Bandara Soekarno Hatta (Soetta) memang tak
ramah buat warga Tangerang. Atau setidaknya, warga Tangerang yang hendak
bepergian dengan pesawat di bandara internasional ini. Semua terjadi akibat
penutupan pintu M1 yang menjadi gerbang utama bagi warga Tangerang untuk tiba
di bandara. Semua terjadi karena pembangunan kereta bandara yang hampir sama
sekali tidak bermanfaat bagi warga Tangerang.
Asal tahu saja, kereta bandara tersebut memang
diperuntukkan bagi warga Jakarta (juga kota lainnya) agar lebih mudah mencapai
Soetta. Untuk warga Tangerang, ya kurang sepadan mengingat harga naik kereta
bandara dari Stasiun Batu Ceper ada di angka Rp 35 ribu. Angka yang lumayan
tinggi mengingat jarak tempuh yang tidak seberapa jauh.
Moda transportasi publik lainnya yang dapat
digunakan warga adalah Damri. Baik dari Karawaci, Serpong, maupun Citra Raya.
Kalau dari Serpong atau Citra Raya, ya masih layak digunakan lah. Mengingat
jarak dan harganya yang ada di angka Rp 40 ribu. Tapi kalau untuk Karawaci, ya
lumayan juga harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu dengan jarak tempuh yang tidak
begitu jauh. Paling enak ya naik taksi atau mobil pribadi.
Masalahnya, warga Tangerang yang hendak menuju
bandara harus melalui jalan memutar. Baik dengan memutar perjalanan ke Jakarta
terlebih dulu, atau memang memutar secara harfiah dengan memutari bandara.
Setelah penutupan pintu M1, Jalan Parimeter Utara dan Selatan menjadi
alternatif akses masuk bagi warga Tangerang.
Sialnya, jalan parimeter ini busuk, eh buruk
maksudnya. Banyak lubang menganga di aspalnya, bahkan juga memakan korban
kecelakaan. Malah Jalan Parimeter Selatan sudah ditutup sekitar setahun karena
pernah mengalami longsor akibat salah konstruksi di Underpass Soetta. Padahal
ya, jalan ini lebih praktis dilalui daripada Parimeter Utara karena tidak perlu
memutar terlalu jauh melalui Rawa Bokor terlebih dulu.
Bagi saya, warga Tangerang pengguna rutin
penerbangan Soetta, akses menuju bandara atau sebaliknya adalah neraka. Lewat
parimeter jalan rusak dan harus memutar, lewat Jalan Juanda juga sama rusaknya,
sementara lewat tol diancam macet dan tarif lewat yang lumayan tinggi. Semua
itu menjadi perhitungan jika saya mau menggunakan taksi daring maupun
konvensional. Itu pun dengan catatan: naik taksi daring berisiko kena operasi
petugas bandara.
Janji memperbaiki jalan parimeter yang rusak
dulu pernah terdengar. Namun hingga saat ini janji tersebut masih belum
terealisasi. Belum genap satu janji terabaikan, muncul kabar kalau pihak
otoritas bandara bakal membangun jalur baru yang lebih ‘manusiawi’ bagi
masyarakat Tangerang. Sayangnya, kabar atau janji semacam ini kalaupun
terealisasi ya bakal memakan waktu pengerjaan yang cukup lama.
Pun dengan Jalan Juanda yang banyak berlubang
disertai jarak tempuh lumayan. Sudah sejak lama katanya jalan ini mau
diperbaiki. Hanya saja, perbaikan jalan ini ya hanya sebatas mitos atau memang
tidak benar-benar mau diperbaiki. Mungkin begini anggapannya: biar saja kalian
lewat jalan rusak, yang penting masih bisa lewat. Atau: kalau mau bangun, ya
buat warga daerah lain saja yang lebih jauh. Warga Tangerang mah gampang,
belakangan saja.
Hal semacam inilah yang membuat saya
sebenarnya lebih mengharapkan kesempatan pulang pergi Jogja-Tangerang dengan
kereta api di setiap bulan. Namun, jadwal saya yang padat kan tidak bisa
diprediksi. Ada beberapa kesempatan saya harus memaksimalkan waktu dengan naik
pesawat.
Jika hal ini terjadi, ya siklus siksaan
seperti di atas menjadi bagian dari perjalanan saya di hampir setiap bulannya.
Mau naik taksi mahal, taksi daring harus siap risiko digerebek petugas, naik
Damri mahal, kereta bandara pun begitu. Kemudian, mau lewat tol dengan tambahan
biaya atau jalan-jalan busuk yang tak pernah selesai diperbaiki. Ya terus
begitu saja sampai akses jalan baru selesai dibangun.
Pertama terbit di Baca Tangerang
0 komentar:
Posting Komentar