Tahun 2015 adalah kali pertama saya mendengar
kasus penggusuran di Kampung Baru Dadap, Kabupaten Tangerang. Dan kini, setelah
hampir 4 tahun berlalu, persoalan ini tak kunjung usai. Tentu saja bukan belum
selesai dalam arti pembangunannya, tetapi yang belum selesai adalah perjuangan
masyarakat untuk mempertahankan hak hidupnya.
Sepanjang pemahaman saya, perjuangan
masyarakat Dadap bermula tatkala wacana ‘pembangunan’ bertajuk penataan ulang
Kampung Dadap Baru dihembuskan. Pembangunan ini dirasa perlu untuk terwujud
pasalnya bukan karena kampung ini dianggap kumuh. Melainkan karena kampung ini
dikenal sebagai kawasan prostitusi yang penuh dosa.
Setelahnya, masyarakat memutuskan untuk
menutup sendiri aktivitas prostitusi di kampungnya. Ketika datang ke sana
sekitar tahun 2016, saya melihat sendiri bagaimana bekas-bekas kafe tempat
prostitusi telah roboh. Lebih tepatnya telah dirobohkan oleh masyarakat
sendiri. Tujuannya jelas, membuktikan kepada pemerintah bahwa kampung ini tidak
perlu digusur, hanya cukup memberantas prostitusi.
Sayang, tujuan pembangunan yang hendak
dilakukan pemerintah memang bukan semata untuk memberantas maksiat. Pasca
penutupan prostitusi, warga masih saja diminta untuk segera pindah karena
kampung tersebut harus ditata ulang. Kali ini, alasan kumuh mulai digunakan.
Meski kemudian, kita akhirnya sama-sama tahu tujuan sebenarnya dari pembangunan
ini tidak lain adalah untuk mendukung pembangunan reklamasi.
Asal tahu saja, di utara kampung ini telah
berbentuk beberapa pulau reklamasi yang siap dilanjutkan pembangunannya. Demi
mewujudkan akses dari Tol Bandara menuju pulau reklamasi, Kampung Dadap Baru
dipilih sebagai lokasi tepat untuk pembangunan jalan. Meski begitu, dalih yang
digunakan pemerintah untuk menata kampung adalah pembangunan islamic center di
kampung ini agar segera terlepas dari sisa kemaksiatan prostitusi. Tapi, ya,
itu hanya kedok dari tujuan besar pembangunan jembatan penghubung ke pulau
reklamasi.
Saya kira semua orang sepakat bahwa
pembangunan adalah sesuatu yang harus dilakukan pemerintah demi kepentingan
masyarakat. Terutama, untuk terwujudnya kesejahteraan merata. Sialnya, hal
semacam ini jarang berlaku dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
kita. Kalaupun demi kepentingan masyarakat, kita sama-sama tahu masyarakat mana
yang dipilih untuk diwujudkan kepentingannya.
Hal ini yang kemudian menjadi bahan bakar
masyarakat Kampung Dadap untuk melakukan perlawanan. Pembangunan yang menggusur
dan mematikan hidup mereka tentu akan dilawan sepenuhnya. Semua bukan lagi
berbicara menanggung beban kerugian satu pihak, melainkan seluruh lapisam
kalangan, dari yang muda hingga tua turut terseret imbasnya. Sebab Ini menyangkut persoalan hidup
masyarakat Kampung Dadap untuk mempertahankan hidup.
Tentu saja, ada sebagian yang sepakat bahwa
kampung mereka perlu ditata. Hanya, mekanisme penggusuran bukanlah sesuatu yang
solutif untuk hidup mereka. Memindahkan hidup manusia ke tempat baru, dengan
segala pungutannya dan ketiadaan lapangan pekerjaan, sama saja dengan memasukkan
mereka ke dalam penjara kemiskinan. Sudah hidup saja susah, malah ada
pembangunan yang hampir mematikan hidup.
Selama ini nelayan Dadap dikenal dengan produk
kerang hijau yang banyak dikonsumsi masyarakat. Dalam satu tahun bahkan mereka
bisa memproduksi hingga 1,7 ton. Selain kerang hijau, tentu saja ada rajungan
juga beragam ikan yang mereka hasilkan. Tetapi kemudian, semua berubah sejak
pembangunan pulau reklamasi dilakukan.
Jika dulu mereka tidak perlu melaut hingga ke
tengah untuk mendapatkan ikan, sekarang mereka harus bertarung di laut dalam
untuk mendapatkan ikan. Tentu saja, dengan modal solar yang semakin bertambah
seiring dengan jarak pelayaran yang mereka lakukan. Itu pun, ketika melaut
hingga ke kisaran pulau reklamasi, mereka akan diusir dan harus melaut ke
wilayah yang lebih jauh lagi.
Seandainya memang pemerintah daerah hendak
memperbaiki hidup masyarakat Dadap, harusnya mereka fokus untuk menyediakan
lapangan kerja bagi masyarakat yang dulunya bergantung pada bisnis prostitusi.
Ketika masih ada prostitusi, bisnis dan usaha masyarakat berjalan baik seiring
dengan banyaknya tamu yang datang. Kini, binis makanan hancur kekurangan
pelanggan. Para pemilik dan pekerja di kafe jadi pengangguran. Jadi nelayan pun
sama saja, habis dihajar pembangunan pulau reklamasi.
Maka dari itu, ketika mendengar kabar izin
pembangunan jembatan menuju pulau reklamasi telah dikeluarkan Pemerintah
Kabupaten Tangerang, rasa kesal dan amarah yang bertumpah ruah menghampiri saya
kembali. Apalagi, beberapa hari setelah izin dikeluarkan, Kang Isul (Waisul
Kurniawan) selaku Ketua Forum Mayarakat Nelayan Dadap ditangkap karena mengkritik
izin tersebut, semakinlah rasa amarah ini menjadi-jadi.
Pada akhirnya, kini kita hidup di masa
pembangunan menjadi salah satu indikator kemiskinan masyarakat. Omong kosong
pembangunan dengan segala pengharapannya buat masyarakat. Selama pembangunan masih
merampas hidup sebagian masyarakat sebagai ganti kemudahan pada masyarakat
lainnya, selama itu juga perlawanan akan terus subur di bumi nusantara. Untuk
apa ada pembangunan jika hanya digunakan sebagai pembunuh kehidupan masyarakat
kecil?
0 komentar:
Posting Komentar