Aditia Purnomo

Bandara Seokarno Hatta Memang Tak Ramah Untuk Warga Tangerang

Leave a Comment


Bandara Soekarno Hatta (Soetta) memang tak ramah buat warga Tangerang. Atau setidaknya, warga Tangerang yang hendak bepergian dengan pesawat di bandara internasional ini. Semua terjadi akibat penutupan pintu M1 yang menjadi gerbang utama bagi warga Tangerang untuk tiba di bandara. Semua terjadi karena pembangunan kereta bandara yang hampir sama sekali tidak bermanfaat bagi warga Tangerang.

Asal tahu saja, kereta bandara tersebut memang diperuntukkan bagi warga Jakarta (juga kota lainnya) agar lebih mudah mencapai Soetta. Untuk warga Tangerang, ya kurang sepadan mengingat harga naik kereta bandara dari Stasiun Batu Ceper ada di angka Rp 35 ribu. Angka yang lumayan tinggi mengingat jarak tempuh yang tidak seberapa jauh.

Moda transportasi publik lainnya yang dapat digunakan warga adalah Damri. Baik dari Karawaci, Serpong, maupun Citra Raya. Kalau dari Serpong atau Citra Raya, ya masih layak digunakan lah. Mengingat jarak dan harganya yang ada di angka Rp 40 ribu. Tapi kalau untuk Karawaci, ya lumayan juga harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh. Paling enak ya naik taksi atau mobil pribadi.

Masalahnya, warga Tangerang yang hendak menuju bandara harus melalui jalan memutar. Baik dengan memutar perjalanan ke Jakarta terlebih dulu, atau memang memutar secara harfiah dengan memutari bandara. Setelah penutupan pintu M1, Jalan Parimeter Utara dan Selatan menjadi alternatif akses masuk bagi warga Tangerang.

Sialnya, jalan parimeter ini busuk, eh buruk maksudnya. Banyak lubang menganga di aspalnya, bahkan juga memakan korban kecelakaan. Malah Jalan Parimeter Selatan sudah ditutup sekitar setahun karena pernah mengalami longsor akibat salah konstruksi di Underpass Soetta. Padahal ya, jalan ini lebih praktis dilalui daripada Parimeter Utara karena tidak perlu memutar terlalu jauh melalui Rawa Bokor terlebih dulu.

Bagi saya, warga Tangerang pengguna rutin penerbangan Soetta, akses menuju bandara atau sebaliknya adalah neraka. Lewat parimeter jalan rusak dan harus memutar, lewat Jalan Juanda juga sama rusaknya, sementara lewat tol diancam macet dan tarif lewat yang lumayan tinggi. Semua itu menjadi perhitungan jika saya mau menggunakan taksi daring maupun konvensional. Itu pun dengan catatan: naik taksi daring berisiko kena operasi petugas bandara.

Janji memperbaiki jalan parimeter yang rusak dulu pernah terdengar. Namun hingga saat ini janji tersebut masih belum terealisasi. Belum genap satu janji terabaikan, muncul kabar kalau pihak otoritas bandara bakal membangun jalur baru yang lebih ‘manusiawi’ bagi masyarakat Tangerang. Sayangnya, kabar atau janji semacam ini kalaupun terealisasi ya bakal memakan waktu pengerjaan yang cukup lama.

Pun dengan Jalan Juanda yang banyak berlubang disertai jarak tempuh lumayan. Sudah sejak lama katanya jalan ini mau diperbaiki. Hanya saja, perbaikan jalan ini ya hanya sebatas mitos atau memang tidak benar-benar mau diperbaiki. Mungkin begini anggapannya: biar saja kalian lewat jalan rusak, yang penting masih bisa lewat. Atau: kalau mau bangun, ya buat warga daerah lain saja yang lebih jauh. Warga Tangerang mah gampang, belakangan saja.

Hal semacam inilah yang membuat saya sebenarnya lebih mengharapkan kesempatan pulang pergi Jogja-Tangerang dengan kereta api di setiap bulan. Namun, jadwal saya yang padat kan tidak bisa diprediksi. Ada beberapa kesempatan saya harus memaksimalkan waktu dengan naik pesawat.

Jika hal ini terjadi, ya siklus siksaan seperti di atas menjadi bagian dari perjalanan saya di hampir setiap bulannya. Mau naik taksi mahal, taksi daring harus siap risiko digerebek petugas, naik Damri mahal, kereta bandara pun begitu. Kemudian, mau lewat tol dengan tambahan biaya atau jalan-jalan busuk yang tak pernah selesai diperbaiki. Ya terus begitu saja sampai akses jalan baru selesai dibangun.


Pertama terbit di Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar