Aditia Purnomo

Soal Aksesi FCTC, Mereka Tak Seserius Itu

Leave a Comment

Mereka tidak serius mendorong FCTC. Selama ini, saya kira, semangat mereka menggalang wacana di sosial media akan membuat acara itu menarik. Mereka yang selama ini senang gelut, senggol sana-sini, banci tampil, ternyata tidasegarang itu di dunia nyata. Pada acara pagi itu, semua yang terjadi sangat tidak sesuai dengan poster dan standar acara mahasiswa UIN.

Minggu, 7 Juni lalu, saya sengaja datang pagi. Mengingat di poster tidak ada jam berapa acara dimulai, saya menanyakannya pada panitia melalui pesan singkat. “Jam 8 kak,” begitu balasan yang saya terima dari panitia bernama Rafida.

Rasa kantuk harus saya tahan, harapan Luis Suarez mencetak gol di final liga champions membuat saya bergadang hingga pagi. Alhamdulillah, harapan saya terwujud. Suarez mencetak satu gol, berselebrasi di hadapan Patrice Evra. Dendam telah dibayar tuntas.

Setelahnya, saya berupaya untuk tidak kesiangan. 10 alarm saya setel dengan nada maksimum. Biasanya, acara di Auditorium Utama Harun Nasution selalu tepat waktu, ramai, dan tidak sebercanda apa yang dilakukan panitia diskusi ini.

Bangun jam 7 pagi, saya merasa masih sempat membuat kopi. Sambil menunggu tubuh terbiasa dengan suhu, segelas kopi hitam dan sebatang kretek saya nikmati. Setelah mandi dan merapikan diri, 15 menit sebelum acara dimulai saya berangkat dari kosan yang tak jauh dari kampus.

Sesampainya di depan Auditorium, suasana sepi. Tidak seperti biasanya. Tapi saya tidak peduli, sambil terkantuk, saya masuk setelah membayar uang registrasi sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Sebuah angka yang besar untuk mahasiswa UIN.

Suasana di dalam gedung masih sepi. Tidak terlihat aktifitas berarti. Saya lihat handphone, masih jam 8 lewat 4. Mungkin telat. Setengah jam sudah biasa. Saya pun duduk sambil membuka koran pagi. Daripada bosan menunggu, lebih baik baca berita pikir saya. Namun, belum sehalaman koran saya baca, rasa kantuk saya kembali datang. Tak lama setelah itu, saya terlelap. Cukup lama saya rasa, karena begitu terjaga, Hakim Sorimuda Pohan sudah berbicara.

Kembali saya melihat jam. Sudah jam 11, wah lama sekali saya tidur. Sial. Segera saya tanya ke orang di samping saya, sudah berapa lama acara dimulai. “Baru dimulai, Kak,” jelasnya. Duh, lewat dua jam acara baru mulai, lebih lama dari lamanya kereta terlambatnya Iwan Fals.  Segera saya ke kamar mandi, cuci muka untuk menyegarkan diri.

Kembali ke ruangan, saya pilih duduk paling belakang. Mengamati diskusi dari belakang, memperhatikan semua yang ada di diskusi. Sambil mencoba fokus, saya mendengarkan ceramah Dokter Hakim. Entah kenapa, saya merasa tidak tertarik dengan apa yang dia sampaikan.

Dari depan, Ia bilang berbicara dengan kubu pro tembakau tak ubahnya berbicara dengan burung beo. Kalau sudah diajarkan jawab selamat pagi, apapun pertanyaannya akan dijawab seperti itu. Jadi tak ada gunanya, kata dia.

Belum lagi caranya menyampaikan ceramah. Dari sekian banyak diskusi yang pernah saya ikuti, baru kali ini saya melihat seorang pembicara menyampaikan materinya seperti seorang guru mengajarkan anak TK. Seperti seorang kakek bercerita pada cucunya, seperti berbicara pada orang yang kelwat bodoh. Jelas saya tak senang dengan itu.

Pembicara setelahnya, Theresia Sandra Diah Ratih dari Kasubdit Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif Kemenkes hanya menyampaikan hal-hal normatif soal FCTC. Tak banyak hal penting (buat saya). Ketika pembicara terakhir, diskusi mulai berjalan menarik.

Jalal, nama pembicara terakhir, menyampaikan kalau menyebut bahwa hanya Indonesia sebagai negara besar yang hingga saat ini belum mengaksesi FCTC. Belum lagi impor tembakau yang dilakukan Indonesia mencapai 70%.

Entah, memang lupa atau tidak, Jalal tidak menyampaikan kalau  negara besar seperti Swiss, 
Amerika, Kuba, juga Argentina belum melakukan aksesi FCTC. Jadi omong kosong kalau selama ini Indonesia disamakan dengan Somalia karena tidak mengaksesi FCTC.

Lalu soal impor tembakau, entah data darimana, Jalal bisa berbicara seperti itu. Mengingat 96% kebutuhan tembakau di Indonesia diserap dari pertanian lokal. Dan tembakau impor hanya digunakan untuk beberapa jenis rokok putih yang jumlahnya pun tidak besar.

Sambil menanti sesi pertanyaan, saya melihat jam sudah menunjukkan hampir setengah satu siang. Wah, sudah jam segini. Telat sekali acara ini. Saya mulai berpikir kalau sesi tanya jawab tak akan panjang, karena waktu sudah lewat terlalu jauh dari jadwal semula. Benar saja, baru 4 penanya moderator sudah menghentikan acara.

Sial betul, saya kira acara ini akan jadi diskusi menarik mengingat nama mentereng yang ada di 
poster. Akan jadi diskusi menarik mengingat yang mengadakan acara adalah Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia.  Tapi nyatanya, semua yang terjadi betul-betul membuat saya merasa sial telah datang ke acara ini.

Sudah telat 2 jam, acara terlalu sepi, pembicara yang hadir sama sekali tak sesuai, juga tidak ada kesempatan untuk bertanya buat saya. Sambil sedikit kesal saya tinggalkan ruangan sebelum acara selesai. Sambil jalan ke rumah makan di samping kampus, saya berpikir untuk menemui Tulus Abadi, moderator acara sekaligus Ketua Harian YLKI.

Niatnya, saya ingin bertanya, “Apa YLKI bisa mengadvokasi ketidakpuasan saya terhadap acara ini seperti seriusnya YLKI melakukan kampanye anti rokok?” Tapi saya urungkan niat itu. Setelah melihat acara tadi, saya mulai berpikir, mereka tak seserius itu.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar