Menjadi warga pinggiran ibu kota itu tidak
mengenakkan. Sudah kota tempat saya tinggal jarang dilirik oleh media,
sekalinya dibicarakan, eh persoalan enggak ngenakin. Beberapa waktu lalu,
pemberitaan soal sopir angkutan kota yang tabrak pengemudi ojek online hingga
jadi kericuhan. Eh kemarin, kota saya yang akhlakul karimah ini bikin heboh
karena ada polisi yang menampar demonstran.
Sungguh, itu perbuatan yang memalukan. Bukan
saja karena yang ditampar adalah seorang perempuan, tapi juga karena yang menampar
adalah seorang Kepala Satuan Intelijen Polres Tangerang. Dia bukanlah polisi
kelas teri yang baru keluar dari pendidikan. Ia adalah seorang pejabat
kepolisian yang katanya harus mengayomi masyarakat.
Sementara itu, Amelia Yanti buruh perempuan
yang ditampar itu, adalah orang yang
telah berjuang lebih dari lima tahun untuk menuntut penyelesaian kasus
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap 1300 orang buruh oleh PT.
Panarub Dwikarya. Lima tahun berjuang, tak dipedulikan nasibnya, tak dibayarkan
hak-haknya, kini malah dipukul dan dilarang memperjuangkan nasib buruh.
Kasus pemukulan ini bermula ketika aksi
kawan-kawan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) hendak dibubarkan paksa
oleh aparat kepolisian dan pamong praja. Aksi mereka dinilai melanggar
peraturan walikota yang melarang dilakukannya demonstrasi dan penyampaian
pendapat di muka umum pada hari Sabtu dan Minggu. Merasa hal tersebut melanggar
prinsip demokrasi, juga melihat pembiaran polisi terhadap pawai yang dilakukan
pada saat yang sama, Amelia menyampaikan protes kepada aparat.
Sayangnya, protes tersebut ditanggapi dengan
keras oleh aparat. Cacian keluar dari mulut para aparat. Suasana berlangsung
panas hingga sebuah tamparan mendarat mulus di pipi Amelia. Plak. Dengan
enaknya seorang aparat memukul masyarakat.
Perlu diketahui, aksi yang dilakukan oleh
kawan-kawan GSBI ini telah dilakukan sejak lama. Bukan baru sekali dua kali
mereka melakukan aksi mingguan di Tugu Adipura Tangerang. Hanya saja, karena
peraturan keblinger dari Walikota Tangerang insiden memalukan ini terjadi.
Sebagai warga Tangerang yang rajin membayar
pajak, saya menjadi orang yang amat malu pada insiden ini. Pertama larangan
aksi pada hari Sabtu dan Minggu tentu adalah sebuah pelanggaran hak asasi. Apa
pun alasannya, larangan seperti ini adalah pelanggaran demokrasi. Apalagi jika
alasannya hanya untuk meliburkan aparatur daerah pada akhir pekan dan hari
libur nasional. Buat apa bayar pajak kalau aparatur daerah tak mau bekerja
untuk masyarakat.
Aksi mingguan kawan-kawan GSBI ini memang
biasa dilakukan pada akhir pekan di kala mereka mendapatkan jatah libur dari
pabriknya. Mereka merelakan hari liburnya yang berharga demi menuntut kejelasan
bagi kasus-kasus perburuhan yang tak pernah selesai di Kota Tangerang.
Dan sekarang, Walikota yang tak punya kemauan
untuk menyelesaikan persoalan tersebut malah mengeluarkan aturan keblinger yang
membuat suara para buruh kian terbungkam. Sungguh prestasi yang membanggakan,
Pak Wali. Sepertinya Anda berniat mengejar prestasi Ganjar Pranowo yang tak
peduli nasib rakyatnya.
Kebijakan keblinger yang merugikan buruh
semacam ini juga pernah dibuat oleh pendahulu Pak Wali. Dulu ada peraturan
daerah yang melarang perempuan di Tangerang keluar malam. Aturan ini dibuat
oleh mentor politik Anda. Yap betul, orang yang sekarang mencalonkan diri jadi
gubernur bareng anaknya ratu korup di Banten itu.
Peraturan ini pernah membuat buruh-buruh
perempuan yang pulang malam karena shift dua harus berurusan dengan satpol PP.
Mereka dituduh jalang karena ada di luar rumah saat malam hari. Padahal, mereka
ada di luar rumah setelah diperas keringatnya oleh perusahaan dan demi
menghidupi keluarga. Sungguh aturan keblinger dari mentor keblinger yang
diikuti dengan sama keblingernya.
Karenanya, kemarahan publik pada kasus
pemukulan ini harus dijadikan pelajaran oleh Pak Walikota. Pak Walikota perlu
tahu bahwa memimpin sebuah kota tak cukup hanya dengan membangun banyak taman.
Berbicara demokrasi tak bisa selesai dengan keberadaan ruang publik tempat
masyarakat bisa foto-foto.
Jika memang Walikota Tangerang adalah pemimpin
yang baik, Anda harusnya merasa tamparan kasat intel tersebut harusnya telak
mendarat di muka bapak. Bukan saja karena kejadian memalukan ini membuat nama
kota menjadi semakin buruk. Tapi juga karena kebijakan ngaco yang Anda buat
telah merampas kebebasan warga Anda untuk menyampaikan pendapat. Anda harusnya
malu, Pak Wali.
Pertama terbit di Mahasiswa Bicara
0 komentar:
Posting Komentar