Kurang lebih seminggu lalu bapak mengajak saya bicara. Ia
meminta saya pindah ke belakang, menjauhi keramaian. Waktu itu sedang ada acara
pengajian, 40 harian nenek. Suasana masih ramai meski pengajian sudah usai. Ibu
masih sibuk mengurus besek, keluarga yang lain mengurus tamu.
Di belakang, saya duduk menunggu bapak. Sejenak, saya
mengambil rokok dan hendak membakarnya namun urung dilakukan. Tapi saya baru
ingat, saya di rumah. Di lingkungan keluarga, saya tidak bisa merokok. Ibu
pasti langsung marah besar kalau saya merokok. Padahal ya mereka tahu saya
merokok. Yang penting, tidak boleh merokok di rumah. Titik. Saya menghargainya.
Bapak datang sendirian. Pembawaannya tampak serius, saya
kira Ia benar-benar akan bicara perihal yang serius. Sebenarnya bapak dan saya
amat jarang berbicang. Selain karena saya jarang di rumah, saya juga tidak
banyak bicara kalau di rumah. Begitu pulang, saya masuk kamar. Entah tidur
entah melakukan yang lain.
Dan benar saja, Ia membuka pembicaraan tanpa sedikitpun
basa-basi. “Kuliahmu itu mau diselesaikan atau tidak?” ujarnya serius begitu
duduk. Saya agak kikuk menerima pertanyaan semacam ini. Bukan karena tidak siap
atau tidak bisa menjawab, tapi karena yang bertanya adalah bapak. Kalau ibu
atau siapapun yang menanyakan, saya masih bisa jawab. Kalau bapak, agak lain
rasanya.
Sejenak diam, saya mulai menjawab ketika bapak menoleh ke
arah saya. Kurang lebih, begini jawaban saya kepadanya. Saya tidak punya
motivasi untuk lulus. Setidaknya, tidak benar-benar punya motivasi. Saya
membutuhkan alasan lebih, yang benar-benar layak untuk memperjuangkan
kelulusan. Selama ini alasan yang ada cuma untuk menyenangkan keluarga atau
demi masa depan.
Namun, bagi saya, alasan seperti itu masih kurang. Tidak
benar-benar memotivasi saya untuk mengejar kelulusan. Kurang lebih, alasan
semacam itu belum bisa membuat saya berjuang mengejar kelulusan.
Saya berhenti sejenak. Bapak juga diam. Saya menunggu bapak
untuk bicara, tapi tak kunjung terjadi. Akhirnya saya memilih untuk lanjut
bicara. Saya katakan padanya, kuliah saya masih bisa diperjuangkan. Tidak
berat-berat amat. Hanya perlu menyelesaikan dua matakuliah dan skripsi saya. Ya
mungkin ada hal lain yang diurus, macam mengikuti tes bahasa inggris dan bahasa
arab sebagai syarat kelulusan.
Kuliah saya masih bisa diselamatkan. Saya masih bisa lulus.
Tapi ya tadi, saya membutuhkan sesuatu, alasan yang tepat untuk memperjuangkan
kelulusan. Saya bukannya tidak mau menyenangkan orangtua, bukannya tidak mau
bertanggungjawab pada pilihan kuliah yang saya ambil dulu. Tapi bukankah saya
kuliah juga karena kalian, karena saya mengikuti keinginan kalian. Bukankah
dulu saya memilih untuk langsung bekerja, tapi tidak terlaksana karena dua-tiga
alasan yang satu diantaranya demi menyenangkan kalian.
Untuk persoalan masa depan, saya yakin akan tetap hidup
walau tidak sarjana. Mungkin kalian menanggap hidup saya akan dipenuhi
ketidakpastian jika gagal meraih gelar. Saya menghargai itu. Tapi bukankah
sejak SMA saya sudah tidak terlalu memusingkan hal-hal semacam itu. Toh, hidup
memang dipenuhi ketidakpastian dan beribu kemungkinan. Bisa saja saya gagal
dalam hidup. Tapi saya masih bisa memperjuangkan hidup walau tidak sarjana.
Saya kemudian diam. Menanti jawab dari mulut bapak.
Lagipula, saya merasa sudah tidak punya apa-apa lagi untuk disampaikan. Semua
unek-unek sudah disampaikan bersama jawaban untuk pertanyaan bapak yang singkat
itu. Bapak angkat bicara. Saya bersiap mendengarkan, apapun yang bakal
disampaikan.
“Yasudah, terserah kamu. Hidup ya hidupmu. Mau apa yang
penting tanggung jawab. Katanya kamu mau pergi lagi, buruan sana sebelum
terlalu larut. Nanti kalau sudah punya niat lulus baru pulang ke rumah ya.”
0 komentar:
Posting Komentar