Aditia Purnomo

Keberanian Itu Bernama Soekarno

Leave a Comment


Bangsa kita adalah bangsa yang besar, itulah yang diyakini Soekarno ketika ia bersama para pendiri Republik ini berjuang memerdekakan Indonesia. Karena itu, kehadiran sebuah Negara boneka milik imprealis di samping persis perbatasan Republik tak dapat ditolerir. Ganyang Malaysia! Begitu katanya.

“Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu!”, begitu semangatnya Soekarno dalam melakukan konfrontasi ke Malaysia sana.

Setelahnya, jangankan menginjak-injak harga diri bangsa ini, berurusan dengan Indonesia pun Malaysia tak berani. Ini hanya karena sebuah kosakata yang memang telah lama hilang sejak Soekarno turun. Kosakata itu adalah Keberanian.

Keberanian Soekarno dalam menghadapi imprealis patut diacungi jempol. Siapa yang tak kenal Soekarno pada masa itu? Negara dunia pertama pun akan berpikir ribuan kali untuk melakukan konfrontasi langsung dengannya.

Tapi apalah daya, Keberanian itu telah hilang. Ya, kosakata dalam kamus itu hilang seiring dengan kematian dan kejatuhan Soekarno di akhir tahun 60an. Setelahnya, bangsa ini seperti kehilangan jatidiri yang selalu dilihat bangsa asing.

Pada masa orde baru, bangsa imprealis yang dilawan Soekarno habis-habisan dengan mudahnya masuk dan mengeksploitasi kekayaan alam bangsa ini. Tak hanya itu, undang-undang dapat dipesan bangsa asing demi keuntungan mereka dan bagi hasilnya dengan penguasa.

Setelahnya, jangankan Negara dunia pertama, Malaysia itu pun lancang mempermainkan martabat bangsa ini. Mulai dari melakukan klaim terhadap produk budaya Indonesia, bermain-main soal perbatasan,hingga dengan enaknya mengambil nyawa orang Indonesia.

Sayang seribu sayang, keberanian itu telah hilang. Politik berdaulat yang berasaskan Trisakti Bung Karno  telah gagal dipahami penguasa.

Presiden Republik kini, SBY memilih diam dan selalu memaafkan segala perbuatan Malaysia. Hanya menyapaikan prihatin, mengirim menteri luar negeri untuk melakukan diploimasi, tanpa ada ketegasan untuk membanggakan harga diri bangsa.

Ya, begitulah SBY, ia lebih marah ketika ada seorang presiden partai yang menyebutkan ia kenal dekat dengan seorang perempuan dibanding marah ketika mendengar rakyatnya dibunuh seenaknya Malaysia.

Latar belakang SBY yang seorang pensiunan petinggi militer tampaknya tak berpengaruh apa-apa dalam urusan keberanian. Apakah yang dilakukan SBY saat masih aktif di dunia militer, muingkikan ia lebih memilih di tenda ketika pasukannya bertempur di medan juang.

Seandainya saja Soekarno masih memimpin Indonesia, mungkin ia tak akan mengatakan “Ganyang” lagi kepada Malaysia, tapi ia akan dengan lantang mengajak 250 juta rakyat Indonesia untuk menghancurkan Negara tersebut.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar