Aditia Purnomo

Pilpres Itu Cuma Dalih, Kita Aja yang Emang Doyan Ribut

Leave a Comment


Ketika berita tabrakan dua kereta pada uji coba MRT di laman Facebook saya muncul beberapa waktu lalu, saya merasa bingung harus menanggapi kesuraman bangsa ini dengan cara bagaimana lagi.

Ya, mohon maklum, saya adalah warga yang mengharapkan negara ini bubar saja karena hampir pasti tidak punya masa depan kalau masyarakatnya benar-benar wagu todemax dalam memamah segala macam informasi.

Hedeh, perpecahan antar golongan/kelompok di negara ini sudah masuk dalam taraf yang amat memuakkan, dan menurut saya hampir mustahil untuk diselamatkan. Ibarat ada batasan tolol, nah yang beginian ini tololnya sudah sampai makrifat.

Iblis yang godain Nabi Adam pasti malu ternyata kita jauh lebih jago ketimbang dia. Udah lah, Blis, mending segera ajuin surat pensiun dini aja elu.

Jika tak percaya, coba saja lihat pada berita di soal kecelakaan MRT itu. Pada publikasi berita di lamannya, tertulis kepsyen yang menunjukkan bahwa kecelakaan tersebut terjadi di Hongkong. Sementara di preview image, dituliskan dengan provokatif: “Duh, Dua Kereta MRT Tabrakan Saat Uji Coba.”

Lalu seperti yang sudah diduga, pada kolom komentar, bakal dengan mudah kita temukan tanggapan model begini: “Wah, ini mah jelas salah Jokowi terlalu memaksakan kehendak buat pencitraan, makan tuh infrastruktur bodong.”

Omaigaaat.

Membaca komen model begitu kok saya mendadak jadi pengen segera nyemplung ke Kawah Candradimuka biar jadi Gatotkaca lalu mengacak-acak khayangan biar jadi muridnya Biksu Tong. Habis itu dapat kitab suci di Barat, bikin agama penyembah ubur-ubur, terus kiamat. Kelar deh Galaksi Bima Sakti.

Lha gimana saya nggak gemes-gemes tai ayam? Pada level kayak begini, saya sebenarnya bingung siapa yang patut dipersalahkan. Media yang bikin judul klikbet, netizen yang malas baca, politik yang bangsat, masyarakat yang sok benar, atau yang nulis ini?

Halah, embuh.

Memang semua punya porsi untuk disalahkan. Media yang memberitakan kejadian itu memiliki peran cukup besar untuk mengecoh publik dengan tidak menampilkan lokasi kecelakaan hingga membuat orang-orang mengira hal tersebut terjadi pada uji coba MRT di Jakarta.

Hal ini kemudian tersinkronasi dengan sangat manis, sehingga menjadikan ketololan yang harmonis karena bersetubuh dengan kemalasan membaca para inlander-inlander gagap teknologi. Lalu terpercik lah reaksi kimia yang menciptakan bahan bakar keributan. Terbakar, terbakar, lalu yang tadinya hangat lama-lama jadi panas.

Uniknya, ketika keadaan udah panas gitu, ada saja orang-orang jahat yang doyan dengan keributan. Mencari area-area panas di media sosial. Lalu bersolek mempertontokan Kegoblokan 4.0-nya di sana tanpa malu-malu. Seperti menikmati adanya perpecahan, perkelahian, maki-makian, lalu merayakan terbelahnya kehidupan masyarakat.

Sama kayak efek Pilpres 2019 hari ini yang benar-benar membelah kehidupan masyarakat jadi tiga. Kalau bukan cebong, kampret, ya faksi golput. Hal ini diperburuk dengan keyakinan setiap kubu bahwa pilihan mereka paling benar yang di level tertentu menjadi amat menyebalkan. Jangan salah, ini termasuk yang golput loh ya?

Dulu sih saya punya keyakinan bahwa politik identitas yang diciptakan oleh media dan elite adalah biang keladi dari semua kesuraman ini. Apalagi belakangan Pilpres 2019 ini makin kelihatan bangsatnya karena atmosfer yang tercipta bikin perih di mata.

Walau kemudian, keyakinan itu makin terkikis dengan kesadaran bahwa… Halah! Memang kita saja yang masih menikmati segala macam konflik.

Hingga akhirnya, diri ini menemukan sumber permasalahan yang memang tidak bisa diselesaikan: kita saja yang senang ribut dan menikmati kalau ada musuh.

Konon sejarah sih manusia memang begitu akrab dengan keributan. Di zamannya Gajah Mada, masing-masing kerajaan yang ada fokus membangun kekuatan militer untuk merebut wilayah kerajaan lainnya.

Pakai cara apa? Ribut dong. Perang.

Di masanya penjajahan, ketamakkan Portugis, Belanda, Jepang, dan teman-temannya membangkitkan perlawanan masyarakat Nusantara. Ya, kesatuan dan persatuan yang dulu pernah kita punya memang hanya untuk bertarung bersama melawan kelompok yang lebih kuat.

Pakai cara apa? Ribut lagi dong. Masa iya merdeka gara-gara menang turnamen karambol? Kan nggak.

Makanya, di zaman yang katanya damai dan tenteram ini, opsi keributan yang bisa kita ciptakan hanyalah melalui politik (kadang juga bisa lewat bola dan agama sih) yang kebetulan sedang ada hajatannya dalam bentuk Pilpres 2019 ini.

Kesenangan untuk menyalah-nyalahkan orang lain, melihat orang lain tertindas dan kalah, seolah dapat area bermainnya. Seolah kita disediakan Colosseum untuk jadi gladiator-gladiator keributan yang semakin memanaskan negeri ini.

Pada akhirnya menyalahkan politik dan hajatan Pilpres 2019 atau keberadaan Jokowi dan Prabowo itu cuma alasan aja. Kesuraman bangsa ini lahir ya karena kita emang gemar dan doyan ribut. Kalau nggak ribut rasanya bisa sakaw gitu. Macam udah jadi kebutuhan primer.

Sandang, pangan, dan keributan.

Papan mah nggak penting. Lagian buat apaan sih rumah yang bisa menaungi panas dan hujan kalau nggak ada keributan? Ya nggak?


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar