Aditia Purnomo

Pemberontakan, Kecintaan, dan Perjuangan Kartini

Leave a Comment

Habis gelap terbitlah terang. Mungkin hanya kalimat itu yang paling identik dengan sosok perempuan bernama Kartini. Bergelar Raden Ajeng, Ia dianggap sebagai pahlawan bangsa, khususnya para wanita karena semangatnya memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Memperjuangkan hak emansipasi, tetapi tetap terpingit, dikawinkan paksa, melahirkan dan mati pada akhirnya.

Gambaran seperti itulah yang diberikan oleh rezim orde baru terhadap Kartini tanpa melihat sisi kehidupannya yang lain. Padahal, masih ada banyak sisi hidup yang dimiliki Kartini. Mungkin tak banyak yang tahu ketertarikan Kartini terhadap sastra, melalui puisi-puisi yang ditulisnya. “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya Seni! Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi,” begitu katanya.

Sisi lain inilah yang coba diangkat Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja. Dalam bukunya Pram mencoba menggambarkan sosok utuh Kartini yang tidak diketahui oleh banyak orang.

Kartini, bagi Pram, adalah gadis muda yang memiliki gagasan hebat untuk memajukan kehidupan rakyatnya. Kartini hidup pada masa yang sulit dimana penjajahan terjadi di Indonesia. Tak hanya itu, budaya Jawa yang tak lepas dari kehidupan Kartini membuatnya tak bias melakukan banyak aktivitas di luar rumah. Dan hal inilah yang membuatnya memberontak terhadap penjajahan dan budaya tersebut.

Sebagai anak dari seorang bupati yang terpelajar, Kartini beruntung bisa mendapatkan pendidikan belanda yang pada masa itu mustahil didapatkan wanita lain. Apalagi ia berasal dari keluarga bangsawan jawa yang sangat tidak menganjurkan anak perempuan untuk menikmati dunia luar sebelum masa kawinnya tiba. Meski ketika selesai sekolah rendah, ayahnya tidak dapat menuruti keinginan kartini untuk sekolah lebih lanjut karena budaya tersebut.

Menurut Pram, Kartini sangat menderita akibat pemingitan. Kartini sangat mencintai pendidikannya, namun di lain pihak dia juga tidak dapat memungkiri bahwa rasa cinta kepada ayahnya juga sangat mendalam. Akhirnya Kartini memilih bungkam agar tidak menyakiti perasaan ayahnya.

Meski begitu, ayah Kartini bukannya tidak menderita. Sebagai seorang terpelajar, tentu saja dia mengetahui bagaimana penderitaan puteri tercintanya. Namun, kedudukannya sebagai bangsawan tinggi tidak memungkinkannya untuk mengambil tindakan yang dapat membahagiakan Kartini.

Beruntunglah Kartini dengan pendidikannya. Meski mederita dalam pemingitannya, ia akhirnya menemukan cara untuk menumpahkan segala isi hatinya, yakni menulis. Kartini secara aktif menulis kepada sahabat-sahabat penanya, yang terutama adalah Estelle Zeehandelaar, gadis sosialis Belanda. dalam surat-suratnya itulah, Kartini mengungkapkan segala masalah pribadinya, termasuk buah pikirannya yang mencengangkan dunia.

Dalam tulisannya, Kartini menggugat feodalisme dan berharap tidak ada lagi perbedaan antar manusia. Dengan kemanusiaannya, ia meminta agar dipanggil tanpa tanpa gelar kebangsawanannya, ia menolak pembedaan kelas. “Panggil aku Kartini saja,” begitu tulis dalam sebuah suratnya.

Apa yang dilakukan Kartini ini dalah sebuah keajaiban yang dilakukan oleh seorang gadis yang hidup dalam budaya patriarki yang begitu melekat. Apalagi ia adalah keluarga bangsawan Jawa pada masa itu. Sedang dalam suratnya yang lain ia menulis “Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami”.

Kartini, sebagai sosok luar biasa mampu ditampilkan secara utuh dalam buku ini. Entah karena apa Pram mampu menggambarkan sosok Kartini dengan buku luar biasa ini. Mungkin Pram merasa bahwa jalan hidup Kartini adalah sama dengan dirinya sendiri, sebagai sastrawan yang menulis untuk kemanusiaan. Semoga apa yang digambarkan dalam buku ini, perjuangan, kecintaan, dan kemanusiaan Kartini mampu melahirkan kembali sosok pejuang selembut dan seteguh dirinya.

Judul Buku: Panggil Aku Kartini Saja

Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar