Kerusuhan yang terjadi sebagai bagian dari
aksi penolakan hasil pemilu sudah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan. Bukan
hanya perkara kekerasan yang terjadi di lapangan, baik yang dilakukan oleh
aparat atau massa aksi, tetapi juga dampak terhadap banyak masyarakat lainnya.
Terutama, dampak atas akses informasi masyarakat yang ‘dibatasi’ negara demi
menghadang hoax terkait peristiwa tadi.
Kebijakan ini diambil oleh Menteri Kordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sebagai langkah paling mudah yang bisa
dilakukan pemerintah. Katanya sih, dalam tiga hari ke depan akses internet
bakal dibatasi demi meminimalisir persebaran hoax. Dengar-dengar sih, hal ini
dilakukan agar kerusuhan tidak meluas dan masyarakat mampu bersikap tenang
menghadapi kelompok yang bikin repot ini.
Kalau mau dibaca sederhana, mungkin langkah
ini bisa dianggap sebagai solusi bijak pemerintah. Daripada terjadi pertumpahan
darah, lebih baik batasi akses informasi sementara hingga keadaan kondusif.
Namun, kalau mau benar-benar jujur, langkah ini sebenarnya hanya alasan
pemerintah karena malas memikirkan cara yang lebih efektif untuk menghadapi
permasalahan tadi.
Satu hal yang harus dipahami, pembatasan
terhadap akses informasi harus dimaknai sebagai kemunduran dalam demokrasi.
Apapun alasan dan tujuannya, pembatasan persebaran informasi berseberangan
dengan semangat demokrasi dan reformasi yang dulu diperjuangkan. Apalagi,
pembatasan informasi yang kini dilakukan hanya karena kerusuhan akibat buruknya
cara berpolitik masyarakat.
Bahwa kekerasan dan kerusuhan yang terjadi
harus segera dihentikan, saya sepakat. Hal-hal yang terjadi ini tidak boleh
ditolerir karena memang bukan sebuah perilaku yang mampu diterima masyarakat.
Namun, sekali lagi, membatasi akses internet dan informasi karena hal ini juga
bukan solusi yang tepat.
Karena pembatasan ini, ada banyak kawan-kawan
saya yang berjualan dan mengandalkan internet tidak berhasil menjual
dagangannya. Banyak juga kawan-kawan yang kesulitan bekerja karena terbatasinya
akses internet. Di titik ini, ketidaknyamanan dan gangguan dirasakan oleh
masyarakat karena kegagalan pemerintah mengatasi hoax.
Harusnya, sudah sedari dulu negara memberikan
perhatian lebih pada hoax. Jangan karena kerusuhan terjadi barulah negara panik
dan membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran. Sekali lagi, mungkin niatnya
baik agar kerusuhan dan kepanikan tidak menyebar. Hanya saja, kebijakan yang
macam begini bakal menjadi senjata makan tuan bagi pemerintah. Sudah dianggap
tidak benar dan dzolim oleh mereka yang membuat kerusuhan, dikeluhkan juga oleh
kebanyakan masyarakat lain yang membutuhkan akses informasi dan internet untuk
menjalani hidupnya.
Di posisi ini, harusnya sedari dulu pemerintah
menggalakkan pemberantasan hoax dengan meningkatkan kapasitas literasi digital
masyarakat. Memberi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah
mempercayai sebuah kabar yang beredar, dan mengajak masyarakat untuk sama-sama
memberantas hoax.
Sebenarnya, pembatasan akses internet yang
dilakukan ini adalah tindakan yang hampir sia-sia. Ada banyak aplikasi pihak
ketiga yang memberikan Virtual Private Network dari negara lain agar kita bisa
membuka pembatasan akses tersebut. Foto-foto, video, dan banyak hal yang
dikhawatirkan membuat kepanikan juga masih bersebaran di media sosial. Malah,
Wakil Ketua DPR kita yang terhornat dengan asyik justru terlibat dalam
penyebaran informasi (saya yakin itu hoax) yang berpotensi menimbulkan hoax.
Asal tahu saja, ketakutan akan terjadinya
gelombang kerusuhan seperti tahun 1999 tidak bakal
terwujud. Sejauh pengalaman
saya terkait aksi dan massa, kelompok pembuat ricuh tidak mendapatkan dukungan
dari elemen lain seperti mahasiswa atau masyarakat. Jadi, terlalu jauh membayangkan
bakal terjadi Kerusuhan Mei jilid 2 sebesar apapun massa yang dimobilisasi
untuk membuat kerusuhan.
Walau, tetap saja, peristiwa ini patut
dikhwatirkan bakal mengulang sesuatu yang buruk di masa lalu. Apa itu, tentu
saja upaya pemberangusan informasi oleh negara. Ingat, dengan legitimasi
kerusuhan yang dibuat-buat ini justru membuat pemerintah memiliki dalih untuk
membatasi akses informasi. Dan hal ini, ke depannya, dapat terulang lagi selama
pemerintah memiliki dalih “menjaga keamanan dan ketertiban negara’.
Kalau sudah begini, tidak berguna kalian
berkoar-kora seperti apa. Karena, ke depannya kita bakal kembali ke zaman
dimana informasi dipilah-pilah mana yang baik dan patut diberikan ke
masyarakat. Jika tidak, bahkan dalam arti tidak menguntungkan pemerintah, ya
jangan diberikan ke masyarakat. Batasi akses informasi dan internet, seperti
yang hari ini dilakukan pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar