah. Dulu, dulu sekali, saya sudah pernah menyatakan bahwa negara tak pernah menyelesaikan akar masalah dengan membuka keran impor.

Pada tahun ini, kondisi pertanian tebu memang cukup memprihatinkan. Kondisi alam yang tidak menentu memaksa produktifitas pertanian tebu menurun. Sudah kuantitas produksi turun, harga pun ikut anjlok. Dan bajingannya lagi, negara sama sekali tidak hadir sebagai pelindung bagi warganya yang sedang kesulitan.

Sebenarnya saya mau membandingkan persoalan pertanian di banyak komoditas dengan sektor pertanian tembakau yang lumayan saya kuasai isunya. Namun ketimbang dibilang antek pabrik rokok atau dibilang komunis (lah?) lebih baik saya nggak bahas di sini.

Mengetahui hal-hal semacam ini, nyali saya untuk jadi petani jelas ciut. Mendingan ngurus kuliah biar cepat lulus lalu kerja di Bank daripada harus ambil resiko besar kayak gini. Saya rasa pemikiran macam ini juga ada di kepala jutaan anak muda seusia saya.

Persoalannya kemudian, siapa yang mau jadi petani kalau jutaan anak muda memiliki impian untuk kerja di Bank? Oke deh, nggak hanya Bank. Itu cuma cita-cita saya lainnya yang nggak bakal tercapai. Tapi tetap saja, jutaan anak muda itu lebih mempertimbangkan kerja kantoran dan membangun karir ketimbang mengurus lahan pertanian negara yang katanya agraris ini. Ya kalaupun ada, jumlahnya akan sangat sedikit sekali, saya kira.

Di desa-desa, lahan pertanian semakin banyak yang dialihfungsikan menjadi lahan industri atau perumahan. Orang-orang sekarang lebih membutuhkan pekerjaan dan rumah ketimbang membutuhkan makan. Ya kalaupun urusan makan dirasa penting, masih ada jalan keluar yang solutif sekali. Tepat, jawabannya adalah impor.


Besok, tanggal 24 September adalah hari tani nasional. Saya kurang tahu agenda apa yang bakal dikerjakan teman-teman yang aktif di sektor tani. Yang pasti, dalam 10 – 20 tahun ke depan persoalan pangan adalah salah satu isu yang bakal banyak dibahas. Kalau persoalan pangan, yang akar masalahnya ada di pertanian tidak segera diselesaikan jangan harap negara ini bakal mandiri dalam urusan perut masyarakatnya.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar