Aditia Purnomo

Sebuah Tamparan Pak Polisi dan Kebijakan Keblinger Walikota Tangerang

Leave a Comment

Menjadi warga pinggiran ibu kota itu tidak mengenakkan. Sudah kota tempat saya tinggal jarang dilirik oleh media, sekalinya dibicarakan, eh persoalan enggak ngenakin. Beberapa waktu lalu, pemberitaan soal sopir angkutan kota yang tabrak pengemudi ojek online hingga jadi kericuhan. Eh kemarin, kota saya yang akhlakul karimah ini bikin heboh karena ada polisi yang menampar demonstran.

Sungguh, itu perbuatan yang memalukan. Bukan saja karena yang ditampar adalah seorang perempuan, tapi juga karena yang menampar adalah seorang Kepala Satuan Intelijen Polres Tangerang. Dia bukanlah polisi kelas teri yang baru keluar dari pendidikan. Ia adalah seorang pejabat kepolisian yang katanya harus mengayomi masyarakat.

Sementara itu, Amelia Yanti buruh perempuan yang ditampar itu,  adalah orang yang telah berjuang lebih dari lima tahun untuk menuntut penyelesaian kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap 1300 orang buruh oleh PT. Panarub Dwikarya. Lima tahun berjuang, tak dipedulikan nasibnya, tak dibayarkan hak-haknya, kini malah dipukul dan dilarang memperjuangkan nasib buruh.

Kasus pemukulan ini bermula ketika aksi kawan-kawan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) hendak dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian dan pamong praja. Aksi mereka dinilai melanggar peraturan walikota yang melarang dilakukannya demonstrasi dan penyampaian pendapat di muka umum pada hari Sabtu dan Minggu. Merasa hal tersebut melanggar prinsip demokrasi, juga melihat pembiaran polisi terhadap pawai yang dilakukan pada saat yang sama, Amelia menyampaikan protes kepada aparat.

Sayangnya, protes tersebut ditanggapi dengan keras oleh aparat. Cacian keluar dari mulut para aparat. Suasana berlangsung panas hingga sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Amelia. Plak. Dengan enaknya seorang aparat memukul masyarakat.

Perlu diketahui, aksi yang dilakukan oleh kawan-kawan GSBI ini telah dilakukan sejak lama. Bukan baru sekali dua kali mereka melakukan aksi mingguan di Tugu Adipura Tangerang. Hanya saja, karena peraturan keblinger dari Walikota Tangerang insiden memalukan ini terjadi.

Sebagai warga Tangerang yang rajin membayar pajak, saya menjadi orang yang amat malu pada insiden ini. Pertama larangan aksi pada hari Sabtu dan Minggu tentu adalah sebuah pelanggaran hak asasi. Apa pun alasannya, larangan seperti ini adalah pelanggaran demokrasi. Apalagi jika alasannya hanya untuk meliburkan aparatur daerah pada akhir pekan dan hari libur nasional. Buat apa bayar pajak kalau aparatur daerah tak mau bekerja untuk masyarakat.

Aksi mingguan kawan-kawan GSBI ini memang biasa dilakukan pada akhir pekan di kala mereka mendapatkan jatah libur dari pabriknya. Mereka merelakan hari liburnya yang berharga demi menuntut kejelasan bagi kasus-kasus perburuhan yang tak pernah selesai di Kota Tangerang.

Dan sekarang, Walikota yang tak punya kemauan untuk menyelesaikan persoalan tersebut malah mengeluarkan aturan keblinger yang membuat suara para buruh kian terbungkam. Sungguh prestasi yang membanggakan, Pak Wali. Sepertinya Anda berniat mengejar prestasi Ganjar Pranowo yang tak peduli nasib rakyatnya.

Kebijakan keblinger yang merugikan buruh semacam ini juga pernah dibuat oleh pendahulu Pak Wali. Dulu ada peraturan daerah yang melarang perempuan di Tangerang keluar malam. Aturan ini dibuat oleh mentor politik Anda. Yap betul, orang yang sekarang mencalonkan diri jadi gubernur bareng anaknya ratu korup di Banten itu.

Peraturan ini pernah membuat buruh-buruh perempuan yang pulang malam karena shift dua harus berurusan dengan satpol PP. Mereka dituduh jalang karena ada di luar rumah saat malam hari. Padahal, mereka ada di luar rumah setelah diperas keringatnya oleh perusahaan dan demi menghidupi keluarga. Sungguh aturan keblinger dari mentor keblinger yang diikuti dengan sama keblingernya.

Karenanya, kemarahan publik pada kasus pemukulan ini harus dijadikan pelajaran oleh Pak Walikota. Pak Walikota perlu tahu bahwa memimpin sebuah kota tak cukup hanya dengan membangun banyak taman. Berbicara demokrasi tak bisa selesai dengan keberadaan ruang publik tempat masyarakat bisa foto-foto.


Jika memang Walikota Tangerang adalah pemimpin yang baik, Anda harusnya merasa tamparan kasat intel tersebut harusnya telak mendarat di muka bapak. Bukan saja karena kejadian memalukan ini membuat nama kota menjadi semakin buruk. Tapi juga karena kebijakan ngaco yang Anda buat telah merampas kebebasan warga Anda untuk menyampaikan pendapat. Anda harusnya malu, Pak Wali.

Pertama terbit di Mahasiswa Bicara
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar