Aditia Purnomo

Obrolan dengan Bapak

Leave a Comment
Kurang lebih seminggu lalu bapak mengajak saya bicara. Ia meminta saya pindah ke belakang, menjauhi keramaian. Waktu itu sedang ada acara pengajian, 40 harian nenek. Suasana masih ramai meski pengajian sudah usai. Ibu masih sibuk mengurus besek, keluarga yang lain mengurus tamu.

Di belakang, saya duduk menunggu bapak. Sejenak, saya mengambil rokok dan hendak membakarnya namun urung dilakukan. Tapi saya baru ingat, saya di rumah. Di lingkungan keluarga, saya tidak bisa merokok. Ibu pasti langsung marah besar kalau saya merokok. Padahal ya mereka tahu saya merokok. Yang penting, tidak boleh merokok di rumah. Titik. Saya menghargainya.

Bapak datang sendirian. Pembawaannya tampak serius, saya kira Ia benar-benar akan bicara perihal yang serius. Sebenarnya bapak dan saya amat jarang berbicang. Selain karena saya jarang di rumah, saya juga tidak banyak bicara kalau di rumah. Begitu pulang, saya masuk kamar. Entah tidur entah melakukan yang lain.

Dan benar saja, Ia membuka pembicaraan tanpa sedikitpun basa-basi. “Kuliahmu itu mau diselesaikan atau tidak?” ujarnya serius begitu duduk. Saya agak kikuk menerima pertanyaan semacam ini. Bukan karena tidak siap atau tidak bisa menjawab, tapi karena yang bertanya adalah bapak. Kalau ibu atau siapapun yang menanyakan, saya masih bisa jawab. Kalau bapak, agak lain rasanya.

Sejenak diam, saya mulai menjawab ketika bapak menoleh ke arah saya. Kurang lebih, begini jawaban saya kepadanya. Saya tidak punya motivasi untuk lulus. Setidaknya, tidak benar-benar punya motivasi. Saya membutuhkan alasan lebih, yang benar-benar layak untuk memperjuangkan kelulusan. Selama ini alasan yang ada cuma untuk menyenangkan keluarga atau demi masa depan.

Namun, bagi saya, alasan seperti itu masih kurang. Tidak benar-benar memotivasi saya untuk mengejar kelulusan. Kurang lebih, alasan semacam itu belum bisa membuat saya berjuang mengejar kelulusan.

Saya berhenti sejenak. Bapak juga diam. Saya menunggu bapak untuk bicara, tapi tak kunjung terjadi. Akhirnya saya memilih untuk lanjut bicara. Saya katakan padanya, kuliah saya masih bisa diperjuangkan. Tidak berat-berat amat. Hanya perlu menyelesaikan dua matakuliah dan skripsi saya. Ya mungkin ada hal lain yang diurus, macam mengikuti tes bahasa inggris dan bahasa arab sebagai syarat kelulusan.

Kuliah saya masih bisa diselamatkan. Saya masih bisa lulus. Tapi ya tadi, saya membutuhkan sesuatu, alasan yang tepat untuk memperjuangkan kelulusan. Saya bukannya tidak mau menyenangkan orangtua, bukannya tidak mau bertanggungjawab pada pilihan kuliah yang saya ambil dulu. Tapi bukankah saya kuliah juga karena kalian, karena saya mengikuti keinginan kalian. Bukankah dulu saya memilih untuk langsung bekerja, tapi tidak terlaksana karena dua-tiga alasan yang satu diantaranya demi menyenangkan kalian.

Untuk persoalan masa depan, saya yakin akan tetap hidup walau tidak sarjana. Mungkin kalian menanggap hidup saya akan dipenuhi ketidakpastian jika gagal meraih gelar. Saya menghargai itu. Tapi bukankah sejak SMA saya sudah tidak terlalu memusingkan hal-hal semacam itu. Toh, hidup memang dipenuhi ketidakpastian dan beribu kemungkinan. Bisa saja saya gagal dalam hidup. Tapi saya masih bisa memperjuangkan hidup walau tidak sarjana.

Saya kemudian diam. Menanti jawab dari mulut bapak. Lagipula, saya merasa sudah tidak punya apa-apa lagi untuk disampaikan. Semua unek-unek sudah disampaikan bersama jawaban untuk pertanyaan bapak yang singkat itu. Bapak angkat bicara. Saya bersiap mendengarkan, apapun yang bakal disampaikan.


“Yasudah, terserah kamu. Hidup ya hidupmu. Mau apa yang penting tanggung jawab. Katanya kamu mau pergi lagi, buruan sana sebelum terlalu larut. Nanti kalau sudah punya niat lulus baru pulang ke rumah ya.”
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar