Aditia Purnomo

Sebuah Upaya Menggali Sosok Gie

Leave a Comment
Soe Hok Gie adalah manusia setengah dewa. Setidaknya begitulah pandangan saya ketika selesai menghabiskan berbagai bacaan soal Gie tatkala menjadi mahasiswa dulu. Sebagai seorang pemuda, juga mahasiswa, Ia seorang yang cerdas dan berani. Sebagai seorang dosen, Ia tidak kehilangan idealismenya. Gambaran paling jelas soal Gie adalah, seorang idealis yang tidak tersentuh kemunafikan.
Saya masih ingat bagaimana catatannya di buku Catatan Seorang Demonstran yang mengkritik rekan-rekan sejawatnya kala menjadi aktivis mahasiswa. Ia pernah mengirimi mereka bedak dan gincu kepada aktivis mahasiswa yang duduk di parlemen dengan catatan:  “Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmati kursi Anda–tidurlah nyenyak”.
Membaca begitu banyak karya Gie, saya merasa sedang digurui oleh seorang aktivis yang menjadi prototype aktivis mahasiswa. Cerdas, iya. Berani, iya. Pintar menulis, dan memiliki idealisme yang amat tinggi. Mungkin karena hal-hal itulah saya menganggapnya sebagai seseorang yang setengah dewa, setidaknya saat saya masih baru-baru masuk kuliah.
Hal ini kemudian berubah tatkala saya membaca tulisannya di buku Zaman Peralihan, yang memberi gambaran tentang satu dimensi berbeda yang ada di diri Soe Hok Gie. Soal sisi manusiawi yang jarang sekali dimunculkan ketika seseorang membicarakannya. Dan melalui buku Soe Hok Gie sekali lagi lah, saya berhasil menemui sisi manusiawi yang jarang dibicarakan itu.
Buku yang pertama kali terbit tahun 2009 ini menampilkan beragam tulisan dari orang-orang yang mengenal Gie, baik yang secara langsung maupun tidak. Di buku ini Gie digambarkan sebagai seorang teman, pujaan hati, juga idola dari mereka yang terlibat dalam penggarapan buku ini. Dari orang-orang terdekat Gie inilah kemudian, sebuah dimensi baru terkait Gie bisa terbaca oleh publik.
Ada beberapa babak hidup Gie yang coba ditampilkan oleh penyusun buku ini, yakni Rudi Badil dan kawan-kawannya. Kisah haru dari rekan-rekan Gie yang terlibat dalam pendakian terakhir Gie, dan detik-detik jelang kepergiannya menjadi babak pembuka dari buku ini. Tragis dan heroik, saya kira, bagaimana upaya teman-teman Gie untuk menggambarkan masa-masa berat tersebut.
Ada kisah haru yang hadir tatkala mereka harus kehilangan seorang rekan tepat sehari sebelum ulang tahunnya. Apalagi mereka harus meninggalkan Gie dan Idhan Lubis agar bisa melakukan evakuasi terhadap jasadnya, hingga akhirnya upaya tersebut disambut luas oleh banyak pihak yang ikut membantu.
Babak lain dalam hidup Gie yang tergambarkan dalam buku ini adalah tatkala teman-temannya di masa kuliah menceritakan kisah hidup bersamanya. Kisah-kisah yang mengalir tentang kisah kasih tak sampai dan sikap Gie sebagai seorang moralis sejati. Gie memang berselisih paham dengan Partai Komunis Indonesia, tapi tatkala Ia juga menolak pembantaian yang dilakukan terhadap orang-orang yang terlibat dengan PKI pasca peristiwa 65.
Di dalam buku ini pula, ditampilkan surat-surat yang dtulis oleh Kartini Sjahrir, seorang aktivis perempuan dan teman dekat Gie yang sekaligus pernah terlibat asmara dengannya. Satu lagi dimensi tentang Gie, yang selama ini dianggap sebagai ‘jomblo’, ternyata memiliki kisah asmara yang menarik.
Tidak hanya itu, Gie yang selama ini tergambar sebagai sosok dingin dan cuek nyatanya ditampilkan sebagai sosok yang hangat dan bersahabat di buku ini. Gie memang aktivis, tapi Ia sebagai manusia, masih sama hal nya seperti orang kebanyakan. Ia kerap melakukan aktivitas yang menyenangkan seperti menonton film, konser musik, ataupun datang ke pesta-pesta.
Dan yang terpenting dari buku ini adalah, bagaimana penyusun mencoba mengangkat beragam pandangan tentang Gie, dari orang yang paling dekat hingga mereka yang terinspirasi dari kisah hidupnya. Sebuah upaya untuk melihat Gie secara utuh, yang tidak melihat Gie hanya dari heroisme yang selalu tampak darinya. Dan sekali lagi, Gie memang layak diidolai, entah sebagai seorang demonstran entah sebagai seorang manusia.
Judul: Soe Hok-Gie..Sekali Lagi
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xxxix + 512 Halaman
Tahun : Desember 2009
Pertama terbit untuk Baca Tangerang
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar