Untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),
kampus-kampus di Indonesia berbenah. Guna mempersiapkan anak didiknya untuk
dapat bersaing dalam ketatnya hidup di MEA. Lama kuliah dibatasi, dari 7 tahun kini
menjadi 5 tahun. Seminar-seminar internasional semakin sering diadakan, dan
yang paling penting, kampus-kampus mulai rutin mengadakan Job Fair untuk
membantu calon pekerjanya mahasiswanya bisa langsung kerja usai wisuda.
Memang, kian hari hari kebijakan-kebijakan yang diambil,
baik oleh pihak rektorat kampus maupun oleh menteri pendidikan semakin mengarah
kepada tujuan menciptakan tenaga kerja baru untuk masuk dunia industri. Ya
bahasanya sih nggak gitu, dalihnya mempersiapkan peserta didik agar siap dalam
persaingan dunia kerja yang semakin ketat.
Hal ini tentu mengkhawatirkan. Mengingat, sistem dan lembaga
pendidikan memiliki makna lebih dari itu, setidaknya karena peranannya dalam
pengolahan diri peserta didik. Karena pendidikan bukan hanya soal mengkondisikan
peserta didiknya menjadi robot industri atau mesin penghasil uang yang ringkih.
Desain dan rencana strategi pendidikan kita dibangun di atas
argumentasi bahwa hanya manusia berkualitaslah yang akan dapat menjadi
penggerak pembangunan ekonomi Indonesia. Nah, orang berkualitas kemudian
didefinisikan sebagai orang pintar, orang pintar adalah yang cakap ilmu-ilmu
eksakta, kemudian lulus sekolah dan siap bekerja.
Tentu bukan hal seperti itu yang diharapkan dari pendidikan
nasional, yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Pada hakikatnya, pendidikan adalah upaya untuk
memanusiakan manusia. Karena itu, pendidikan model sekarang bukanlah pendidikan
yang membebaskan, karena hanya menggunakan kedok membebaskan padahal menjebak
peserta didiknya pada jurang kapitalisme.
Seperti yang pernah dikatakan Paulo Freire, “Pendidikan yang
dimulai dengan kepentingan egoistik kaum penindas (egoisme dengan baju
kedermawanan baru dari paternalisme) dan menjadikan kaum tertindas sebagai
obyek humanitarianisme mereka, justru mempertahankan dan menjelmakan penindasan
itu sendiri. Pendidikan merupakan perangkat dehumanisasi.”
Bagi Pakar Pendidikan Amerika Latin itu, pendidikan adalah
cara memanusiakan manusia. Pendidikan tidak boleh dianggap semata-mata sebagai
bisnis dan investasi yang berorientasi profit. Karena itulah Ia menolak keras
keberadaan pendidikan gaya bank yang membuat lembaga pendidikan seolah pabrik
yang menciptakan tenaga kerja dengan upah murah.
Dengan pendidikan gaya bank, model pendidikan berorientasi
profit sebutan Freire, komersialisasi pendidikan adalah hal yang lumrah. Jika
anda mau pendidikan yang layak dan bagus, maka anda pun harus bayar mahal.
Dengan pendidikan seperti itu, anda akan dijanjikan pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka yang hanya bisa mengikuti pendidikan
alakadarnya, tentu anda hanya akan mendapatkan pekerjaan yang ala kadarnya
juga.
Hal ini kemudian membuat pendidikan menjadi semacam
investasi yang harus mampu membalikkan
modal pendidikan, kalau perlu menghasilkan keuntungan. Pendidikan bukan lagi
menjadi alat pembebasan, melainkan sebuah syarat agar bisa mendapatkan
pekerjaan. Sekadar itu.
Pada akhirnya, berbanggalah kalian yang berduyun-duyun
menuju kelulusan. Sebab, sesungguhnya kalian akan segera memasuki dunia
nyata dunia industri sebagai buruh-buruh baru yang dihasilkan oleh
pabrik-pabrik pendidikan. Bersiaplah menjadi tenaga kerja murah dan tidak perlu
banyak melawan, karena melawan hanya akan membuat kalian menjadi manusia
yang merdeka, dipecat.
0 komentar:
Posting Komentar