Saya sepakat dengan larangan merokok saat
berkendara. Namun, ketika Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019
tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk
Kepentingan Masyarakat (Permenhub 12/2019) keluar, jujur saja, saya tidak
sepakat-sepakat amat. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari regulasi ini,
terutama, terkait maksud dan tujuannya.
Alasan utama dibuatnya aturan ini adalah untuk
menghindari kecelakaan akibat hilangnya konsentrasi karena pengemudi kendaraan
merokok. Ya, tujuannya seperti itu. Sekilas, memang tampak mulia. Tapi yang
perlu diingat. Kebanyakan orang yang merokok saat berkendara justru melakukan
aktivitas tersebut agar tidak mengantuk, agar konsentrasinya meningkat tatkala
mengemudi.
Jadi, perintah pasal 6 regulasi tersebut yang
berbunyi: “Pengemudi dilarang merokok dan melakukan aktifitas lain yang
mengganggu konsentrasi ketika sedang mengendarai sepeda motor”, sebenarnya
tidak teat-tepat amat untuk menjadi alasan agar para pengemudi kendaraan
bermotor berhenti melakukan aktivitas itu.
Tentu saja merokok berbeda dengan menggunakan
ponsel pintar ketika berkendara. Penggunaan ponsel tatkala itu memang menyita
konsentrasi. Sementara merokok, justru dianggap meningkatkan konsentrasi. Jadi,
ya aturan semacam ini justru bakal menimbulkan resistensi dari para pengemudi
kendaraan karena landasan berpikirnya kurang tepat.
Oh ya, ada satu hal lagi yang perlu diluruskan
dari Permenhub ini. Asal tahu saja, dalam aturan ini sama sekali tidak
disebutkan sanksi atau denda Rp 750 ribu pada para pelanggarnya. Asumsi denda
sebesar tadi didasarkan pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU LLAJ). Di pasal 283 UU LLAJ disebutkan bahwa bagi pengemudi
yang melanggar, terdapat ancaman hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda
paling banyak Rp 750 ribu.
Saya tidak tahu bagaimana implementasi hukum
yang bakal diterapkan. Namun, jika ancaman hukumannya adalah Rp 750 ribu,
hukuman pada para pelanggar aturan ini juga tidak masuk akal. Okelah kalau
memang aturan ini mau diterapkan, tapi besaran denda yang diberikan itu agak
keterlaluan. Apalagi sosialisasi sebelum atuan ini diterapkan juga tidak
masif-masif amat.
Sekali lagi saya katakan, saya sangat sepakat
pada larangan merokok saat berkendara. Hanya saja yang harus dipahami oleh para
pengemudi bukannya persoalan mengganggu konsentasi, tetapi mengganggu para
pengemudi lain dan masyarakat. Ingat, merokok ketika berkendara punya potensi
membahayakan orang lain. Misalnya, ketika bara api dari rokok terkena pengemudi
lain dan terjadi kecelakaan padanya. Dan hal seperti inilah yang harusnya jadi
landasaan pikiran regulasi tadi.
Merokok, tidak hanya pada saat berkendara,
punya potensi mengganggu kenyamanan orang lain. Karena itu, para perokok harus
diberikan pemahaman agar tidak lagi merokok sembarangan. Termasuk saat
berkendara. Sayangnya, hal seperti ini tidak banyak dilakukan. Dan yang banyak
dilakukan justru membuat aturan seperti Permenhub ini, dengan potensi
resistensi yang juga cukup tinggi.
Kalau memang pemerintah mau menertibkan para
perokok, saya kira negara (juga daerah) harus terlibat dalam kampanye edukasi
pada para perokok. Jangan cuma dilarang-larang, tapi beri mereka pemahaman agar
tidak mengganggu orang lain. Selain itu, pastikan juga ketersediaan ruang
merokok di tempat umum agar mereka tidak lagi merokok sembarangan.
Balik lagi ke persoalan merokok saat
berkendara. Jika memang kita mengantuk dan ingin lebih berkonsentrasi saat
berkendara, dan kemudian ingin merokok agar kedua hal tadi terwujud, lebih baik
kita berhenti sejenak di pinggir jalan atau warung kopi untuk merokok.
Percayalah, merokok saat berkendara itu nggak enak. Rokok cepat habis kena
angin, ya enakan sambil ngopi di warung pinggir jalan. Sudah aman tidak
terancam hukuman, kita juga membuktikan pada masyarakat bahwa perokok santun
itu ada dan berlipat ganda.
Pertama terbit untuk Komunitas Kretek
0 komentar:
Posting Komentar