Ketika berita tabrakan dua kereta pada uji
coba MRT di laman Facebook saya muncul beberapa waktu lalu, saya merasa bingung
harus menanggapi kesuraman bangsa ini dengan cara bagaimana lagi.
Ya, mohon maklum, saya adalah warga yang
mengharapkan negara ini bubar saja karena hampir pasti tidak punya masa depan
kalau masyarakatnya benar-benar wagu todemax dalam memamah segala macam
informasi.
Hedeh, perpecahan antar golongan/kelompok di
negara ini sudah masuk dalam taraf yang amat memuakkan, dan menurut saya hampir
mustahil untuk diselamatkan. Ibarat ada batasan tolol, nah yang beginian ini
tololnya sudah sampai makrifat.
Iblis yang godain Nabi Adam pasti malu
ternyata kita jauh lebih jago ketimbang dia. Udah lah, Blis, mending segera
ajuin surat pensiun dini aja elu.
Jika tak percaya, coba saja lihat pada berita
di soal kecelakaan MRT itu. Pada publikasi berita di lamannya, tertulis kepsyen
yang menunjukkan bahwa kecelakaan tersebut terjadi di Hongkong. Sementara di
preview image, dituliskan dengan provokatif: “Duh, Dua Kereta MRT Tabrakan Saat
Uji Coba.”
Lalu seperti yang sudah diduga, pada kolom
komentar, bakal dengan mudah kita temukan tanggapan model begini: “Wah, ini mah
jelas salah Jokowi terlalu memaksakan kehendak buat pencitraan, makan tuh
infrastruktur bodong.”
Omaigaaat.
Membaca komen model begitu kok saya mendadak
jadi pengen segera nyemplung ke Kawah Candradimuka biar jadi Gatotkaca lalu
mengacak-acak khayangan biar jadi muridnya Biksu Tong. Habis itu dapat kitab
suci di Barat, bikin agama penyembah ubur-ubur, terus kiamat. Kelar deh Galaksi
Bima Sakti.
Lha gimana saya nggak gemes-gemes tai ayam?
Pada level kayak begini, saya sebenarnya bingung siapa yang patut
dipersalahkan. Media yang bikin judul klikbet, netizen yang malas baca, politik
yang bangsat, masyarakat yang sok benar, atau yang nulis ini?
Halah, embuh.
Memang semua punya porsi untuk disalahkan.
Media yang memberitakan kejadian itu memiliki peran cukup besar untuk mengecoh
publik dengan tidak menampilkan lokasi kecelakaan hingga membuat orang-orang
mengira hal tersebut terjadi pada uji coba MRT di Jakarta.
Hal ini kemudian tersinkronasi dengan sangat
manis, sehingga menjadikan ketololan yang harmonis karena bersetubuh dengan
kemalasan membaca para inlander-inlander gagap teknologi. Lalu terpercik lah
reaksi kimia yang menciptakan bahan bakar keributan. Terbakar, terbakar, lalu
yang tadinya hangat lama-lama jadi panas.
Uniknya, ketika keadaan udah panas gitu, ada
saja orang-orang jahat yang doyan dengan keributan. Mencari area-area panas di
media sosial. Lalu bersolek mempertontokan Kegoblokan 4.0-nya di sana tanpa
malu-malu. Seperti menikmati adanya perpecahan, perkelahian, maki-makian, lalu
merayakan terbelahnya kehidupan masyarakat.
Sama kayak efek Pilpres 2019 hari ini yang
benar-benar membelah kehidupan masyarakat jadi tiga. Kalau bukan cebong,
kampret, ya faksi golput. Hal ini diperburuk dengan keyakinan setiap kubu bahwa
pilihan mereka paling benar yang di level tertentu menjadi amat menyebalkan.
Jangan salah, ini termasuk yang golput loh ya?
Dulu sih saya punya keyakinan bahwa politik
identitas yang diciptakan oleh media dan elite adalah biang keladi dari semua
kesuraman ini. Apalagi belakangan Pilpres 2019 ini makin kelihatan bangsatnya
karena atmosfer yang tercipta bikin perih di mata.
Walau kemudian, keyakinan itu makin terkikis
dengan kesadaran bahwa… Halah! Memang kita saja yang masih menikmati segala
macam konflik.
Hingga akhirnya, diri ini menemukan sumber
permasalahan yang memang tidak bisa diselesaikan: kita saja yang senang ribut
dan menikmati kalau ada musuh.
Konon sejarah sih manusia memang begitu akrab
dengan keributan. Di zamannya Gajah Mada, masing-masing kerajaan yang ada fokus
membangun kekuatan militer untuk merebut wilayah kerajaan lainnya.
Pakai cara apa? Ribut dong. Perang.
Di masanya penjajahan, ketamakkan Portugis,
Belanda, Jepang, dan teman-temannya membangkitkan perlawanan masyarakat
Nusantara. Ya, kesatuan dan persatuan yang dulu pernah kita punya memang hanya
untuk bertarung bersama melawan kelompok yang lebih kuat.
Pakai cara apa? Ribut lagi dong. Masa iya
merdeka gara-gara menang turnamen karambol? Kan nggak.
Makanya, di zaman yang katanya damai dan
tenteram ini, opsi keributan yang bisa kita ciptakan hanyalah melalui politik
(kadang juga bisa lewat bola dan agama sih) yang kebetulan sedang ada
hajatannya dalam bentuk Pilpres 2019 ini.
Kesenangan untuk menyalah-nyalahkan orang
lain, melihat orang lain tertindas dan kalah, seolah dapat area bermainnya.
Seolah kita disediakan Colosseum untuk jadi gladiator-gladiator keributan yang
semakin memanaskan negeri ini.
Pada akhirnya menyalahkan politik dan hajatan
Pilpres 2019 atau keberadaan Jokowi dan Prabowo itu cuma alasan aja. Kesuraman
bangsa ini lahir ya karena kita emang gemar dan doyan ribut. Kalau nggak ribut
rasanya bisa sakaw gitu. Macam udah jadi kebutuhan primer.
Sandang, pangan, dan keributan.
Papan mah nggak penting. Lagian buat apaan sih
rumah yang bisa menaungi panas dan hujan kalau nggak ada keributan? Ya nggak?
0 komentar:
Posting Komentar