Dibayar dengan jerih payah pajak rakyat,
dibajak atas nama agama. Begitu kira-kira komentar seorang teman ketika viral
papan pengumuman berbau syariah di RSUD Kota Tangerang. Pada papan pengumuman
tersebut, tertulis imbauan agar para penunggu pasien RSUD tersebut seyogyanya
bukan lawan jenis atau mereka adalah mahram (keluarga) pasien. Jelas saja,
masyarakat umum menolak keras imbauan diskriminatif semacam itu.
Saat ini papan tersebut memang sudah dicabut
karena viral dan membuat malu warga Tangerang. Namun perlu dipahami, yang
ditolak oleh masyarakat bukan imbauannya, tapi aroma syariah di rumah sakit
daerah. Sekalipun imbauannya dicabut, di kemudian hari bisa saja dibuat aturan
sejenis karena sertifikasi rumah sakit syariah yang tengah dikejar RSUD Kota
Tangerang.
Perlu diketahui, Kota Tangerang memang bukan
kota yang menggunakan aturan berbasis syariat islam. Namun, ini adalah kota
yang ‘islami’ dan berakhlakul karimah. Jadi cara berpikir pemerintah serta
regulasi yang dibuat memiliki nafas yang sama dengan syariat islam. Dari hal
sederhana seperti memasang ‘rambu’ asmaul husna di sepanjang jalan M.H Thamrin,
hingga membuat aturan diskriminatif dengan dasar pemikiran berbasis syariat.
Dulu, karena keberadaan Perda Larangan
Pelacuran di Kota Tangerang, banyak buruh perempuan yang menjadi korban salah
tangkap Satpol PP. Mereka yang baru pulang selepas bekerja sif 2 dianggap
sebagai pelacur dan diamankan oleh Satpol PP. Malah, ada seorang perempuan yang
dikenakan vonis tindak pidana ringan karena menunggu angkutan umum sepulang
bekerja.
Kemudian ada juga arahan walikota agar
masyarakat tidak menyalakan televisi dan menggunakan ponsel pintar selepas
magrib. Ajakannya sih baik, agar anak-anak bisa belajar dan mengaji. Papan
imbauan dipasang di banyak tiang listrik di gang-gang pemukiman warga. Dan
terakhir ya terkait penerapan sertifikasi rumah sakit halal oleh RSUD Kota
Tangerang ini.
Sebagaimana sarana pelayanan publik yang lain,
RSUD harusnya lebih banyak mengurusi pelayanan terhadap masyarakat ketimbang
mengurusi hal-hal lain seperti sertifikasi syariah. Walau kinerja pelayanan
kesehatan di Kota Tangerang terbilang bagus, tapi lebih baik mereka fokus
meningkatkan kinerja pelayanan dulu. Apalagi, antrean pasien di RSUD masih
terbilang panjang.
Ketika kebijakan pengelola rumah sakit telah
diskriminatif sejak dalam pikiran, maka ke depannya amat sangat mungkin hal
serupa kembali dilakukan. Dan seandainya imbauan tadi dijadikan aturan, coba
bayangkan, bagaimana nasib seorang perantau perempuan ketika harus dirawat? Mau
cari teman perempuan untuk menemani, susah. Ditemani teman laki-laki tidak
boleh.
Lagipula, apa urusannya rumah sakit mengurusi
ahlak dan moral masyarakat? Jika memang ada penunggu pasien yang berbuat
maksiat di rumah sakit, hukum saja mereka. Toh masyarakat lain yang ada di
rumah sakit bakal menegur mereka. Urusan moral mah biar masyarakat yang urus
sendiri.
Kalau memang pemerintah ingin membangun rumah
sakit syariah, harusnya sedari awal Pemkot menggunakan nama RSUD Syariah Kota
Tangerang. Berikan saja dalih dan argumentasi yang logis jika ingin membangun
RSUD syariah, kalau tidak ada, ya memang berarti membangun hal semacam itu
bukan sesuatu yang penting dan perlu.
Sialnya, pengelola rumah sakit hanya
menanggapi perakara ini dengan amat biasa saja. Mereka hanya menarik papan
imbauan tersebut, dan ke depannya bakal mengganti kata-kata yang ada. Oh ya ada
satu lagi, mereka juga bilang kalau itu hanya imbauan untuk pengunjung rumah
sakit, dan bukan keharusan. jadi, boleh lah kita tidak peduli sama arahan
berbau syariah di rumah sakit ini.
Jika di kemudian hari, mereka yang bukan mahram dan sejenis kelaminnya
tidak boleh menemani pasien, kalau nanti mereka tidak boleh mengurus kebutuhan
pasien, terusir karena aturan berbau syariah di RSUD kota akhlakul karimah,
maka hanya ada satu kata: LAWAN!!!
Pertama terbit di Baca Tangerang
0 komentar:
Posting Komentar