Aditia Purnomo

Pilkada Tangerang dan Gagalnya Kaderisasi Partai Politik

Leave a Comment
Sepanjang 15 tahun terlibat dalam kegiatan organisasi, saya memahami jika aklamasi adalah jalan buruk dalam kegiatan politik. Aklamasi, atau sebuah pemilihan pimpinan kelompok tanpa ada pemungutan suara, bukanlah hal yang tak terhindarkan di dalam kegiatan politik. Tapi, tetap saja, aklamasi adalah sebuah pertanda gagalnya kaderisasi yang berjalan dalam tubuh satu organisasi.
Belakangan ini, nama Banten juga Tangerang kembali disorot publik setelah dua daerahnya yang kena jatah Pilkada, Kabupaten dan Kota Tangerang hanya memiliki satu pasangan calon untuk dipilih masyarakat. Sialnya lagi, di Banten 3 dari 4 Pilkada yang bakal berlangsung hanya mempertontonkan pertarungan satu calon melawan kotak kosong. Hanya satu daerah yakni Kota Serang yang memiliki 2 pasangan calon untuk bertarung, itu pun karena sang petahana tidak lagi bisa maju setelah melewati masa 2 periode jabatan.
Betul juga, ketiga daerah yang menghasilkan calon tunggal dalam Pilkada mencalonkan 3 petahana yang saat ini masih berkuasa. Pertama ada Bupati Iti Octavia Jayabaya dan Ade Sumardi menjadi calon tunggal di Kab. Lebak. Kemudian ada dua pasangan Ahmad Zaki Iskandar dan Mad Romly dan Arief R. Wismansyah dan Sachrudin yang merupakan Bupati dan Walikota Tangerang. Ketiga petahana ini, sekali lagi maju (dan kini tanpa hambatan) untuk memimpin daerahnya.
Fenomena semacam ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pilkada dengan calon tunggal tetap bisa dilaksanakan. Ini kemudian mengubah mekanisme yang sebelumnya tidak membolehkan pemungutan suara jika calon hanya satu. Jika hal tidak ada pasangan lain yang mencalonkan diri, maka KPU setempat akan mengulangi mekanisme pencalonan sambil berharap ada pasangan yang (mau) mencalonkan diri.
Hal tersebut pernah terjadi di Pilkada Surabaya. Saat itu, hanya ada satu calon yang maju yakni petahana Tri Rismaharini hingga masa pencalonan berakhir. Akhirnya, KPU memperpanjang masa pendaftaran calon dan maju satu pasangan lagi untuk bertarung dengan petahana. Walau memang majunya satu calon terakhir dianggap hanya sebagai pelengkap formalitas pemilu, tetap saja hal itu menjadi penting untuk pendidikan politik masyarakat.
Tanpa adanya pertarungan dari dua pasang calon, Pilkada seakan hanya menjadi hajatan agar satu calon mendapatkan kursi pemimpin daerah. Masyarakat yang menjadi kelompok paling berkepentingan tidak bakal mendapat pendidikan politik yang baik jika tidak ada kampanye dan adu gagasan dari dua pasangan calon. Dengan adanya kampanye dan adu gagasan, masyarakat diberikan satu pelajaran penting untuk memilih calon terbaik guna menentukan hajat hidup mereka 5 tahun ke depan.
Walau kini calon tunggal bakal tetap berkampanye pemungutan suara tetap dilakukan, tetap saja pemilihan semacam ini hanya kamuflase dari sebuah aklamasi. Memang, calon tunggal tidak bisa memimpin apabila kalah dari kotak kosong di surat suara. Tapi, kemungkinan itu bakal kecil belaka mengingat orang-orang (yang sebenarnya) ingin mencoblos kotak kosong sepertinya bakal memilih untuk tidak hadir ke TPS karena alasan tertentu.
Seandainya  dalam perhitungan suara nantinya kotak kosong dan golput dihitung bersamaan, kemungkinan besar si calon tunggal bakal kalah telak. Apalagi kekalahan calon tunggal pernah hampir terjadi di Pati. Artinya, kemenangan buat warga yang tidak memilih calon tersebut terbuka lebar.
Di luar itu semua, fenomena ini harusnya menjadi sebuah pukulan telak bagi partai politik yang terlibat dalam pemilu. Ketidakmampuan (atau ketidakmauan) mereka mencari lawan bagi calon tunggal menjadi penanda bahwa, kaderisasi politik di partai masihlah buruk. Apalagi ada banyak partai yang juga mengusung calon yang kader partai lain, atau malah yang bukan kader partai sama sekali.
Masih teringat jelas bagaimana Pilkada DKI Jakarta yang begitu panas itu ternyata hanya memiliki satu wakil dari kader partai yakni Djarot Saeful Hidayat yang merupakan kader PDIP. Selain itu, tidak ada satupun calon yang menjadi anggota partai. Entah itu Anies Baswedan, Sandiaga Uno, ataupun Basuki TP yang tidak aktif di parpol kala itu.
Setidaknya hal semacam ini menunjukkan dua hal yang perlu diperbaiki oleh parpol. Pertama, kegagalan parpol membina kader agar memiliki kapabilitas guna bisa dan mampu maju dalam kontestasi politik. Kedua, sikap oportunis partai yang mau ambil gampang saja ketika ada calon lain dengan kemungkinan menang tinggi. Tanpa mau berusaha memenangkan kadernya tapi memilih untuk mengusung orang lain yang penting menang.
Sebagus dan sekuat apapun Arief Wismansyah atau Zaki Iskandar, kegagalan partai lah yang kemudian membuat mereka seakan tak tersentuh dalam kontestasi. Dan sikap oportunis partai yang-penting-asal-menang itulah kemudian yang membuat pendidikan politik dan nasib hidup masyarakat hanya menjadi formalitas demi memegang atau terlibat dalam kekuasaan.
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar