Aditia Purnomo

Panggil Saja Saya Wage

Leave a Comment
Paruh pertama film Wage berlangsung terlalu cepat. Fase demi fase masa muda komponis lagu kebangsaan ini hanya menampilkan cuplikan-cuplikan yang amat tidak bisa dinikmati. Apalagi jika orang yang menonton film ini adalah awam yang tak kenal bagaimana Wage tumbuh sebagai pejuang.
Adegan demi adegan tersaji hanya sekelebat saja. Wage kecil yang ditinggal mati ibunya, kemudian tinggal bersama van Eldik yang tak dijelaskan kalau dirinya adalah kakak ipar Wage. Hingga kemudian Wage dicemooh teman-teman sekolahnya yang bukan pribumi berubah dewasa dan menjadi anggota grup musik Black & White yang terkenal di Makasar sana.
Semua berlangsung dengan kilat. Tak ada adegan yang menceritakan kenapa Wage jadi andal bermain biola. Tak ada juga adegan yang menggambarkan alasan kenapa Wage mau ikut berjuang bersama orang-orang pergerakan kemerdekaan. Di film ini, hanya tersaji kalau Wage tiba-tiba hadir di sebuah pertemuan dengan pidato berapi-api, tanpa ada gambaran yang membuat Wage mantap berjuang untuk para pribumi.
Satu-satunya hal menarik di paruh pertama ini, adalah bagaimana sang tokoh mengenalkan diri pada khalayak. Meski lebih dikenal dengan nama Rudolf, tokoh kita lebih senang dipanggil dengan nama Wage. “Panggil saja saya Wage,” ujarnya dalam sebuah adegan tatkala Ia minta bosnya yang Belanda untuk memanggilnya dengan nama tersebut.
Saya secara pribadi sudah khatam membaca kisah Wage. Dari sebuah komik terbitan Elex Media, saya mendapati kisah Wage yang cukup jelas dan dapat menggambarkan masa-masa yang membentuk Wage sehingga mau berjuang untuk kemerdekaan. Hal ini, sayangnya, tidak bisa saya dapatkan dari fim tersebut.
Di Komik, diceritakan dengan cukup detail bagaimana kakaknya yang Belanda itu menambahkan Rudolf pada nama Wage agar dirinya bisa masuk sekolah Belanda. Selain itu, dikisahkan juga bagaimana van Eldik mengajarkan Wage bermain musik untuk menghilangkan kesal karena diejek temannya di sekolah. Beberapa hal yang kurang dijelaskan dalam film garapan John de Rantau ini.
Yang menurut saya agak parah adalah, ketika film ini gagal memasukkan kisah ditolaknya Wage oleh seorang noni Belanda karena statusnya yang seorang pribumi. Padahal, saya rasa hal ini adalah salah satu hal yang menambah keyakinan Wage untuk ikut berjuang bersama pribumi yang lain. Ya meski alasan utamanya adalah kegundahan Wage melihat hidupnya yang sejahtera sementara pribumi lain malah menderita.
Meski begitu, setelah masuk paruh kedua film, cerita jadi berjalan menyenangkan dan lebih mudah dicerna oleh orang yang awam sekalipun. Jika paruh pertama film mengisahkan masa muda Wage hingga datang ke Batavia dan terlibat dalam kongres pemuda, maka paruh kedua menceritakan perjalanan Wage sebagai seorang buronan setelah menggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kongres Pemuda kedua.
Pada fase peralihan ini, film menjadi menyenangkan karena saya dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza dengan lantang di dalam bioskop. Maklum, ketika nonton film ini semalam, hanya ada 5 orang yang rela mengeluarkan uang untuk menyaksikan Wage. Jadi ya ruang bioskop serasa milik pribadi sahaja. Nyanyi sampai teriak kencang pun, tak ada orang yang terganggu.
Setelah lagu kebangsaan berkumandang, mulailah fase berbeda dalam hidup Wage. Meski sadar akan risiko perjuangannya, tapi tetap saja Wage harus bersembunyi agar selamat dari kejaran dinas intelijen politik pemerintah Hindia Belanda. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya Wage ditangkap dan dipenjara di Surabaya.
Film ini sebenarnya cukup berhasil memberikan gambaran detail dalam hidup Wage, hanya saja di awal film adegannya terlalu cepat dan sulit dipahami. Terlihat jelas ada banyak adegan yang dipotong demi memenuhi durasi yang tersedia. Tapi ya film ini tetap perlu diapresiasi mengingat tidak banyak orang tahu bagaimana kisah dan perjuangan Wage demi kemerdekaan Indonesia.
Saya jadi teringat, betapa stresnya Wage tatkala dikejar deadline untuk membuat satu lagu kebangsaan yang mampu menyatukan seluruh komponen bangsa di Hindia Belanda. Betapa Wage yang cuma bisa dekat dengan seorang gadis tanpa mampu meminangnya karena nasib hidupnya sebagai pelarian. Dan bagaimana seorang pencipta lagu kebangsaan harus meloak barang-barang di rumahnya guna mempertahankan hidup dan mencetak bukunya sendiri. Begitulah kiranya memang nasib senorang yang memilih garis perjuangan.
Sebuah ironi, agaknya. Di saat orang-orang mengucap selamat hari pahlawan, film Wage di bioskop justru tak ramai dikunjungi. Ketika orang-orang melulu menampilkan wajah Soekarno atau Bung Tomo di spanduk-spanduk yang tersebar di jalanan, tapi lupa kalau ada orang yang berhasil mempersatukan komponen bangsa melalui lagu ciptaannya. Sebuah lagu kebangsaan, yang tak pernah betul-betul bisa Ia nyanyikan di kala Indonesia merdeka.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar