Selama ini Eka Kurniawan dianggap sebagai
penulis/sastrawan berbakat yang bisa mengimbangi kehebatan Pramoedya di mata
dunia. Novel dan kumpulan cerpen yang diterbitkannya mendapatkan sambutan baik
dari publik pembaca, buku-buku itu diulas dan didebat sebagaimana karya
berkualitas lain. Dengan segala torehan itulah, boleh dibilang, Eka Kurniawan
mulai dianggap seperti setengah dewa buat sebagian orang.
Namun, setelah membaca Senyap yang Lebih
Nyaring, kumpulan tulisan di blognya yang kemudian dibukukan, saya menemukan
gambaran berbeda dari kebanyakan imaji atas Eka yang muncul lewat
karya-karyanya. Di buku ini, saya melihat Eka sebagaimana saya melihat manusia
lain. Punya idola, gagasan, dan cara pandang yang sebenarnya; sederhana.
Sesederhana tulisan-tulisan yang ada di buku ini.
Kumpulan tulisan di buku ini memang sederhana,
hanya terdiri dari sekian ratus kata per tulisan, tapi memberikan satu hal yang
jarang diberikan penulis lain kepada pembacanya, yakni keseharian. Ya, membaca
ini bisa membuat saya membayangkan buku-buku apa yang Eka baca, penulis-penulis
mana yang Eka gemari karyanya, dan keseharian aktifitas apa saja yang dapat
membuatnya bisa berkembang hingga seperti sekarang.
Jika boleh menyimpulkan, Senyap yang Lebih
Nyaring bisa dibilang seperti Cerita Dibalik Dapur Tempo yang memberikan
gambaran bagaimana proses kreatif/jurnalistik bekerja. Meskipun tidak sampai
menyeluruh, tapi akhirnya saya tahu bagaimana Eka belajar dan bereksperimen
melalui cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi
untuk mendaur ulang cerita penulis lain sebagai kisah baru yang memikat.
Atau, bagaimana cerita Eka ketika memulai
karirnya sebagai penulis (pemula) dan bagaimana cara Ia mampu menembus meja
redaksi/penerbit. Hal ini Ia tuliskan hanya untuk menanggapi pertanyaan:
bagaimana caranya penulis pemula bisa mendapatkan tempat di hadapan
penerbit/redaksi. Serta ada banyak tulisan-tulisan lainnya yang bisa kita
temukan di buku ini, yang didasarkan dengan sebuah pertanyaan.
Tulisan-tulisan di buku Senyap yang Lebih
Nyaring dikategorikan berdasar tahun pembuatannya. Jadi, Anda dapat membaca
bagaimana tulisan Eka Kurniawan pada tahun 2012 hingga 2014. Saya agak heran
sih, kenapa hanya dibatasi hingga tahun 2014. Apakah karena itu adalah tahun
politik yang memecah belah kehidupan bernegara masyarakat kita? Saya langsung
membuang jauh pikiran itu ketika ingat, lantaran hampir tidak ada tulisan
tentang politik di buku ini, kecuali pilihan/gagasan politik para penulis yang
Ia ceritakan di buku ini.
Dari 107 tulisan yang ada di buku Senyap yang
Lebih Nyaring, ada beberapa tulisan yang menjadi favorit saya. Pertama adalah
Es Krim, tulisan yang menceritakan dengan sangat sederhana bagaimana hierarki
pengetahuan dan relasi kuasa bekerja melalui perbedaan pandangan orangtua dan
anak tentang es krim. Sungguh isu yang ‘berat’ tapi bisa dibahas dengan amat
sederhana.
Kemudian ada Pesan Moral yang menggambarkan
bagaimana setiap orang di dunia ini memiliki ukuran nilai/moral berbeda dan tak
bisa dipaksakan sama. Dan kegilaan seseorang untuk melulu menampilkan pesan
moral dalam setiap karya tak ubahnya menjadikan para “penulis bertabiat
ugal-ugalan seperti sopir angkutan umum di Jakarta” yang hanya kejar setoran
saja. Begitu kira-kira interpretasinya.
Ada banyak tulisan menyenangkan di buku ini,
walau ya ada juga yang biasa saja. Karena memang seperti yang sudah saya
katakan di atas, membaca buku ini seperti melihat keseharian penulis. Kadang
ada hal yang mendebarkan, kadang ada juga yang biasa saja. Dan memang seperti
itulah hidup berjalan. Tidak bisa seseorang menuntut orang lain untuk terus
berlaku sempurna.
Mungkin, dengan buku inilah, Eka Kurniawan
mencoba menjawab segala pertanyaan tentang bagaimana proses kreatif yang
dilalui serta perjalanan karirnya. Meski memang tidak ditulis dengan
benar-benar sistematis, mungkin memang dengan cara seperti itulah kita mampu
belajar dari Eka Kurniawan dengan sederhana-sederhana saja.
0 komentar:
Posting Komentar